LOGINSetelah kehancuran Zhen, dunia seperti baru saja menarik napas panjang untuk pertama kalinya. Langit berwarna biru muda, tapi berdenyut lembut seolah memiliki nadi. Tanah memancarkan kehangatan, air sungai berkilau seperti kaca cair. Semua terasa hidup, tapi tanpa suara perintah dari langit.Wu Xian berdiri di puncak tebing, menatap hamparan lembah yang mulai ditumbuhi kembali oleh rumput. “Aneh,” katanya pelan, “tanpa naga, tanpa dewa, dunia justru terlihat… tenang.”Yara yang duduk di atas batu menatap ke arah matahari. “Karena kali ini, dunia tidak dikendalikan. Ia memilih sendiri untuk hidup.”Rakta Nagendra, yang kini tinggal dalam bentuk cahaya merah transparan, muncul di belakang mereka. “Keseimbangan baru sedang dibentuk. Aku bisa merasakannya. Alam mencoba menulis ulang hukum-hukumnya, tapi lebih lembut… seperti anak kecil belajar bicara.”Wen Jue membuka gulungan di tangannya—gulungan kosong yang dulunya menyimpan ribuan mantra
Langit terbelah menjadi dua warna—merah dan putih. Antara kehendak manusia yang menuntut Tuhan baru, dan kenangan yang masih memegang kebebasan lama. Dunia berguncang di antara dua napas, seolah tak tahu harus berpihak pada yang mana.Sosok raksasa hitam—wujud kehendak kolektif yang menyebut dirinya “Zhen”—menatap ke bawah tanpa mata, tapi kehadirannya menekan seperti gravitasi ribuan gunung. Setiap manusia yang menatap ke arahnya akan berlutut tanpa sadar, tubuh mereka tunduk pada sesuatu yang bahkan tak mereka pahami.> “Kalian menciptakanku dari ketakutan kalian sendiri,”“Kalian ingin kebebasan, tapi juga ingin penuntun.”“Maka akulah jawaban yang kalian ciptakan.”Suara itu bergema di dalam kepala setiap makhluk hidup.Rakta Nagendra mengaum keras, mencoba memecah dominasi itu dengan kilatan cahaya merahnya. “Manusia tidak butuh lagi tirani berbentuk Tuhan!”Namun Zhen hanya menoleh sedikit. Satu tatapan,
Langit biru pucat membentang tanpa batas, tapi tak ada sinar suci atau suara ilahi. Dunia itu kini bebas dari penguasa, bebas dari naga, bebas dari takdir yang dipaksakan oleh para dewa. Namun kebebasan yang terlalu luas sering kali melahirkan kekosongan.Yara menatap puncak Jurang Naga Hitam, tempat segalanya bermula. Sekarang, tempat itu hanya tinggal batu berlumut dan suara angin. “Dulu, di sini adalah gerbang antara dunia. Sekarang, cuma lubang kosong yang bahkan bayangan pun enggan hinggap.”Wu Xian, yang kini membawa tongkat berukir naga perak, menatap sekeliling dengan senyum pahit. “Lucu, ya. Kita bertarung melawan dewa untuk membebaskan dunia, dan hasilnya? Dunia malah kehilangan arah.”Wen Jue berjalan mendekat, jubah hitamnya berderai tertiup angin. “Itu konsekuensinya. Tak ada tatanan tanpa kekuatan yang menjaga. Tanpa Li Yuan, tanpa naga, hukum dunia mulai menulis ulang dirinya dengan acak. Lihat gunung itu.”Di kejauhan, g
Kabut perak perlahan menyelimuti lembah tempat pertempuran terakhir terjadi. Tanah yang retak kini mulai menutup, pepohonan tumbuh kembali, dan udara yang tadinya berbau mesiu berubah menjadi harum embun pagi. Dunia bernapas lagi—pelan, tapi pasti. Namun di tengah ketenangan itu, keheningan terasa… ganjil. Terlalu sunyi untuk dunia yang baru lahir. Yara berdiri di tepi jurang, rambutnya tertiup lembut oleh angin keperakan. “Kau bisa merasakannya juga, Wen Jue?” Wen Jue menunduk, menggenggam tanah di tangannya. “Dunia ini… memang tersenyum. Tapi bukan senyum damai. Lebih seperti—senyum yang sedang menyembunyikan luka.” Wu Xian mendengus, berjalan mondar-mandir. “Li Yuan menukar dirinya dengan keseimbangan. Dunia baru ini terbentuk dari ingatan dan kehendak manusia. Tentu saja tidak stabil. Karena manusia sendiri tidak pernah benar-benar damai.” Rakta Nagendra menunduk rendah, mata emasnya berke
– Langit terbelah menjadi dua warna—emas di satu sisi, hitam di sisi lainnya. Kedua cahaya itu berputar, bertabrakan, menciptakan pusaran yang menelan awan, gunung, dan bahkan waktu itu sendiri. Di tengah-tengahnya, Li Yuan berdiri di atas kepala Rakta Nagendra, tubuhnya dikelilingi simbol-simbol naga yang berputar cepat. Wu Xian menatap ke atas sambil menutupi wajahnya dari kilatan cahaya. “Sial… dua mata langit? Dunia ini benar-benar akan pecah jadi dua kalau terus begini!” Wen Jue menjawab tenang, tapi suaranya tegang. “Bukan akan. Sudah. Lihat di bawahmu.” Yara menunduk, dan matanya membulat. Tanah di bawah kaki mereka membelah. Separuh dunia berubah terang dan subur, separuh lainnya hitam dan kering seperti arang. Dua hukum realitas mulai berebut kendali—yang satu ingin membekukan waktu, yang satu ingin menelannya. Li Yuan menutup mat
– Langit yang baru itu terlihat damai. Tapi bagi Li Yuan, ketenangan justru pertanda bahaya yang belum muncul.Setiap kali dunia berhenti bergetar, ia tahu ada sesuatu yang sedang menahan napas di balik tabir waktu.Ia menatap Jam Pasir Naga di tangannya — kini tidak lagi memancarkan cahaya biru, melainkan berdenyut pelan, seperti jantung yang tertidur.> “Rakta Nagendra,” gumamnya pelan. “Apakah kau masih di dalam sana?”Tidak ada jawaban. Hanya hembusan angin lembut yang membawa aroma tanah basah dan bunga liar.Namun, jauh di dalam inti bumi baru itu, sesuatu bergerak — perlahan, berat, dan kuno.---Sementara itu, di puncak gunung tertinggi, Yara tengah berlutut, menanam simbol baru di tanah — Segel Kehidupan Pertama.Ia menggambar lingkaran dengan darahnya sendiri.Wen Jue berdiri di belakangnya, menatap simbol itu dengan pandangan tajam.“Dengan segel itu, kau mengikat nasibmu pada dunia







