Saat Raka berangkat kerja, Gendis diam-diam melajukan mobilnya ke alamat yang Rain kirimkan—sebuah apartemen tinggi di pusat kota.
Rain sudah menunggu di depan unit, mengenakan kaos hitam dan celana santai. “Masuk,” ucapnya singkat.
Rain menatap Gendis, yang sejak tadi memainkan lengan cardigannya yang sudah duduk di sofa. Seolah benang-benang kain itu bisa menahan semua guncang yang tak diucapkan. Rain tersenyum tipis menatap Gendis bagai lukisan yang hanya bisa dikagumi. “Mas,” ucap Gendis pelan, suaranya serak. “Semua pasien Mas… juga diperlakukan seperti aku ini?” Rain tersenyum kecil. “Enggak. Biasanya mereka datang bareng suami dan nggak ada yang tau tempat tinggal saya.” “Oh,” Gendis menaikkan alis, matanya menyelidik. “Jadi kalau pasiennya ke klinik dan nggak datang bareng suami?” Rain tertawa pelan, lalu menggeleng. “Nggak juga. Ini baru pertama kali,” ujarnya, tatapannya berubah lebih serius saat menatap wajah Gendis. “Kenapa ke aku gini, Mas?” tanya Gendis, suaranya nyaris seperti bisikan. Sorot matanya rapuh tapi ingin dimengerti. Rain menaruh tabletnya, menyandarkan tubuh. “Karena kamu beda. Spesial.” Gendis tak langsung menjawab. Tatapannya menurun... lalu mengeras. Di bawah kerah cardigan Gendis yang sedikit melorot ke samping, tampak semburat kebiruan samar pada bahunya. Lebam. “Gendis... itu luka?” tanyanya pelan. Gendis buru-buru menarik cardigan-nya rapat. “Cuma... kebentur.” “Liat sini?” Gendis mengatupkan bibir. Matanya mulai memerah. Rain maju, mencondongkan tubuhnya. “Dia nyakitin kamu?” Gendis membeku. Ia menunduk. Rain bangkit dari sofa, lalu jongkok di hadapan Gendis. “Kamu nggak salah. Dengar?” ucapnya tegas tapi rendah. “Apa yang dia lakuin... itu kekerasan.” Gendis mulai menangis. Tapi ini bukan tangis lemah. Ini tangis dari seseorang yang akhirnya didengar. “Aku merasa kotor, Mas,” lirihnya. “Dan sendirian.” Rain menggeleng. “Kamu nggak sendiri. Dan kamu nggak kotor.” Gendis menunduk, bahunya berguncang. Rain mengangkat tangannya, ragu sesaat—lalu menyentuh pipi Gendis perlahan. Ia menghapus air mata itu, sangat pelan, seolah takut merusak perempuan yang hampir runtuh di hadapannya. “Kalau kamu mau... saya bisa bantu kamu keluar dari semua ini.” “Mas... jangan terlalu baik,” ucap Gendis, suaranya pecah. Rain tersenyum kecil. Lalu dengan suara pelan, ia berkata, “Kamu mau nggak ikut saya ke rumah Mama saya?” Tiba-tiba? Gendis langsung menoleh cepat. “Apa?” Rain menatapnya, serius tapi jenaka. “Kita makan siang di sana. Kamu bisa istirahat. Aman. Dan, Mama saya katanya pengen kenal sama perempuan yang saya suka.” “Tapi? Mas, ini maksudnya gimana?” suara Gendis melemah namun penuh kekhawatiran “Saya. pernah bilang saya mau kamu jadi janda, itu saya serius,” gumam Rain dengan wajah serius. “Dan saya juga belum punya istri.” “Tapi kenyataan belum, Mas...” ucap Gendis sambil berbisik. “Kalau kamu mau... malam ini ikut aku ke rumah Mama. Di Bogor. Tenang. Jauh dari semua ini.” Gendis menoleh, sedikit cemas. “Jauh banget?” Rain mengangguk. “Agak ke pinggir hutan sih. Tapi aman. Nggak ada orang yang bakal ganggu kamu.” Gendis menarik napas. “Kalau di hutan... pasti ada hewan buas, ya?” Rain mengangkat alis, seperti tertarik dengan arah pembicaraan. “Oh, jelas ada.” “Jangan bilang hewannya itu... kamu,” ucap Gendis sambil mendongak menatap Rain yang ada disampingnya. “Iya, aku buas. Kamu mau cobain?” ucap Rain sambil berbisik pelan di telinga Gendis. Gendis menelan ludah. Jantungnya berdegup terlalu cepat. Ia mencoba berpaling, tapi tangan Rain menyentuh pelan dagunya—mengarahkannya kembali menatap. Mata mereka bertemu. Ia berusaha mengalihkan pandangan, tapi jemari Rain menyentuh dagunya dengan lembut, mengarahkannya kembali. Perlahan, Rain mendekat... memberi waktu. Gendis tidak mundur. Ia justru diam, seolah menantang. Matanya terpejam sepersekian detik sebelum bibir mereka akhirnya bersentuhan.Ciuman itu dimulai lembut, lalu menghangat. Jemari Rain bergerak ke pinggang Gendis, menelusuri lekuknya. Tubuh Gendis mulai menggeliat, merespons setiap sentuhan yang menyala di kulitnya. Pakaian dalamnya terasa tak lagi menjadi pelindung, hanya lapisan tipis yang akhirnya terlepas tanpa disadari.
