“Kamu juga harus banyak makan daging sapi,” ucap Rain sambil meletakkan potongan daging ayam di atas piring Gendis, diikuti beberapa potong daging sapi dan sayuran yang ditata rapi. Sentuhan perhatian itu membuat suasana makan malam terasa lebih dari sekadar makan biasa.
“Ayo, dimakan. Udah nggak panas lagi kok,” ucap Rain sambil tersenyum hangat, lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri seolah ingin memberi contoh. Ada ketulusan yang diam-diam menenangkan hati Gendis. Gendis mengangguk pelan, lalu membalas senyuman itu dengan lembut. Ia menyantap makanan yang kini hanya terasa hangat kuku. “Um... Enak ya, Mas,” ucap Gendis sambil mengunyah perlahan. Lidahnya bisa saja menilai, tapi hatinya yang justru lebih dulu menerima kelezatan itu. “Selain jadi ahli psikologi reproduksi, Mas ada kerjaan lain?” tanya Gendis sambil meneguk air mineral. “Um, ada,” ucap Rain singkat. “Kerjaan apa?” tanya Gendis lagi, matanya menatap penuh rasa ingin tahu. “Kuli bangunan,” ucap Rain sambil tersenyum datar. “Bangunan perusahaan orang tua saya,” lanjutnya. “Hah? CEO?” Gendis menatap Rain dengan dahi mengernyit, matanya membulat penuh keterkejutan. “Bukan. Saya cuma chief di perusahaan orang tua saya,” jawab Rain sambil tersenyum tipis. “Perusahaan apa, Mas?” Ia menatap Rain dengan campuran takjub dan bingung. Lelaki di depannya ini terlalu sederhana untuk ukuran CEO. Tapi justru kesederhanaannya itu yang membuatnya nyaman. “Brawijaya Construction Corp.” Gendis tergelak. Ia mengerjap. Ia sangat tak asing dengan nama perusahaan itu. “Gawat...” ucap Gendis dalam hatinya kala mengetahui sesuatu yang menurutnya tidak aman. “Kamu sendiri, sibuk apa, Gendis?” tanya Rain kemudian, suaranya kembali lembut, seolah ingin menyentuh sisi terdalam dari perempuan di depannya. “Di rumah aja, Mas,” ucap Gendis pelan, hampir seperti bisikan. “Nggak kerja.” “Bagus dong,” sahut Rain cepat. “Saya suka perempuan yang banyak di rumah. Apalagi... istrinya kayak kamu.” Gendis tertawa kecil. “Masnya jangan godain aku terus.” “Gapapa. Saya godain kamu terus... supaya kamu jadi janda,” ucap Rain tenang, senyum miring muncul di bibirnya. Gendis terdiam, menatap Rain beberapa detik. Lalu keduanya tertawa bersamaan. Tawa yang meletup begitu saja, ringan dan hangat, menyapu udara malam yang dingin. Rain meneguk air mineral dari gelas mug, lalu meletakkannya kembali ke meja. Hujan masih turun rintik-rintik ketika Rain membukakan pintu mobil untuk Gendis. “Besok kamu masih mau datang konsultasi?” tanyanya pelan, tak menatap langsung saat masuk mobil. Gendis menunduk, menyembunyikan senyum kecilnya yang berulang kali muncul tanpa sadar. “Jadi... besok kamu mau ke tempat kerja saya atau kamu mau konsultasi di tempat lain?” tanya Rain sekali lagi, menoleh singkat ke arah Gendis. “Aku ke tempat Mas kerja aja. Atau Mas ada jadwal sama pasien lain?” tanya Gendis sambil menyandarkan kepala di jok kursi. “Nggak ada. besok jadwal jhusus kamu,” ucap Rain dengan nada menggoda. Sontak senyum malu-malu merekah di wajah Gendis. “Mas, kamu becandain aku terus...” ucap Gendis sambil menahan tawa. “Tapi beneran nggak ada. Kecuali