“Kamu tahu kan, kalau ejakulasi di luar, apalagi yang cuma ditampung pakai tisu, nggak akan ada gunanya kalau tujuan kamu hamil.”
Gendis menatapnya lama. Matanya berkedip pelan. “Tapi... dia bilang, tetep bisa. Karena kan udah deket. Maksudnya... sisa-sisanya...” suaranya melemah. Rain menggeleng ringan, suaranya tetap tenang. “Sperma itu sensitif. Begitu keluar dari suhu tubuh, apalagi kena udara dan kering, mereka mati dalam hitungan menit. Bahkan detik.” Gendis membuang pandang ke luar jendela. Wajahnya kini nyaris sepenuhnya merah. “Jadi... harus di dalam?” bisiknya nyaris tak terdengar. Rain tertawa pelan, bukan mengejek—lebih seperti geli sendiri mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir sepolos Gendis. “Ya. Dan bukan sekadar ‘di dalam’. Harus cukup dalam, cukup hangat, dan... cukup nyaman.” Kalimat terakhir itu keluar dengan jeda yang sangat disengaja. Gendis menelan ludah. “Kenapa... harus nyaman?” “Karena tubuh perempuan tahu kapan dia merasa terancam. Kalau kamu tegang, atau merasa takut, otot-otot kamu menolak. Rahimmu bisa menutup. Kamu bisa sakit. Dan secara hormonal, pembuahan jadi lebih sulit.” Gendis hanya mengangguk, tanpa berani bicara. Hening beberapa detik. “Makanya saya bilang tadi, kalau saya jadi suami kamu... saya nggak mau buru-buru. Saya pastikan kamu siap dulu. Nyaman dulu. Baru mulai. Atau....” “Atau apa, Mas?” tanya Gendis yang tampak antusias. “Mau saya kasih contoh, langsung?” ucap Rian sambil menatap Gendis. “Contoh seperti apa, Mas?” tanya Gendis yang tampak bingung. “Saya sama kamu, ngelakuin itu,” ucap Rain sambil tersenyum menatap Gendis. “Mas…” suara Gendis nyaris tercekat. “Jangan bercanda kayak gitu.” “Hahaha, becanda kok. Eh tapi kalau kamu serius, ya... saya bisa bantu secara medis,” kata Rain, kini dengan ekspresi profesional, namun ada sedikit senyum geli di matanya. Gendis meliriknya cepat, “Mas bercanda lagi ya?” “Nggak. Saya Psykolog Reproduksi, remember? Tapi... serius, suami kamu tahu kamu ikut program ini?” Gendis menggeleng pelan. “Dia ke luar kota. Aku bilang aku cuma kontrol biasa.” Jemarinya mengusap lengannya sendiri, resah. Gendis menatap nanar handphonenya saat teman-temannya mengabari pulang lebih dulu. “Kamu butuh ditemani pulang?” tanya Rain seolah tau. “Nggak usah, Mas. Nanti aku naik ojek online aja atau temen aku mungkin masih di parkiran,” sahut Gendis cepat. Rain menggeleng pelan. “Saya anterin. Kamu habis konseling, emosinya pasti capek. Nggak apa-apa.” Gendis tampak ragu. “Tapi—” “Tenang, saya nggak akan macem-macem. Ini cuma tanggung jawab saya sebagai dokter pribadi kamu. Oke?” Gendis akhirnya mengangguk. Saat mereka berjalan keluar menuju parkiran pribadi dokter, Rain meliriknya lagi, “Kamu bilang ke temen kamu, ya? Biar dia nggak khawatir.” “Iya, Mas. Aku chat dia sekarang.” Gendis mengetik cepat di ponselnya. Saat mobil melaju keluar dari klinik, Rain bertanya, “Mau makan dulu? Wajah kamu kelihatan pucat. Mau cari yang anget-anget?” “Makan?” Gendis mengernyit. “Iya. Santai aja. Ini bagian dari proses healing juga. Kalau kamu stress, itu bakal ngaruh ke hormon. Trust me,” kata Rain sambil tersenyum. Dalam perjalanan, mereka berbincang pelan. “Saya bukan mau ikut campur. Tapi pola itu bisa jadi indikasi masalah psikologis juga. Apa kamu pernah coba terapi pasangan?” Gendis menggeleng. “Dia nggak mau. Katanya aku aja yang terlalu lebay.” “Kamu nggak lebay. Kamu perempuan yang pengen punya anak. Itu naluriah.” suara Rain pelan tapi tegas. Gendis terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa didengar. “Mas ada istri?” tanyanya akhirnya. Rain tersenyum samar. “Ada. Tapi... saya nggak akan bahas itu sekarang. Karena