LOGINRain terpana. Wajah cantik dan polos itu membuatnya terdiam sesaat. Gendis pun tak kalah kaget—di luar ekspektasinya. Rain ternyata justru tak terlihat seperti seorang yang berprofesi sebagai psikolog reproduksi, tapi lebih tampak seperti model majalah dewasa.
Tersadar dari saling tatap, Gendis melambaikan tangan di depan wajah Rain. “Halo… dok-” ucap Gendis sambil mengangkat tangannya pelan, mencoba membuyarkan kekakuan yang melingkupi ruangan. “Eh, maaf,” Rain tersenyum, sedikit salah tingkah. “Mau apa tadi?” “Mau konsultasi, Mas eh Dokter,” jawab Gendis cepat, mencoba mengalihkan rasa kikuk yang ikut menjalari dirinya. “Ah, iya. Konsultasi,” gumam Rain, lalu mengangkat wajah dan kembali menatap Gendis dengan penuh minat. "Panggil Mas, aja." Gendis ikut tersenyum tipis. “Saya... mau konsultasi, Mas.” “Iya. Silakan duduk.” Rain menunjuk ke kursi di depan mejanya. Ia membuka map, mencatat sesuatu, lalu menatap Gendis. “Sudah berapa lama menikah?” “Tiga tahun,” jawab Gendis cepat, seperti hafal jawaban itu. “Dan belum dikaruniai anak?” Rain bertanya dengan nada netral, profesional. Gendis mengangguk pelan. Rain mengangguk kecil, mencatat lagi. Tapi sesekali pandangannya tetap kembali pada wajah Gendis, seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya lebih dari data pasien biasa. Rain menautkan jemarinya. “Kalau boleh tahu... apa yang bikin kamu pengin konsultasi ke psikolog, bukan langsung ke dokter kandungan?” Gendis menggigit bibir bawah. “Saya... saya butuh tahu dulu masalahnya apa. Kadang saya ngerasa... kayaknya bukan cuma soal fisik.” Rain mengangguk pelan. “Pintar.” Ia tersenyum tipis. “Dan biasanya yang datang ke saya... udah di level bingung banget.” Gendis membalas senyum itu, meski gugup. “Jadi... kamu datang karena dorongan pribadi, atau... ada tekanan dari luar?” Rain melirik sekilas ke wajah Gendis. “Dua-duanya, sih...” gumam Gendis. Rain mengangguk pelan. “Ada yang merasa ‘dikejar waktu’, ada juga yang cuma pengen tenangin diri. Saya cuma bantu memahami kamu, bukan bikin kamu makin stres.” Gendis mengangguk pelan. Tapi wajahnya masih tegang. Rain memperhatikan. “Tenang, saya nggak akan nyuruh kamu buka rahasia terdalam hari ini juga.” “Tapi... harus berapa kali untuk melakukan seks, sampai hamil, Mas? Eh maaf Maksudnya Dok?” tanya Gendis pelan, nyaris tak berani menatap. “Mas aja, nggak papa kok. Dan mungkin dua atau tiga kali, bisa juga lebih dari itu dalam seminggu” jawab Rain santai, tapi nadanya tetap menjaga perasaan. “Jadi... kita harus berapa kali, Mas?” Gendis masih tak percaya, dadanya sesak oleh kenyataan yang mulai terasa nyata. “Kita? Berhubungan atau ketemu? Kamu keliatan gugup banget,” ucap Rain yang terdengar tenang namun sorot matanya tak lepas dari Gendis. “Maaf, Mas, maksudnya... um... berhubungan intim,” ucap Gendis yang mencoba untuk tenang meskipun ia masih merasakan getaran aneh dalam tubuhnya ketika melihat Psykolog setampan Rain. “Oh, Ya kalau itu, ada kok yang satu kali, eh udah positif. Mungkin dia lagi masa subur,” ucap Rain. Gendis mengangguk pelan. Lalu, Rain mendekatkan tubuhnya sedikit, menyandarkan siku di