Hujan mengguyur kota.
Pakaian basah kuyup dan juga mata sembab itu membuat Naina tampak begitu menyedihkan.
Suara gelak tawa di dalam mansion membuat sakit Naina semakin dalam, dengan cepat dia membuka pintu itu dengan kasar.
Suara yang begitu keras membuat tawa dua insan yang tengah duduk bersama di ruang keluarga itu berhenti.
“NAINA! Apa kau tak punya sopan santun!!” Teriak Jake, jelas pria itu marah.
Naina tak peduli, dia berjalan cepat menuju ke arah mereka berdua.
Tatapannya seolah ingin membunuh mereka.
Jake yang menyadari keanehan istrinya langsung berdiri, lalu mendorong tubuh itu sedikit menjauh. “Kau basah seperti ini malah mendekat ke sini. Tidak lihat karpet mahalku jadi kotor!”
Naina masih diam, bibirnya terkatup seolah menahan semuanya agar tak keluar.
Evelyn langsung memegang tangan Jake, lalu memasang wajah lemah. “Jake, aku sepertinya pusing. Apa kau bisa mengantarkanku ke kamar?”
Jake langsung mengangguk, lalu menggendong Evelyn menuju ke kamarnya sambil menyenggol tubuh Naina hingga wanita itu tersungkur.
Naina mengepalkan tangannya di karpet basah itu, giginya gemeretak menahan amarah.
“Jake, Evelyn. Aku akan membalaskan dendamku. Jika ayahku mati, aku tak akan membiarkan hidup bebas!!!” Gumamnya dengan bibir gemetar.
Tapi dia sadar, jika dia langsung melawan dia akan kalah. Dia hanya wanita lemah sekarang, tak punya kuasa untuk membalas Jake.
Tapi sekelebatan ingatan membuat matanya berkilat.
Kartu nama itu.
Dia kemudian bangkit, langkahnya yang lemah mulai pergi ke kamarnya. Dia harus mencari kartu nama itu.
“Aku harus mencari pria itu. Yaa.. aku yakin dia bisa membantuku.”
********
“Makanan kalian sudah siap, apa aku boleh pergi?” Pertanyaan itu muncul kala Naina selesai membuatkan sarapan.
Wajahnya tampak tak sabar, dia ingin segera pergi untuk menemui seseorang pagi ini.
Jake yang melihat tampilan Naina sedikit rapi pagi ini langsung tak tahan untuk bertanya, “Kemana kau pergi?”
“Aku ingin menjaga ayah, kondisinya semakin memburuk jadi aku ingin merawatnya.” Kata Naina berbohong.
Jika tidak seperti itu tentu dia tak akan diizinkan pergi.
Jake akhirnya mengangguk, “Oke, jam empat sudah harus dirumah. Makan malam ini Evelyn ingin makan seafood buatanmu.”
Naina segera mengangguk, dan tanpa pikir panjang dia segera melepaskan apronnya dan mengambil tasnya lalu pergi.
Dia tak peduli tatapan Jake yang terlihat mencurigainya, yang terpenting dia harus menemui pria itu.
Dia berjalan ke arah halte bus dan menunggu bus selanjutnya datang. Perjalanannya cukup panjang hari ini terlebih dia tak mampu menyewa taxi karena seluruh tabungannya dia berikan untuk pengobatan ayahnya.
Tapi tak masalah, asal dia punya sedikit saja bantuan dari pria yang bernama Marven Tuner itu, dia bisa melalui ini dengan mudah.
Perjalanan yang harus dia tepuh adalah dua jam, dan selama itu dia harus berganti bus sebanyak empat kali. Cukup melelahkan tapi tak ada pilihan.
Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, dia akhirnya tiba di depan gedung pencakar langit yang menjadi markas besar perusahaan Tuner Group. Bangunan itu tampak megah dan mendominasi cakrawala kota, dengan kaca-kaca besar yang memantulkan cahaya matahari dan memberikan kesan elegan serta modern.
