Putri menajamkan pandangannya, melihat seseorang di kejauhan. Matanya membesar, napasnya tercekat. “Sayang!” ucap Putri sambil menepuk lengan suaminya yang tengah memilih barang. “Sayang… itu Raka, kan?” tanya Putri, suaranya bergetar di antara keterkejutan dan rasa tak percaya, matanya tak lepas menatap sosok yang pernah jadi sumber luka bagi sahabatnya. “Um? Kenapa?” sahut suaminya, keningnya berkerut. “Raka? Raka suaminya…” ucap suami Putri, matanya mengerjap tak percaya. “Iya, Gendis!” sahut Putri, nadanya meninggi penuh emosi. “Dan itu bukan Gendis! Itu perempuan lain!” seru Putri sambil berbisik cepat, pandangannya tajam, sementara panggilan video dengan teman-temannya masih aktif. “Kok…?” ucap suami Putri, wajahnya memucat antara bingung dan kaget. “Aku harus foto! Kalau perlu aku rekam!” ujar Putri dengan nada mantap, lalu segera mematikan panggilan telepon dan mengangkat ponselnya, siap membidik Raka dan Suzan. “Sayang, hati-hati… nanti jadi masalah,” ucap
“Aku takut nanti nama kamu jelek. Karier kamu sebagai Psykologi Reproduksi bisa rusak karena ini. Aku nggak mau,” ucap Gendis, menatap Rain dengan mata berkaca-kaca. “Terus, maunya kamu gimana?” tanya Rain, nada suaranya mulai meninggi, campuran frustrasi dan khawatir. “Aku mau… aku kembali ke rumah. Dan aku harus cari bukti lebih banyak lagi—lebih dari sekadar pesan dari wanita itu soal baju kemeja Mas Raka,” ucap Gendis, matanya kini dipenuhi tekad. “Saya nggak mau kamu balik ke sana,” potong Rain cepat, suaranya tajam penuh larangan. “Tapi harus, Mas… kalau nggak—” suara Gendis terhenti, seolah kata-kata selanjutnya terlalu berat untuk diucapkan. Udara di antara mereka pun mendadak terasa sesak. Rain menatapnya tajam, lalu dengan satu gerakan cepat memegang kedua pipi Gendis, memaksa perempuan itu menatap matanya. “Kamu pikir Saya bakal biarin kamu balik ke rumah itu?!” suaranya rendah tapi dinginnya menusuk, membuat jantung Gendis berdegup tak karuan. “Mas…” Gendis m
“Ah! Mas! Lebih keras!” Sementara di waktu yang sama, Raka tengah asyik bercinta dengan seorang wanita di dalam kamar tidurnya. Lebih gilanya lagi, ia melakukannya di rumah yang selama ini ia tempati bersama Gendis. “Kamu tahu kan, aku suka banget kalau kamu… terus menjerit kayak gini,” ucap Raka sambil tersenyum, tatapannya panas dan tak melepaskan genggamannya. “Iya, Mas… aku juga. Aku nggak bisa sehari aja tanpa kamu… ah… jangan berhenti, Mas…” “Aku nggak akan berhenti… sampai…” ucap Raka dengan nafas memburu, membiarkan kalimatnya menggantung di udara bersama desahan mereka. Usai hasrat itu tersalurkan, Raka memeluk wanita itu erat, lalu berbaring di sisinya. “Mas… apa kamu yakin dia terima aku?” tanya wanita itu lembut, matanya mencari kepastian di wajah Raka. “Dia harus terima kamu… karena kamu bagian hidup aku,” jawab Raka tegas, meski suaranya masih tersengal. “Tapi… Mama sama Papa bisa kan terima aku lagi?” suara wanita itu terdengar ragu, hampir berbisik. “Aku yakin
“Aku tahu siapa suami Gendis,” ucap Ardi pelan namun mantap. “Hah? Mas tahu dari mana? Mas… serius?” suara Wanda meninggi, matanya membelalak penuh penasaran. “Nanti kita bahas lagi. Sekarang kita keluar dari kamar, gabung sama mereka seperti biasa. Kamu jangan terlalu tunjukkin kalau kamu nggak suka sama mereka… supaya Mama sama Papa nggak mengurangi nilai harta warisan buat kita nanti,” ucap Ardi, menatap Wanda tajam seolah menanamkan strategi ke dalam pikirannya. Wanda mengangguk pelan, napasnya teratur kembali. Namun di balik sorot matanya, amarah dan ambisi itu masih menyala—membakar lebih besar dari sebelumnya. Ardi membuka pintu kamar perlahan, memastikan tidak ada yang memperhatikan. Wanda merapikan rambutnya di depan cermin kecil, menarik napas panjang, lalu memaksakan senyum manis di wajahnya. Begitu keluar, langkah mereka terasa ringan, namun di balik tatapan lembut itu tersimpan maksud tersembunyi. Di ruang keluarga, Rain dan Gendis sedang menata gelas serta pi
“Sebenarnya, Gendis sekarang ini… duh, aku takut salah ngomong. Biar ini jadi urusan aku aja sama Gendis, Ma. Mungkin ini waktunya aku perbaiki diri aku,” ucap Raka, seolah berusaha menahan luka yang semakin dalam. “Memangnya kalian berantem? Kok bisa Gendis nggak cerita sama Mama? Tolong kamu cari Gendis… dia harus pulang hari ini juga!” suara ibu mertuanya meninggi, penuh tekanan dan kegelisahan yang hampir meledak. “Jadi benar, kalian ada masalah?” tanya ibu mertuanya dengan suara bergetar, seperti seseorang yang baru saja menyadari badai besar tengah menghampiri keluarganya. “Mama tenang aja. Biar aku atasi semuanya. Maaf kalau aku ngerepotin Mama. Harusnya Mama nggak perlu tahu masalah aku,” ucap Raka, nadanya merendah namun sarat dengan kepura-puraan yang menusuk. Raka terlihat bahagia ketika semua permainan yang ia rancang kini mulai mendapatkan korban. ••• “Udah siap, Darmin?” tanya ayah Rain sambil mengenakan kacamata hitam dan bersiap pergi. “Sudah, Pak, Bu. Si
Tepat saat pertanyaan itu muncul, kopi yang Gendis buat sudah siap. Seolah seirama dengan panasnya minuman itu, jawabannya pun mengalir sama mantap. “Iya… saya istri orang,” ucapnya sambil menatap lurus ke mata Bik Sumi. “Hah?” Bik Sumi terperanjat, spontan menutup mulutnya rapat-rapat. “Kamu mau tahu suami saya yang mana?” tanya Gendis sambil menenteng gelas kopi itu, senyumnya samar namun tajam. “Yang mana, Mbak?” suara Bik Sumi bergetar, seolah tengah bersiap melihat hantu di siang bolong. “Mas… Sayang…” ucap Gendis sambil berbalik dan melangkah mendekati Rain. Rain menyambutnya tanpa ragu, melingkarkan tangan pada pinggul Gendis, seolah memberi tanda kepemilikan yang tak terbantahkan. “Ini kopinya,” ucap Gendis sambil tersenyum, meletakkan gelas di meja. “Terima kasih, Sayang…” balas Rain, matanya tak lepas dari wajah Gendis. Ia lalu meraih tangan Gendis dan menciumnya di hadapan seluruh keluarga, menegaskan bahwa wanita ini miliknya. Bik Sumi hanya mengangguk pe