56“Kenapa kau pulang tanpa bicara denganku? Apa kau lupa ini masih jam kerja? Apa begitu sikap seorang karyawan? Meninggalkan pekerjaan tanpa permisi sama sekali? Apa kau tidak tahu jika di sebuah perusahaan ada peraturan yang harus ditaati?”Rentetan pertanyaan langsung menyerbuku tanpa ampun. Diucapkan dengan nada tinggi dan wajah merah. Aku menunduk merasakan hati yang semakin sakit. Semarah itu Tuan Sultan karena aku pulang tanpa memberi tahunya. “Sa-ya sudah minta izin sama Pak Sam, Tuan.” Aku mencoba menjawab walaupun dengan gagap. Aku pikir dia akan mengerti, nyatanya jawabanku semakin membuatnya murka.“Sam? Kau minta izin Hisam? Kau pikir siapa bosmu, hah?” Mata Tuan Sultan melebar sempurna. Ia semakin murka. “Aku apa Hisam sebenarnya yang bosmu? Aku atau Hisam yang memberimu gaji? Aku atau Hisam yang memberimu tempat tinggal? Selalu Hisam Hisam saja! Seolah Hisam lebih penting bagimu! Kau sama sekali tidak menghargaiku! Apa benar yang dikatakan mantan mertuamu jika kau p
57Aku berusaha melepaskan diri. Namun, tatapan itu seolah menghipnotis diri ini. Apalagi kata-kata yang keluar dari mulutnya kemudian, membuat dunia seakan berhenti beberapa saat. “Maaf, aku sudah menyakitimu, Ana.” Dia mengucapkan kalimat itu dengan dalam dan penuh perasaan. Matanya tak lepas menatap mata ini. “Aku hanya tidak rela seseorang menyakiti dan menyentuhmu. Kau, sangat berharga untukku. Hanya aku yang boleh menyentuhmu.” Kali ini ia mengucapkan kalimat itu dengan suara pelan setengah berbisik. Kedua tangannya yang memegangi tangan ini di depan dada kami, semakin menarikku hingga wajah kami mendekat. Aku menelan ludah dengan susah payah. Kurasakan tiba-tiba ada yang ramai di dalam dada ini. Entah suara apa, yang pasti jantung tidak tahu diri ini mendadak bekerja tak sesuai ritme. Meletup-letup hingga aku yakin Tuan Sultan dapat mendengar dan merasakan detak jantungku yang kacau. Dia semakin mendekatkan wajah kami. Tatapan itu terus saja menghipnotis mata ini hingga aku
58Hari ini jadwal ke pengadilan agama. Terpaksa aku harus keluar kamar. Padahal awalnya ingin mengeram saja di kamar. Minta izin tidak bekerja dengan alasan kepala pusing. Padahal, alasan sebenarnya, malu. Malu ketahuan jika aku menguntitnya. Ternyata, aku tidak bisa mengelabui seorang bos. Namanya bos, pasti tingkat kecerdasannya juga tinggi. Tak mungkin bisa dikelabui bawahan tak berpengalaman sepertiku. Kenapa aku tidak berpikir sampai ke sana? Aku mematut diri di depan cermin. Memoles wajah dengan cantik, dan memadu padankan kostum yang akan kupakai hari ini. Bukan agar terlihat cantik di depan Arman, karena ia sudah ditahan polisi. Atau untuk menarik perhatian panitera di pengadilan agama sana. Namun, untuk memberi semangat kepada diri sendiri karena akan segera menyongsong kebebasan dan status baru. Ya, mulai hari ini aku akan menyandang status baru sebagai seorang janda yang sebenarnya tidak membanggakan sama sekali. Hanya saja, dengan status baru ini, aku akan lebih lel
59Aku berusaha melepaskan kaki, tetapi dia memeluknya erat. Tangisnya bahkan semakin menjadi. “Vio, aku mohon kebaikan hatimu. Keluarga kami saat ini benar-benar sedang terkena musibah. Ayah Arman masuk rumah sakit, anak gadisku dicerai suaminya padahal baru dua hari menikah, dia juga diusir mertuanya hanya karena salah satu anggota keluarga kami ada yang masuk penjara. Mereka menyebut itu sebuah aib. Padahal anakku sudah hamil. Tolonglah Vio, tolong suruh bosmu mencabut laporan itu agar Arman dibebaskan. Perusahaan kami kolaps, apalagi Arman dipenjara, nasibnya terkatung-katung. Nasib kami ikut tidak jelas.” Mantan ibu mertuaku terus saja mengoceh panjang diselingi tangisan. Pelukan di kakiku semakin erat. Beberapa awak media yang merekam adegan ini meng-zoom wajahku dan wajah ibunya Arman. Di antara mereka bahkan ada yang bertanya-tanya. Aku memalingkan wajah karena malu. Sementara ibunya Arman seolah tidak peduli dan tidak malu sedikit pun. Aku heran, apa yang ada di pikiran