Dia berdiri di depan pintu masuk, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah masuk. Begitu pintu otomatis terbuka, dia disambut oleh suasana sibuk. Lobi besar itu penuh dengan orang-orang berpakaian formal yang berjalan cepat, membawa dokumen, atau berbicara melalui ponsel mereka.
Seorang resepsionis menyambutnya dengan senyum profesional. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?”
“S-selamat pagi, apakah saya bisa bertemu dengan tuan Marven Tuner? Menurut kartu nama ini beliau bekerja disini.” Kata Naina dengan sopan, namun terasa kikuk.
Dia juga tak tahu sebagai apa Marven Tuner di gedung besar ini, tapi melihat kartu nama mewah itu seharusnya paling tidak menjabat sebagai orang penting seperti manajer atau direktur.
“Mohon maaf, apakah anda sudah membuat janji temu?” Resepsionis itu sedikit curiga, terlebih Naina seperti bukan orang penting yang bisa bertemu dengan Marven Tuner dijalan.
“Belum, apakah harus membuat janji temu, ?”
Resepsionis itu tersenyum profesional"Ya, biasanya untuk bertemu dengan Tuan Tuner diperlukan janji temu sebelumnya, terutama karena beliau adalah pribadi yang sangat sibuk," jelasnya dengan nada profesional.
Naina mendengar itu mengerti jika Marven Tuner tidak mungkin sembarangan bisa ia temui, segera dia mengeluarkan kartu nama yang dia simpan dengan baik. Tatapannya berharap bisa bertemu dengan kartu ini. "Ini, kartu nama yang beliau berikan. Sepertinya beliau juga ingin saya menemuinya. Apakah saya boleh bertemu dengan beliau?"
Resepsionis itu mengangkat alis dengan sikap yang perlahan berubah dingin. Senyum profesionalnya memudar, tergantikan dengan ekspresi sinis. "Kartu nama?" tanyanya sambil melirik Naina dari atas ke bawah, seolah meragukan keabsahan ucapannya. "Biasanya, hanya orang-orang penting yang menerima kartu nama langsung dari Tuan Tuner."
Naina menggigit bibirnya, merasa semakin tidak nyaman. Namun, dia tetap mengulurkan kartu nama itu kepada resepsionis. "Iya, ini kartu namanya. Beliau sendiri yang memberikannya," ucapnya dengan nada rendah, mencoba terdengar meyakinkan meskipun merasa terintimidasi.
“Maaf saya tak bisa membawa anda masuk. Silahkan pergi atau saya panggilkan satpam.” Kata Resepsionis itu dengan dingin lalu melemparkan kartu nama itu ke Naina.
Naina tersentak, apa dia terlihat tak meyakinkan untuk bertemu dengan Marven Tuner?
Tapi dia tak menyerah, dia tetap kekeh disana. “Maaf, tapi saya punya kepentingan dengan beliau.”
Perdebatan antara Naina dan resepsionis itu memancing para karyawan lain untuk melihat, mereka bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
“Ada apa ini?” Tiba-tiba karyawan yang sibuk mendengar perdebatan itu langsung terkejut kala Ben, asisten tuan Marven berada di belakang mereka.
“I-itu Pak Ben, ada tamu yang ingin bertemu dengan tuan Marven.”
Mendengar perkataan itu, Ben langsung melihat ke arah meja resepsionis lalu mendekati mereka.
“Ini ada apa?”
Resepsionis yang sebelumnya bersikap sinis langsung berubah canggung ketika melihat Ben mendekat. Wajahnya memucat, jelas tidak menyangka bahwa asistennya Marven akan mendengar seluruh percakapan itu.
Ben melirik sekilas ke arah Naina yang terlihat memegang kartu nama dengan tangan gemetar, lalu pandangannya beralih ke resepsionis. "Ada masalah?" tanyanya dengan nada rendah, namun cukup tajam untuk membuat resepsionis itu gelagapan.
