Seharian pikiran Gendis tak tenang memikirkan soal suaminya yang masih marah, ditambah dengan pil KB itu.
Meskipun Gendis berusaha membuang pikiran itu dengan mengerjakan pekerjaan rumah, menonton film kesukaannya, tetapi nyatanya semua itu tetap tidak bisa mengalihkan kegelisahannya.
Sampai akhirnya, sore itu ketika Gendis sedang duduk di sofa, tiba-tiba bel pintu berbunyi. Gendis buru-buru bangkit dan membuka pintu. Wajahnya langsung berseri ketika melihat sang mertua datang.
“Eh, Papa, Mama. Ayo masuk,” seru Gendis dengan ceria, menyambut kedua mertuanya dengan senyum hangat.
Candra dan Dewi, orang tua Raka, melangkah masuk ke ruang tamu. Keduanya memang sejak awal sangat mendukung pernikahan Raka dan Gendis. Selain Gendis memang wanita yang cantik, ia juga rajin dan cocok dengan kriteria menantu idaman bagi Candra dan Dewi.
Hanya saja, setelah 3 tahun pernikahan itu dan mereka belum juga dikaruniai momongan, Dewi justru jadi lebih sensitif pada Gendis. Tidak munafik, Candra dan Dewi jelas sangat ingin segera memiliki cucu.
“Masak apa, Dis?” tanya Dewi sambil melepas sandalnya.
“Masak tumis wortel, Ma. Campur bakso udang. Sisanya ya goreng telur aja,” jawab Gendis sambil berjalan ke dapur. “Tau gini sih masak banyak. Gendis masak lagi ya.”
“Sengaja kok nggak kasih tau kamu kalau kita mau ke sini,” sahut Dewi sambil tersenyum, “biar kejutan.”
“Duduk dulu ya, Pa, Ma. Gendis buatin teh, ya.”
Sambil menyiapkan teh di dapur, Gendis bisa mendengar percakapan ringan antara mertuanya.
“Mama sama Papa mau undang acara syukuran anaknya Reno, minggu depan,” kata Dewi kemudian saat Gendis datang membawa baki berisi gelas teh.
“Iya, Ma. Pasti kita dateng kok,” jawab Gendis sambil menuangkan teh ke dalam cangkir.
“Reno sama Dila anaknya udah tiga, loh. Kalian belum juga,” ujar Candra, nada suaranya pelan tapi dalam.
“Sabar ya, Pa, Ma. Kita masih program. Doain secepatnya dikasih,” balas Gendis dengan senyum yang dipaksakan.
“Kamu udah periksa kesehatan kamu, kan?” tanya ibu mertuanya, menatap menantunya penuh selidik.
“Udah, Ma…” jawab Gendis lirih, menunduk sejenak.
“Tapi kok belum dapet juga?” desak ibu mertuanya lagi.
“Proses ma..” katanya seraya menggigit bibir.
“Udah tiga tahun, loh, Dis…” timpal ibu mertuanya dengan suara pelan namun jelas.
“Iya, Ma… Gendis tahu…” bisik Gendis. Suaranya lemah. Ia tersenyum kaku sambil kembali ke dapur, berusaha menyembunyikan genangan di pelupuk matanya.
Rasa bahagia sekaligus sedih terpancar di wajah Gendis ketika mendengar kabar syukuran anak ketiga dari Reno dan Dila—adik Raka. Ia tersenyum, tetapi matanya tak bisa berbohong. Jauh di lubuk hatinya, ia benar-benar mengharapkan kehadiran seorang bayi di rumahnya. Lebih besar dari apa yang orang lain bisa bayangkan.
“Apa pura-pura hamil aja ya?” gumamnya lirih sambil duduk di kursi meja makan.
Terbersit ide nakal di benaknya. Tapi baru saja ia mencoba membayangkannya, tiba-tiba Dewi datang dengan wajah kesal.
