Home / Rumah Tangga / PELAN PELAN SAYANG / 8 - DESAHAN PANJANG LOLOS DARI BIBIR GENDIS

Share

8 - DESAHAN PANJANG LOLOS DARI BIBIR GENDIS

last update Last Updated: 2025-08-08 09:29:08

Bab 8

Sehari sesudah kejadian kemarin, Gendis masih bungkam dengan kejadian yang menimpa dirinya. Suaminya tak pernah melakukan kekerasan— apalagi memaksa dirinya untuk menikmati nafsu suaminya yang memburu. Mengingat hari ini adalah jadwalnya untuk konsultasi, Gendis memutuskan untuk pergi seorang diri disaat Raka kembali bekerja.

“Mas, aku udah dijalan, mau ke klinik,” ucap Gendis saat baru saja menghubungi Rain.

“Kenapa pergi sendiri? Saya bilang kan saya mau jemput kamu,” ucap Rain dengan nada sedikit kecewa.

“Nggak papa kok, Mas. Aku udah di taksi, tunggu ya, Mas,” ucap Gendis sambil melihat sekitar.

“Hati-hati, Saya tunggu kamu, di apartemen,” ucap Rain dengan nada penuh kekhawatiran.

“Mas nggak di klinik?” tanya Gendis yang tampak bingung.

“Saya udah bilang, kamu pasien pribadi saya. Saya tunggu kamu disini, saya share alamatnya,” ucap Rain sambil tersenyum penuh harap.

“Iya, Mas,” ucap Gendis yang semakin gugup.

“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Rain, penuh perhatian.

Gendis mengangguk tanpa menjawab, lalu panggilan pun terputus.

Tak beberapa lama, Gendis tiba di apartemen milik Rain.Mereka berpelukan erat sesaat bertemu sebelum akhirnya duduk di atas kursi empuk berdampingan.

Rain menatap Gendis, yang sejak tadi memainkan lengan cardigannya. Seolah benang-benang kain itu bisa menahan semua guncang yang tak diucapkan.

Rain tersenyum tipis menatap Gendis bagai lukisan yang hanya bisa dikagumi.

“Mas,” ucap Gendis pelan, suaranya serak. “Semua pasien Mas… juga diperlakukan seperti aku ini?”

Rain tersenyum kecil. “Enggak. Biasanya mereka datang bareng suami dan nggak ada yang tau tempat tinggal saya.”

“Oh,” Gendis menaikkan alis, matanya menyelidik. “Jadi kalau pasiennya ke klinik dan nggak datang bareng suami?”

Rain tertawa pelan, lalu menggeleng. “Nggak juga. Ini baru pertama kali,” ujarnya, tatapannya berubah lebih serius saat menatap wajah Gendis.

“Kenapa ke aku gini, Mas?” tanya Gendis, suaranya nyaris seperti bisikan. Sorot matanya rapuh tapi ingin dimengerti.

Rain menaruh tabletnya, menyandarkan tubuh. “Karena kamu beda. Spesial.”

Gendis tak langsung menjawab. Tatapannya menurun... lalu mengeras. Di bawah kerah cardigan Gendis yang sedikit melorot ke samping, tampak semburat kebiruan samar pada bahunya. Lebam.

“Gendis... itu luka?” tanyanya pelan.

Gendis buru-buru menarik cardigan-nya rapat. “Cuma... kebentur.”

“Liat sini?”

Gendis mengatupkan bibir. Matanya mulai memerah.

Rain maju, mencondongkan tubuhnya. “Dia nyakitin kamu?”

Gendis membeku. Ia menunduk.

Rain bangkit dari sofa, lalu jongkok di hadapan Gendis.

“Kamu nggak salah. Dengar?” ucapnya tegas tapi rendah. “Apa yang dia lakuin... itu kekerasan.”

Gendis mulai menangis. Tapi ini bukan tangis lemah. Ini tangis dari seseorang yang akhirnya didengar.

“Aku merasa kotor, Mas,” lirihnya. “Dan sendirian.”

Rain menggeleng. “Kamu nggak sendiri. Dan kamu nggak kotor.”

Gendis menunduk, bahunya berguncang. Rain mengangkat tangannya, ragu sesaat—lalu menyentuh pipi Gendis perlahan. Ia menghapus air mata itu, sangat pelan, seolah takut merusak perempuan yang hampir runtuh di hadapannya.

