Home / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 2 - DESAKAN MERTUA

Share

2 - DESAKAN MERTUA

last update Last Updated: 2025-07-02 16:25:36

Seharian pikiran Gendis tak tenang memikirkan soal suaminya yang masih marah, ditambah dengan pil KB itu.

Meskipun Gendis berusaha membuang pikiran itu dengan mengerjakan pekerjaan rumah, menonton film kesukaannya, tetapi nyatanya semua itu tetap tidak bisa mengalihkan kegelisahannya.

Sampai akhirnya, sore itu ketika Gendis sedang duduk di sofa, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Gendis buru-buru bangkit dan membuka pintu. Wajahnya langsung berseri ketika melihat sang mertua datang.

“Eh, Papa, Mama. Ayo masuk,” seru Gendis dengan ceria, menyambut kedua mertuanya dengan senyum hangat.

Candra dan Dewi, orang tua Raka, melangkah masuk ke ruang tamu. Keduanya memang sejak awal sangat mendukung pernikahan Raka dan Gendis. Selain Gendis memang wanita yang cantik, ia juga rajin dan cocok dengan kriteria menantu idaman bagi Candra dan Dewi.

Hanya saja, setelah 3 tahun pernikahan itu dan mereka belum juga dikaruniai momongan, Dewi justru jadi lebih sensitif pada Gendis. Tidak munafik, Candra dan Dewi jelas sangat ingin segera memiliki cucu.

“Masak apa, Dis?” tanya Dewi sambil melepas sandalnya.

“Masak tumis wortel, Ma. Campur bakso udang. Sisanya ya goreng telur aja,” jawab Gendis sambil berjalan ke dapur. “Tau gini sih masak banyak. Gendis masak lagi ya.”

“Sengaja kok nggak kasih tau kamu kalau kita mau ke sini,” sahut Dewi sambil tersenyum, “biar kejutan.”

“Duduk dulu ya, Pa, Ma. Gendis buatin teh, ya.”

Sambil menyiapkan teh di dapur, Gendis bisa mendengar percakapan ringan antara mertuanya.

“Mama sama Papa mau undang acara syukuran anaknya Reno, minggu depan,” kata Dewi kemudian saat Gendis datang membawa baki berisi gelas teh.

“Iya, Ma. Pasti kita dateng kok,” jawab Gendis sambil menuangkan teh ke dalam cangkir.

“Reno sama Dila anaknya udah tiga, loh. Kalian belum juga,” ujar Candra, nada suaranya pelan tapi dalam.

“Sabar ya, Pa, Ma. Kita masih program. Doain secepatnya dikasih,” balas Gendis dengan senyum yang dipaksakan.

“Kamu udah periksa kesehatan kamu, kan?” tanya ibu mertuanya, menatap menantunya penuh selidik.

“Udah, Ma…” jawab Gendis lirih, menunduk sejenak.

“Tapi kok belum dapet juga?” desak ibu mertuanya lagi.

“Proses ma..” katanya seraya menggigit bibir.

“Udah tiga tahun, loh, Dis…” timpal ibu mertuanya dengan suara pelan namun jelas.

“Iya, Ma… Gendis tahu…” bisik Gendis. Suaranya lemah. Ia tersenyum kaku sambil kembali ke dapur, berusaha menyembunyikan genangan di pelupuk matanya.

Rasa bahagia sekaligus sedih terpancar di wajah Gendis ketika mendengar kabar syukuran anak ketiga dari Reno dan Dila—adik Raka. Ia tersenyum, tetapi matanya tak bisa berbohong. Jauh di lubuk hatinya, ia benar-benar mengharapkan kehadiran seorang bayi di rumahnya. Lebih besar dari apa yang orang lain bisa bayangkan.

“Apa pura-pura hamil aja ya?” gumamnya lirih sambil duduk di kursi meja makan.

Terbersit ide nakal di benaknya. Tapi baru saja ia mencoba membayangkannya, tiba-tiba Dewi datang dengan wajah kesal.

“Dis, kamu ini sebenarnya memang mau punya anak atau nggak sih? Bilangnya program hamil, tapi kok malah minum pil KB?!” ujar Dewi dengan suara tinggi, ia melempar pil KB itu ke meja makan.

