Home / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 5 - SAYA SAMA KAMU MELAKUKAN ITU

Share

5 - SAYA SAMA KAMU MELAKUKAN ITU

last update Last Updated: 2025-07-02 16:26:35

“Kamu tahu kan, kalau ejakulasi di luar, apalagi yang cuma ditampung pakai tisu, nggak akan ada gunanya kalau tujuan kamu hamil.”

Gendis menatapnya lama. Matanya berkedip pelan. “Tapi... dia bilang, tetep bisa. Karena kan udah deket. Maksudnya... sisa-sisanya...” suaranya melemah.

Rain menggeleng ringan, suaranya tetap tenang. “Sperma itu sensitif. Begitu keluar dari suhu tubuh, apalagi kena udara dan kering, mereka mati dalam hitungan menit. Bahkan detik.”

Gendis membuang pandang ke luar jendela. Wajahnya kini nyaris sepenuhnya merah.

“Jadi... harus di dalam?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Rain tertawa pelan, bukan mengejek—lebih seperti geli sendiri mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir sepolos Gendis.

“Ya. Dan bukan sekadar ‘di dalam’. Harus cukup dalam, cukup hangat, dan... cukup nyaman.” Kalimat terakhir itu keluar dengan jeda yang sangat disengaja.

Gendis menelan ludah. “Kenapa... harus nyaman?”

“Karena tubuh perempuan tahu kapan dia merasa terancam. Kalau kamu tegang, atau merasa takut, otot-otot kamu menolak. Rahimmu bisa menutup. Kamu bisa sakit. Dan secara hormonal, pembuahan jadi lebih sulit.”

Gendis hanya mengangguk, tanpa berani bicara.

Hening beberapa detik.

“Makanya saya bilang tadi, kalau saya jadi suami kamu... saya nggak mau buru-buru. Saya pastikan kamu siap dulu. Nyaman dulu. Baru mulai. Atau....”

“Atau apa, Mas?” tanya Gendis yang tampak antusias.

“Mau saya kasih contoh, langsung?” ucap Rian sambil menatap Gendis.

“Contoh seperti apa, Mas?” tanya Gendis yang tampak bingung.

“Saya sama kamu, ngelakuin itu,” ucap Rain sambil tersenyum menatap Gendis.

“Mas…” suara Gendis nyaris tercekat. “Jangan bercanda kayak gitu.”

“Hahaha, becanda kok. Eh tapi kalau kamu serius, ya... saya bisa bantu secara medis,” kata Rain, kini dengan ekspresi profesional, namun ada sedikit senyum geli di matanya.

Gendis meliriknya cepat, “Mas bercanda lagi ya?”

“Nggak. Saya Psykolog Reproduksi, remember? Tapi... serius, suami kamu tahu kamu ikut program ini?”

Gendis menggeleng pelan. “Dia ke luar kota. Aku bilang aku cuma kontrol biasa.” Jemarinya mengusap lengannya sendiri, resah.

Gendis menatap nanar handphonenya saat teman-temannya mengabari pulang lebih dulu.

“Kamu butuh ditemani pulang?” tanya Rain seolah tau.

“Nggak usah, Mas. Nanti aku naik ojek online aja atau temen aku mungkin masih di parkiran,” sahut Gendis cepat.

Rain menggeleng pelan. “Saya anterin. Kamu habis konseling, emosinya pasti capek. Nggak apa-apa.”

Gendis tampak ragu. “Tapi—”

“Tenang, saya nggak akan macem-macem. Ini cuma tanggung jawab saya sebagai dokter pribadi kamu. Oke?”

Gendis akhirnya mengangguk. Saat mereka berjalan keluar menuju parkiran pribadi dokter, Rain meliriknya lagi, “Kamu bilang ke temen kamu, ya? Biar dia nggak khawatir.”

“Iya, Mas. Aku chat dia sekarang.” Gendis mengetik cepat di ponselnya.

Saat mobil melaju keluar dari klinik, Rain bertanya, “Mau makan dulu? Wajah kamu kelihatan pucat. Mau cari yang anget-anget?”

“Makan?” Gendis mengernyit.