“Kalau kamu mau... saya bisa bantu kamu keluar dari semua ini.”

“Mas... jangan terlalu baik,” ucap Gendis, suaranya pecah.

Rain tersenyum kecil. Lalu dengan suara pelan, ia berkata, “Kamu mau nggak ikut saya ke rumah Mama saya?”

Tiba-tiba?

Gendis langsung menoleh cepat. “Apa?”

Rain menatapnya, serius tapi jenaka. “Kita makan siang di sana. Kamu bisa istirahat. Aman. Dan—ya, Mama saya katanya pengen kenal sama perempuan yang saya suka.”

“Tapi? Mas, ini maksudnya gimana?” suara Gendis melemah namun penuh kekhawatiran

“Saya. pernah bilang saya mau kamu jadi janda, itu saya serius,” gumam Rain dengan wajah serius. “Dan saya juga belum punya istri.”

“Tapi kenyataan belum, Mas...” ucap Gendis sambil berbisik.

“Kalau kamu mau... malam ini ikut aku ke rumah Mama. Di Bogor. Tenang. Jauh dari semua ini.”

Gendis menoleh, sedikit cemas. “Jauh banget?”

Rain mengangguk. “Agak ke pinggir hutan sih. Tapi aman. Nggak ada orang yang bakal ganggu kamu.”

Gendis menarik napas. “Kalau di hutan... pasti ada hewan buas, ya?”

Rain mengangkat alis, seperti tertarik dengan arah pembicaraan. “Oh, jelas ada.”

“Jangan bilang hewannya itu... kamu,” ucap Gendis sambil mendongak menatap Rain yang ada disampingnya.

“Iya, aku buas. Kamu mau cobain?” ucap Rain sambil berbisik pelan di telinga Gendis.

Gendis menelan ludah. Jantungnya berdegup terlalu cepat. Ia mencoba berpaling, tapi tangan Rain menyentuh pelan dagunya—mengarahkannya kembali menatap.

Mata mereka bertemu.

Perlahan, Rain mendekat... memberi waktu. Gendis tidak mundur. Ia justru diam, seolah menantang. Matanya terpejam sepersekian detik sebelum bibir mereka akhirnya bersentuhan.

Tangan Rain mulai menjelajahi tubuh Gendis yang kini mulai menggeliat pelan di bawahnya. Pakaian dalam yang dikenakan Gendis sudah tak mampu menyembunyikan betapa tubuhnya pun merespons hangat setiap sentuhan itu, terlepas utuh dan benar-benar tanpa penghalang.

Gendis memejamkan mata, bibirnya sedikit terbuka, tubuhnya mengangkat perlahan mengikuti irama napas Rain yang kini menurun ke lehernya. Desahan lirih lolos dari mulutnya ketika Rain menciumi tulang selangka dan bahu mungilnya.

“Mas…” lirih Gendis, antara ragu dan menyerah.

Namun Rain tak memberi celah untuk ragu itu tumbuh. Ia menarik pinggul Gendis pelan-pelan hingga tepat pada tempat yang ia inginkan.

“Kamu cantik banget,” ucapnya pelan, namun penuh hasrat.

Gendis membuka matanya, menatap pria di atasnya itu dengan tatapan yang nyaris sama membaranya. Ia mengangkat tangannya, menyentuh rahang Rain dengan lembut, lalu menariknya kembali untuk sebuah ciuman yang kali ini ia pimpin sendiri.

Tidak ada lagi ruang untuk penolakan pagi itu. Yang ada hanya desahan dan bisikan penuh kerinduan. Ketika tubuh mereka bersatu dalam satu irama, dunia seolah runtuh perlahan. Yang tersisa hanya suara napas memburu, detak jantung yang saling berlomba, dan kehangatan yang memenuhi udara di ruang tengah.

Gendis mengeratkan pelukannya, membiarkan Rain menuntaskan segalanya. Kali ini, bukan hanya tubuh mereka yang menyatu. Tapi luka, rindu, dan cinta yang selama ini tertahan, tumpah ruah pagi itu dalam pelukan satu sama lain.

“Sakit?” bisik Rain di sela dorongan yang ia berikan, lembut namun tak henti.

