Share

PELUKAN TERAKHIR IBU di HARI RAYA
PELUKAN TERAKHIR IBU di HARI RAYA
Penulis: Fitria 38

BAB 1

Dengan langkah tergopoh, Bu Yanti tersenyum ketika mendapat kabar dari Bu Ira tetangganya bahwa Hanum menelpon. Maklum wanita tua itu tak mempunyai ponsel seperti kebanyakan orang. Jadi ketika mendapat kabar, Hanum anak bungsunya yang sekarang sedang bekerja di kota, dia begitu bahagia.

Keringat yang mengucur deras di dahinya tak dirasakan, demi cepat sampai di rumah Bu Ira sang juragan di desanya. Sebuah desa yang terpencil dan jauh dari kota. Bu Ira adalah seseorang yang begitu kaya raya, di juluki sebagai juragan tanah. Dan tidak ada yang boleh melebihi kekayaan nya.

"Cepetan Bu Yanti! lelet amat sih!" sentak Bu Ira dengan mata melotot menoleh ke arah belakang di mana bu Yanti dengan sedikit tergesa, berusaha untuk mensejajari Bu Ira

"I—iya Bu, maafkan saya selalu merepotkan Bu Ira." Ucap Bu Yanti lirih yang berjalan di belakang Bu Ira.

Sampai di rumah Bu Ira, ponsel Bu Ira pun berbunyi.

"Jangan lama-lama, nanti baterai saya cepat habis! lagian ya orang miskin kok nggak ada habis-habisnya sih! tapi lebih baik kalian semua jadi miskin dan tetap miskin. Dan biar aku yang paling kaya di desa ini." Wanita yang memakai konde itu tersenyum sinis. Dan seperti biasanya, Bu Ira memang sangat menyukai kalau dipuji oleh orang lain yang strata sosialnya di bawahnya.

"Iya Bu."

"Halo assalamualaikum nduk."

"Waalaikumsalam Bu, ibu apa kabar?" Terdengar suara Hanum bergetar begitu merindukanmu ibunya. Sudah beberapa minggu gadis itu meninggalkan desa untuk mengais rezeki dan bekerja di kota, sebagai asisten rumah tangga di rumah orang kaya.

"Alhamdulillah ibu kabar baik Num, kamu sehat juga to di sana?" Tanya Bu Yanti dengan bercucuran air mata.

"Iya Bu, Alhamdulillah Hanum sehat. Insyaallah kalau ada waktu libur, dua minggu lagi Hanum pulang Bu." Ucapnya pada Bu Yanti.

Wanita tua yang memakai daster lusuh itu tak kuasa menitikkan air mata, terus mengucur deras mendengar apa yang di ucapkan oleh anaknya.

"Be—beneran nduk?" Bu Yanti berusaha untuk meyakinkan diri dengan apa yang dia dengar barusan.

"Iya Bu. Aku sudah sangat merindukan ibu. Semoga ibu sehat selalu ya, biar Ibu bisa menyaksikan kesuksesanku nanti."

Mendengar apa yang dikatakan oleh Hanum seperti bualan, Bu Ira yang duduk tak jauh dari Bu Yanti tertawa terbahak dan mencemooh dengan apa yang dikatakan oleh gadis itu. Wanita itu kemudian berkata, dengan sangat merendahkan.

"Kamu mimpi ya mau jadi orang kaya? jadi pembantu aja kok mimpi jadi orang kaya?" ujarnya lagi dengan tertawa terbahak dan terus mencemooh sambil mengeleng-gelengkan kepalanya sendiri, karena memang merasa sangat geli mendengarnya. Dan memang, saat menerima telepon Hanum itu, Bu Ira sengaja untuk me-loud speaker dan duduk di dekat Bu Yanti agar apapun yang mereka katakan bisa dia dengar.

"Sudah nduk, nggak usah didengarkan apa yang dikatakan oleh Bu Ira. Oh iya Num, apa kakak-kakakmu juga sudah menghubungimu?" karena Hanum mempunyai dua kakak perempuan dan laki-laki.

"Ngga ada Bu, mungkin mereka semua lagi sibuk."

Saat mereka masih ngobrol, terdengar sentakan keras dari Bu Ira yang menyuruh segera menutup telpon. Wanita itu kemudian bangkit dari tempat duduknya di sofa yang begitu empuk dan berjalan mendekati Bu Yanti yang masih memegang teleponnya.

"Bu Yanti, cepetan dong! Dikira baterai tidak cepat habis, ngecas pun pakai listrik Bu!" Wanita itu berkacak pinggang dengan segera merebut ponsel dari tangan Bu Yanti.

Tuuuut turut tuuut...

"Halo Bu, halo halo?" Suara Hanum terputus, karna telpon pun sudah dimatikan sepihak oleh Bu Ira.

"Maafkan saya Bu Ira, kalau saya selalu merepotkan ibu." Ucap Bu Yanti dengan lirih.

"Kalian orang miskin memang bisanya merepotkan kan? Ya sudah sana, pergi!" Usir Bu Ira dengan kasar pada Bu Yanti. Merasa menjadi orang yang paling disegani dan paling kaya di desa itu, membuat Bu Ira seperti tak membutuhkan orang lain.