“Iya. Santai aja. Ini bagian dari proses healing juga. Kalau kamu stress, itu bakal ngaruh ke hormon. Trust me,” kata Rain sambil tersenyum.

Dalam perjalanan, mereka berbincang pelan.

“Saya bukan mau ikut campur. Tapi pola itu bisa jadi indikasi masalah psikologis juga. Apa kamu pernah coba terapi pasangan?”

Gendis menggeleng. “Dia nggak mau. Katanya aku aja yang terlalu lebay.”

“Kamu nggak lebay. Kamu perempuan yang pengen punya anak. Itu naluriah.” suara Rain pelan tapi tegas.

Gendis terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasa didengar.

“Mas ada istri?” tanyanya akhirnya.

Rain tersenyum samar. “Ada. Tapi... saya nggak akan bahas itu sekarang. Karena malam ini, saya fokus ke kamu.”

Gendis tak menjawab. Hatinya hangat, tapi juga bingung.

“Kalau saya jadi suami kamu, saya pastikan kamu nggak pernah merasa sendirian kayak tadi,” ucap Rain pelan. “Tapi ya... saya cuma dokter kamu. Bukan siapa-siapa.”

Gendis mencubit pelan lengan bajunya sendiri.

"Tapi kalau saya jadi suami kamu sih.... saya mau tiap hari."

Gendis terbatuk saat mendengar ucapan Rain.

“Kamu sering ke sini atau belum pernah?” tanya Rain sambil menatap Gendis. Ia mengalihkan pembicaraan.

“Terakhir tahun lalu, Mas. Bukan di sini sih, tapi di tempat lain,” ucap Gendis, sambil menunduk menatap jari manisnya.

“Kenapa?” tanya Rain pelan.

“Suami aku sibuk, Mas. Dia... dia jarang pulang,” ucap Gendis dengan napas yang terasa sesak.

“Gimana mau punya anak kalau dia aja jarang pulang?” ucap Gendis, suaranya mulai gemetar.

“Nggak juga,” ucap Rain, lirih.

“Maksudnya Mas?”

“Ada yang ketemu suami setahun cuma beberapa kali, bisa hamil dan melahirkan anak lebih dari dua,” ucap Rain menatapnya serius.

“Um, iya sih, Mas. Aku malu konsultasi kayak gini. Ini semua karena Dian dan temen aku lainnya yang ngajak aku... sampai akhirnya ketemu sama Mas,” ucap Gendis, sambil tersenyum tipis menatap Rain. Kemudian, ia kembali menundukkan wajahnya, menahan rasa campur aduk.

“Andai kamu hamil, apa suami kamu happy?” tanya Rain pelan, suaranya nyaris berbisik.

“Semoga aja, Mas...”

“Kok semoga?”

“Karena... karena ini kasusnya beda, Mas. Mas terbiasa menghadapi sepasang suami-istri yang berkonsultasi karena sama-sama menginginkan anak. Tapi aku...”

“Tapi kamu sendiri yang mau punya anak, dan suami kamu nggak mau?” ucap Rain, menebak dengan lembut.

Gendis mengangguk pelan sambil menahan air matanya yang hampir jatuh.

“Nangis aja, nggak masalah,” ucap Rain setengah berbisik, matanya berkaca-kaca.

“Maaf, Mas...”

“Nggak perlu minta maaf. Kamu nggak salah... suami kamu yang aneh,” ucap Rain sambil menahan amarah.

“Aku pernah periksa sendiri ke dokter kandungan.”

“Periksa kesuburan?” ucap Rain, menebak.

“Iya, Mas. Tapi kata dokter aku harus bawa pasangan aku. Sementara suami aku...” Gendis menunduk, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Air matanya jatuh, diam-diam.

“Sabar, ya. Saya janji, bakal temenin kamu,” ucap Rain dengan suara lembut, tulus dari hatinya.

Gendis mengangguk pelan, masih dengan mata basah,

Tak lama kemudian, makanan pesanan mereka tiba di atas meja. Aroma hangat menyatu dengan suasana hati yang mulai luluh oleh empati dan kehadiran yang nyata.

“Ini masih panas,” ucap Rain, lalu segera memotong daging ayam untuk Gendis.