lusa. Beneran, Gendis...” ucap Rain, kali ini serius sambil menahan tawa. Matanya menatap Gendis sejenak, teduh. “Jam sepuluh aku ke sana deh, Mas,” ucap Gendis akhirnya, lirih namun mantap, seolah ada harapan baru tumbuh di dalam dadanya. “Saya yang jemput, boleh?” tanya Rain dengan suara berat dan dalam. “Um, gimana Mas?” ucap Gendis yang tampak terkejut dengan tawaran itu. “Kalau kamu berubah pikiran... saya jemput kamu buat konsultasi, dan saya doain kamu jadi janda,” kata Rain sambil menoleh, setengah bercanda tapi serius di dalam matanya. “Ih, kok jahat sih, Mas...” ucap Gendis yang tampak terkejut, namun matanya berbinar geli. “Saya terpaksa ke dukun, nih,” ucap Rain santai, pura-pura pasrah. “Ke dukun? Buat apa, Mas?” tanya Gendis dengan dahi mengernyit, penasaran campur geli. “Biar kamu jadi janda beneran,” jawab Rain sambil tersenyum lebar, menatap Gendis dengan pandangan penuh godaan dan harap. Gendis terkekeh. “Mas, kamu lucu... maaf... hahaha...” ujarnya tak bisa menahan tawa, dadanya terasa hangat. “Udah lucu... tapi ditolak, percuma,” timpal Rain sambil ikut tertawa kecil, menyembunyikan sedikit kecewa di balik tawanya. ••• Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti tepat di depan rumah Gendis. “Saya bukain pintunya ya, tunggu,” ucap Rain sambil melepas sabuk pengamannya, gerak-geriknya penuh perhatian. “Iya, Mas...” jawab Gendis, mengangguk pelan, hatinya berdebar tak tentu. Rain turun dan segera membukakan pintu mobil untuk Gendis. Hujan masih turun rintik-rintik, udara dingin menyapu permukaan kulit. “Terima kasih, Mas. Hati-hati ya,” ucap Gendis sambil menoleh, matanya menatap Rain lebih lama dari biasanya. “Saya nggak ditahan dulu nih?” goda Rain, sambil menyandarkan satu tangan di atap mobil, menatapnya nakal. “Ditahan? Maksudnya?” Gendis bingung, lalu menutup mulutnya dengan tangan, menyadari maksud candaan itu. “Oh... maaf, Mas. Mas mau masuk?” “Mau banget lah. Haus lagi, dari tadi ngobrol aja, nggak ditawarin minum,” jawab Rain santai, matanya jenaka dan penuh keakraban. “Hahaha... oke. Ya udah, tapi di teras samping aja ya, Mas. Maaf, lewat pintu garasi, nggak papa ya, Mas,” ucap Gendis sambil tersipu. “Nggak papa, kok,” angguk Rain cepat, seperti anak kecil yang baru diizinkan masuk taman bermain. Gendis berjalan lebih dulu, sementara Rain mengikuti di belakang. Senyumnya belum juga hilang sejak dari dalam mobil. Duduklah mereka di samping rumah, tepat di atas ayunan kayu besar yang memiliki penutup bagian atas. Hujan rintik-rintik mengiringi, tak menghalangi percakapan mereka. “Minum, Mas...” ucap Gendis, menyodorkan segelas air mineral, tangannya sedikit gemetar karena udara dingin dan rasa malu. “Terima kasih,” ucap Rain, menerimanya dengan senyum tenang, tulus dan nyaman. Sesaat, mereka terdiam. Hanya suara hujan yang terdengar, menimpa atap genteng dan dedaunan. “Mas, duduk di sini nggak papa ya,” bisik Gendis, sambil melirik sekeliling, memastikan suasana tetap aman. “Kalau kamu bolehin di dalam, aku masuk,” ucap Rain, sambil menaikkan alis, setengah bercanda namun sorot matanya dalam. “Kok gitu, ah? Mas, kamu dari tadi deh