“Um… nggak… Mas…” ucap Gendis sambil tersenyum, matanya menatap Rain dengan penuh perasaan sebelum ia memejamkan mata dan memeluk erat tubuh pria itu. Ia membiarkan dirinya larut sepenuhnya, hingga akhirnya Rain menumpahkan segalanya dalam dirinya.

“Ah…” desahan panjang lolos dari bibir Gendis. Matanya terbuka lebar saat merasakan kehangatan itu menjalar, menyelimuti dirinya dengan sensasi baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PELAN PELAN SAYANG    16 - LEHER GENDIS YANG MEMERAH

    Dalam perjalanan, Rain berkendara sambil mendengarkan musik slow. Sesekali ia melirik jam tangannya, lalu menekan pedal gas lebih dalam dengan harapan cepat bertemu Gendis. Sementara itu, Gendis tengah merapikan ruang TV, membuang sampah, dan mencuci gelas serta piring. Rambutnya dikuncir asal, dan celemek lusuh melingkari pinggangnya. Tiba-tiba saja, pelukan hangat sekaligus nakal melingkari tubuhnya dari belakang. “Eh! Mas… aku kira siapa…” ucap Gendis kaget, namun tak mampu menyembunyikan senyum bahagia yang terbit di wajahnya. “Saya kangen…” bisik Rain dengan napas berat dan suara serak, bibirnya menelusuri leher Gendis, menciuminya lembut namun menuntut. “Sebentar lagi, Mas… aku kerjain tugas aku dulu di rumah,” ucap Gendis sambil tetap cekatan mencuci piring, meski setiap sentuhan tangan Rain di dadanya membuat tubuhnya bergetar. “Kamu nggak usah pulang lagi ke sini… sama saya saja, ya,” desis Rain, matanya tajam menatap leher Gendis yang memerah. “Mas, nggak mungk

  • PELAN PELAN SAYANG    15 - RAIN YANG TIDAK TAHAN

    “Kalian?” ucap ibu mertuanya, nyaris menjatuhkan gelas berisi teh hangat yang dipegangnya. “Ma… maksudnya bukan itu, Ma. Mas?” ucap Gendis terbata, memohon agar Rain segera menarik ucapannya. “Panggilan sayang itu memang harus, Bu, Pak. Saya ini kan Psikolog Reproduksi, jadi sama pasien yang mengalami masalah, saya harus sayang sama mereka. Kalau nggak sayang, bagaimana saya bisa paham kondisi pasien? Kan begitu…” ucap Rain sambil tersenyum—senyum yang justru terasa seperti permainan berbahaya di hadapan orang tua Raka. “Oh, benar juga, Ma. Masa sama pasien nggak sayang, kan aneh juga, ya? Hahaha…” ucap ayah mertuanya sambil tertawa, meski matanya masih sedikit meneliti Rain. “Iya sih… aneh, tapi… ya masuk akal,” sahut ibu mertuanya, menahan senyum yang setengah ragu. Gendis berusaha ikut tertawa, tapi tatapannya justru terikat pada Rain. Lelaki itu duduk santai, menyandarkan tubuh, seolah baru saja memenangkan pertarungan yang tak terlihat oleh mata orang lain. Menjelang

  • PELAN PELAN SAYANG    14 - RAIN MEMANGGIL GENDIS DENGAN PANGGILAN SAYANG DI DEPAN MERTUA GENDIS

    Gendis meremas ujung rok yang ia kenakan saat detik-detik ucapan Rain meluncur di hadapan orang tua Raka, siang menjelang sore itu. “Menantu Ibu dan Bapak mengalami sedikit kendala… terutama masalah hubungan seks, kesulitan untuk mendapatkan momongan, ragam kecemasan, dan juga beberapa masalah yang selama ini dia pendam sendiri,” ucap Rain dengan nada tenang, namun setiap katanya terasa seperti pukulan di dada Gendis. “Hah? Maksudnya dia dan suaminya ada masalah?” tanya ibu mertuanya, kening berkerut dan tatapan tajamnya langsung menghujam Gendis. “Seharusnya saya nggak boleh memberikan informasi mengenai kondisi psikis pasien saya… kecuali atas izin Gendis sendiri,” ucap Rain sambil menatap Gendis, seolah menantang wanita itu untuk menolak. “Gendis? Nggak masalah dong Mama sama Papa tahu kondisi kalian berdua?” ucap ayah mertuanya, nada suaranya setengah memaksa, setengah khawatir. “Um… iya, Pa. Biar Mas Rain yang menjelaskan semuanya,” ucap Gendis lirih, suaranya nyaris te

  • PELAN PELAN SAYANG    13 - NEKAT! RAIN LANGSUNG BERTEMU MERTUA GENDIS?