“Um?” Gendis terkejut melihat perlakuan Rain yang terasa begitu hangat dan tidak biasa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (6)
goodnovel comment avatar
Nezunez
konsultannya wkwk
goodnovel comment avatar
Dara Tresna Anjasmara
terimakasih kakak
goodnovel comment avatar
Dara Tresna Anjasmara
sebenarnya ada, tapi psikolog nya rada gila
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PELAN PELAN SAYANG   378 - ADAM TAKUT GENDIS MENGETAHUI SEMUANYA DARI RAIN.

    “Sayang, nggak ada yang perlu kamu khawatirin dari semua ini. Saya udah janji sama kamu, semua yang saya lakukan kamu harus tahu. Dan saya pegang omongan ini sampai mati,” ucap Rain penuh ketulusan, menatap istrinya seolah ingin memastikan ia merasa aman. “Iya deh…” ujar Gendis pelan sambil mengangguk. Ia berusaha tenang, meskipun ada sesuatu yang jelas masih mengganjal di hatinya. Tak terasa, mobil mereka berhenti di kediaman keluarga Rain. “Wah… ke sini juga,” ucap Ibu Rain begitu melihat Gendis berjalan ke arahnya. “Iya dong, Mama. Obatnya udah sampai, kan?” tanya Gendis sambil memeluk ibu mertuanya hangat. “Udah dong… makasih banget, kamu perhatian sama Mama,” ucap Ibu Rain sambil melirik Rain yang sedang meletakkan kue dalam kotak hitam di atas meja makan. “Rain, bawa apa tuh?” tanya ibunya lagi, penasaran. “Kue, Ma. Kebetulan beli banyak. Aku kan stok makanan terus di rumah, dan ini aku bawa sebagian buat Mama juga,” jawab Gendis sebelum Rain membuka mulut. Ia duduk di si

  • PELAN PELAN SAYANG   377 - ADAM MEMBUAT GENDIS PANIK

    “Teman? Teman kantor? Klien?” tanya Gendis sambil mengerutkan dahi, matanya menatap Rain penuh curiga yang sulit ia sembunyikan. “Teman lama saya,” ucap Rain pelan sambil mengangguk. Tangannya terulur mengusap perut istrinya, mencoba menenangkan suasana. “Nggak jauh dari rumah Mama.” “Mendadak banget?” Gendis menatapnya lebih dalam, rasa tidak nyaman mulai muncul di wajahnya. “Kamu nggak sembunyiin sesuatu dari aku kan, Sayang?” “Nggak ada, Sayang…” Rain tersenyum kecil, tapi sorot matanya terlihat sedikit gelisah. “Emang saya udah lama nggak ketemu. Dia baru balik dari LA.” “Perempuan?” tanya Gendis lagi, suaranya merendah, mengandung kecemasan yang tidak bisa ia tutupi. “Laki-laki…” ucap Rain sambil menarik napas pelan, berusaha meredam ketegangan di antara mereka. “Ada masalah?” tanya Gendis pelan, matanya masih meneliti ekspresi suaminya. “Nggak ada. Cuma mau ketemu doang… Beneran,” ucap Rain sambil mencoba tersenyum. Ia meraih tangan Gendis lembut. “Kamu mau ikut? A

  • PELAN PELAN SAYANG   376 - TEMAN LAMA?

    “Kok mirip Pak Kevin?” ucap Angga pelan. Nada suaranya merendah, seperti baru saja menyadari sesuatu yang tidak ia inginkan. “Tuh kan? Makanya pas aku liat ini tuh kayak… siapa gitu.” Shasha mengembuskan napas gelisah. “Dan ini kan videonya dua malam lalu, aku ambil dari rekaman CCTV. Ngapain coba dia ke rumah kita dan liatin kayak gitu? Ya kan?” ucapnya, jelas terdengar tidak nyaman. “Tapi masalahnya, apa dia tahu itu rumah kita?” tanya Angga, alisnya mengerut, pikiran mulai bergerak liar. “Makanya itu, Sayang.” Shasha mengusap lengannya sendiri, tubuhnya merinding. “Selain Pak Rain sama istrinya, sisanya cuma Mama Papa kita. Nggak ada yang lain. Temen kantor? Mereka bahkan belum tahu rumah kita sampai sekarang.” Sore itu, benak Angga penuh tanya. Jantungnya berdegup cepat, membayangkan Kevin berdiri diam di depan rumahnya pada jam malam—seakan membawa sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar rasa ingin tahu. Tiba di sebuah restoran, Angga menggandeng tangan Shasha sam

