Beranda / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 6 - DI DALAM BOLEH?

Share

6 - DI DALAM BOLEH?

last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-02 16:27:04

“Kamu juga harus banyak makan daging sapi,” ucap Rain sambil meletakkan potongan daging ayam di atas piring Gendis, diikuti beberapa potong daging sapi dan sayuran yang ditata rapi. Sentuhan perhatian itu membuat suasana makan malam terasa lebih dari sekadar makan biasa.

“Ayo, dimakan. Udah nggak panas lagi kok,” ucap Rain sambil tersenyum hangat, lalu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri seolah ingin memberi contoh. Ada ketulusan yang diam-diam menenangkan hati Gendis.

Gendis mengangguk pelan, lalu membalas senyuman itu dengan lembut. Ia menyantap makanan yang kini hanya terasa hangat kuku.

“Um... Enak ya, Mas,” ucap Gendis sambil mengunyah perlahan. Lidahnya bisa saja menilai, tapi hatinya yang justru lebih dulu menerima kelezatan itu. “Selain jadi ahli psikologi reproduksi, Mas ada kerjaan lain?” tanya Gendis sambil meneguk air mineral.

“Um, ada,” ucap Rain singkat.

“Kerjaan apa?” tanya Gendis lagi, matanya menatap penuh rasa ingin tahu.

“Kuli bangunan,” ucap Rain sambil tersenyum datar. “Bangunan perusahaan orang tua saya,” lanjutnya.

“Hah? CEO?” Gendis menatap Rain dengan dahi mengernyit, matanya membulat penuh keterkejutan.

“Bukan. Saya cuma chief di perusahaan orang tua saya,” jawab Rain sambil tersenyum tipis.

“Perusahaan apa, Mas?”

Ia menatap Rain dengan campuran takjub dan bingung. Lelaki di depannya ini terlalu sederhana untuk ukuran CEO. Tapi justru kesederhanaannya itu yang membuatnya nyaman.

“Brawijaya Construction Corp.”

Gendis tergelak. Ia mengerjap. Ia sangat tak asing dengan nama perusahaan itu.

“Gawat...” ucap Gendis dalam hatinya kala mengetahui sesuatu yang menurutnya tidak aman.

“Kamu sendiri, sibuk apa, Gendis?” tanya Rain kemudian, suaranya kembali lembut, seolah ingin menyentuh sisi terdalam dari perempuan di depannya.

“Di rumah aja, Mas,” ucap Gendis pelan, hampir seperti bisikan. “Nggak kerja.”

“Bagus dong,” sahut Rain cepat. “Saya suka perempuan yang banyak di rumah. Apalagi... istrinya kayak kamu.”

Gendis tertawa kecil. “Masnya jangan godain aku terus.”

“Gapapa. Saya godain kamu terus... supaya kamu jadi janda,” ucap Rain tenang, senyum miring muncul di bibirnya.

Gendis terdiam, menatap Rain beberapa detik. Lalu keduanya tertawa bersamaan. Tawa yang meletup begitu saja, ringan dan hangat, menyapu udara malam yang dingin.

Rain meneguk air mineral dari gelas mug, lalu meletakkannya kembali ke meja. Hujan masih turun rintik-rintik ketika Rain membukakan pintu mobil untuk Gendis.

“Besok kamu masih mau datang konsultasi?” tanyanya pelan, tak menatap langsung saat masuk mobil.

Gendis menunduk, menyembunyikan senyum kecilnya yang berulang kali muncul tanpa sadar.

“Jadi... besok kamu mau ke tempat kerja saya atau kamu mau konsultasi di tempat lain?” tanya Rain sekali lagi, menoleh singkat ke arah Gendis.

“Aku ke tempat Mas kerja aja. Atau Mas ada jadwal sama pasien lain?” tanya Gendis sambil menyandarkan kepala di jok kursi.

“Nggak ada. besok jadwal khusus kamu,” ucap Rain dengan nada menggoda.

Sontak senyum malu-malu merekah di wajah Gendis.

“Mas, kamu becandain aku terus...” ucap Gendis sambil menahan tawa.