meja. Tatapannya lembut—tapi ada sedikit gurauan di ujung bibirnya. “Kecuali...” ucap Rain yang terdengar menggoda. “Kecuali apa, Mas?” ucap Gendis sambil menatap Rain dengan mengerahkan seluruh keberanian. “Kecuali kamu memang pengennya ketemu saya berkali-kali,” katanya, lirih. Gendis kaget, wajahnya langsung merah padam. “Ma—Mas...” suaranya tercekat. Rain tertawa kecil. “Maaf, refleks... kamu– cantik? Tapi saya janji akan profesional.” “Tapi kalau kamu senyum terus gini, saya gagal fokus.” Gendis langsung menunduk. Rain bersandar kembali. “Jadi... nanti kita mulai dari ngobrol, bikin kamu nyaman. Setelah itu, kalau kamu mau, kita bisa tes pasangan, atau individual. Tapi tenang, nggak ada sesi yang aneh-aneh. Nggak ada acara... ‘praktik langsung’ kok.” Ia menambahkan dengan nada mengggoda. Ia menatap kembali ke coretan bukunya. “Kalau berhubungan, berapa kali dalam seminggu?” Gendis tak langsung menjawab. Matanya menghindar, seolah sedang menghitung dalam hati, tapi lebih dari itu—ia sedang menimbang, mana yang pantas dikatakan di hadapan seorang profesor seperti Rain. “...Gak banyak,” jawabnya akhirnya. Suaranya pelan, hampir seperti gumaman. Rain mengangguk pelan, lalu mencoret sesuatu. Tapi alih-alih langsung berpindah ke pertanyaan berikutnya, ia mendongak. “Gak banyak itu... sekali? Dua kali?” tanyanya santai, tapi ada nada sengaja memperjelas yang membuat pipi Gendis panas. Ia menggigit bibir. “Kadang seminggu sekali. Kadang... nggak sama sekali.” Rain kembali mengangguk. Lalu, entah kenapa, ia meletakkan penanya sejenak. “Setelahnya, biasanya kamu langsung ke kamar mandi?” Gendis berkedip, tak menyangka arah pertanyaannya. “Maksudnya?” “Langsung bersihin diri. Pakai tisu?” Wajah Gendis makin merah. Tapi Rain menatapnya biasa saja—bukan sebagai lelaki, tapi sebagai profesional. Setidaknya, itu yang coba diyakinkan Gendis ke dirinya sendiri. “Iya...” jawabnya akhirnya. “Biasanya langsung lap. Terus ke kamar mandi.” “Masih dalam posisi rebahan atau langsung berdiri?” “Langsung berdiri.” Rain menyandarkan punggungnya sejenak ke sandaran kursi. Lalu mengangguk seperti menganalisis data penting. “Kebiasaan itu bisa mengurangi kemungkinan sperma naik ke rahim,” ujarnya tenang. “Kalau memang ada niat punya anak, minimal rebahan lima belas menit dulu. Biar si 'pasukan' punya waktu tempur yang cukup.” Gendis tak menjawab. Tapi otaknya langsung memutar ulang semua malam-malamnya bersama Raka. Suaminya itu selalu buru-buru membersihkan diri. Kadang bahkan tak menunggu Gendis selesai bicara, ia sudah melipir ke kamar mandi. “Suamimu biasanya keluar di mana?” Gendis menegang. “Hah?” “Di dalam? Atau pakai pengaman?” Gendis menelan ludah. Ia memikir keras. Biasanya suaminya hanya mengelap sisanya. Rain menutup bukunya. Matanya kini tertuju langsung pada Gendis. “Kamu tahu, sebagian besar pasangan yang mengalami gangguan fertilitas nggak sadar kalau ‘kebiasaan kecil’ semacam itu berperan besar.” Gendis hanya bisa mematung, matanya sedikit melebar. Rain maju sedikit, jarinya menyentuh sisi buku catatan itu tapi nadanya seperti sedang menguji. “Kalau suamimu terbiasa menghindari ejakulasi di dalam, tubuhmu juga tidak terbiasa menerima—apa yang seharusnya jadi awal dari proses reproduksi.” Lalu Rain tersenyum tipis. “Mau tahu cara bikin sperma betah lebih lama di rahim?” Gendis hanya bisa menatapnya, tak tahu apakah harus mengangguk atau kabur dari ruangan.