“Dis, kamu ini sebenarnya memang mau punya anak atau nggak sih? Bilangnya program hamil, tapi kok malah minum pil KB?!” ujar Dewi dengan suara tinggi, ia melempar pil KB itu ke meja makan.
Gendis terbalalak. Ia lupa menyimpan pil itu.
“Ma … itu bukan punya Gendis,” sanggah Gendis dengan gemetar.
“Kalau bukan punya kamu, ya punya siapa lagi?” suara Dewi meninggi, matanya nyalang, penuh kekecewaan dan kemarahan yang ditahan terlalu lama.
Gendis menggigit bibirnya. Tangannya gemetar di atas pangkuan, tapi ia paksa tetap tenang. “Itu … itu kayaknya punya temenku yang keting—”
“Jangan bohong lagi, Gendis!” potong Dewi, suaranya bergetar. “Selama ini juga kamu yang kelihatan gak serius untuk punya anak, kan!”
“Ma, gak gitu … pil itu memang bukan punya Gendis,” lirih Gendis, ia semakin bingung dengan keadaan yang semakin runyam.
“Kamu jangan gitu lah, Dis. Kalau memang gak mau punya anak, ya jangan buat Raka dan kami jadi berharap. Lagian, buat apa juga menikah kalau bukan untuk punya keturunan?” sahut Candra yang telah berdiri di belakang Dewi dengan wajah kecewa.
“Tapi itu beneran bukan punya Gendis.”
Kali ini, air mata Gendis tidak bisa ditahan lagi. Namun, Dewi dan Candra seolah tidak peduli.
Suara notifikasi ponsel membuatnya tersadar lalu segera menyeka air mata yang luruh. Telepon dari Mamanya.
Ia mengangkat panggilan itu dengan sedikit rasa enggan.
“Halo, Ma.”
“Lagi apa Dis?”
Ada dehaman kecil sebelum berbicara. “Lagi ada mamanya Raka, ma.”
“Oh ya? Urusan apa? Bukan nanyain kamu kapan hamil kan?”
“Bukan mah.”
Ia berbohong. Namun firasat ibu tak pernah meleset.
“Gendis, kamu apa nggak kepikiran atau curiga begitu sama Raka?” tanya sang ibu, suaranya terdengar khawatir dari seberang.
“Dia kan jarang pulang, Mama kok mikirin yang aneh-aneh ya?” lanjutnya, menembakkan kekhawatiran seperti peluru.
“Maksudnya Mama? Gimana?” tanya Gendis, berusaha tenang sambil menyandarkan punggung di sandaran kasur.
“Ya aneh aja,” ucap sang ibu pelan tapi pasti. “Kalau dilihat secara fisik, dia gagah, sehat, kamu juga, tapi kok nggak juga punya anak? Tapi anehnya, saudara dia udah punya anak semua. Nggak mungkin, toh, dia mandul?”
Begitu mobil mertua melaju meninggalkan rumah, Gendis hanya menghela napas berat. Ia tertunduk lesu di ambang pintu, lalu menatap langit yang mulai gelap..
Baru saja ia hendak mencoba menghubungi salah seorang teman, ponselnya berbunyi dan terdapat nama Gina, sahabatnya yang muncul pada layar.
“Gendis! Sibuk nggak, sih?” ucap Gina dengan suara penuh keceriaan.
“Gina? Apa kabar? Lama banget nggak ketemu. Aku nggak sibuk, kok.”
“Iya, udah lama nggak ketemu. Aku tuh bisanya cuma liatin kegiatan kamu di I* aja. Ibu rumah tangga banget, ya, sekarang?”
“Iya, mau gimana lagi. Aku sejak resign kerja, jadinya mengabdi sama suami.”
“Tapi... kabar pernikahan kamu, baik-baik aja, kan?”
Pertanyaan Gina membuat Gendis terdiam sejenak. Ada jeda sunyi yang membuat suasana terasa berat.