becanda terus...” ucap Gendis sambil tersipu. "Aku nggak bisa berhenti becandain kamu," ucap Rain dengan senyuman nakal. Gendis tertegun sebentar. Matanya membulat bingung, sedikit gugup menatap wajah Rain yang sedari tadi berbicara dengan penuh ekspresi. Rain menatapnya dalam, kalau kembali berucap, “kalau di dalam, nggak papa kan?”Dalam perjalanan, Rain berkendara sambil mendengarkan musik slow. Sesekali ia melirik jam tangannya, lalu menekan pedal gas lebih dalam dengan harapan cepat bertemu Gendis. Sementara itu, Gendis tengah merapikan ruang TV, membuang sampah, dan mencuci gelas serta piring. Rambutnya dikuncir asal, dan celemek lusuh melingkari pinggangnya. Tiba-tiba saja, pelukan hangat sekaligus nakal melingkari tubuhnya dari belakang. “Eh! Mas… aku kira siapa…” ucap Gendis kaget, namun tak mampu menyembunyikan senyum bahagia yang terbit di wajahnya. “Saya kangen…” bisik Rain dengan napas berat dan suara serak, bibirnya menelusuri leher Gendis, menciuminya lembut namun menuntut. “Sebentar lagi, Mas… aku kerjain tugas aku dulu di rumah,” ucap Gendis sambil tetap cekatan mencuci piring, meski setiap sentuhan tangan Rain di dadanya membuat tubuhnya bergetar. “Kamu nggak usah pulang lagi ke sini… sama saya saja, ya,” desis Rain, matanya tajam menatap leher Gendis yang memerah. “Mas, nggak mungk
“Kalian?” ucap ibu mertuanya, nyaris menjatuhkan gelas berisi teh hangat yang dipegangnya. “Ma… maksudnya bukan itu, Ma. Mas?” ucap Gendis terbata, memohon agar Rain segera menarik ucapannya. “Panggilan sayang itu memang harus, Bu, Pak. Saya ini kan Psikolog Reproduksi, jadi sama pasien yang mengalami masalah, saya harus sayang sama mereka. Kalau nggak sayang, bagaimana saya bisa paham kondisi pasien? Kan begitu…” ucap Rain sambil tersenyum—senyum yang justru terasa seperti permainan berbahaya di hadapan orang tua Raka. “Oh, benar juga, Ma. Masa sama pasien nggak sayang, kan aneh juga, ya? Hahaha…” ucap ayah mertuanya sambil tertawa, meski matanya masih sedikit meneliti Rain. “Iya sih… aneh, tapi… ya masuk akal,” sahut ibu mertuanya, menahan senyum yang setengah ragu. Gendis berusaha ikut tertawa, tapi tatapannya justru terikat pada Rain. Lelaki itu duduk santai, menyandarkan tubuh, seolah baru saja memenangkan pertarungan yang tak terlihat oleh mata orang lain. Menjelang
Gendis meremas ujung rok yang ia kenakan saat detik-detik ucapan Rain meluncur di hadapan orang tua Raka, siang menjelang sore itu. “Menantu Ibu dan Bapak mengalami sedikit kendala… terutama masalah hubungan seks, kesulitan untuk mendapatkan momongan, ragam kecemasan, dan juga beberapa masalah yang selama ini dia pendam sendiri,” ucap Rain dengan nada tenang, namun setiap katanya terasa seperti pukulan di dada Gendis. “Hah? Maksudnya dia dan suaminya ada masalah?” tanya ibu mertuanya, kening berkerut dan tatapan tajamnya langsung menghujam Gendis. “Seharusnya saya nggak boleh memberikan informasi mengenai kondisi psikis pasien saya… kecuali atas izin Gendis sendiri,” ucap Rain sambil menatap Gendis, seolah menantang wanita itu untuk menolak. “Gendis? Nggak masalah dong Mama sama Papa tahu kondisi kalian berdua?” ucap ayah mertuanya, nada suaranya setengah memaksa, setengah khawatir. “Um… iya, Pa. Biar Mas Rain yang menjelaskan semuanya,” ucap Gendis lirih, suaranya nyaris te
