“Biarin dulu. Saya mau lihat sampai di mana wanita itu bertindak,” ucap Rain sambil tersenyum tipis. Ia melangkah ringan, seolah tidak ada beban, hingga tiba di klinik. Rain bergegas merapikan tas, lalu menghubungi Gendis. “Sayang...” suara Gendis terdengar lembut dari seberang telepon. “Sayang, saya sudah selesai di klinik. Sekarang mau ke kantor dulu, ya,” ucap Rain sambil tersenyum, melangkah mantap menuju parkiran mobil dengan tas ransel di punggungnya. “Oke deh... Tadi makan siang sudah? Habis nggak?” tanya Gendis, suaranya terdengar penuh perhatian. “Habis dong, Sayang. Kamu lagi ngapain?” tanya Rain. “Nonton drakor sambil makan keripik. Aku bingung mau ngapain lagi,” jawab Gendis dengan nada manja. “Nanti ya, kita jalan keluar rumah. Oh iya, Sayang... kalau ada apa-apa langsung telepon saya. Dan jangan asal buka pintu. Kamu cek dulu dari CCTV siapa yang datang, oke?” ucap Rain sambil duduk di mobil dan menyalakan mesin. “Iya, Sayang. Hati-hati di jalan, ya...” u
Saat itu juga, Rain segera menuju sebuah kafe yang tak jauh dari klinik. Ia berjalan kaki pagi itu, langkahnya tenang. Sesekali ia tersenyum kecil saat membaca ulang pesan-pesan dari Gendis di layar ponselnya. Setibanya di kafe, Rain memesan dua gelas kopi hangat. Ia memilih duduk di sudut ruangan, menunggu dengan sabar, pagi itu. Tak lama, ayah Gendis datang. “Rain?” ucapnya ramah sambil melambaikan tangan. “Pa,” sahut Rain, berdiri menyambut. “Sudah lama nunggu Papa?” tanya ayah Gendis sambil duduk. “Baru kok, Pa. Rain baru aja pesan kopi,” jawab Rain dengan senyum tipis. “Terima kasih ya. Oh iya... Gimana Gendis?” tanya ayah Gendis, wajahnya tampak sumringah. “Dia sehat, Pa. Masih sering mual, tapi sekarang sudah rajin bangun pagi,” ucap Rain sambil tertawa kecil. “Hahaha, syukurlah. Papa mau ketemu dia lagi, rencananya,” balas ayah Gendis, matanya berbinar. Pelayan datang membawa pesanan kopi. Aroma hangat memenuhi meja mereka. Ayah Gendis menatap Rain seje
“Polisi!” sahut suara dari balik pintu. Rain mengerenyitkan dahinya, lalu melirik layar CCTV. Ia menggeleng heran begitu tahu siapa yang datang. “Bangsat lu, ganggu aja,” ucap Rain ketika membuka pintu dan melihat Angga berdiri sambil menahan tawa. “Malam, Pak. Kangen sama Dita,” ucap Angga, kedua tangannya ia usap-usap, mencoba menghangatkan diri. “Dita... Gendis,” ucap Rain sambil menutup pintu lalu duduk di atas bangku kayu bersama Angga. “Gila, banyak banget karangan bunga? Dalam rangka apa, Pak?” tanya Angga, matanya menyorot tumpukan bunga di teras. “Gendis hamil,” jawab Rain, tersenyum sambil menatap bunga-bunga itu. “Hah? Dita hamil? Sama siapa?” tanya Angga dengan wajah seolah polos. “Kamu tuh bikin kesel, ya. Sekarang kamu ke sini mau apa?” tanya Rain, nadanya mulai ketus. “Mau ketemu Dita, Pak. Kangen banget. Sekalian mau kasih tahu kalau saya menang proyek kantor. Ehem...” ucap Angga dengan bangga. “Katanya curang, bangga,” ucap Rain sambil menahan tawa
Suasana ruang Cendrawasih berubah kacau. Pegawai yang tadi hanya jadi penonton kini panik, sebagian mencoba menenangkan, sebagian lain justru berbisik-bisik. Nama Raka perlahan jadi bahan gosip yang berbahaya. “Pak Raka, cukup!” bentak Kepala Bagian Produksi. Suaranya meninggi, wajahnya kaku. “Bapak bisa kena sanksi disiplin karena membuat keributan di acara resmi perusahaan!” Raka melepaskan cekalannya dengan kasar, tapi sorot matanya tetap menusuk Angga. “Ini belum selesai,” desisnya lirih, hampir seperti ancaman. Angga hanya mengangkat alis, seolah tak terusik. Senyum dinginnya masih terpasang, membuat Raka semakin gila oleh rasa dipermalukan. ••• Di luar ruangan, Raka berjalan cepat diikuti keempat rekannya. Ia menekan tombol lift dengan kasar. Jari-jarinya gemetar menahan emosi. “Pak, kita beneran dicurangi. Saya yakin ada yang main belakang!” ucap salah satu rekannya dengan nada panik. Raka mengepalkan tangan. “Iya… dan saya tau siapa dalangnya.” “Siapa, Pak?”
“Dia itu hamil sama mantan pembunuh!” teriak Ibu Gendis pagi itu, nadanya begitu tinggi hingga membuat seisi rumah berguncang. “Ma, kalau mendengar gosip harus dicermati baik-baik, jangan ditelan mentah-mentah,” ujar Ayah Gendis tegas, meski wajahnya tampak menegang. “Pa, ini bukan gosip! Ini kenyataan! Mama dengar langsung dari orang tuanya di psikolog itu!” bentak Ibu Gendis. Bantal sofa di tangannya melayang keras ke lantai, bunyinya membuat suasana makin panas. “Ma, bisa jadi Mama salah dengar—” suara Ayah Gendis mulai goyah. “Salah dengar?!” potong Ibu Gendis cepat, suaranya bergetar penuh amarah. “Telinga Mama masih sehat! Otak Mama masih waras! Jangan coba-coba membela laki-laki itu!” Ayah Gendis menghela napas panjang, tangannya terkepal di sisi kursi. “Tapi, Ma—” “Pokoknya bawa Gendis pulang ke rumah!” teriak Ibu Gendis, matanya melotot tajam seakan siap merobek siapa pun yang menentang. “Kalau sampai dia tetap bersama lelaki mantan napi itu, jangan salahkan Mama
Rain segera membeli alat tes kehamilan. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Rain berdoa dalam hati agar apa yang mereka inginkan benar-benar terjadi. “Permisi!” suara pengantar paket terdengar dari depan pintu rumah. “Ya!” sahut Rain yang segera beranjak dari ranjang lalu membuka pintu. “Mas, paket Mas,” ucap pengantar paket ramah. “Thank you, ya,” ucap Rain sambil tersenyum menatap paket itu, lalu segera membawanya ke dalam kamar. “Sayang!” seru Rain, suaranya penuh semangat. “Aku mau pipis, Mas!” jawab Gendis dengan wajah bersemangat, lalu segera menuju kamar mandi. Keduanya menunggu beberapa saat. Detik terasa lambat hingga akhirnya dua garis muncul di keempat alat tes kehamilan yang Rain beli. “Sayang!” teriak Gendis, air matanya pecah. Ia langsung memeluk Rain dengan erat. “Akhirnya…” ucap Rain, suaranya bergetar. Satu tangannya memeluk Gendis, sementara tangan lainnya menggenggam alat tes kehamilan itu, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Mas…” ucap Gen