Sudah terhitung sejak konsultasi, suami Gendis akhirnya tiba di rumah. Ia membawa koper miliknya seraya menaruh di pekarangan rumah.
“Mas, ada undangan syukuran,” ucap Gendis sambil mengangkat koper dan menaruhnya di dalam kamar, lalu melangkah keluar menuju ruang makan. “Iya, udah tahu kok dari Mama,” balas Raka datar, kemudian duduk di ruang makan. Tatapan Gendis mengarah ke pakaian Raka yang terasa asing baginya. “Mas, baju baru, ya?” tanya Gendis sambil meletakkan sarapan di hadapan suaminya. “Baju lama, kok,” ucap Raka tenang, lalu meneguk teh hangat. “Oh... soalnya aku ngerasa nggak pernah tahu baju itu,” Gendis tersenyum tipis, lalu ikut meneguk susu hangat. “Mungkin kamu yang lupa apa aja isi lemari pakaian,” ucap Raka, datar. “Um, iya. Tapi... aku merasa nggak pernah tahu baju itu. Aku juga nggak pernah beli baju itu,” ucap Gendis sambil menatap pakaian Raka lebih dalam. “Jadi maksudnya kamu... baju ini dari mana?” tanya Raka, suaranya berubah dingin. “Ma...” Gendis menelan kata berikutnya. Ia teringat pesan dari Rain—untuk berhenti terlalu sering meminta maaf. “Aku cuma nggak pernah lihat baju itu, Mas,” ucapnya pelan. “Kamu pikir ini dari perempuan lain?” tanya Raka menatap tajam. “Bukan... tapi—” “Aku pulang ke rumah dengan harapan kita bisa baik-baik saja, tanpa debat! Tapi kamu... kamu selalu curiga! Aku kerja keras melebihi waktu demi masa depan, Gendis!” ucap Raka, nada suaranya mulai meninggi. “Mas, aku cuma nggak tahu soal baju itu. Bukan berarti aku nuduh Mas yang aneh-aneh,” Gendis mencoba tenang, meski nadanya mulai gemetar. “Kamu itu akhir-akhir ini bikin aku marah, tahu nggak?! Dari mulai kamu merengek pengin hamil sampai kamu mikir aku selingkuh! Kamu kelewatan, Gendis!” bentak Raka. “Tapi... apa salahnya kalau aku pengin hamil? Kamu suami aku, Mas! Aku istri kamu! Itu normal!” Gendis mulai menangis. “Jadi menurut kamu... aku nggak normal?” Raka membalas dengan amarah, tangannya menghantam meja makan. “Aku cuma pengin kayak istri-istri lainnya, Mas...” Gendis menyeka air matanya, tangisnya pecah. “Kamu harusnya bersyukur! Tanpa kerja, kamu bisa hidup dari keringat suami kamu! Dan tahu nggak kenapa kita belum punya anak? Karena sifat kamu yang kekanak-kanakan itu! Kamu terlalu manja! Kamu lupa umur kamu berapa? Kamu bukan anak kecil lagi! Kamu selalu berlagak kayak gadis kecil! Dari situ aja, kamu belum pantas jadi ibu!” bentak Raka dengan suara menggelegar, sebelum ia berdiri dan meninggalkan Gendis menuju kamar utama. Gendis terduduk, diam di kursinya, menggenggam gelas susu yang kini sudah dingin. Matanya basah, hatinya remuk. Tak ada lagi kata yang bisa diucap—hanya diam, luka, dan air mata. Gendis masih duduk di kursinya, memandangi gelas susu yang kini dingin. Matanya tak berkedip, tubuhnya membeku. Lalu ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. “Sayang, kemejanya muat kan? Besok jangan lupa, anterin aku ke butik, Ya. Uang yang semalam udah aku pindahin ke rekening tabungan..” Gendis menatap layar ponsel dengan tangan gemetar. Matanya memanas. “Ini apa mas!” teriaknya. Suara di seberang terdengar lantang. Gendis baru saja mengajak perang. “Kamu apa-apaan sih? Suami pulang malah kamu ajakin ribut pagi-pagi!” ucap Raka dengan tegas sambil melirik Gendis yang berdiri dihadapannya. Gendis melirik layar, “Mas? ini buktinya! Entah ini perempuan atau laki-laki tapi cukup jelas kalau memang pakaian ini yang kamu pakai bukan pilihan aku!” Wajahnya memerah karena amarah. Ia langsung meletakkan ponsel itu diatas ranjang, tepat di hadapan wajah Raka. Raka meraih ponselnya dan melihat isi pesan itu. Namun dengan santai ia menjawab, “Huh, ini teman aku satu kontrakan disana.” “Oh iya? Jadi dia yang mengurusi kamu selama disana? pantesan betah bolak-balik ke luar kota!” ucap Gendis dengan lantang. “Kenapa? Salah dimana kalau aku bolak-balik keluar kota? Kamu pikir mudah cari uang. Gendis, kamu sadar diri! pengeluaran buat kamu itu banyak, nggak sedikit!” ucap Raka yang baru saja berdiri tepat