"Ya sudah kalau gitu Bu Ira, saya pamit permisi dulu ya? terima kasih atas bantuannya." Ucap Bu Yanti menunduk.

Bu Yanti segera berpamitan setelah mengucapkan terimakasih pada Bu Ira yang berkacak pinggang.

"Iya sana pergi!" Hardiknya lagi.

'Huuhf sampai kapan sih mereka tidak akan merepotkan ku?' Bu Ira menggerutu sendiri dan duduk kembali di sofa yang semula dia tempati. Wanita itu kemudian menyalakan televisi setelah mengambil remote.

"Ibu? Ibu ngomel terus daritadi? Memang ngomel sama siapa sih?" Tanya Ridwan yang baru keluar dari kamar mendengarkan Bu Ira ngomel sendiri. Pria tampan yang bekerja sebagai pengusaha muda itu terus menggeleng-gelengkan kepalanya menatap pada Bu Ira.

"Itu Bu Yanti baru nerima telpon dari si Hanum. Selalu merepotkan! Kapan sih mereka beli ponsel sendiri dan tidak nebeng di sini? Ibu kesal sekali, pakai jemput ke rumahnya. Dikira ibu babu apa?"

"Bu, ikhlaskan lah. Kan itu sama saja ibu dapat pahala kalau mau menolong orang lain? bukankah Hanum dan juga Bu Yanti sering membantu ibu juga kalau ibu sedang repot?" ucap pria itu berusaha untuk memberi pengertian pada Bu Ira.

"Halah pahala capek!" Sentaknya pada Ridwan dan kemudian berlalu ke belakang. Pergi meninggalkan Ridwan yang masih berdiri dan tertegun di tempatnya.

'Hanum ke kota?' Gumam nya lagi sambil mengatupkan bibirnya dan tersenyum manis.

***

Sementara itu Bu Yanti tersenyum saat mengingat Hanum akan pulang dua minggu lagi. Dia harus mempersiapkan makanan dan kue untuk menyambut anaknya yang pulang. Kebahagiaannya akan lengkap kalau kedua kakak Hanum pun juga ikut pulang ke desa. Tapi entah dengan anak pertama dan kedua nya, yang bahkan pulang hanya setahun sekali.

'Sebenarnya Hanum kerja apa ya di kota? Semoga saja pekerjaan nya halal dan berkah.' Ucapnya berdoa setelah melepas mukena selesai melaksanakan ibadah salat ashar. Wanita itu kemudian duduk di tepian ranjang kamarnya

Tok tok tok...

Saat Bu Yanti sedang melamun di kamarnya, terdengar suara pintu di ketuk dari luar. Jam di dinding rumahnya yang masih batu bata merah, menunjukan pukul 4 sore. Wanita tua itu segera beranjak dari kasur dan menyibak gorden usangnya. Berjalan ke depan untuk melihat tamu yang datang.

Kriet...

Pintu terbuka dan nampaklah Lilis teman main Hanum di kampung datang bertamu dengan tersenyum.

"Assalamualaikum Bu." Lilis segera mencium dengan takzim tangan Bu Yanti.

"Waalaikumsalam Lilis, ada apa nduk? kamu mau ke mana?"

"Bu, aku ya niatnya mau ke sini aja kok. Emm, mau tanya apa sudah ada telpon dari Hanum?" Tanya gadis itu menatap harap pada Bu Yanti.

"Oh sudah. Tadi ibu baru saja terima telpon dari Hanum di rumah Bu Ira." Ucapnya lagi.

"Terus Hanum bilang mau ajak Lilis gak Bu?" gadis ayu itu dengan penuh harap diajak Hanum pergi ke kota untuk bekerja.

"Waduh, Hanum gak bilang tuh. Memangnya kamu mau ikut kerja di kota?" Kening Bu Yanti berkerut dan mempersilahkan Lilis untuk duduk.

"Iya, katanya kalau sudah dapat kerja di kota, mau ngabarin dan ajak Lilis ke sana." Ucapnya lirih dan menunduk.

"Ya sudah Lilis jangan sedih ya?"

"Iya Bu, kalau Hanum telpon kasih tau Lilis ya Bu, karena Lilis sendiri juga sudah tidak betah tinggal di desa." Ucap gadis itu dengan mimik wajah serius.

"Kenapa Lis? bukankah hidup itu enak di desa? kekeluargaan dan keramahannya juga sangat dijunjung tinggi kalau kita hidup di desa. Katanya Niko, kalau di kota itu orangnya individu semua. Dan bahkan sama tetangga sebelah pun terkadang nggak saling kenal loh!"

"Iya sih Bu, tapi bukan itu yang membuat aku tidak betah tinggal di desa Bu." Sahut Lilis lagi dengan menunduk pelan.

"Kenapa Lis?" akhirnya mau tidak mau, Bu Yanti pun penasaran dan bertanya.

"Karena Bapak mau menjodohkan ku dengan juragan Darmawan."