"N-nona ini... ingin bertemu dengan Tuan Tuner, tapi tidak memiliki janji temu," jawab resepsionis itu sambil berusaha mengontrol nada suaranya. "Saya hanya menjalankan prosedur, Pak Ben."
Ben mendengus pelan, lalu mendekati Naina. "Siapa nama anda?”
“N-naina Rosely, apakah anda tuan Marven Tuner?” Tanya Naina dengan ragu, karena ingatannya tak begitu jelas dengan wajah Marven yang menolongnya.
Ben menggeleng, “Saya asisten beliau. Boleh saya lihat kartu nama di tangan anda?” Tanya Ben.
Naina yang mendengar itu segera memberikan kartu nama itu dan Ben langsung mengeceknya.
Asli. Itu yang dipikiran Ben setelah mengeceknya
“Tunggu disini, saya akan mengkonfirmasi pada tuan.” Katanya dengan sopan lalu berbalik pergi.
Naina sedikit mendapat pencerahan, namun sang resepsionis tersenyum sinis. “Lihat wajah pak Ben berubah, pasti kartu nama itu palsu.” Katanya sambil melipat kedua tangannya.
Naina hanya diam, dia tak ingin mencari masalah lebih jauh. Tapi setelah lima belas menit berlalu, Ben juga tak kunjung kembali.
Resepsionis itu kembali mencemoohnya, “Sudah saya bilang, lebih baik anda pergi! Anda mengotori kantor kami!”
Naina merasa tubuhnya menegang mendengar cemoohan itu, namun dia menahan diri untuk tidak membalas. Baginya, tujuan utamanya adalah bertemu dengan Marven Tuner, bukan berdebat dengan resepsionis yang tampaknya sangat ingin merendahkannya.
"Kalau kartu itu palsu, kenapa Pak Ben repot-repot memeriksanya?" Naina berkata pelan, mencoba terdengar tegas meskipun suaranya sedikit gemetar. Ia menatap resepsionis itu dengan tajam, meskipun dalam hatinya ada sedikit keraguan.
“Dasar tak tahu diri! Pasti kau sama dengan wanita jalang rendahan yang ingin menggoda tuan kami. Satpam! Seret dia keluar!!” Resepsionis itu langsung memerintahkan satpam untuk membawa Naina kelar karena sudah kesal dengan wanita kurus dan tampak menyedihkan itu.
Satpam yang mendengar itu bergegas mendekat dan memegang tangan Naina untuk membawanya keluar. Naina berusaha memberontak.
“Anda tak bisa melakukan ini, Pak Ben tadi menyuruh saya menunggu!”
Karena geram, resepsionis itu menatap tajam dan mendekati Naina. “Jalang kurang ajar!” Tangan resepsionis itu hampir menampar Naina.
Namun, sebuah tangan besar menahan tangan kecil resepsionis itu. “Siapa yang kamu sebut jalang tadi?” Suara dingin penuh otoritas itu terdengar marah.
Semua orang di lobi membeku ketika suara itu menggema. Resepsionis yang tadi penuh amarah mendongak dengan wajah kaget, dan tangannya yang tertahan mulai gemetar. Tuan Marven Tuner berdiri di sana, tinggi, berwibawa, dan dengan ekspresi yang begitu dingin hingga membuat udara di sekitarnya terasa mencekam.
"T-tuan Tuner... saya... saya tidak bermaksud..." Resepsionis itu tergagap, wajahnya langsung pucat pasi.
Marven perlahan melepaskan cengkeramannya dari tangan resepsionis, namun tatapannya tetap tajam. "Jadi ini cara kamu memperlakukan tamu yang datang ke sini, ya?" katanya dengan nada rendah, tapi berbahaya.
Resepsionis itu langsung menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap mata Marven. "Saya... saya pikir dia hanya wanita rendahan yang ingin mencari masalah, Tuan," katanya dengan suara kecil, mencoba membela diri.
Marven mendengus, lalu menoleh ke arah Naina yang terlihat shock namun tetap berdiri tegak. "Nona ini tamu saya. Apa kamu tahu apa artinya itu?" tanyanya, matanya kembali tertuju pada resepsionis.