    Ketegangan kini terjadi pada Rain dan Gendis. Saat tiba di depan pekarangan rumah Gendis dan Raka, Rain tidak serta-merta pergi dari sana. Tampak mobil milik mertuanya sudah terparkir di depan rumah Gendis dan Raka. “Mas, baiknya Mas langsung pulang. Aku nggak mungkin terang-terangan kasih lihat Mas sama mertua aku,” ucap Gendis dengan nada memohon, sorot matanya penuh cemas saat baru saja hendak keluar dari mobil Rain. “Kenapa? Kan bagus kalau mereka tahu,” balas Rain santai, seolah menganggap remeh kekhawatiran Gendis. “Nggak bisa gitu, Mas. Karir kamu gimana? Kamu psikolog, kamu juga dikenal banyak orang, dan kalau—” “Kamu bisa diem nggak?” potong Rain dengan suara pelan namun menusuk, membuat dada Gendis terasa sesak. “Saya bukain pintu buat kamu, dan saya anterin kamu sampai ke pintu rumah kamu. Saya nggak peduli,” ucap Rain tegas, tatapannya tak memberi ruang untuk bantahan. “Ta-tapi, Mas...” suara Gendis bergetar, nyaris putus di ujung kalimat. Rain segera kelua

  • PELAN PELAN SAYANG    12 - MAMA RAIN MENUNTUTNYA UNTUK BAWA PASANGAN

    “Mas, kamu marah, ya?” ucap Gendis pelan saat Rain baru saja memasangkan sabuk pengaman untuknya. Lelaki itu tak membalas, hanya segera mengemudikan mobil keluar dari area parkir apartemen. Rain tetap diam, tatapannya lurus ke depan, fokus pada jalan. Gendis meliriknya sebentar, lalu memalingkan wajah ke arah jendela, memperhatikan keramaian kota siang itu. Namun, tanpa berkata apa-apa, tangan Rain bergerak mencari tangan Gendis. Ia menggenggamnya erat, hangat. “Um?” Gendis menoleh, menatap lelaki itu—dingin di wajah, tapi hangat di sentuhan. “Mas…” ucapnya lirih, seperti ingin mengatakan sesuatu yang tertahan di tenggorokan. Rain memutar setir, lalu menepi di depan sebuah toko makanan. “Tunggu di sini,” ujarnya singkat setelah memarkirkan mobil, lalu mengecup kening Gendis dengan cepat—seolah ingin menghapus kerenggangan yang tadi tercipta—sebelum melangkah masuk ke toko. “Iya, Mas,” balas Gendis sambil mengangguk pelan, meski bibirnya tak mampu menahan seulas senyum

  • PELAN PELAN SAYANG    11 - MENDADAK GENDIS INGIN PULANG KERUMAHNYA. RAIN MARAH?

    “Mas, apa ini nggak terlalu cepat? Status aku masih istrinya Raka,” ucap Gendis sambil menatap Rain yang memeluk dirinya dari belakang, ada ragu sekaligus hangat di matanya. “Kenalan dulu kan nggak papa, Sayang,” jawab Rain seolah tanpa beban, seakan masalah moral itu hanya angin lalu. “Mas, kamu gila. Masa aku yang statusnya istri orang, bawa kamu ke Mama sama Papa aku dan kenalin kamu?” ucap Gendis sambil menahan tawa dan menepuk pipi Rain, setengah gemas, setengah protes. “Saya kan memang gila, Sayang,” balas Rain sambil tersenyum tipis, lalu memeluk Gendis lebih erat. Bibir dan lidahnya menjelajah leher hingga pipi Gendis, sengaja meninggalkan jejak basah di kulitnya. “Mas… geli,” ucap Gendis sambil tersenyum, tubuhnya menggeliat kecil, mencoba menahan tawa namun wajahnya memerah oleh sensasi. Di tengah keintiman itu, ponsel yang khusus digunakan Rain untuk pasien dan urusan bisnis berbunyi nyaring, memecah momen. “Mas… telepon tuh.” “Nggak. Saya nggak mau terima tel

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status