Terlihat Bu Yanti menghela nafas panjang dan merasa begitu kasihan dengan Lilis, kemudian wanita tua itu kemudian mengangguk dan menepuk pelan pundak Lilis untuk memberikan kekuatan dan menenangkannya.

"Kamu sabar ya? insya Allah semua akan baik-baik saja Lis."

"Amiin. Iya Bu, kalau gitu Lilis pamit pulang dulu, assalamualaikum."

"Waalaikumsalam, iya Lilis. Hati-hati di jalan."

***

Sebulan berlalu sejak Hanum pergi merantau ke kota besar untuk mencari pekerjaan. Gadis desa lulusan SMK itu pun berniat untuk membahagiakan ibunya. Karna kakaknya Niko, sama sekali tak pulang sejak menikah dengan orang kota. Hanya sesekali saja Niko kakaknya kirim uang untuk Bu Yanti. Padahal Niko bekerja di pabrik besar yang gajinya pasti ikut UMR kota.

"Hanum, tolong setrika baju nyonya ya? Hati-hati jangan sampai teledor dan gosong. Karna nanti malam mau dipakai Nyonya Rita ke pesta." Titah bibi Lastri pada Hanum. Sebenarnya terlihat sekali kalau wanita paruh baya itu tidak terlalu menyukai Hanum. Namun Hanum mengabaikannya saja selama wanita itu tidak menyenggolnya.

"Iya Bi." Hanum segera mengambil baju Bu Rita dari tangan bibi Lastri dan membawanya ke tempat setrikaan. Gadis itu segera menyalakan setrika dan bersenandung riang karna baru menelpon ibunya. Semangat nya untuk bisa membahagiakan Bu Yanti membara, mengalahkan rasa rindunya pada sang ibu di desa.

'Aku harus bekerja keras untuk membahagiakan ibu di desa. Nanti kalau aku sudah punya banyak uang untuk modal usaha, aku tidak akan bekerja di kota lagi dan lebih memilih usaha membuka toko kelontong di desa,' gumamnya lagi dengan semangat dan menyemangati dirinya sendiri.

Saat Hanum mulai menyalakan setrika dan hendak menyetrika, terdengar suara berteriak-teriak memanggil namanya. Berbarengan dengan suara petir menggelegar, membuat gadis itu tersentak.

"Hanum... Hanum, hujan di luar cepat angkat jemuran!" Titah bibi Lastri lagi dengan berteriak dan seketika membuat Hanum bangkit dari tempat dia menyetrika. Petir menggelegar dan hujan langsung turun dengan begitu deras membasahi bumi. Seketika aroma air hujan yang bercampur dengan tanah menguar, menimbulkan aroma yang khas. Setelah menjemur kembali pakaian yang di angkat dari jemuran luar, gadis berusia 20 tahun itu segera menuju ke tempat setrika lagi. Seketika matanya melotot melihat baju Bu Rita sudah gosong dan bolong.

"Astaghfirullah ya Alloh astaghfirullah. Kok bisa gini?" ucapnya dengan begitu gugup. Karena gadis itu sangat yakin sebelum keluar tadi, sudah mencabut colokannya.

Dengan cepat, Hanum mencabut colokannya dan menitikkan air mata khawatir apa yang akan terjadi ke depannya.

Gadis itu gugup dan langsung mengusap wajahnya dengan kasar berkali-kali. Dengan nafas tersengal, Hanum terduduk dan luruh di lantai. Sementara itu dari lantai 2 di rumah mewah itu, terdengar suara bu Rita berteriak-teriak memanggil nama Lastri.

"Bau apa ini Lastri?" Teriak Bu Rita yang baru turun dari tangga dengan mengendus-enduskan hidungnya. Seketika pandangannya beredar ke sana kemari untuk mencari sumber bau darimana. Hingga menyadari kalau bau itu bersumber dari ruang menyetrika.

"Astaga Han, setrikaan mu!" Bibi Lastri langsung ke tempat Hanum menyetrika baju dan melebarkan matanya melihat baju pesta Bu Rita gosong dan bolong. Hanum langsung bersujud di bawah kaki Bu Rita dan memohon ampun atas keteledorannya dengan bercucuran air mata. Gadis itu benar-benar merasa ketakutan kalau langsung dipecat oleh Bu Rita.

"Maafkan saya nyonya, maafkan saya. Tadi saya ingat kalau setrikanya sudah saya taruh di samping, dan seingat saya colokan juga sudah saya cabut saat hujan dan mengangkat jemuran di luar. Tapi pas sampai sini, aneh sekali bisa berada di atas baju nyonya."

Hanum berbicara apa adanya tanpa ada yang dia tutup-tutupi dan tambahi.

Dengan terisak, Hanum bersujud.

"Bo*oh kamu ya! Baru kerja belum ada sebulan sudah merusak baju pesta kesayangan ku!" Sentak dan hardik Bu Rita melotot tajam menatap pada Hanum yang menangis.

Sementara itu asisten rumah tangga yang lain yaitu Lastri dan satu satpam, hanya melihat saja tanpa berani membela.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status