Napas Gendis terhenti sejenak ketika bibir Rain meninggalkan bibirnya dan turun ke lehernya. Ia memejamkan mata, bibirnya sedikit terbuka, tubuhnya terangkat mengikuti irama napas Rain. Desahan lirih lolos saat pria itu menciumi tulang selangka dan bahunya, membakar kulit di setiap inci yang disentuh.
“Mas…” lirih Gendis, antara ragu dan menyerah. Namun Rain tak memberi celah untuk ragu itu tumbuh. Ia menarik pinggul Gendis pelan-pelan hingga tepat pada tempat yang ia inginkan. “Kamu cantik banget,” ucapnya pelan, namun penuh hasrat. Gendis membuka matanya, menatap pria di atasnya itu dengan tatapan yang nyaris sama membaranya. Ia mengangkat tangannya, menyentuh rahang Rain dengan lembut, lalu menariknya kembali untuk sebuah ciuman yang kali ini ia pimpin sendiri. Tidak ada lagi ruang untuk penolakan pagi itu. Yang ada hanya desahan dan bisikan penuh kerinduan. Ketika tubuh mereka bersatu dalam satu irama, dunia seolah runtuh perlahan. Yang tersisa hanya suara napas memburu, detak jantung yang saling berlomba, dan kehangatan yang memenuhi udara di ruang tengah. Gendis mengeratkan pelukannya, membiarkan Rain menuntaskan segalanya. Kali ini, bukan hanya tubuh mereka yang menyatu. Tapi luka, rindu, dan cinta yang selama ini tertahan, tumpah ruah pagi itu dalam pelukan satu sama lain. “Sakit?” bisik Rain di sela dorongan yang ia berikan, lembut namun tak henti. “Um… nggak… Mas…” ucap Gendis sambil tersenyum, matanya menatap Rain dengan penuh perasaan sebelum ia memejamkan mata dan memeluk erat tubuh pria itu. Ia membiarkan dirinya larut sepenuhnya, hingga akhirnya Rain menumpahkan segalanya dalam dirinya. “Ah…” desahan panjang lolos dari bibir Gendis. Matanya terbuka lebar saat merasakan kehangatan itu menjalar, menyelimuti dirinya dengan sensasi baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.“Pertama, dia tahu aku orang yang kepo sama urusan dia. Tapi itu dulu. Aku akui, dulu aku sepenasaran itu sama dia karena sesuatu hal. Kedua, dia tahu kamu anak IT, kamu nggak banyak temen, jadi kamu nggak bakal banyak omong sana-sini. Dan ketiga, dia tahu kalau tiga orang yang hilang dari kantor kita itu orang di bawah kendali aku—tim aku sendiri, dan mereka kenal dekat sama Raka,” ucap Angga pelan namun tegas, matanya menatap jalan tanpa berkedip. “Tapi... kamu ada urusan apa sama Pak Raka?” tanya Shasha penasaran, menoleh pada wajah Angga. “Saingan dapetin proyek dari kantor. Raka kalah, dia juga akhirnya dikeluarkan dari perusahaan. Dan kamu tahu, istri Pak Rain yang sekarang itu dulu adalah istrinya Raka,” ucap Angga, suaranya merendah tapi jelas, seolah mengingat sesuatu yang lebih kelam. “Hah? Jadi... beneran video itu emang sebelum mereka nikah?” tanya Shasha kaget, matanya membesar. “Kayak narasi di video itu, benar. Itu benar. Tapi sebenarnya bukan urusan kita, kan?
