Beranda / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 4 - DUA ATAU TIGA KALI YA

Share

4 - DUA ATAU TIGA KALI YA

last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-02 16:26:21

Rain terpana. Wajah cantik dan polos itu membuatnya terdiam sesaat. Gendis pun tak kalah kaget—di luar ekspektasinya. Rain ternyata justru tak terlihat seperti seorang yang berprofesi sebagai psikolog reproduksi, tapi lebih tampak seperti model majalah dewasa.

Tersadar dari saling tatap, Gendis melambaikan tangan di depan wajah Rain.

“Halo… dok-” ucap Gendis sambil mengangkat tangannya pelan, mencoba membuyarkan kekakuan yang melingkupi ruangan.

“Eh, maaf,” Rain tersenyum, sedikit salah tingkah. “Mau apa tadi?”

“Mau konsultasi, Mas eh Dokter,” jawab Gendis cepat, mencoba mengalihkan rasa kikuk yang ikut menjalari dirinya.

“Ah, iya. Konsultasi,” gumam Rain, lalu mengangkat wajah dan kembali menatap Gendis dengan penuh minat. "Panggil Mas, aja."

Gendis ikut tersenyum tipis. “Saya... mau konsultasi, Mas.”

“Iya. Silakan duduk.” Rain menunjuk ke kursi di depan mejanya. Ia membuka map, mencatat sesuatu, lalu menatap Gendis. “Sudah berapa lama menikah?”

“Tiga tahun,” jawab Gendis cepat, seperti hafal jawaban itu.

“Dan belum dikaruniai anak?” Rain bertanya dengan nada netral, profesional.

Gendis mengangguk pelan.

Rain mengangguk kecil, mencatat lagi. Tapi sesekali pandangannya tetap kembali pada wajah Gendis, seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya lebih dari data pasien biasa.

Rain menautkan jemarinya. “Kalau boleh tahu... apa yang bikin kamu pengin konsultasi ke psikolog, bukan langsung ke dokter kandungan?”

Gendis menggigit bibir bawah. “Saya... saya butuh tahu dulu masalahnya apa. Kadang saya ngerasa... kayaknya bukan cuma soal fisik.”

Rain mengangguk pelan. “Pintar.”

Ia tersenyum tipis. “Dan biasanya yang datang ke saya... udah di level bingung banget.”

Gendis membalas senyum itu, meski gugup.

“Jadi... kamu datang karena dorongan pribadi, atau... ada tekanan dari luar?” Rain melirik sekilas ke wajah Gendis.

“Dua-duanya, sih...” gumam Gendis.

Rain mengangguk pelan. “Ada yang merasa ‘dikejar waktu’, ada juga yang cuma pengen tenangin diri. Saya cuma bantu memahami kamu, bukan bikin kamu makin stres.”

Gendis mengangguk pelan. Tapi wajahnya masih tegang.

Rain memperhatikan. “Tenang, saya nggak akan nyuruh kamu buka rahasia terdalam hari ini juga.”

“Tapi... harus berapa kali untuk melakukan seks, sampai hamil, Mas? Eh maaf Maksudnya Dok?” tanya Gendis pelan, nyaris tak berani menatap.

“Mas aja, nggak papa kok. Dan mungkin dua atau tiga kali, bisa juga lebih dari itu dalam seminggu” jawab Rain santai, tapi nadanya tetap menjaga perasaan.

“Jadi... kita harus berapa kali, Mas?” Gendis masih tak percaya, dadanya sesak oleh kenyataan yang mulai terasa nyata.

“Kita? Berhubungan atau ketemu? Kamu keliatan gugup banget,” ucap Rain yang terdengar tenang namun sorot matanya tak lepas dari Gendis.

“Maaf, Mas, maksudnya... um... berhubungan intim,” ucap Gendis yang mencoba untuk tenang meskipun ia masih merasakan getaran aneh dalam tubuhnya ketika melihat Psykolog setampan Rain.

“Oh, Ya kalau itu, ada kok yang satu kali, eh udah positif. Mungkin dia lagi masa subur,” ucap Rain.

Gendis mengangguk pelan.

Lalu, Rain mendekatkan tubuhnya sedikit, menyandarkan siku di meja. Tatapannya lembut—tapi ada sedikit gurauan di ujung bibirnya.