dihadapan Gendis. “Banyak? Yang banyak itu pengeluaran Mama kamu!” ucap Gendis dengan air mata yang tak bisa ia bendung lagi. “Eh, kamu jangan bawa-bawa Mama aku, Ya! Toh selama ini aku selalu kasih kamu uang?” ucap Raka yang tak terima dengan ucapan Gendis. “Karena Mama kamu setiap dua minggu sekali selalu minta uang sama aku! Dia bilang itu juga amanah dari kamu, Mas!” jawab Gendis dengan penuh penekanan. “Oh jadi kamu nggak terima kalau orang tua aku minta uang sama aku melalui kamu?” ucap Raka sembari menunjuk wajah Gendis dengan jari telunjuknya. “Karena kamu menuduh aku seolah aku ini udah menghabiskan uang kamu!” ucap Gendis dengan suara meninggi “Kamu melawan aku sekarang? Udah hebat?” ucap Raka yang kemudian meremas rambut Gendis dengan kuat. “Akh! Lepas! Sakit!” ucap Gendis sambil meringis dan memegangi tangan Raka. “Okey, aku lepasin! Tapi ingat, jangan pernah lagi kamu melawan aku! Jadilah istri penurut!” ucap Raka yang kemudian mendorong tubuh Gendis ke atas ranjang lalu kemudian ia melucuti pakaian istrinya itu dengan kasar. “Jangan! Aku nggak mau, Mas! lepas!” ucap Gendis yang berusaha melawan dan berlari dari kamar. “Kamu mau anak dari aku, kan? iya kan? kamu merengek minta anak, mau samaan kayak istri lainnya! ini!” ucap Raka dengan lantang hingga ia tega memukul wajah Gendis lalu memasukkan dirinya tanpa ampun. Tanpa pemanasan. Tanpa ucapan sayang. Gendis menangis, tubuhnya bergetar hebat dan ia merasa hancur dibalut rasa sakit yang tak bisa ia ucapkan lagi dengan kata-kata selain air mata. Raka dengan kasar memperlakukan tubuhnya layaknya sebuah barang bahkan lebih rendah daripada wanita penghibur sekalipun. Setelah merasa puas, ia meninggalkan Gendis dengan tubuh yang rapuh diatas ranjang. “Aku minta ini yang terakhir. Jangan pernah lagi melawan suami kamu dan tutup mulut kamu. Aku nggak segan kasih kamu rasa sakit lebih dari itu,” ucap Raka sambil berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya seolah baru saja menyentuh barang kotor. Gendis menangis. Ia terlihat hancur namun berusaha bangkit.Dalam perjalanan, Rain berkendara sambil mendengarkan musik slow. Sesekali ia melirik jam tangannya, lalu menekan pedal gas lebih dalam dengan harapan cepat bertemu Gendis. Sementara itu, Gendis tengah merapikan ruang TV, membuang sampah, dan mencuci gelas serta piring. Rambutnya dikuncir asal, dan celemek lusuh melingkari pinggangnya. Tiba-tiba saja, pelukan hangat sekaligus nakal melingkari tubuhnya dari belakang. “Eh! Mas… aku kira siapa…” ucap Gendis kaget, namun tak mampu menyembunyikan senyum bahagia yang terbit di wajahnya. “Saya kangen…” bisik Rain dengan napas berat dan suara serak, bibirnya menelusuri leher Gendis, menciuminya lembut namun menuntut. “Sebentar lagi, Mas… aku kerjain tugas aku dulu di rumah,” ucap Gendis sambil tetap cekatan mencuci piring, meski setiap sentuhan tangan Rain di dadanya membuat tubuhnya bergetar. “Kamu nggak usah pulang lagi ke sini… sama saya saja, ya,” desis Rain, matanya tajam menatap leher Gendis yang memerah. “Mas, nggak mungk
“Kalian?” ucap ibu mertuanya, nyaris menjatuhkan gelas berisi teh hangat yang dipegangnya. “Ma… maksudnya bukan itu, Ma. Mas?” ucap Gendis terbata, memohon agar Rain segera menarik ucapannya. “Panggilan sayang itu memang harus, Bu, Pak. Saya ini kan Psikolog Reproduksi, jadi sama pasien yang mengalami masalah, saya harus sayang sama mereka. Kalau nggak sayang, bagaimana saya bisa paham kondisi pasien? Kan begitu…” ucap Rain sambil tersenyum—senyum yang justru terasa seperti permainan berbahaya di hadapan orang tua Raka. “Oh, benar juga, Ma. Masa sama pasien nggak sayang, kan aneh juga, ya? Hahaha…” ucap ayah mertuanya sambil tertawa, meski matanya masih sedikit meneliti Rain. “Iya sih… aneh, tapi… ya masuk akal,” sahut ibu mertuanya, menahan senyum yang setengah ragu. Gendis berusaha ikut tertawa, tapi tatapannya justru terikat pada Rain. Lelaki itu duduk santai, menyandarkan tubuh, seolah baru saja memenangkan pertarungan yang tak terlihat oleh mata orang lain. Menjelang