Resepsionis itu menggeleng cepat. "Saya benar-benar tidak tahu, Tuan... saya hanya..."
Marven tak ingin dengar alasan, “Ben, pindahkan resepsionis tak punya sopan santun ini ke kantor cabang kita. Dia tak pantas berada disini!”
“Baik, tuan.” Ben mengangguk patuh.
“T-tuan.. S-saya mohon ampuni saya. Saya salah, tolong jangan pindahkan saya,” Resepsionis itu bersimpuh dihadapan Marven, tapi Marven segera melirik Ben untuk membereskan wanita itu dan kemudian dia menatap kembali ke arah Karina yang sedikit bingung.
“Na- Nona Naina, mari ikut saya.” Kata Marven dengan ramah.
Naina yang tadinya menatap resepsionis itu yang diseret oleh satpam dan Ben terkejut kala mendengar suara rendah itu.
“A-anda berbicara dengan saya?” Tanya Naina karena tidak terlalu mendengar ucapan pria itu.
Marven tersenyum tipis, hal itu membuat Karyawan lain kembali terkejut. Senyum yang tak pernah ditampilkan didepan publik kini muncul di hadapan wanita biasa itu.
“Saya akan membawa ke tempat yang lebih nyaman, mari.”
Naina merasa canggung karena sikap pria itu terlalu baik padanya, “B-baik.”
Marven memimpin langkah ke arah lift khusus yang hanya bisa diakses oleh staf eksekutif. Naina mengikuti dengan langkah ragu, masih merasa tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tatapan karyawan lain mengikuti mereka, penuh rasa penasaran dan bisik-bisik.
Siapa wanita itu? Apa dia kekasih tuan Marven Tuner???
“Tuan, apa Anda baik-baik saja?” tanya Ben sambil melirik cepat ke arah Marven yang baru saja masuk ke ruang kerja dengan langkah berat.Marven meletakkan jas kerjanya di kursi dan menghela napas panjang. “Sepertinya saya butuh tidur seminggu penuh, Ben,” jawabnya sambil tertawa kecil.Ben ikut tersenyum. “Masih begadang karena nona Keisha, Tuan?”Marven mengangguk, lalu duduk di belakang meja kerjanya. “Dia bangun tiga kali semalam. Kadang cuma mau digendong, kadang nangis keras sampai bikin Raynar juga ikut bangun.”Ben menahan tawa. “Sepertinya rumah ini jadi lebih ramai sejak kehadiran Nona kecil.”“Ya… sangat ramai.” Marven mengusap wajahnya, berusaha mengusir sisa kantuk. “Tapi rasanya aneh kalau rumah ini sepi lagi.”Ben mengangguk pelan, lalu meletakkan secangkir kopi di meja. “Kalau begitu, semangat, Tuan. Nanti kalau butuh bantuan, saya selalu siap.”Marven mengambil cangkir itu dan mengangkatnya sedikit. “Terima kasih, Ben. Kopi ini mungkin satu-satunya alasan aku bisa bert
“Siapa namanya, ma?” tanya Raynar dengan semangat saat bayi yang menjadi calon adiknya akhirnya sudah boleh dibawa pulang setelah melalui proses yang panjang.Naina menoleh ke arah putranya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya. Sinar mata Raynar begitu bersinar saat menatap bayi mungil yang terlelap dalam gendongan sang ibu. Mereka berdiri di ambang pintu rumah, menyambut awal baru yang begitu berarti.“Namanya… Keisha,” jawab Naina lembut, suaranya nyaris berbisik seolah tak ingin membangunkan si kecil. “Artinya anugerah.”Raynar mengangguk pelan, lalu mendekat dan membelai tangan mungil adiknya dengan jari telunjuknya. “Halo, Keisha. Aku Raynar. Aku kakakmu,” bisiknya bangga. “Nanti kalau udah besar, aku ajarin main robot-robotan.”Marven tertawa kecil di belakang mereka. “Tapi sebelum itu, kita belajar cara jadi keluarga dulu, ya. Pelan-pelan, satu hari satu langkah.”Naina tersenyum pada suaminya, lalu pada kedua anaknya. Ia tahu, meski Keisha bukan berasal dari darah dan da