Gendis terbalalak. Ia lupa menyimpan pil itu.

“Ma … itu bukan punya Gendis,” sanggah Gendis dengan gemetar.

“Kalau bukan punya kamu, ya punya siapa lagi?” suara Dewi meninggi, matanya nyalang, penuh kekecewaan dan kemarahan yang ditahan terlalu lama.

Gendis menggigit bibirnya. Tangannya gemetar di atas pangkuan, tapi ia paksa tetap tenang. “Itu … itu kayaknya punya temenku yang keting—”

“Jangan bohong lagi, Gendis!” potong Dewi, suaranya bergetar. “Selama ini juga kamu yang kelihatan gak serius untuk punya anak, kan!”

“Ma, gak gitu … pil itu memang bukan punya Gendis,” lirih Gendis, ia semakin bingung dengan keadaan yang semakin runyam.

“Kamu jangan gitu lah, Dis. Kalau memang gak mau punya anak, ya jangan buat Raka dan kami jadi berharap. Lagian, buat apa juga menikah kalau bukan untuk punya keturunan?” sahut Candra yang telah berdiri di belakang Dewi dengan wajah kecewa.

“Tapi itu beneran bukan punya Gendis.”

Kali ini, air mata Gendis tidak bisa ditahan lagi. Namun, Dewi dan Candra seolah tidak peduli.

Suara notifikasi ponsel membuatnya tersadar lalu segera menyeka air mata yang luruh. Telepon dari Mamanya.

Ia mengangkat panggilan itu dengan sedikit rasa enggan.

“Halo, Ma.”

“Lagi apa Dis?”

Ada dehaman kecil sebelum berbicara. “Lagi ada mamanya Raka, ma.”

“Oh ya? Urusan apa? Bukan nanyain kamu kapan hamil kan?”

“Bukan mah.”

Ia berbohong. Namun firasat ibu tak pernah meleset.

“Gendis, kamu apa nggak kepikiran atau curiga begitu sama Raka?” tanya sang ibu, suaranya terdengar khawatir dari seberang.

“Dia kan jarang pulang, Mama kok mikirin yang aneh-aneh ya?” lanjutnya, menembakkan kekhawatiran seperti peluru.

“Maksudnya Mama? Gimana?” tanya Gendis, berusaha tenang sambil menyandarkan punggung di sandaran kasur.

“Ya aneh aja,” ucap sang ibu pelan tapi pasti. “Kalau dilihat secara fisik, dia gagah, sehat, kamu juga, tapi kok nggak juga punya anak? Tapi anehnya, saudara dia udah punya anak semua. Nggak mungkin, toh, dia mandul?”

Begitu mobil mertua melaju meninggalkan rumah, Gendis hanya menghela napas berat. Ia tertunduk lesu di ambang pintu, lalu menatap langit yang mulai gelap..

Baru saja ia hendak mencoba menghubungi salah seorang teman, ponselnya berbunyi dan terdapat nama Gina, sahabatnya yang muncul pada layar.

“Gendis! Sibuk nggak, sih?” ucap Gina dengan suara penuh keceriaan.

“Gina? Apa kabar? Lama banget nggak ketemu. Aku nggak sibuk, kok.”

“Iya, udah lama nggak ketemu. Aku tuh bisanya cuma liatin kegiatan kamu di I* aja. Ibu rumah tangga banget, ya, sekarang?”

“Iya, mau gimana lagi. Aku sejak resign kerja, jadinya mengabdi sama suami.”

“Tapi... kabar pernikahan kamu, baik-baik aja, kan?”

Pertanyaan Gina membuat Gendis terdiam sejenak. Ada jeda sunyi yang membuat suasana terasa berat.

“Gendis? Halo? Maaf kalau pertanyaan aku...”

“Nggak papa, Gina. Aku nggak marah, kok. Aku... aku butuh bantuan kamu,” ujarnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku mau cerita."

“Bantuan? Bantuan apa? Buruan cerita! Atau aku ke rumah kamu deh sekarang!” sahut Gina cepat, nada suaranya berubah jadi penuh kekhawatiran.