Gendis meremas ujung rok yang ia kenakan saat detik-detik ucapan Rain meluncur di hadapan orang tua Raka, siang menjelang sore itu. “Menantu Ibu dan Bapak mengalami sedikit kendala… terutama masalah hubungan seks, kesulitan untuk mendapatkan momongan, ragam kecemasan, dan juga beberapa masalah yang selama ini dia pendam sendiri,” ucap Rain dengan nada tenang, namun setiap katanya terasa seperti pukulan di dada Gendis. “Hah? Maksudnya dia dan suaminya ada masalah?” tanya ibu mertuanya, kening berkerut dan tatapan tajamnya langsung menghujam Gendis. “Seharusnya saya nggak boleh memberikan informasi mengenai kondisi psikis pasien saya… kecuali atas izin Gendis sendiri,” ucap Rain sambil menatap Gendis, seolah menantang wanita itu untuk menolak. “Gendis? Nggak masalah dong Mama sama Papa tahu kondisi kalian berdua?” ucap ayah mertuanya, nada suaranya setengah memaksa, setengah khawatir. “Um… iya, Pa. Biar Mas Rain yang menjelaskan semuanya,” ucap Gendis lirih, suaranya nyaris te
Ketegangan kini terjadi pada Rain dan Gendis. Saat tiba di depan pekarangan rumah Gendis dan Raka, Rain tidak serta-merta pergi dari sana. Tampak mobil milik mertuanya sudah terparkir di depan rumah Gendis dan Raka. “Mas, baiknya Mas langsung pulang. Aku nggak mungkin terang-terangan kasih lihat Mas sama mertua aku,” ucap Gendis dengan nada memohon, sorot matanya penuh cemas saat baru saja hendak keluar dari mobil Rain. “Kenapa? Kan bagus kalau mereka tahu,” balas Rain santai, seolah menganggap remeh kekhawatiran Gendis. “Nggak bisa gitu, Mas. Karir kamu gimana? Kamu psikolog, kamu juga dikenal banyak orang, dan kalau—” “Kamu bisa diem nggak?” potong Rain dengan suara pelan namun menusuk, membuat dada Gendis terasa sesak. “Saya bukain pintu buat kamu, dan saya anterin kamu sampai ke pintu rumah kamu. Saya nggak peduli,” ucap Rain tegas, tatapannya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ta-tapi, Mas...” suara Gendis bergetar, nyaris putus di ujung kalimat. Rain segera kelua
“Mas, kamu marah, ya?” ucap Gendis pelan saat Rain baru saja memasangkan sabuk pengaman untuknya. Lelaki itu tak membalas, hanya segera mengemudikan mobil keluar dari area parkir apartemen. Rain tetap diam, tatapannya lurus ke depan, fokus pada jalan. Gendis meliriknya sebentar, lalu memalingkan wajah ke arah jendela, memperhatikan keramaian kota siang itu. Namun, tanpa berkata apa-apa, tangan Rain bergerak mencari tangan Gendis. Ia menggenggamnya erat, hangat. “Um?” Gendis menoleh, menatap lelaki itu—dingin di wajah, tapi hangat di sentuhan. “Mas…” ucapnya lirih, seperti ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Rain memutar setir, lalu menepi di depan sebuah toko makanan. “Tunggu di sini,” ujarnya singkat setelah memarkirkan mobil, lalu mengecup kening Gendis dengan cepat—seolah ingin menghapus kerenggangan yang tadi tercipta—sebelum melangkah masuk ke toko. “Iya, Mas,” balas Gendis sambil mengangguk pelan, meski bibirnya tak mampu menahan seulas senyum
“Mas, apa ini nggak terlalu cepat? Status aku masih istrinya Raka,” ucap Gendis sambil menatap Rain yang memeluk dirinya dari belakang, ada ragu sekaligus hangat di matanya. “Kenalan dulu kan nggak papa, Sayang,” jawab Rain seolah tanpa beban, seakan masalah moral itu hanya angin lalu. “Mas, kamu gila. Masa aku yang statusnya istri orang, bawa kamu ke Mama sama Papa aku dan kenalin kamu?” ucap Gendis sambil menahan tawa dan menepuk pipi Rain, setengah gemas, setengah protes. “Saya kan memang gila, Sayang,” balas Rain sambil tersenyum tipis, lalu memeluk Gendis lebih erat. Bibir dan lidahnya menjelajah leher hingga pipi Gendis, sengaja meninggalkan jejak basah di kulitnya. “Mas… geli,” ucap Gendis sambil tersenyum, tubuhnya menggeliat kecil, mencoba menahan tawa namun wajahnya memerah oleh sensasi. Di tengah keintiman itu, ponsel yang khusus digunakan Rain untuk pasien dan urusan bisnis berbunyi nyaring, memecah momen. “Mas… telepon tuh.” “Nggak. Saya nggak mau terima tel