“Sayang, nggak ada yang perlu kamu khawatirin dari semua ini. Saya udah janji sama kamu, semua yang saya lakukan kamu harus tahu. Dan saya pegang omongan ini sampai mati,” ucap Rain penuh ketulusan, menatap istrinya seolah ingin memastikan ia merasa aman. “Iya deh…” ujar Gendis pelan sambil mengangguk. Ia berusaha tenang, meskipun ada sesuatu yang jelas masih mengganjal di hatinya. Tak terasa, mobil mereka berhenti di kediaman keluarga Rain. “Wah… ke sini juga,” ucap Ibu Rain begitu melihat Gendis berjalan ke arahnya. “Iya dong, Mama. Obatnya udah sampai, kan?” tanya Gendis sambil memeluk ibu mertuanya hangat. “Udah dong… makasih banget, kamu perhatian sama Mama,” ucap Ibu Rain sambil melirik Rain yang sedang meletakkan kue dalam kotak hitam di atas meja makan. “Rain, bawa apa tuh?” tanya ibunya lagi, penasaran. “Kue, Ma. Kebetulan beli banyak. Aku kan stok makanan terus di rumah, dan ini aku bawa sebagian buat Mama juga,” jawab Gendis sebelum Rain membuka mulut. Ia duduk di si
“Teman? Teman kantor? Klien?” tanya Gendis sambil mengerutkan dahi, matanya menatap Rain penuh curiga yang sulit ia sembunyikan. “Teman lama saya,” ucap Rain pelan sambil mengangguk. Tangannya terulur mengusap perut istrinya, mencoba menenangkan suasana. “Nggak jauh dari rumah Mama.” “Mendadak banget?” Gendis menatapnya lebih dalam, rasa tidak nyaman mulai muncul di wajahnya. “Kamu nggak sembunyiin sesuatu dari aku kan, Sayang?” “Nggak ada, Sayang…” Rain tersenyum kecil, tapi sorot matanya terlihat sedikit gelisah. “Emang saya udah lama nggak ketemu. Dia baru balik dari LA.” “Perempuan?” tanya Gendis lagi, suaranya merendah, mengandung kecemasan yang tidak bisa ia tutupi. “Laki-laki…” ucap Rain sambil menarik napas pelan, berusaha meredam ketegangan di antara mereka. “Ada masalah?” tanya Gendis pelan, matanya masih meneliti ekspresi suaminya. “Nggak ada. Cuma mau ketemu doang… Beneran,” ucap Rain sambil mencoba tersenyum. Ia meraih tangan Gendis lembut. “Kamu mau ikut? A
“Kok mirip Pak Kevin?” ucap Angga pelan. Nada suaranya merendah, seperti baru saja menyadari sesuatu yang tidak ia inginkan. “Tuh kan? Makanya pas aku liat ini tuh kayak… siapa gitu.” Shasha mengembuskan napas gelisah. “Dan ini kan videonya dua malam lalu, aku ambil dari rekaman CCTV. Ngapain coba dia ke rumah kita dan liatin kayak gitu? Ya kan?” ucapnya, jelas terdengar tidak nyaman. “Tapi masalahnya, apa dia tahu itu rumah kita?” tanya Angga, alisnya mengerut, pikiran mulai bergerak liar. “Makanya itu, Sayang.” Shasha mengusap lengannya sendiri, tubuhnya merinding. “Selain Pak Rain sama istrinya, sisanya cuma Mama Papa kita. Nggak ada yang lain. Temen kantor? Mereka bahkan belum tahu rumah kita sampai sekarang.” Sore itu, benak Angga penuh tanya. Jantungnya berdegup cepat, membayangkan Kevin berdiri diam di depan rumahnya pada jam malam—seakan membawa sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar rasa ingin tahu. Tiba di sebuah restoran, Angga menggandeng tangan Shasha sam