Mendengar itu, Gendis tampak bersemangat dan tak sabar. Ia segera meminta Gina dan beberapa teman lainnya untuk datang ke rumahnya—seolah ia butuh pelukan, tawa, dan pengalihan dari luka yang tak bisa ia bagi ke siapa pun, kecuali sahabat-sahabatnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PELAN PELAN SAYANG    16 - LEHER GENDIS YANG MEMERAH

    Dalam perjalanan, Rain berkendara sambil mendengarkan musik slow. Sesekali ia melirik jam tangannya, lalu menekan pedal gas lebih dalam dengan harapan cepat bertemu Gendis. Sementara itu, Gendis tengah merapikan ruang TV, membuang sampah, dan mencuci gelas serta piring. Rambutnya dikuncir asal, dan celemek lusuh melingkari pinggangnya. Tiba-tiba saja, pelukan hangat sekaligus nakal melingkari tubuhnya dari belakang. “Eh! Mas… aku kira siapa…” ucap Gendis kaget, namun tak mampu menyembunyikan senyum bahagia yang terbit di wajahnya. “Saya kangen…” bisik Rain dengan napas berat dan suara serak, bibirnya menelusuri leher Gendis, menciuminya lembut namun menuntut. “Sebentar lagi, Mas… aku kerjain tugas aku dulu di rumah,” ucap Gendis sambil tetap cekatan mencuci piring, meski setiap sentuhan tangan Rain di dadanya membuat tubuhnya bergetar. “Kamu nggak usah pulang lagi ke sini… sama saya saja, ya,” desis Rain, matanya tajam menatap leher Gendis yang memerah. “Mas, nggak mungk

  • PELAN PELAN SAYANG    15 - RAIN YANG TIDAK TAHAN

    “Kalian?” ucap ibu mertuanya, nyaris menjatuhkan gelas berisi teh hangat yang dipegangnya. “Ma… maksudnya bukan itu, Ma. Mas?” ucap Gendis terbata, memohon agar Rain segera menarik ucapannya. “Panggilan sayang itu memang harus, Bu, Pak. Saya ini kan Psikolog Reproduksi, jadi sama pasien yang mengalami masalah, saya harus sayang sama mereka. Kalau nggak sayang, bagaimana saya bisa paham kondisi pasien? Kan begitu…” ucap Rain sambil tersenyum—senyum yang justru terasa seperti permainan berbahaya di hadapan orang tua Raka. “Oh, benar juga, Ma. Masa sama pasien nggak sayang, kan aneh juga, ya? Hahaha…” ucap ayah mertuanya sambil tertawa, meski matanya masih sedikit meneliti Rain. “Iya sih… aneh, tapi… ya masuk akal,” sahut ibu mertuanya, menahan senyum yang setengah ragu. Gendis berusaha ikut tertawa, tapi tatapannya justru terikat pada Rain. Lelaki itu duduk santai, menyandarkan tubuh, seolah baru saja memenangkan pertarungan yang tak terlihat oleh mata orang lain. Menjelang

  • PELAN PELAN SAYANG    14 - RAIN MEMANGGIL GENDIS DENGAN PANGGILAN SAYANG DI DEPAN MERTUA GENDIS

    Gendis meremas ujung rok yang ia kenakan saat detik-detik ucapan Rain meluncur di hadapan orang tua Raka, siang menjelang sore itu. “Menantu Ibu dan Bapak mengalami sedikit kendala… terutama masalah hubungan seks, kesulitan untuk mendapatkan momongan, ragam kecemasan, dan juga beberapa masalah yang selama ini dia pendam sendiri,” ucap Rain dengan nada tenang, namun setiap katanya terasa seperti pukulan di dada Gendis. “Hah? Maksudnya dia dan suaminya ada masalah?” tanya ibu mertuanya, kening berkerut dan tatapan tajamnya langsung menghujam Gendis. “Seharusnya saya nggak boleh memberikan informasi mengenai kondisi psikis pasien saya… kecuali atas izin Gendis sendiri,” ucap Rain sambil menatap Gendis, seolah menantang wanita itu untuk menolak. “Gendis? Nggak masalah dong Mama sama Papa tahu kondisi kalian berdua?” ucap ayah mertuanya, nada suaranya setengah memaksa, setengah khawatir. “Um… iya, Pa. Biar Mas Rain yang menjelaskan semuanya,” ucap Gendis lirih, suaranya nyaris te

  • PELAN PELAN SAYANG    13 - NEKAT! RAIN LANGSUNG BERTEMU MERTUA GENDIS?