malam ini, saya fokus ke kamu.” Gendis tak menjawab. Hatinya hangat, tapi juga bingung. “Kalau saya jadi suami kamu, saya pastikan kamu nggak pernah merasa sendirian kayak tadi,” ucap Rain pelan. “Tapi ya... saya cuma dokter kamu. Bukan siapa-siapa.” Gendis mencubit pelan lengan bajunya sendiri. "Tapi kalau saya jadi suami kamu sih.... saya mau tiap hari." Gendis terbatuk saat mendengar ucapan Rain. “Kamu sering ke sini atau belum pernah?” tanya Rain sambil menatap Gendis. Ia mengalihkan pembicaraan. “Terakhir tahun lalu, Mas. Bukan di sini sih, tapi di tempat lain,” ucap Gendis, sambil menunduk menatap jari manisnya. “Kenapa?” tanya Rain pelan. “Suami aku sibuk, Mas. Dia... dia jarang pulang,” ucap Gendis dengan napas yang terasa sesak. “Gimana mau punya anak kalau dia aja jarang pulang?” ucap Gendis, suaranya mulai gemetar. “Nggak juga,” ucap Rain, lirih. “Maksudnya Mas?” “Ada yang ketemu suami setahun cuma beberapa kali, bisa hamil dan melahirkan anak lebih dari dua,” ucap Rain menatapnya serius. “Um, iya sih, Mas. Aku malu konsultasi kayak gini. Ini semua karena Dian dan temen aku lainnya yang ngajak aku... sampai akhirnya ketemu sama Mas,” ucap Gendis, sambil tersenyum tipis menatap Rain. Kemudian, ia kembali menundukkan wajahnya, menahan rasa campur aduk. “Andai kamu hamil, apa suami kamu happy?” tanya Rain pelan, suaranya nyaris berbisik. “Semoga aja, Mas...” “Kok semoga?” “Karena... karena ini kasusnya beda, Mas. Mas terbiasa menghadapi sepasang suami-istri yang berkonsultasi karena sama-sama menginginkan anak. Tapi aku...” “Tapi kamu sendiri yang mau punya anak, dan suami kamu nggak mau?” ucap Rain, menebak dengan lembut. Gendis mengangguk pelan sambil menahan air matanya yang hampir jatuh. “Nangis aja, nggak masalah,” ucap Rain setengah berbisik, matanya berkaca-kaca. “Maaf, Mas...” “Nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah... suami kamu yang aneh,” ucap Rain sambil menahan amarah. “Aku pernah periksa sendiri ke dokter kandungan.” “Periksa kesuburan?” ucap Rain, menebak. “Iya, Mas. Tapi kata dokter aku harus bawa pasangan aku. Sementara suami aku...” Gendis menunduk, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Air matanya jatuh, diam-diam. “Sabar, ya. Saya janji, bakal temenin kamu,” ucap Rain dengan suara lembut, tulus dari hatinya. Gendis mengangguk pelan, masih dengan mata basah, Tak lama kemudian, makanan pesanan mereka tiba di atas meja. Aroma hangat menyatu dengan suasana hati yang mulai luluh oleh empati dan kehadiran yang nyata. “Ini masih panas,” ucap Rain, lalu segera memotong daging ayam untuk Gendis. “Um?” Gendis terkejut melihat perlakuan Rain yang terasa begitu hangat dan tidak biasa.“Pertama, dia tahu aku orang yang kepo sama urusan dia. Tapi itu dulu. Aku akui, dulu aku sepenasaran itu sama dia karena sesuatu hal. Kedua, dia tahu kamu anak IT, kamu nggak banyak temen, jadi kamu nggak bakal banyak omong sana-sini. Dan ketiga, dia tahu kalau tiga orang yang hilang dari kantor kita itu orang di bawah kendali aku—tim aku sendiri, dan mereka kenal dekat sama Raka,” ucap Angga pelan namun tegas, matanya menatap jalan tanpa berkedip. “Tapi... kamu ada urusan apa sama Pak Raka?” tanya Shasha penasaran, menoleh pada wajah Angga. “Saingan dapetin proyek dari kantor. Raka kalah, dia juga akhirnya dikeluarkan dari perusahaan. Dan kamu tahu, istri Pak Rain yang sekarang itu dulu adalah istrinya Raka,” ucap Angga, suaranya merendah tapi jelas, seolah mengingat sesuatu yang lebih kelam. “Hah? Jadi... beneran video itu emang sebelum mereka nikah?” tanya Shasha kaget, matanya membesar. “Kayak narasi di video itu, benar. Itu benar. Tapi sebenarnya bukan urusan kita, kan?