“Tapi beneran nggak ada. Kecuali lusa. Beneran, Gendis...” ucap Rain, kali ini serius sambil menahan tawa.

Matanya menatap Gendis sejenak, teduh.

“Jam sepuluh aku ke sana deh, Mas,” ucap Gendis akhirnya, lirih namun mantap, seolah ada harapan baru tumbuh di dalam dadanya.

“Saya yang jemput, boleh?” tanya Rain dengan suara berat dan dalam.

“Um, gimana Mas?” ucap Gendis yang tampak terkejut dengan tawaran itu.

“Kalau kamu berubah pikiran... saya jemput kamu buat konsultasi, dan saya doain kamu jadi janda,” kata Rain sambil menoleh, setengah bercanda tapi serius di dalam matanya.

“Ih, kok jahat sih, Mas...” ucap Gendis yang tampak terkejut, namun matanya berbinar geli.

“Saya terpaksa ke dukun, nih,” ucap Rain santai, pura-pura pasrah.

“Ke dukun? Buat apa, Mas?” tanya Gendis dengan dahi mengernyit, penasaran campur geli.

“Biar kamu jadi janda beneran,” jawab Rain sambil tersenyum lebar, menatap Gendis dengan pandangan penuh godaan dan harap.

Gendis terkekeh. “Mas, kamu lucu... maaf... hahaha...” ujarnya tak bisa menahan tawa, dadanya terasa hangat.

“Udah lucu... tapi ditolak, percuma,” timpal Rain sambil ikut tertawa kecil, menyembunyikan sedikit kecewa di balik tawanya.

•••

Beberapa menit kemudian, mobil mereka berhenti tepat di depan rumah Gendis.

“Saya bukain pintunya ya, tunggu,” ucap Rain sambil melepas sabuk pengamannya, gerak-geriknya penuh perhatian.

“Iya, Mas...” jawab Gendis, mengangguk pelan, hatinya berdebar tak tentu.

Rain turun dan segera membukakan pintu mobil untuk Gendis. Hujan masih turun rintik-rintik, udara dingin menyapu permukaan kulit.

“Terima kasih, Mas. Hati-hati ya,” ucap Gendis sambil menoleh, matanya menatap Rain lebih lama dari biasanya.

“Saya nggak ditahan dulu nih?” goda Rain, sambil menyandarkan satu tangan di atap mobil, menatapnya nakal.

“Ditahan? Maksudnya?” Gendis bingung, lalu menutup mulutnya dengan tangan, menyadari maksud candaan itu. “Oh... maaf, Mas. Mas mau masuk?”

“Mau banget lah. Haus lagi, dari tadi ngobrol aja, nggak ditawarin minum,” jawab Rain santai, matanya jenaka dan penuh keakraban.

“Hahaha... oke. Ya udah, tapi di teras samping aja ya, Mas. Maaf, lewat pintu garasi, nggak papa ya, Mas,” ucap Gendis sambil tersipu.

“Nggak papa, kok,” angguk Rain cepat, seperti anak kecil yang baru diizinkan masuk taman bermain.

Gendis berjalan lebih dulu, sementara Rain mengikuti di belakang. Senyumnya belum juga hilang sejak dari dalam mobil.

Duduklah mereka di samping rumah, tepat di atas ayunan kayu besar yang memiliki penutup bagian atas. Hujan rintik-rintik mengiringi, tak menghalangi percakapan mereka.

“Minum, Mas...” ucap Gendis, menyodorkan segelas air mineral, tangannya sedikit gemetar karena udara dingin dan rasa malu.

“Terima kasih,” ucap Rain, menerimanya dengan senyum tenang, tulus dan nyaman.

Sesaat, mereka terdiam. Hanya suara hujan yang terdengar, menimpa atap genteng dan dedaunan.

“Mas, duduk di sini nggak papa ya,” bisik Gendis, sambil melirik sekeliling, memastikan suasana tetap aman.

“Kalau kamu bolehin di dalam, aku masuk,” ucap Rain, sambil menaikkan alis, setengah bercanda namun sorot matanya dalam.