“Saya ngerasa, nggak ada yang aneh sih,” ucap Rain dengan tenang. Ia bahkan tidak menoleh, hanya memindahkan kursor di layar laptop sambil menghela napas pendek. “Polanya itu, Pak. Koper semua,” ucap Angga, nadanya lebih serius, alisnya mengerut. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, gelisah. “Kamu tuh masih kebawa suasana yang kemarin,” ucap Rain sambil tertawa kecil lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Senyumnya tipis, tapi matanya tetap jernih dan tenang. “Iya kali, ya. Kangen juga sih… seru gitu kita malam-malam keluar rumah ninggalin istri,” ucap Angga sambil tertawa, meski fokusnya tetap pada layar laptop. Gendis yang baru melintas dari arah kamar menuju ruang makan, menggeleng pelan sambil tertawa kecil mendengar ucapan mereka. Perut besarnya ikut bergerak saat ia menahan tawa, tatapannya hangat pada dua orang yang sedang bekerja itu. “Besok saya ke kantor, tapi cuma sebentar aja. Nggak bisa lama-lama ninggalin Gendis,” ucap Rain sambil menoleh sekilas pada istrinya, senyum
“Jadi gangguan orgasme bisa memengaruhi kondisi mental, karena pengidapnya dapat merasa sedih atau tertekan secara emosional akibat tidak bisa mencapai orgasme. Makanya saya sarankan Ibu dan Pak Wilman…” ucap Rain lembut, berusaha menjaga nada empatinya saat memberikan konseling kepada pasangan yang mengalami hambatan dalam hubungan seksual hingga mempersulit proses pembuahan. Setelah memberikan solusi dan memastikan keduanya memahami arahan, Rain menutup sesi itu dengan senyum menenangkan. Hatinya sedikit berat—ia tahu masalah seperti itu bukan perkara mudah bagi pasien mana pun. Usai sesi konseling, Rain mengemasi berkas-berkasnya dan bersiap pulang ke apartemen. “Jalan kaki lagi toh, Mas…” sapa seorang petugas parkir di coffee shop dekat apartemen, senyumnya lebar penuh keramahan. “Olahraga, Pak. Udah makan siang?” tanya Rain sambil tersenyum. Ia merogoh saku celananya dan menyelipkan selembar uang ke tangan petugas itu. “Oalah, malah dikasih duit? Repot-repot e, Mas. Suw
“Rain, kapan kalian pindah ke sini? Mama kesepian, loh…” ucap ibunya dalam percakapan telepon pagi itu. “Nanti ya, Ma… Sekarang Rain lagi banyak kerjaan. Gendis juga mau persiapan lahiran bulan depan,” ucap Rain sambil tetap mengetik di depan laptop. Sesekali ia melirik Gendis yang sibuk menggoda dirinya dari sofa. Senyumnya melebar melihat tingkah istrinya. “Tapi… dia mau, kan, tinggal sama Mama?” tanya ibunya lagi, suaranya terdengar lebih menuntut. “Hm… ya nanti kita bicarakan lagi, ya, Ma,” ucap Rain sambil menarik napas gelisah. “Kamu kan suaminya, kepala rumah tangga. Kamu bujuk dong dia, biar dia mau,” ucap ibunya sambil menyiram tanaman bunga di pekarangan belakang rumahnya. Rain terdiam. Suara air yang tercurah di seberang telepon terdengar seperti tekanan yang menghantam dada. Tatapannya beralih pada Gendis—perempuan yang kini menjadi pusat dunianya—lalu kembali menatap layar laptop yang tiba-tiba terasa terlalu sempit untuk menampung beban pikirannya. Di ujung t