    Ketegangan kini terjadi pada Rain dan Gendis. Saat tiba di depan pekarangan rumah Gendis dan Raka, Rain tidak serta-merta pergi dari sana. Tampak mobil milik mertuanya sudah terparkir di depan rumah Gendis dan Raka. “Mas, baiknya Mas langsung pulang. Aku nggak mungkin terang-terangan kasih lihat Mas sama mertua aku,” ucap Gendis dengan nada memohon, sorot matanya penuh cemas saat baru saja hendak keluar dari mobil Rain. “Kenapa? Kan bagus kalau mereka tahu,” balas Rain santai, seolah menganggap remeh kekhawatiran Gendis. “Nggak bisa gitu, Mas. Karir kamu gimana? Kamu psikolog, kamu juga dikenal banyak orang, dan kalau—” “Kamu bisa diem nggak?” potong Rain dengan suara pelan namun menusuk, membuat dada Gendis terasa sesak. “Saya bukain pintu buat kamu, dan saya anterin kamu sampai ke pintu rumah kamu. Saya nggak peduli,” ucap Rain tegas, tatapannya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ta-tapi, Mas...” suara Gendis bergetar, nyaris putus di ujung kalimat. Rain segera kelua

  • PELAN PELAN SAYANG    12 - MAMA RAIN MENUNTUTNYA UNTUK BAWA PASANGAN

    “Mas, kamu marah, ya?” ucap Gendis pelan saat Rain baru saja memasangkan sabuk pengaman untuknya. Lelaki itu tak membalas, hanya segera mengemudikan mobil keluar dari area parkir apartemen. Rain tetap diam, tatapannya lurus ke depan, fokus pada jalan. Gendis meliriknya sebentar, lalu memalingkan wajah ke arah jendela, memperhatikan keramaian kota siang itu. Namun, tanpa berkata apa-apa, tangan Rain bergerak mencari tangan Gendis. Ia menggenggamnya erat, hangat. “Um?” Gendis menoleh, menatap lelaki itu—dingin di wajah, tapi hangat di sentuhan. “Mas…” ucapnya lirih, seperti ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Rain memutar setir, lalu menepi di depan sebuah toko makanan. “Tunggu di sini,” ujarnya singkat setelah memarkirkan mobil, lalu mengecup kening Gendis dengan cepat—seolah ingin menghapus kerenggangan yang tadi tercipta—sebelum melangkah masuk ke toko. “Iya, Mas,” balas Gendis sambil mengangguk pelan, meski bibirnya tak mampu menahan seulas senyum

  • PELAN PELAN SAYANG    11 - MENDADAK GENDIS INGIN PULANG KERUMAHNYA. RAIN MARAH?

    “Mas, apa ini nggak terlalu cepat? Status aku masih istrinya Raka,” ucap Gendis sambil menatap Rain yang memeluk dirinya dari belakang, ada ragu sekaligus hangat di matanya. “Kenalan dulu kan nggak papa, Sayang,” jawab Rain seolah tanpa beban, seakan masalah moral itu hanya angin lalu. “Mas, kamu gila. Masa aku yang statusnya istri orang, bawa kamu ke Mama sama Papa aku dan kenalin kamu?” ucap Gendis sambil menahan tawa dan menepuk pipi Rain, setengah gemas, setengah protes. “Saya kan memang gila, Sayang,” balas Rain sambil tersenyum tipis, lalu memeluk Gendis lebih erat. Bibir dan lidahnya menjelajah leher hingga pipi Gendis, sengaja meninggalkan jejak basah di kulitnya. “Mas… geli,” ucap Gendis sambil tersenyum, tubuhnya menggeliat kecil, mencoba menahan tawa namun wajahnya memerah oleh sensasi. Di tengah keintiman itu, ponsel yang khusus digunakan Rain untuk pasien dan urusan bisnis berbunyi nyaring, memecah momen. “Mas… telepon tuh.” “Nggak. Saya nggak mau terima tel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status