Se connecter“Jadi, mereka sempat masuk ke sini? Bahaya,” ucap salah satu polisi pada rekannya, nadanya mengeras. “Apa perlu panggil tim?” tanya yang lain, waspada. “Nggak usah dulu. Sekarang periksa jejak kaki mereka sampai ke mana,” perintahnya cepat. “Siap, Pak,” sahut rekannya, lalu kembali menelusuri tanah basah di pekarangan. Sementara itu, polisi yang memimpin menoleh ke arah rumah Rain. Tatapannya berhenti pada deretan kamera pengawas yang terpasang di berbagai sudut. “Aku mau ke Pak Rain dulu. Rumah dia ini banyak kamera pengawas—lebih mirip penjara kelas kakap. Kamera hampir ada di tiap titik. Mustahil mereka nggak terekam,” ucapnya pelan, namun sarat keyakinan. Di kejauhan, Rain masih berdiri tenang. Senyumnya tak pudar sedikit pun. “Pak Rain, mohon izin,” ucap salah satu polisi dengan nada sopan namun serius. “Apa boleh saya memeriksa rekaman CCTV? Maksud saya, rekamannya.” Ia menunjuk lantai teras yang tampak bersih. “Kami melihat ada jejak kaki terduga pelaku—dua orang—
“Wah, bapaknya lucu,” ujar salah satu polisi sambil terkekeh kecil. “Jadi ngene loh, Pak… ini mohon maaf sebelumnya kalau mengganggu ketenangan keluarga. Anu… ada laporan kalau di perumahan elite ini kecolongan dua orang perampok—masih diduga loh ya, Pak, masih dugaan—karena mereka masuk ke kompleks ini, tapi kok ya ndak balik lagi.”“Iya, Pak,” sambung rekannya cepat, seolah takut kalimat itu terpotong. “Jadinya kami, selaku petugas kepolisian, harus turun tangan untuk mencari dua orang yang diduga sebagai penjahat, untuk—”“Memeriksa penjahat di rumah saya?” potong Rain sambil tersenyum tipis, nadanya tenang namun menusuk.“Wah, pinter bapaknya,” celetuk polisi pertama refleks.“Lho, kok bapaknya? Dianya toh yang pinter. Bapaknya kan nggak kita tanyai,” sahut rekannya sambil melotot.“Oalah, maaf loh… maksudnya ya gitu,” balas polisi pertama, kikuk.Rain tertawa pelan mendengar lelucon spontan dua polisi muda itu. Di balik senyumnya yang ramah, matanya tetap tenang—terlalu tenang un
“Kalian cari tahu! Cepat! Gue nggak mau nunggu lama! Bawa orang ini—hidup atau mati!” bentak Darmadi penuh amarah. Anak buahnya langsung berhamburan menuju ekspedisi, berusaha melacak siapa pengirim paket terkutuk itu. Di sisi lain, Ari memanfaatkan kekacauan tersebut untuk menemui Ega. Ia menyelip keluar gudang, membawa kabur ponsel milik salah satu rekannya demi menghubungi satu-satunya orang yang ia percaya. “Lo di mana?” tanyanya singkat, suaranya tertahan namun mendesak. “Gue lagi nganterin paket makanan. Kenapa, Lo?” tanya Ega sambil terus mengendarai motornya, menembus siang yang panas. “Gue butuh bantuan Lo. Temuin gue di Jalan Majapahit, deket penginapan Melati,” ucap Ari cepat, napasnya terdengar tidak stabil. “Lah, kok di sana? Kagak kejauhan?” Ega mengernyit, suaranya terdengar heran. “Ikutin aja, deh. Gue takut ada yang tahu. Gue sekarang lagi mau naik angkot!” balas Ari, nadanya menekan, seolah tak punya banyak waktu. “Oke. Gue anterin satu barang lagi, a
“Ada apa ya, Pak?” tanya Gendis sambil tersenyum, tetap menggendong Bima. Bocah itu pun ikut tersenyum ramah ke arah petugas keamanan.“Ah… maaf ganggu, Bu,” ucap satpam itu hati-hati. “Saya mau tanya, apa kemarin ada kurir yang datang ke rumah sini?”“Kurir?” Gendis mengulang pelan, alisnya sedikit terangkat. “Kayaknya nggak ada, deh. Saya juga belum belanja online, sudah hampir seminggu ini.”“Oh… gitu ya,” gumam satpam itu. Ia terlihat ragu, tangannya terangkat sebentar lalu turun lagi. “Hmm…”Raut wajahnya jelas kebingungan, seolah ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi masih ditahan. “Emangnya ada apa ya, Pak?” tanya Gendis, senyumnya masih terjaga. “Mau duduk dulu?”“Ah, nggak usah, Mbak, eh Bu,” ucap petugas itu sambil tersenyum, melirik Bima. “Jadi ngerepotin adik kecil ini.”“Nggak repot, kok,” jawab Gendis lembut. “Kayaknya ini penting. Masuk aja, duduk di teras, Pak.”Akhirnya mereka duduk di teras rumah. Petugas keamanan itu menarik napas sejenak, raut wajahnya berubah l
“Hubungi ekspedisi!” bentak Darmadi sambil menendang meja hingga bergeser keras. Wajahnya merah padam—kesal, marah, dan jelas merasa harga dirinya diinjak-injak. “Gue mau tahu siapa yang berani ganggu markas gue!”“Biadab,” geramnya lagi. “Siapa yang berani kirim kepala ini?” Suaranya bergetar oleh amarah.“Bos,” ucap salah satu anak buahnya ragu, “kemungkinan ini dari Psikolog itu.”“Ah, gue nggak percaya!” potong Darmadi keras. “Mana mungkin dia bisa bunuh dua orang kepercayaan gue—yang udah berpengalaman eksekusi target?” Ia tertawa sinis. “Dia orang biasa. Cuma psikolog reproduksi!”Di sudut ruangan, Ari menyunggingkan senyum tipis. Ia bersandar pada tembok, mengamati satu per satu wajah panik di sekelilingnya—mata yang gelisah, napas yang tak teratur.Darmadi berbalik tajam.“Tugas kalian, kubur kepala ini!” perintahnya tanpa kompromi. Lalu pandangannya mengunci Ari. “Dan kamu, Ari?”Ari menegakkan tubuh.“Kamu malam ini juga datang ke sana!” tegas Darmadi.Ari tak menjawab. Ia h
“Ini barang buat gue?” tanya Darmadi, sambil menepuk-nepuk permukaan dus, matanya menyipit penuh selidik. “Iya, Bos,” jawab salah satu anak buahnya cepat. “Beda sendiri. Kayaknya memang khusus.” “Mungkin bonus, Bos,” sahut yang lain sambil tertawa kecil. “Apalagi Bos kan udah banyak ngirim ‘paket’. Cuannya juga makin jadi aja.” “Iya, Bos,” timpal rekannya. “Berkat jaringan yang Bos kelola, penjualan makin naik.” Darmadi sontak tertawa puas. “Bisa aja lo pada,” ucapnya sambil mengibaskan tangan. “Ya udah, gue jadi penasaran sama paketan ini.” Darmadi mengelus sisi dus yang tebal itu. “Kayaknya barang mahal, nih. Dusnya aja beda… tebel banget,” katanya sambil terkekeh bahagia. Tawa Darmadi masih menggantung ketika ia meraih sebilah pisau tajam dari meja. Tanpa ragu, ujung pisau itu diarahkan ke dus—siap membelah hadiah yang pagi itu sama sekali belum ia pahami isinya. “Sayang, dia udah ambil pisau tuh…” ucap Gendis tak sabar. Ia segera duduk di atas pangkuan Rain, matany