“Kok gitu, ah? Mas, kamu dari tadi deh becanda terus...” ucap Gendis sambil tersipu.

"Aku nggak bisa berhenti becandain kamu," ucap Rain dengan senyuman nakal.

Gendis tertegun sebentar. Matanya membulat bingung, sedikit gugup menatap wajah Rain yang sedari tadi berbicara dengan penuh ekspresi.

Rain menatapnya dalam, kalau kembali berucap, “kalau di dalam, nggak papa kan?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PELAN PELAN SAYANG    187 - PELAKU PENEBAR VIDEO

    “Pertama, dia tahu aku orang yang kepo sama urusan dia. Tapi itu dulu. Aku akui, dulu aku sepenasaran itu sama dia karena sesuatu hal. Kedua, dia tahu kamu anak IT, kamu nggak banyak temen, jadi kamu nggak bakal banyak omong sana-sini. Dan ketiga, dia tahu kalau tiga orang yang hilang dari kantor kita itu orang di bawah kendali aku—tim aku sendiri, dan mereka kenal dekat sama Raka,” ucap Angga pelan namun tegas, matanya menatap jalan tanpa berkedip. “Tapi... kamu ada urusan apa sama Pak Raka?” tanya Shasha penasaran, menoleh pada wajah Angga. “Saingan dapetin proyek dari kantor. Raka kalah, dia juga akhirnya dikeluarkan dari perusahaan. Dan kamu tahu, istri Pak Rain yang sekarang itu dulu adalah istrinya Raka,” ucap Angga, suaranya merendah tapi jelas, seolah mengingat sesuatu yang lebih kelam. “Hah? Jadi... beneran video itu emang sebelum mereka nikah?” tanya Shasha kaget, matanya membesar. “Kayak narasi di video itu, benar. Itu benar. Tapi sebenarnya bukan urusan kita, kan?

  • PELAN PELAN SAYANG    186 - RAIN MENCURIGAI ADANYA PENGKHIANAT

    “Saya kasih waktu buat kalian mengakui kesalahan. Jam empat sore. Temui saya di apartemen!” ucap Rain dengan nada tegas, menatap ketiga orang itu tanpa ekspresi. “Baik, Pak!” sahut mereka serentak, lalu segera meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan tegang. Rain menarik napas pelan, lalu membuka kotak bekalnya. Dengan santai ia melangkah menuju coffee corner di lantai rooftop, tempat para staf biasanya menikmati makan siang sambil bercengkerama. Sesampainya di sana, ia duduk di salah satu meja dekat jendela besar yang menghadap ke arah kota, lalu menekan layar ponselnya. “Selamat makan, Sayang,” ucap Gendis ceria dari layar video call, memperlihatkan sepiring makan siang buatan sendiri. “Vitamin udah disiapin?” tanya Rain sambil mengunyah makanannya perlahan. “Udah dong...” jawab Gendis sambil tersenyum lembut, matanya berbinar penuh kasih. Rain tersenyum tipis. “Pintar istri aku,” ucapnya pelan, suaranya terdengar hangat namun ada sesuatu di balik ketenangannya. Di seke

  • PELAN PELAN SAYANG    185 - RAIN MARAH, KETIKA TAHU SUZAN MELAPORKAN KEJADIAN MALAM ITU

    “Sayang, kamu lihat berita di TV! Sekarang!” seru Gendis panik, nadanya meninggi. “Kenapa? Berita apa?” tanya Rain sambil menekan remote televisi. Tepat detik itu juga, berita mengenai hilangnya Raka muncul di layar—dalam pencarian polisi. Rain tersenyum tipis, tapi senyum itu cepat memudar. Matanya menajam penuh amarah ketika melihat Suzan tengah menangis sambil membuat laporan kehilangan. “Sayang, udah lihat kan?” tanya Gendis dari dapur, suaranya masih terdengar cemas. “Oh, iya... tapi apa hubungannya sama kita,” ucap Rain datar, senyum palsu masih menempel di bibirnya sementara jari-jarinya cepat mengetik pesan pada orang suruhannya. “Ya aneh aja sih... itu mantan istrinya yang melapor ke polisi. Terus, siapa juga sih yang mau nyulik dia? Ya kan, Sayang?” ucap Gendis sambil melirik oven, memastikan kuenya tidak gosong. “Iya juga... dia kan bukan orang penting atau pejabat. Ngapain juga sampai diheboh-hebohin begitu,” sahut Rain, suaranya tenang tapi matanya menyimpan s

  • PELAN PELAN SAYANG    184 - GENDIS TAK SENGAJA MENGETAHUI BERITA ORANG HILANG.