“Kecuali...” ucap Rain yang terdengar menggoda.

“Kecuali apa, Mas?” ucap Gendis sambil menatap Rain dengan mengerahkan seluruh keberanian.

“Kecuali kamu memang pengennya ketemu saya berkali-kali,” katanya, lirih.

Gendis kaget, wajahnya langsung merah padam.

“Ma—Mas...” suaranya tercekat.

Rain tertawa kecil. “Maaf, refleks... kamu– cantik? Tapi saya janji akan profesional.”

“Tapi kalau kamu senyum terus gini, saya gagal fokus.”

Gendis langsung menunduk.

Rain bersandar kembali. “Jadi... nanti kita mulai dari ngobrol, bikin kamu nyaman. Setelah itu, kalau kamu mau, kita bisa tes pasangan, atau individual. Tapi tenang, nggak ada sesi yang aneh-aneh. Nggak ada acara... ‘praktik langsung’ kok.” Ia menambahkan dengan nada mengggoda.

Ia menatap kembali ke coretan bukunya.

“Kalau berhubungan, berapa kali dalam seminggu?”

Gendis tak langsung menjawab. Matanya menghindar, seolah sedang menghitung dalam hati, tapi lebih dari itu—ia sedang menimbang, mana yang pantas dikatakan di hadapan seorang profesor seperti Rain.

“...Gak banyak,” jawabnya akhirnya. Suaranya pelan, hampir seperti gumaman.

Rain mengangguk pelan, lalu mencoret sesuatu. Tapi alih-alih langsung berpindah ke pertanyaan berikutnya, ia mendongak.

“Gak banyak itu... sekali? Dua kali?” tanyanya santai, tapi ada nada sengaja memperjelas yang membuat pipi Gendis panas.

Ia menggigit bibir. “Kadang seminggu sekali. Kadang... nggak sama sekali.”

Rain kembali mengangguk. Lalu, entah kenapa, ia meletakkan penanya sejenak.

“Setelahnya, biasanya kamu langsung ke kamar mandi?”

Gendis berkedip, tak menyangka arah pertanyaannya. “Maksudnya?”

“Langsung bersihin diri. Pakai tisu?”

Wajah Gendis makin merah. Tapi Rain menatapnya biasa saja—bukan sebagai lelaki, tapi sebagai profesional. Setidaknya, itu yang coba diyakinkan Gendis ke dirinya sendiri.

“Iya...” jawabnya akhirnya. “Biasanya langsung lap. Terus ke kamar mandi.”

“Masih dalam posisi rebahan atau langsung berdiri?”

“Langsung berdiri.”

Rain menyandarkan punggungnya sejenak ke sandaran kursi. Lalu mengangguk seperti menganalisis data penting.

“Kebiasaan itu bisa mengurangi kemungkinan sperma naik ke rahim,” ujarnya tenang. “Kalau memang ada niat punya anak, minimal rebahan lima belas menit dulu. Biar si 'pasukan' punya waktu tempur yang cukup.”

Gendis tak menjawab. Tapi otaknya langsung memutar ulang semua malam-malamnya bersama Raka. Suaminya itu selalu buru-buru membersihkan diri. Kadang bahkan tak menunggu Gendis selesai bicara, ia sudah melipir ke kamar mandi.

“Suamimu biasanya keluar di mana?”

Gendis menegang. “Hah?”

“Di dalam? Atau pakai pengaman?”

Gendis menelan ludah. Ia memikir keras. Biasanya suaminya hanya mengelap sisanya.

Rain menutup bukunya. Matanya kini tertuju langsung pada Gendis. “Kamu tahu, sebagian besar pasangan yang mengalami gangguan fertilitas nggak sadar kalau ‘kebiasaan kecil’ semacam itu berperan besar.”

Gendis hanya bisa mematung, matanya sedikit melebar.

Rain maju sedikit, jarinya menyentuh sisi buku catatan itu tapi nadanya seperti sedang menguji. “Kalau suamimu terbiasa menghindari ejakulasi di dalam, tubuhmu juga tidak terbiasa menerima—apa yang seharusnya jadi awal dari proses reproduksi.”