“Gendis? Halo? Maaf kalau pertanyaan aku...”
“Nggak papa, Gina. Aku nggak marah, kok. Aku... aku butuh bantuan kamu,” ujarnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. "Aku mau cerita."
“Bantuan? Bantuan apa? Buruan cerita! Atau aku ke rumah kamu deh sekarang!” sahut Gina cepat, nada suaranya berubah jadi penuh kekhawatiran.
Mendengar itu, Gendis tampak bersemangat dan tak sabar. Ia segera meminta Gina dan beberapa teman lainnya untuk datang ke rumahnya—seolah ia butuh pelukan, tawa, dan pengalihan dari luka yang tak bisa ia bagi ke siapa pun, kecuali sahabat-sahabatnya.
“Pertama, dia tahu aku orang yang kepo sama urusan dia. Tapi itu dulu. Aku akui, dulu aku sepenasaran itu sama dia karena sesuatu hal. Kedua, dia tahu kamu anak IT, kamu nggak banyak temen, jadi kamu nggak bakal banyak omong sana-sini. Dan ketiga, dia tahu kalau tiga orang yang hilang dari kantor kita itu orang di bawah kendali aku—tim aku sendiri, dan mereka kenal dekat sama Raka,” ucap Angga pelan namun tegas, matanya menatap jalan tanpa berkedip. “Tapi... kamu ada urusan apa sama Pak Raka?” tanya Shasha penasaran, menoleh pada wajah Angga. “Saingan dapetin proyek dari kantor. Raka kalah, dia juga akhirnya dikeluarkan dari perusahaan. Dan kamu tahu, istri Pak Rain yang sekarang itu dulu adalah istrinya Raka,” ucap Angga, suaranya merendah tapi jelas, seolah mengingat sesuatu yang lebih kelam. “Hah? Jadi... beneran video itu emang sebelum mereka nikah?” tanya Shasha kaget, matanya membesar. “Kayak narasi di video itu, benar. Itu benar. Tapi sebenarnya bukan urusan kita, kan?
“Saya kasih waktu buat kalian mengakui kesalahan. Jam empat sore. Temui saya di apartemen!” ucap Rain dengan nada tegas, menatap ketiga orang itu tanpa ekspresi. “Baik, Pak!” sahut mereka serentak, lalu segera meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan tegang. Rain menarik napas pelan, lalu membuka kotak bekalnya. Dengan santai ia melangkah menuju coffee corner di lantai rooftop, tempat para staf biasanya menikmati makan siang sambil bercengkerama. Sesampainya di sana, ia duduk di salah satu meja dekat jendela besar yang menghadap ke arah kota, lalu menekan layar ponselnya. “Selamat makan, Sayang,” ucap Gendis ceria dari layar video call, memperlihatkan sepiring makan siang buatan sendiri. “Vitamin udah disiapin?” tanya Rain sambil mengunyah makanannya perlahan. “Udah dong...” jawab Gendis sambil tersenyum lembut, matanya berbinar penuh kasih. Rain tersenyum tipis. “Pintar istri aku,” ucapnya pelan, suaranya terdengar hangat namun ada sesuatu di balik ketenangannya. Di seke
“Sayang, kamu lihat berita di TV! Sekarang!” seru Gendis panik, nadanya meninggi. “Kenapa? Berita apa?” tanya Rain sambil menekan remote televisi. Tepat detik itu juga, berita mengenai hilangnya Raka muncul di layar—dalam pencarian polisi. Rain tersenyum tipis, tapi senyum itu cepat memudar. Matanya menajam penuh amarah ketika melihat Suzan tengah menangis sambil membuat laporan kehilangan. “Sayang, udah lihat kan?” tanya Gendis dari dapur, suaranya masih terdengar cemas. “Oh, iya... tapi apa hubungannya sama kita,” ucap Rain datar, senyum palsu masih menempel di bibirnya sementara jari-jarinya cepat mengetik pesan pada orang suruhannya. “Ya aneh aja sih... itu mantan istrinya yang melapor ke polisi. Terus, siapa juga sih yang mau nyulik dia? Ya kan, Sayang?” ucap Gendis sambil melirik oven, memastikan kuenya tidak gosong. “Iya juga... dia kan bukan orang penting atau pejabat. Ngapain juga sampai diheboh-hebohin begitu,” sahut Rain, suaranya tenang tapi matanya menyimpan s