    “Kalau sampai ada berita acara pemanggilan saya di IDI karena MKEK, artinya kamu adalah orang yang harus bertanggung jawab atas hilangnya profesi saya sebagai psikolog reproduksi. Paham?” ucap Rain sambil tersenyum dingin menatap Angga. “Paham, Pak,” jawab Angga tegas, matanya menatap lurus tanpa gentar. “Mas...” bisik Shasha pelan, wajahnya tampak panik. Angga hanya mengeratkan genggamannya di tangan Shasha, memberi isyarat agar tenang. “Oke, silakan balik ke ruangan masing-masing,” ucap Rain santai, kembali duduk di kursi kerjanya seolah ancaman barusan hanyalah obrolan ringan. “Baik, Pak. Permisi,” ucap Angga sopan, lalu menuntun Shasha keluar dari ruangan mewah sang CEO. ••• Di luar ruangan. Udara di koridor terasa berat. Shasha menatap Angga yang berjalan di sampingnya. “Mas, kamu yakin bisa cari orang yang sebar video ini?” tanyanya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Yakin,” jawab Angga singkat namun mantap, tanpa menoleh. “Tapi... kamu nggak ada hubungannya

  • PELAN PELAN SAYANG    183 - TERANCAM

    “Karena saya berhubungan seks sama Shasha di—” ucap Angga pelan, namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. “No!” sahut Rain cepat, nadanya tegas dan tajam hingga membuat ruangan seketika hening. Rain menatap Angga dalam-dalam. “Saya panggil kamu, terutama kamu, Angga... soal video.” Ucapannya disertai senyum sinis yang membuat Shasha menelan ludah. “Video? Tapi saya juga baru tahu pagi ini video itu, Pak,” ucap Angga, nadanya terdengar gugup, seolah mencoba meyakinkan. “Oh ya?” Rain memiringkan kepala, menatap Shasha dengan tatapan penuh selidik. “Kalau junior kamu ini?” “Saya tahu sejak kemarin, Pan...” jawab Shasha pelan sambil menunduk. Jemarinya masih terasa hangat di genggaman Angga, tapi genggaman itu kini terasa menekan, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. “Siapa yang kirim videonya?” tanya Rain kemudian, suaranya tenang tapi berbahaya. Ia beranjak dari kursinya, berjalan pelan menuju jendela besar, menatap pemandangan kota dari lantai atas dengan tangan

  • PELAN PELAN SAYANG    182 - RAIN MULAI MENGINTROGASI ANGGA

    “Ahh... Mas... cepet... aku udah nggak kuat...” desah Shasha dengan mata terpejam, tangannya mencengkeram pundak Angga semakin erat. Shasha hampir kehilangan kendali. Tubuhnya berguncang, napasnya memburu, keringat mulai membasahi keningnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desah, tapi setiap kali Angga mendorong dari bawah, suara itu tetap lolos. “Aah... Mas... ini enak, Mas... aah...” Angga tersenyum, wajahnya penuh puas melihat juniornya hampir runtuh di pelukannya. ia menggendong Shasha dan menyandarkan tubuhnya pada tembok dingin toilet. “Tahan sedikit lagi, Sayang... biar kita keluar bareng...” bisiknya di telinga Shasha, lalu ia menggigit lembut daun telinganya. “Aahh... ah... ahhh...” Shasha hampir menjerit, tubuhnya melengkung ke depan saat hentakan Angga semakin cepat, semakin dalam. Bunyi basah terdengar makin jelas, bercampur dengan dentuman pelan dinding toilet yang mereka tabrak tanpa sadar. Shasha tak bisa lagi berpikir jernih. Pikirannya koson

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status