“Saya kasih waktu buat kalian mengakui kesalahan. Jam empat sore. Temui saya di apartemen!” ucap Rain dengan nada tegas, menatap ketiga orang itu tanpa ekspresi. “Baik, Pak!” sahut mereka serentak, lalu segera meninggalkan ruangan dengan langkah cepat dan tegang. Rain menarik napas pelan, lalu membuka kotak bekalnya. Dengan santai ia melangkah menuju coffee corner di lantai rooftop, tempat para staf biasanya menikmati makan siang sambil bercengkerama. Sesampainya di sana, ia duduk di salah satu meja dekat jendela besar yang menghadap ke arah kota, lalu menekan layar ponselnya. “Selamat makan, Sayang,” ucap Gendis ceria dari layar video call, memperlihatkan sepiring makan siang buatan sendiri. “Vitamin udah disiapin?” tanya Rain sambil mengunyah makanannya perlahan. “Udah dong...” jawab Gendis sambil tersenyum lembut, matanya berbinar penuh kasih. Rain tersenyum tipis. “Pintar istri aku,” ucapnya pelan, suaranya terdengar hangat namun ada sesuatu di balik ketenangannya. Di seke
“Sayang, kamu lihat berita di TV! Sekarang!” seru Gendis panik, nadanya meninggi. “Kenapa? Berita apa?” tanya Rain sambil menekan remote televisi. Tepat detik itu juga, berita mengenai hilangnya Raka muncul di layar—dalam pencarian polisi. Rain tersenyum tipis, tapi senyum itu cepat memudar. Matanya menajam penuh amarah ketika melihat Suzan tengah menangis sambil membuat laporan kehilangan. “Sayang, udah lihat kan?” tanya Gendis dari dapur, suaranya masih terdengar cemas. “Oh, iya... tapi apa hubungannya sama kita,” ucap Rain datar, senyum palsu masih menempel di bibirnya sementara jari-jarinya cepat mengetik pesan pada orang suruhannya. “Ya aneh aja sih... itu mantan istrinya yang melapor ke polisi. Terus, siapa juga sih yang mau nyulik dia? Ya kan, Sayang?” ucap Gendis sambil melirik oven, memastikan kuenya tidak gosong. “Iya juga... dia kan bukan orang penting atau pejabat. Ngapain juga sampai diheboh-hebohin begitu,” sahut Rain, suaranya tenang tapi matanya menyimpan s
“Kalau sampai ada berita acara pemanggilan saya di IDI karena MKEK, artinya kamu adalah orang yang harus bertanggung jawab atas hilangnya profesi saya sebagai psikolog reproduksi. Paham?” ucap Rain sambil tersenyum dingin menatap Angga. “Paham, Pak,” jawab Angga tegas, matanya menatap lurus tanpa gentar. “Mas...” bisik Shasha pelan, wajahnya tampak panik. Angga hanya mengeratkan genggamannya di tangan Shasha, memberi isyarat agar tenang. “Oke, silakan balik ke ruangan masing-masing,” ucap Rain santai, kembali duduk di kursi kerjanya seolah ancaman barusan hanyalah obrolan ringan. “Baik, Pak. Permisi,” ucap Angga sopan, lalu menuntun Shasha keluar dari ruangan mewah sang CEO. ••• Di luar ruangan. Udara di koridor terasa berat. Shasha menatap Angga yang berjalan di sampingnya. “Mas, kamu yakin bisa cari orang yang sebar video ini?” tanyanya pelan, suaranya nyaris bergetar. “Yakin,” jawab Angga singkat namun mantap, tanpa menoleh. “Tapi... kamu nggak ada hubungannya
“Karena saya berhubungan seks sama Shasha di—” ucap Angga pelan, namun belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya. “No!” sahut Rain cepat, nadanya tegas dan tajam hingga membuat ruangan seketika hening. Rain menatap Angga dalam-dalam. “Saya panggil kamu, terutama kamu, Angga... soal video.” Ucapannya disertai senyum sinis yang membuat Shasha menelan ludah. “Video? Tapi saya juga baru tahu pagi ini video itu, Pak,” ucap Angga, nadanya terdengar gugup, seolah mencoba meyakinkan. “Oh ya?” Rain memiringkan kepala, menatap Shasha dengan tatapan penuh selidik. “Kalau junior kamu ini?” “Saya tahu sejak kemarin, Pan...” jawab Shasha pelan sambil menunduk. Jemarinya masih terasa hangat di genggaman Angga, tapi genggaman itu kini terasa menekan, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. “Siapa yang kirim videonya?” tanya Rain kemudian, suaranya tenang tapi berbahaya. Ia beranjak dari kursinya, berjalan pelan menuju jendela besar, menatap pemandangan kota dari lantai atas dengan tangan
“Ahh... Mas... cepet... aku udah nggak kuat...” desah Shasha dengan mata terpejam, tangannya mencengkeram pundak Angga semakin erat. Shasha hampir kehilangan kendali. Tubuhnya berguncang, napasnya memburu, keringat mulai membasahi keningnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan desah, tapi setiap kali Angga mendorong dari bawah, suara itu tetap lolos. “Aah... Mas... ini enak, Mas... aah...” Angga tersenyum, wajahnya penuh puas melihat juniornya hampir runtuh di pelukannya. ia menggendong Shasha dan menyandarkan tubuhnya pada tembok dingin toilet. “Tahan sedikit lagi, Sayang... biar kita keluar bareng...” bisiknya di telinga Shasha, lalu ia menggigit lembut daun telinganya. “Aahh... ah... ahhh...” Shasha hampir menjerit, tubuhnya melengkung ke depan saat hentakan Angga semakin cepat, semakin dalam. Bunyi basah terdengar makin jelas, bercampur dengan dentuman pelan dinding toilet yang mereka tabrak tanpa sadar. Shasha tak bisa lagi berpikir jernih. Pikirannya koson