Lalu Rain tersenyum tipis. “Mau tahu cara bikin sperma betah lebih lama di rahim?”

Gendis hanya bisa menatapnya, tak tahu apakah harus mengangguk atau kabur dari ruangan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • PELAN PELAN SAYANG    16 - LEHER GENDIS YANG MEMERAH

    Dalam perjalanan, Rain berkendara sambil mendengarkan musik slow. Sesekali ia melirik jam tangannya, lalu menekan pedal gas lebih dalam dengan harapan cepat bertemu Gendis. Sementara itu, Gendis tengah merapikan ruang TV, membuang sampah, dan mencuci gelas serta piring. Rambutnya dikuncir asal, dan celemek lusuh melingkari pinggangnya. Tiba-tiba saja, pelukan hangat sekaligus nakal melingkari tubuhnya dari belakang. “Eh! Mas… aku kira siapa…” ucap Gendis kaget, namun tak mampu menyembunyikan senyum bahagia yang terbit di wajahnya. “Saya kangen…” bisik Rain dengan napas berat dan suara serak, bibirnya menelusuri leher Gendis, menciuminya lembut namun menuntut. “Sebentar lagi, Mas… aku kerjain tugas aku dulu di rumah,” ucap Gendis sambil tetap cekatan mencuci piring, meski setiap sentuhan tangan Rain di dadanya membuat tubuhnya bergetar. “Kamu nggak usah pulang lagi ke sini… sama saya saja, ya,” desis Rain, matanya tajam menatap leher Gendis yang memerah. “Mas, nggak mungk

  • PELAN PELAN SAYANG    15 - RAIN YANG TIDAK TAHAN

    “Kalian?” ucap ibu mertuanya, nyaris menjatuhkan gelas berisi teh hangat yang dipegangnya. “Ma… maksudnya bukan itu, Ma. Mas?” ucap Gendis terbata, memohon agar Rain segera menarik ucapannya. “Panggilan sayang itu memang harus, Bu, Pak. Saya ini kan Psikolog Reproduksi, jadi sama pasien yang mengalami masalah, saya harus sayang sama mereka. Kalau nggak sayang, bagaimana saya bisa paham kondisi pasien? Kan begitu…” ucap Rain sambil tersenyum—senyum yang justru terasa seperti permainan berbahaya di hadapan orang tua Raka. “Oh, benar juga, Ma. Masa sama pasien nggak sayang, kan aneh juga, ya? Hahaha…” ucap ayah mertuanya sambil tertawa, meski matanya masih sedikit meneliti Rain. “Iya sih… aneh, tapi… ya masuk akal,” sahut ibu mertuanya, menahan senyum yang setengah ragu. Gendis berusaha ikut tertawa, tapi tatapannya justru terikat pada Rain. Lelaki itu duduk santai, menyandarkan tubuh, seolah baru saja memenangkan pertarungan yang tak terlihat oleh mata orang lain. Menjelang

  • PELAN PELAN SAYANG    14 - RAIN MEMANGGIL GENDIS DENGAN PANGGILAN SAYANG DI DEPAN MERTUA GENDIS

    Gendis meremas ujung rok yang ia kenakan saat detik-detik ucapan Rain meluncur di hadapan orang tua Raka, siang menjelang sore itu. “Menantu Ibu dan Bapak mengalami sedikit kendala… terutama masalah hubungan seks, kesulitan untuk mendapatkan momongan, ragam kecemasan, dan juga beberapa masalah yang selama ini dia pendam sendiri,” ucap Rain dengan nada tenang, namun setiap katanya terasa seperti pukulan di dada Gendis. “Hah? Maksudnya dia dan suaminya ada masalah?” tanya ibu mertuanya, kening berkerut dan tatapan tajamnya langsung menghujam Gendis. “Seharusnya saya nggak boleh memberikan informasi mengenai kondisi psikis pasien saya… kecuali atas izin Gendis sendiri,” ucap Rain sambil menatap Gendis, seolah menantang wanita itu untuk menolak. “Gendis? Nggak masalah dong Mama sama Papa tahu kondisi kalian berdua?” ucap ayah mertuanya, nada suaranya setengah memaksa, setengah khawatir. “Um… iya, Pa. Biar Mas Rain yang menjelaskan semuanya,” ucap Gendis lirih, suaranya nyaris te

  • PELAN PELAN SAYANG    13 - NEKAT! RAIN LANGSUNG BERTEMU MERTUA GENDIS?