“Kalian mau adopsi anak?” Nyonya Sisca menatap serius Naina dan Marven.“Jika diizinkan bibi, kami ingin mengadopsi anak perempuan,” jawab Naina lembut.Nyonya Sisca meletakkan cangkir tehnya perlahan, sorot matanya tak berubah. Dalam diam, ia menatap pasangan muda di depannya dengan pandangan sulit ditebak.“Anak perempuan?” ulangnya pelan. “Apakah Raynar tidak keberatan?”Marven menggenggam tangan Naina yang ada di pangkuannya, lalu menatap nyonya Sisca dengan tenang. “Kami sudah bicara panjang lebar dengannya. Raynar yang justru memulai semuanya. Ia ingin punya adik… dan ketika tahu Naina tak bisa mengandung lagi, dia bilang ingin memilih adiknya sendiri.”Mata Nyonya Sisca melembut, tapi raut wajahnya tetap serius. “Kalian tahu tanggung jawabnya, bukan? Mengadopsi bukan sekadar membawa pulang seorang anak. Itu artinya… membuka seluruh hidup kalian untuk seseorang yang mungkin datang dari dunia yang sangat berbeda. Apalagi anak perempuan—perasaannya lebih halus. Akan ada luka-luka
Suasana rumah semakin hangat, Raynar yang saat ini sedang di ruang bermain bersama Angel sedang menggambar.“Angel, kenapa ada empat orang. Bukankah hanya ada tiga? Om, tante dan Angel? Siapa anak kecil yang ada disini,” tunjuk Raynar dengan penasaran.Angel yang masih dua tahun tersenyum polos, “kata mama Angel akan punya adik!”“Adik?” beo Raynar dengan bingung.Sementara itu Angel dengan polosnya mengangguk penuh semangat. “Iya! Mama bilang di perut mama ada bayi kecil. Nanti main sama Angel dan Kak Raynar!”Raynar mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. “Aku juga ingin adik,” gumamnya sambil memandangi gambarnya yang hanya ada tiga orang.“Tuan muda, nona muda waktunya makan siang.” ucap baby sitter yang menjaga mereka.Raynar dan Angel langsung menoleh, “yeay! Aku ingin sup daging!” ucap Angel yang langsung berlari ke arah baby sitternya.Sedangkan Raynar masih diam, seolah sedang berpikir.Raynar berdiri pelan sambil membawa kertas gambarnya. Ia memandangi gambar itu sek
“Raynar.. hati-hati nak,” suara Naina memperingatkan putranya yang kini sangat aktif di umurnya yang menginjak empat tahun.Waktu sangat cepat berlalu, bahkan putri Rosana yang saat ini dua tahun juga mulai berlari mengejar Raynar yang sedang bermain bola di taman.“Ray, jangan terlalu kencang ya, nanti adikmu jatuh,” seru Marven dari balik koran yang hanya setengah dibacanya, karena perhatiannya lebih banyak tertuju ke anak-anak itu.Raynar menoleh dengan tawa lepas, “Iya, Papa! Tapi adik lalinya cepat banget!”Putri Rosana, kecil dengan rambut ikal yang diikat dua, tertawa ceria sambil mengejar bola dengan langkah-langkah mungilnya. Rosana yang duduk di kursi taman bersama Naina ikut tersenyum melihat tingkah keduanya.“Lihat mereka,” gumam Rosana sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. “Kayaknya bentar lagi taman ini bakal tambah ramai.”Naina menoleh dengan tatapan terkejut, lalu tersenyum lebar. “Kamu hamil lagi?! Rosana kenapa gak bilang?!”Rosana terkikik, “Aku mau kasih
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng