Compartir

422 - TERNYATA?

last update Última actualización: 2025-12-03 13:43:34

Rain spontan mengerutkan kening. “Ke rumah kalian?” tanyanya pelan, tubuhnya sedikit condong ke depan, memastikan ia tidak salah dengar.

“Iya, Mas…” ucap Yuda, napasnya terdengar berat. Ia menunduk, kedua tangannya gelisah memutar-mutar kaleng kopi yang mulai mengembun.

Rain menghela napas panjang. “Terus?” tanyanya, suaranya pelan tapi penuh kewaspadaan.

Yuda mengangkat wajahnya perlahan. “Dan dia… tiba-tiba nawarin aku buat handle perusahaan Om Brawijaya,” ucapnya lirih. Ada getir di ujung kalimatnya, seperti ia sendiri masih tidak percaya dengan apa yang baru saja ia alami.

Rain terdiam sejenak, sorot matanya membeku. Jemarinya berhenti mengusap sisi kaleng kopi, lalu ia menoleh penuh ke arah Yuda. Suasana ruang TV yang tadinya santai berubah tegang dalam sekejap, seakan suara AC pun ikut menahan napas.

Rain menarik napas pendek, suaranya terdengar mengencang. “Apa alasannya? Kamu nanya nggak ke Mama saya?” tanyanya, pandangannya tajam, penuh rasa ingin tahu sekaligus khawatir.
Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App
Capítulo bloqueado

Último capítulo

  • PELAN PELAN SAYANG   487. ARI DAN EGA BERTEMU! RAIN TENANG.

    Mendekati dua jam berada di dalam kediaman Rain, para polisi akhirnya menyerah karena tak menemukan petunjuk tambahan apa pun. “Pak, kalau nanti menemukan sesuatu yang mencurigakan, mohon segera hubungi kami berdua,” ucap salah satu polisi sambil mengenakan kembali topinya, tepat sebelum melangkah menuju mobil. Nada suaranya terdengar lelah, namun tetap profesional. “Kami kesulitan melacak ke mana arah mereka pergi.” “Siap, Pak,” jawab Rain mantap. Ia mengangguk pelan. “Saya harap… mereka bisa segera ditemukan.” Ada harap yang samar dalam suaranya, meski wajahnya tetap tenang. “Kalau begitu, terima kasih atas waktunya siang ini, Pak Rain,” lanjut polisi itu. “Dan terima kasih juga atas minumannya.” “Iya, Pak,” sahut rekannya sambil tersenyum lebar, memeluk dua toples kue kering pemberian Gendis erat-erat di dadanya. “Makanannya enak banget. Makasih banyak, ya.” “Masih banyak kalau mau nambah lagi,” ujar Rain sambil tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Wah, ngisini

  • PELAN PELAN SAYANG   486. POLISI DIBUAT BINGUNG OLEH RAIN

    “Jadi, mereka sempat masuk ke sini? Bahaya,” ucap salah satu polisi pada rekannya, nadanya mengeras. “Apa perlu panggil tim?” tanya yang lain, waspada. “Nggak usah dulu. Sekarang periksa jejak kaki mereka sampai ke mana,” perintahnya cepat. “Siap, Pak,” sahut rekannya, lalu kembali menelusuri tanah basah di pekarangan. Sementara itu, polisi yang memimpin menoleh ke arah rumah Rain. Tatapannya berhenti pada deretan kamera pengawas yang terpasang di berbagai sudut. “Aku mau ke Pak Rain dulu. Rumah dia ini banyak kamera pengawas—lebih mirip penjara kelas kakap. Kamera hampir ada di tiap titik. Mustahil mereka nggak terekam,” ucapnya pelan, namun sarat keyakinan. Di kejauhan, Rain masih berdiri tenang. Senyumnya tak pudar sedikit pun. “Pak Rain, mohon izin,” ucap salah satu polisi dengan nada sopan namun serius. “Apa boleh saya memeriksa rekaman CCTV? Maksud saya, rekamannya.” Ia menunjuk lantai teras yang tampak bersih. “Kami melihat ada jejak kaki terduga pelaku—dua orang—

  • PELAN PELAN SAYANG   485. JEJAK KAKI DIPEKARANGAN BELAKANG. RAIN KETAHUAN?

    “Wah, bapaknya lucu,” ujar salah satu polisi sambil terkekeh kecil. “Jadi ngene loh, Pak… ini mohon maaf sebelumnya kalau mengganggu ketenangan keluarga. Anu… ada laporan kalau di perumahan elite ini kecolongan dua orang perampok—masih diduga loh ya, Pak, masih dugaan—karena mereka masuk ke kompleks ini, tapi kok ya ndak balik lagi.”“Iya, Pak,” sambung rekannya cepat, seolah takut kalimat itu terpotong. “Jadinya kami, selaku petugas kepolisian, harus turun tangan untuk mencari dua orang yang diduga sebagai penjahat, untuk—”“Memeriksa penjahat di rumah saya?” potong Rain sambil tersenyum tipis, nadanya tenang namun menusuk.“Wah, pinter bapaknya,” celetuk polisi pertama refleks.“Lho, kok bapaknya? Dianya toh yang pinter. Bapaknya kan nggak kita tanyai,” sahut rekannya sambil melotot.“Oalah, maaf loh… maksudnya ya gitu,” balas polisi pertama, kikuk.Rain tertawa pelan mendengar lelucon spontan dua polisi muda itu. Di balik senyumnya yang ramah, matanya tetap tenang—terlalu tenang un

  • PELAN PELAN SAYANG   484. DUA POLISI DATANG. RAIN DIBUAT TERTAWA!

    “Kalian cari tahu! Cepat! Gue nggak mau nunggu lama! Bawa orang ini—hidup atau mati!” bentak Darmadi penuh amarah. Anak buahnya langsung berhamburan menuju ekspedisi, berusaha melacak siapa pengirim paket terkutuk itu. Di sisi lain, Ari memanfaatkan kekacauan tersebut untuk menemui Ega. Ia menyelip keluar gudang, membawa kabur ponsel milik salah satu rekannya demi menghubungi satu-satunya orang yang ia percaya. “Lo di mana?” tanyanya singkat, suaranya tertahan namun mendesak. “Gue lagi nganterin paket makanan. Kenapa, Lo?” tanya Ega sambil terus mengendarai motornya, menembus siang yang panas. “Gue butuh bantuan Lo. Temuin gue di Jalan Majapahit, deket penginapan Melati,” ucap Ari cepat, napasnya terdengar tidak stabil. “Lah, kok di sana? Kagak kejauhan?” Ega mengernyit, suaranya terdengar heran. “Ikutin aja, deh. Gue takut ada yang tahu. Gue sekarang lagi mau naik angkot!” balas Ari, nadanya menekan, seolah tak punya banyak waktu. “Oke. Gue anterin satu barang lagi, a

  • PELAN PELAN SAYANG   483. PANIK?

    “Ada apa ya, Pak?” tanya Gendis sambil tersenyum, tetap menggendong Bima. Bocah itu pun ikut tersenyum ramah ke arah petugas keamanan.“Ah… maaf ganggu, Bu,” ucap satpam itu hati-hati. “Saya mau tanya, apa kemarin ada kurir yang datang ke rumah sini?”“Kurir?” Gendis mengulang pelan, alisnya sedikit terangkat. “Kayaknya nggak ada, deh. Saya juga belum belanja online, sudah hampir seminggu ini.”“Oh… gitu ya,” gumam satpam itu. Ia terlihat ragu, tangannya terangkat sebentar lalu turun lagi. “Hmm…”Raut wajahnya jelas kebingungan, seolah ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi masih ditahan. “Emangnya ada apa ya, Pak?” tanya Gendis, senyumnya masih terjaga. “Mau duduk dulu?”“Ah, nggak usah, Mbak, eh Bu,” ucap petugas itu sambil tersenyum, melirik Bima. “Jadi ngerepotin adik kecil ini.”“Nggak repot, kok,” jawab Gendis lembut. “Kayaknya ini penting. Masuk aja, duduk di teras, Pak.”Akhirnya mereka duduk di teras rumah. Petugas keamanan itu menarik napas sejenak, raut wajahnya berubah l

  • PELAN PELAN SAYANG   482. RUMAH RAIN DIDATANGI PETUGAS KEAMANAN KOMPLEK

    “Hubungi ekspedisi!” bentak Darmadi sambil menendang meja hingga bergeser keras. Wajahnya merah padam—kesal, marah, dan jelas merasa harga dirinya diinjak-injak. “Gue mau tahu siapa yang berani ganggu markas gue!”“Biadab,” geramnya lagi. “Siapa yang berani kirim kepala ini?” Suaranya bergetar oleh amarah.“Bos,” ucap salah satu anak buahnya ragu, “kemungkinan ini dari Psikolog itu.”“Ah, gue nggak percaya!” potong Darmadi keras. “Mana mungkin dia bisa bunuh dua orang kepercayaan gue—yang udah berpengalaman eksekusi target?” Ia tertawa sinis. “Dia orang biasa. Cuma psikolog reproduksi!”Di sudut ruangan, Ari menyunggingkan senyum tipis. Ia bersandar pada tembok, mengamati satu per satu wajah panik di sekelilingnya—mata yang gelisah, napas yang tak teratur.Darmadi berbalik tajam.“Tugas kalian, kubur kepala ini!” perintahnya tanpa kompromi. Lalu pandangannya mengunci Ari. “Dan kamu, Ari?”Ari menegakkan tubuh.“Kamu malam ini juga datang ke sana!” tegas Darmadi.Ari tak menjawab. Ia h

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status