    Ketegangan kini terjadi pada Rain dan Gendis. Saat tiba di depan pekarangan rumah Gendis dan Raka, Rain tidak serta-merta pergi dari sana. Tampak mobil milik mertuanya sudah terparkir di depan rumah Gendis dan Raka. “Mas, baiknya Mas langsung pulang. Aku nggak mungkin terang-terangan kasih lihat Mas sama mertua aku,” ucap Gendis dengan nada memohon, sorot matanya penuh cemas saat baru saja hendak keluar dari mobil Rain. “Kenapa? Kan bagus kalau mereka tahu,” balas Rain santai, seolah menganggap remeh kekhawatiran Gendis. “Nggak bisa gitu, Mas. Karir kamu gimana? Kamu psikolog, kamu juga dikenal banyak orang, dan kalau—” “Kamu bisa diem nggak?” potong Rain dengan suara pelan namun menusuk, membuat dada Gendis terasa sesak. “Saya bukain pintu buat kamu, dan saya anterin kamu sampai ke pintu rumah kamu. Saya nggak peduli,” ucap Rain tegas, tatapannya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ta-tapi, Mas...” suara Gendis bergetar, nyaris putus di ujung kalimat. Rain segera kelua

  • PELAN PELAN SAYANG    12 - MAMA RAIN MENUNTUTNYA UNTUK BAWA PASANGAN

    “Mas, kamu marah, ya?” ucap Gendis pelan saat Rain baru saja memasangkan sabuk pengaman untuknya. Lelaki itu tak membalas, hanya segera mengemudikan mobil keluar dari area parkir apartemen. Rain tetap diam, tatapannya lurus ke depan, fokus pada jalan. Gendis meliriknya sebentar, lalu memalingkan wajah ke arah jendela, memperhatikan keramaian kota siang itu. Namun, tanpa berkata apa-apa, tangan Rain bergerak mencari tangan Gendis. Ia menggenggamnya erat, hangat. “Um?” Gendis menoleh, menatap lelaki itu—dingin di wajah, tapi hangat di sentuhan. “Mas…” ucapnya lirih, seperti ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Rain memutar setir, lalu menepi di depan sebuah toko makanan. “Tunggu di sini,” ujarnya singkat setelah memarkirkan mobil, lalu mengecup kening Gendis dengan cepat—seolah ingin menghapus kerenggangan yang tadi tercipta—sebelum melangkah masuk ke toko. “Iya, Mas,” balas Gendis sambil mengangguk pelan, meski bibirnya tak mampu menahan seulas senyum

  • PELAN PELAN SAYANG    11 - MENDADAK GENDIS INGIN PULANG KERUMAHNYA. RAIN MARAH?

    “Mas, apa ini nggak terlalu cepat? Status aku masih istrinya Raka,” ucap Gendis sambil menatap Rain yang memeluk dirinya dari belakang, ada ragu sekaligus hangat di matanya. “Kenalan dulu kan nggak papa, Sayang,” jawab Rain seolah tanpa beban, seakan masalah moral itu hanya angin lalu. “Mas, kamu gila. Masa aku yang statusnya istri orang, bawa kamu ke Mama sama Papa aku dan kenalin kamu?” ucap Gendis sambil menahan tawa dan menepuk pipi Rain, setengah gemas, setengah protes. “Saya kan memang gila, Sayang,” balas Rain sambil tersenyum tipis, lalu memeluk Gendis lebih erat. Bibir dan lidahnya menjelajah leher hingga pipi Gendis, sengaja meninggalkan jejak basah di kulitnya. “Mas… geli,” ucap Gendis sambil tersenyum, tubuhnya menggeliat kecil, mencoba menahan tawa namun wajahnya memerah oleh sensasi. Di tengah keintiman itu, ponsel yang khusus digunakan Rain untuk pasien dan urusan bisnis berbunyi nyaring, memecah momen. “Mas… telepon tuh.” “Nggak. Saya nggak mau terima tel

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status