“Saya kasih waktu buat kalian mengakui kesalahan. Jam empat sore. Temui saya di apartemen!” ucap Rain dengan nada tegas, menatap ketiga orang itu tanpa ekspresi. “Baik, Pak!” sahut mereka serentak, lalu segera meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan tegang. Rain menarik napas pelan, lalu membuka kotak bekalnya. Dengan santai ia melangkah menuju coffee corner di lantai rooftop, tempat para staf biasanya menikmati makan siang sambil bercengkerama. Sesampainya di sana, ia duduk di salah satu meja dekat jendela besar yang menghadap ke arah kota, lalu menekan layar ponselnya. “Selamat makan, Sayang,” ucap Gendis ceria dari layar video call, memperlihatkan sepiring makan siang buatan sendiri. “Vitamin udah disiapin?” tanya Rain sambil mengunyah makanannya perlahan. “Udah dong...” jawab Gendis sambil tersenyum lembut, matanya berbinar penuh kasih. Rain tersenyum tipis. “Pintar istri aku,” ucapnya pelan, suaranya terdengar hangat namun ada sesuatu di balik ketenangannya. Di seke
“Sayang, kamu lihat berita di TV! Sekarang!” seru Gendis panik, nadanya meninggi. “Kenapa? Berita apa?” tanya Rain sambil menekan remote televisi. Tepat detik itu juga, berita mengenai hilangnya Raka muncul di layar—dalam pencarian polisi. Rain tersenyum tipis, tapi senyum itu cepat memudar. Matanya menajam penuh amarah ketika melihat Suzan tengah menangis sambil membuat laporan kehilangan. “Sayang, udah lihat kan?” tanya Gendis dari dapur, suaranya masih terdengar cemas. “Oh, iya... tapi apa hubungannya sama kita,” ucap Rain datar, senyum palsu masih menempel di bibirnya sementara jari-jarinya cepat mengetik pesan pada orang suruhannya. “Ya aneh aja sih... itu mantan istrinya yang melapor ke polisi. Terus, siapa juga sih yang mau nyulik dia? Ya kan, Sayang?” ucap Gendis sambil melirik oven, memastikan kuenya tidak gosong. “Iya juga... dia kan bukan orang penting atau pejabat. Ngapain juga sampai diheboh-hebohin begitu,” sahut Rain, suaranya tenang tapi matanya menyimpan s
“Kalau sampai ada berita acara pemanggilan saya di IDI karena MKEK, artinya kamu adalah orang yang harus bertanggung jawab atas hilangnya profesi saya sebagai psikolog reproduksi. Paham?” ucap Rain sambil tersenyum dingin menatap Angga. “Paham, Pak,” jawab Angga tegas, matanya menatap lurus tanpa gentar. “Mas...” bisik Shasha pelan, wajahnya tampak panik. Angga hanya mengeratkan genggamannya di tangan Shasha, memberi isyarat agar tenang. “Oke, silakan balik ke ruangan masing-masing,” ucap Rain santai, kembali duduk di kursi kerjanya seolah ancaman barusan hanyalah obrolan ringan. “Baik, Pak. Permisi,” ucap Angga sopan, lalu menuntun Shasha keluar dari ruangan mewah sang CEO. ••• Di luar ruangan. Udara di koridor terasa berat. Shasha menatap Angga yang berjalan di sampingnya. “Mas, kamu yakin bisa cari orang yang sebar video ini?” tanyanya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Yakin,” jawab Angga singkat namun mantap, tanpa menoleh. “Tapi... kamu nggak ada hubungannya
“Karena saya berhubungan seks sama Shasha di—” ucap Angga pelan, namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. “No!” sahut Rain cepat, nadanya tegas dan tajam hingga membuat ruangan seketika hening. Rain menatap Angga dalam-dalam. “Saya panggil kamu, terutama kamu, Angga... soal video.” Ucapannya disertai senyum sinis yang membuat Shasha menelan ludah. “Video? Tapi saya juga baru tahu pagi ini video itu, Pak,” ucap Angga, nadanya terdengar gugup, seolah mencoba meyakinkan. “Oh ya?” Rain memiringkan kepala, menatap Shasha dengan tatapan penuh selidik. “Kalau junior kamu ini?” “Saya tahu sejak kemarin, Pan...” jawab Shasha pelan sambil menunduk. Jemarinya masih terasa hangat di genggaman Angga, tapi genggaman itu kini terasa menekan, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. “Siapa yang kirim videonya?” tanya Rain kemudian, suaranya tenang tapi berbahaya. Ia beranjak dari kursinya, berjalan pelan menuju jendela besar, menatap pemandangan kota dari lantai atas dengan tangan
“Ahh... Mas... cepet... aku udah nggak kuat...” desah Shasha dengan mata terpejam, tangannya mencengkeram pundak Angga semakin erat. Shasha hampir kehilangan kendali. Tubuhnya berguncang, napasnya memburu, keringat mulai membasahi keningnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desah, tapi setiap kali Angga mendorong dari bawah, suara itu tetap lolos. “Aah... Mas... ini enak, Mas... aah...” Angga tersenyum, wajahnya penuh puas melihat juniornya hampir runtuh di pelukannya. ia menggendong Shasha dan menyandarkan tubuhnya pada tembok dingin toilet. “Tahan sedikit lagi, Sayang... biar kita keluar bareng...” bisiknya di telinga Shasha, lalu ia menggigit lembut daun telinganya. “Aahh... ah... ahhh...” Shasha hampir menjerit, tubuhnya melengkung ke depan saat hentakan Angga semakin cepat, semakin dalam. Bunyi basah terdengar makin jelas, bercampur dengan dentuman pelan dinding toilet yang mereka tabrak tanpa sadar. Shasha tak bisa lagi berpikir jernih. Pikirannya koson