“Kalau sampai ada berita acara pemanggilan saya di IDI karena MKEK, artinya kamu adalah orang yang harus bertanggung jawab atas hilangnya profesi saya sebagai psikolog reproduksi. Paham?” ucap Rain sambil tersenyum dingin menatap Angga. “Paham, Pak,” jawab Angga tegas, matanya menatap lurus tanpa gentar. “Mas...” bisik Shasha pelan, wajahnya tampak panik. Angga hanya mengeratkan genggamannya di tangan Shasha, memberi isyarat agar tenang. “Oke, silakan balik ke ruangan masing-masing,” ucap Rain santai, kembali duduk di kursi kerjanya seolah ancaman barusan hanyalah obrolan ringan. “Baik, Pak. Permisi,” ucap Angga sopan, lalu menuntun Shasha keluar dari ruangan mewah sang CEO. ••• Di luar ruangan. Udara di koridor terasa berat. Shasha menatap Angga yang berjalan di sampingnya. “Mas, kamu yakin bisa cari orang yang sebar video ini?” tanyanya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Yakin,” jawab Angga singkat namun mantap, tanpa menoleh. “Tapi... kamu nggak ada hubungannya
“Karena saya berhubungan seks sama Shasha di—” ucap Angga pelan, namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. “No!” sahut Rain cepat, nadanya tegas dan tajam hingga membuat ruangan seketika hening. Rain menatap Angga dalam-dalam. “Saya panggil kamu, terutama kamu, Angga... soal video.” Ucapannya disertai senyum sinis yang membuat Shasha menelan ludah. “Video? Tapi saya juga baru tahu pagi ini video itu, Pak,” ucap Angga, nadanya terdengar gugup, seolah mencoba meyakinkan. “Oh ya?” Rain memiringkan kepala, menatap Shasha dengan tatapan penuh selidik. “Kalau junior kamu ini?” “Saya tahu sejak kemarin, Pan...” jawab Shasha pelan sambil menunduk. Jemarinya masih terasa hangat di genggaman Angga, tapi genggaman itu kini terasa menekan, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. “Siapa yang kirim videonya?” tanya Rain kemudian, suaranya tenang tapi berbahaya. Ia beranjak dari kursinya, berjalan pelan menuju jendela besar, menatap pemandangan kota dari lantai atas dengan tangan
“Ahh... Mas... cepet... aku udah nggak kuat...” desah Shasha dengan mata terpejam, tangannya mencengkeram pundak Angga semakin erat. Shasha hampir kehilangan kendali. Tubuhnya berguncang, napasnya memburu, keringat mulai membasahi keningnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desah, tapi setiap kali Angga mendorong dari bawah, suara itu tetap lolos. “Aah... Mas... ini enak, Mas... aah...” Angga tersenyum, wajahnya penuh puas melihat juniornya hampir runtuh di pelukannya. ia menggendong Shasha dan menyandarkan tubuhnya pada tembok dingin toilet. “Tahan sedikit lagi, Sayang... biar kita keluar bareng...” bisiknya di telinga Shasha, lalu ia menggigit lembut daun telinganya. “Aahh... ah... ahhh...” Shasha hampir menjerit, tubuhnya melengkung ke depan saat hentakan Angga semakin cepat, semakin dalam. Bunyi basah terdengar makin jelas, bercampur dengan dentuman pelan dinding toilet yang mereka tabrak tanpa sadar. Shasha tak bisa lagi berpikir jernih. Pikirannya koson