  • PELAN PELAN SAYANG   375 - VIDEO SESEORANG

    “Saya ngerasa, nggak ada yang aneh sih,” ucap Rain dengan tenang. Ia bahkan tidak menoleh, hanya memindahkan kursor di layar laptop sambil menghela napas pendek. “Polanya itu, Pak. Koper semua,” ucap Angga, nadanya lebih serius, alisnya mengerut. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, gelisah. “Kamu tuh masih kebawa suasana yang kemarin,” ucap Rain sambil tertawa kecil lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Senyumnya tipis, tapi matanya tetap jernih dan tenang. “Iya kali, ya. Kangen juga sih… seru gitu kita malam-malam keluar rumah ninggalin istri,” ucap Angga sambil tertawa, meski fokusnya tetap pada layar laptop. Gendis yang baru melintas dari arah kamar menuju ruang makan, menggeleng pelan sambil tertawa kecil mendengar ucapan mereka. Perut besarnya ikut bergerak saat ia menahan tawa, tatapannya hangat pada dua orang yang sedang bekerja itu. “Besok saya ke kantor, tapi cuma sebentar aja. Nggak bisa lama-lama ninggalin Gendis,” ucap Rain sambil menoleh sekilas pada istrinya, senyum

  • PELAN PELAN SAYANG   374 - JASAD SIAPA?

    “Jadi gangguan orgasme bisa memengaruhi kondisi mental, karena pengidapnya dapat merasa sedih atau tertekan secara emosional akibat tidak bisa mencapai orgasme. Makanya saya sarankan Ibu dan Pak Wilman…” ucap Rain lembut, berusaha menjaga nada empatinya saat memberikan konseling kepada pasangan yang mengalami hambatan dalam hubungan seksual hingga mempersulit proses pembuahan. Setelah memberikan solusi dan memastikan keduanya memahami arahan, Rain menutup sesi itu dengan senyum menenangkan. Hatinya sedikit berat—ia tahu masalah seperti itu bukan perkara mudah bagi pasien mana pun. Usai sesi konseling, Rain mengemasi berkas-berkasnya dan bersiap pulang ke apartemen. “Jalan kaki lagi toh, Mas…” sapa seorang petugas parkir di coffee shop dekat apartemen, senyumnya lebar penuh keramahan. “Olahraga, Pak. Udah makan siang?” tanya Rain sambil tersenyum. Ia merogoh saku celananya dan menyelipkan selembar uang ke tangan petugas itu. “Oalah, malah dikasih duit? Repot-repot e, Mas. Suw

  • PELAN PELAN SAYANG   373 - PERMINTAAN IBU RAIN

    “Rain, kapan kalian pindah ke sini? Mama kesepian, loh…” ucap ibunya dalam percakapan telepon pagi itu. “Nanti ya, Ma… Sekarang Rain lagi banyak kerjaan. Gendis juga mau persiapan lahiran bulan depan,” ucap Rain sambil tetap mengetik di depan laptop. Sesekali ia melirik Gendis yang sibuk menggoda dirinya dari sofa. Senyumnya melebar melihat tingkah istrinya. “Tapi… dia mau, kan, tinggal sama Mama?” tanya ibunya lagi, suaranya terdengar lebih menuntut. “Hm… ya nanti kita bicarakan lagi, ya, Ma,” ucap Rain sambil menarik napas gelisah. “Kamu kan suaminya, kepala rumah tangga. Kamu bujuk dong dia, biar dia mau,” ucap ibunya sambil menyiram tanaman bunga di pekarangan belakang rumahnya. Rain terdiam. Suara air yang tercurah di seberang telepon terdengar seperti tekanan yang menghantam dada. Tatapannya beralih pada Gendis—perempuan yang kini menjadi pusat dunianya—lalu kembali menatap layar laptop yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung beban pikirannya. Di ujung t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status