Share

BAB 3

Pagi menjelang, kabut masih terlihat di sekitar rumah Bu Yanti ketika wanita itu mulai menyapu halaman. Suasana desa yang sepi dan terpencil, membuat nya bertambah sedih kala mengingat dan merindukan ketiga anaknya. 

Niko anak pertama sudah tinggal di kota dengan istri dan keluarganya. Rahma anak kedua sedang bekerja di luar kota dan masih single. Terakhir, Hanum anak bungsu yang juga kerja di kota.

"Eh Bu Yanti pagi-pagi sudah bersih-bersih?" Sapa Bu Indri yang hendak pergi belanja sayur. Karna pasar sayur juga tak terlalu jauh dari rumah Bu Yanti.

"Iya Bu Indri." Senyum wanita baya itu tersungging, melihat Bu Indri dan anak menantunya yang terlihat begitu akur berjalan bersama menuju ke pasar. Beda sekali dengannya, Raya tak seakrab seperti menantu Bu Indri, Humairah.

"Oh ya, saya lihat anak-anaknya Bu Yanti tidak pernah pulang? Apa Mas Niko sangat sibuk ya kerja di pabriknya? Terus itu si Hanum sama si Rahma kakaknya juga jarang terlihat pulang.  Sebentar lagi puasa loh bu, kalau puasa kita semua berkumpul dan megengan." Ucap Bu Indri lagi.

Deg!

Mendengar apa yang dikatakan oleh Bu Indri, rasa sesak di dalam hati Bu Yanti begitu terasa. Jujur wanita tua itu snagat merindukan ketiga anak-anaknya. Bahkan dari ketiganya, sepertinya mulai lupa dengan dirinya yang sudah mulai renta di desa. Air matanya langsung menetes membasahi kedua pipi keriputnya.

"Bu maaf ya Bu, saya tidak bermaksud mengingatkan Bu Yanti pada anak-anak Bu Yanti yang tidak pernah pulang. Ya, mungkin saja mereka sibuk atau tidak punya uang Bu untuk pulang ke desa. Jadi Bu Yanti sabar saja ya?" ucap Bu Indri mendekati Bu Yanti yang menangis terisak, dan meletakkan sapunya. Lalu wanita itu duduk di bawah pohon rambutan dengan perasaan yang begitu sedih.

"Nggak apa-apa kok Bu Indri. Saya memang sangat merindukan anak-anak saya, tapi mungkin mereka memang sedang sibuk semua kerja di kota." Ucapnya lirih sambil menyeka air matanya.

"Iya iya, tapi Bu Yanti harus sabar kalau misalnya mereka sudah mulai melupakan ibunya yang sudah tua ya. Karena biasanya kalau kerja di kota itu, kena pengaruh teman-temannya dan pengaruh perkembangan zaman itu yang membuat terkadang lupa loh bu. Semoga saja tidak ya, anak-anak Bu Yanti ingat sama keluarganya yang ada di desa." 

Entah apa maksud Bu Indri berkata seperti itu, apakah untuk memanas-manas bu Yanti atau memang kenyataannya seperti itu. Namun, benar-benar mampu membuat wanita tua itu semakin sedih. Di dalam hati lubuk terdalamnya, Bu Yanti memang benar-benar mengkhawatirkan ketikmga anaknya, khawatir kalau sampai lupa dengannya. Bahkan kalau bisa berharap, ingin sekali di sisa usianya ini, wanita tua itu bisa berkumpul, bercanda dengan anak dan cucunya di desa. Meski dengan segala keterbatasan tanpa materi yang berlimpah.

"Bu Yanti jangan nangis lagi, kalau gitu ya udah saya pamit dulu ya?" Pamit Bu Indri yang kemudian berjalan dengan Humairah, meninggalkan Bu Yanti yang masih terisak dalam tangisnya. 

Sayur sayur sayur, tin tin tin...

Tak lama setelahnya, terdengar suara tukang sayur di depan rumah Bu Yanti. Wanita yang sedang menyapu halaman belakang rumah itu kemudian langsung beranjak dan meninggalkan pekerjaannya untuk ke depan.

"Wah Bu Yanti mau masak apa nih?" Si Kohar tukang sayur keliling menyapa.

"Tempe dan tahu saja mang."

Kohar kemudian mengambilkan satu papan tempe dan tahu, lalu diserahkan pada Bu Yanti.

"Oh ya Bu, tiga hari lagi kita megengan lho. Memangnya anak-anak Ibu nggak pulang semua?"

Lagi dan lagi, pertanyaan dari si Kohar mengingatkannya pada ketiga anaknya yang sudah hampir 3 bulan tak memberi kabar. Wajah wanita itu begitu sedih dan hampa semenjak suaminya meninggal dunia 10 tahun yang lalu.

'Niko dan anak istrinya sibuk di kota mang, terus si Hanum juga mungkin belum bisa pulang kalau tidak diijinkan majikannya."

"Dan si Rahma itu Bu, dia itu malah jarang sekali pulang kayaknya ya? kalau si Hanum kan baru beberapa bulan kerja di kota?" Lanjut Kohar lagi.

"Iya Rahma lebih dari setahun nggak pulang, dan terakhir pulang saat lebaran 2 tahun yang lalu."

"Terus Bu Yanti juga nggak ingin gitu menengok cucunya di kota? anaknya Mas Niko kan sudah dua, apa Ibu tidak kangen dengan kedua cucunya?" Tanya Kohar lagi menatap sendu dan merasa begitu kasihan pada wanita tua itu.

"Saya sebenarnya ingin ke kota ke rumah Niko, tapi kalau tidak diajak ke sana ya mana mungkin saya berani naik angkot dan bus sendirian mang? Takutnya nyasar," ujarnya lagi dengan nada lirih dan sedih.

"Ya, kasihan juga ya Bu. Dan kalau mau saya antar, saya juga nggak bisa Bu. Jarak sini ke kota sudah kayak minggat, hampir 7 jam perjalanan naik bus, Bu."

Bu Yanti mengangguk, setelahnya membayar sejumlah uang untuk membeli tempe dan tahu itu. Bu Yanti kemudian masuk lagi ke dalam rumah dan duduk di bangku kayu yang ada di ruang tamu. Pagi ini sudah dua orang yang menanyakan anak-anaknya yang tidak pulang lama.

Dalam isak tangisnya, Bu Yanti hanya berharap dan berdoa semoga umurnya dipanjangkan agar saat lebaran nanti, masih bisa memeluk anak-anak dan juga cucunya.

Uhuk uhuk...

Bu Yanti terbatuk dan segera menuangkan air ke dalam gelas, lalu menekuknya sampai tandas. Akhir-akhir ini kondisi kesehatannya menurun dan drop, sering merasakan sakit di dadanya. Kalaupun ingin memberitahu anak-anaknya, dia juga tak punya ponsel untuk menelponnya. Dan bahkan Hanum yang berjanji akan memberikannya ponsel, tinggal janji. Sudah 3 bulan lebih anak bungsunya itu tidak memberi kabar sama sekali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status