60Hari sedang panas-panasnya saat kami meninggalkan gedung pengadilan agama. Tempat yang tidak mau kudatangi lagi seumur hidup. Semoga kelak bila Tuhan memberiku jodoh, itu adalah jodoh dunia akhiratku. Cukup dua kali namaku disebut dalam ijab qabul pernikahan. Oleh Arman, dan seseorang yang akan melindungiku dalam penjagaannya sepanjang usia. Apa dia Tuan Sultan? Entahlah, rasanya aku belum yakin. Atau memang tidak yakin. Kuakui, ada sedikit rasa untuknya. Mengingat kebaikannya selama ini, dia orang yang paling berjasa dalam perubahan hidupku. Aku jadi sesehat dan secantik ini. Dulu, bahkan berkhayal pun aku tak berani memiliki tubuh seindah dan secantik ini. Tak pernah terbersit akan memiliki penampilan seperti sekarang. Kemudian pekerjaan, saat menjadi istri Arman, jangankan terbersit menjadi seorang sekretaris bos perusahaan besar. Melamar pekerjaan sebagai buruh pabrik saja aku tidak berani karena tubuh tambunku yang menjadi kendala. Siapa yang akan memperkerjakan seseoran
61Aku masih menatap nanar Tuan Sultan saat sorakan untuk segera meniup lilin bergema memenuhi ruang pendengaran. Kulihat lilinnya memang hampir habis karena terlalu lama aku menatap haru laki-laki di depan sana. Aku memejam, melangitkan doa-doa terbaik. Untuk hidupku ke depannya, untuk kedua orang tua yang sudah tenang di alam sana, dan untuk ... Tuan Sultan. Aku meminta agar ia disehatkan, dan rezeki yang ia habiskan untukku, diganti berlipat-lipat. Aku juga meminta agar ia selalu bahagia dan dijauhkan dari segala marabahaya. Sungguh, tak pernah terbersih sedikit pun bila aku akan mendoakan seorang laki-laki di hari ulang tahunku. Dan laki-laki itu adalah Tuan Sultan. Lelaki yang penuh kejutan di balik sikap datar dan mengesalkannya. Semua yang ia berikan hari ini bagiku bukan lagi kejutan, melainkan hadiah istimewa dari seseorang yang sebenarnya tak perlu melakukan semua ini untukku karena aku bukan siapa-siapa. Tak ada yang dapat menggambarkan perasaanku saat ini. Aku ... ah,
62Aku melepaskan tangan dengan malu-malu. Sebenarnya masih ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan Tuan Sultan. Namun, kami sudah menghabiskan waktu seharian ini berdua. Kini, kami sudah sampai di depan pintu kamarku. Bahkan, sudah lama kami di sini saling berpegangan kedua tangan, rasanya berat untuk berpisah. Rangkaian kencan–itu pun jika acara kami hari ini bisa disebut kencan—ditutup dengan Tuan Sultan memberikan sebuah bungkusan kecil. “Selamat malam, selamat istirahat. Mimpi indah malam ini, ya,” ucapnya sebagai penutup kebersamaan kami hari ini. Kami akhirnya melepas tangan yang sejak tadi saling bertaut, sebelum aku mengangguk malu dan membuka pintu kamar. Masuk, dan menutup lagi benda itu dengan pelan, seolah tidak rela bila kami harus berpisah. Aku menyandarkan punggung di belakang pintu seraya memeluk bungkusan kecil yang barusan diberikan lelaki itu. Hatiku berbunga-bunga. Duniaku berwarna. Aku bahkan yakin semua orang yang melihat wajah ini setuju jika aku teru
63Kujalani hari-hari selanjutnya dengan hati yang selalu berbunga dan jiwa semakin muda. Akhirnya, dalam hidup aku bisa merasakan apa itu jatuh cinta, apa itu bahagia. Sesuatu yang mungkin tidak akan aku dapatkan jika tidak pernah bertemu Tuan Sultan. Kini, tak ada lagi penderitaan. Tak ada lagi hari-hari suram. Tak ada lagi air mata. Yang ada hanya hidup penuh warna dan hati selalu berbunga. Tuan Sultan memperlakukanku sangat manis. Setia saat setiap waktu, ia selalu memberi kejutan-kejutan indah. Seperti jam tangan yang kini melingkar di pergerakan tangan kiriku, jam tangan yang ia berikan di hari ulang tahunku. Jam tangan yang saat aku googling harganya sangat wow untuk ukuran orang sepertiku. Saat aku tanya kenapa menghadiahi benda ini, ia menjawab agar aku selalu mengingat dirinya setiap detik, setiap menit, setiap waktu. Selain jam tangan mahal, masih ada banyak barang mewah yang ia hadiahkan untukku walaupun aku tidak meminta. Belum lagi kejutan-kejutan kecil semisal ada