Ketegangan kini terjadi pada Rain dan Gendis. Saat tiba di depan pekarangan rumah Gendis dan Raka, Rain tidak serta-merta pergi dari sana. Tampak mobil milik mertuanya sudah terparkir di depan rumah Gendis dan Raka. “Mas, baiknya Mas langsung pulang. Aku nggak mungkin terang-terangan kasih lihat Mas sama mertua aku,” ucap Gendis dengan nada memohon, sorot matanya penuh cemas saat baru saja hendak keluar dari mobil Rain. “Kenapa? Kan bagus kalau mereka tahu,” balas Rain santai, seolah menganggap remeh kekhawatiran Gendis. “Nggak bisa gitu, Mas. Karir kamu gimana? Kamu psikolog, kamu juga dikenal banyak orang, dan kalau—” “Kamu bisa diem nggak?” potong Rain dengan suara pelan namun menusuk, membuat dada Gendis terasa sesak. “Saya bukain pintu buat kamu, dan saya anterin kamu sampai ke pintu rumah kamu. Saya nggak peduli,” ucap Rain tegas, tatapannya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ta-tapi, Mas...” suara Gendis bergetar, nyaris putus di ujung kalimat. Rain segera kelua
“Mas, kamu marah, ya?” ucap Gendis pelan saat Rain baru saja memasangkan sabuk pengaman untuknya. Lelaki itu tak membalas, hanya segera mengemudikan mobil keluar dari area parkir apartemen. Rain tetap diam, tatapannya lurus ke depan, fokus pada jalan. Gendis meliriknya sebentar, lalu memalingkan wajah ke arah jendela, memperhatikan keramaian kota siang itu. Namun, tanpa berkata apa-apa, tangan Rain bergerak mencari tangan Gendis. Ia menggenggamnya erat, hangat. “Um?” Gendis menoleh, menatap lelaki itu—dingin di wajah, tapi hangat di sentuhan. “Mas…” ucapnya lirih, seperti ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Rain memutar setir, lalu menepi di depan sebuah toko makanan. “Tunggu di sini,” ujarnya singkat setelah memarkirkan mobil, lalu mengecup kening Gendis dengan cepat—seolah ingin menghapus kerenggangan yang tadi tercipta—sebelum melangkah masuk ke toko. “Iya, Mas,” balas Gendis sambil mengangguk pelan, meski bibirnya tak mampu menahan seulas senyum
“Mas, apa ini nggak terlalu cepat? Status aku masih istrinya Raka,” ucap Gendis sambil menatap Rain yang memeluk dirinya dari belakang, ada ragu sekaligus hangat di matanya. “Kenalan dulu kan nggak papa, Sayang,” jawab Rain seolah tanpa beban, seakan masalah moral itu hanya angin lalu. “Mas, kamu gila. Masa aku yang statusnya istri orang, bawa kamu ke Mama sama Papa aku dan kenalin kamu?” ucap Gendis sambil menahan tawa dan menepuk pipi Rain, setengah gemas, setengah protes. “Saya kan memang gila, Sayang,” balas Rain sambil tersenyum tipis, lalu memeluk Gendis lebih erat. Bibir dan lidahnya menjelajah leher hingga pipi Gendis, sengaja meninggalkan jejak basah di kulitnya. “Mas… geli,” ucap Gendis sambil tersenyum, tubuhnya menggeliat kecil, mencoba menahan tawa namun wajahnya memerah oleh sensasi. Di tengah keintiman itu, ponsel yang khusus digunakan Rain untuk pasien dan urusan bisnis berbunyi nyaring, memecah momen. “Mas… telepon tuh.” “Nggak. Saya nggak mau terima tel