Home / Historical / PEMBALASAN DENDAM SANG LADY / BAB 1 • Kembali Setahun Sebelum Mati

Share

BAB 1 • Kembali Setahun Sebelum Mati

Author: MatchaMisu
last update Last Updated: 2025-07-01 13:29:36

Kriet...

Derit suara pintu digeser terdengar, menembus keheningan pagi yang masih basah oleh embun. Eveline melangkah keluar dari kamarnya, gaun tidurnya masih kusut, rambut panjangnya terurai di punggung. Kastil tua itu terasa begitu sunyi, lorong-lorongnya kosong tanpa seorang pun terlihat, bahkan bayangan para maid pun tak tampak.

Langkahnya bergema di tangga batu saat ia menuruni anak tangga menuju lantai satu, tangannya menelusuri pagar tangga kayu yang dingin. Namun, baru saja kakinya menginjak lantai marmer dingin di lantai satu, sebuah suara memanggilnya, membuatnya menoleh.

“Lady Eveline.”

Eveline menoleh pelan, menatap seorang perempuan muda dengan seragam maid berwarna hitam yang tampak sedikit kebesaran di tubuhnya. Rambut maid itu dikepang rapi, matanya cokelat gelap, memancarkan kekhawatiran saat menatap Eveline.

“Anya,” panggil Eveline, menghela napas. “Ada apa?”

Anya menunduk hormat sebelum mendekat, tangannya menggenggam apron di depan perutnya. “Lady, anda mau pergi ke mana pagi-pagi begini?”

Eveline menatap keluar jendela, melihat langit kelabu yang tertutup awan. Matanya kosong, namun ada kilatan tekad di sana saat ia menjawab, “Aku akan pergi ke kediaman ayahku.”

Anya tampak menegang, wajahnya berubah pucat. “Lady... maafkan saya harus mengatakan ini, tapi Duke Armand memerintahkan agar anda tetap berada di kastil ini selama tujuh hari ke depan.”

Alis Eveline berkerut. “Apa maksudmu?”

Anya menggigit bibir bawahnya, matanya tampak berkaca-kaca. “Sebagai hukuman, Lady. Karena... anda telah mempermalukan keluarga Valtieri di pesta kedewasaan Putri Rowena...”

Eveline terdiam, matanya meredup. Putri Rowena. Adik Putra Mahkota Kaelion. Pesta kedewasaan yang berakhir dengan semua tatapan sinis bangsawan tertuju padanya, semua karena satu kejadian kecil yang tidak pernah ia niatkan untuk terjadi.

Tangannya mengepal, ingatan akan pesta itu menamparnya—senyum mengejek para bangsawan, tatapan menghina Putri Rowena, dan tatapan dingin Kaelion yang menatapnya seolah dia adalah aib yang harus dibuang.

“Jadi mereka mengurungku di sini... seperti tahanan,” gumam Eveline lirih, senyum getir muncul di wajahnya.

Anya tampak ketakutan. “Lady, saya tidak setuju dengan ini... tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa... saya... saya akan tetap di sini bersama Lady, saya tidak akan pergi.”

Eveline menoleh, menatap Anya dengan tatapan kosong yang perlahan melembut. “Terima kasih, Anya.”

Di dalam hatinya, Eveline merasakan luka lama kembali berdarah, namun kali ini ia tahu, pengurungan ini hanyalah awal dari semuanya.

“Baiklah, Anya.” Suara Eveline terdengar pelan, namun tegas. Matanya menatap lurus pada gadis maid itu, menembus lapisan ketakutan di wajahnya. “Sekarang katakan padaku, tahun berapa ini?”

Anya tampak bingung, matanya berkedip beberapa kali. “L-Lady?”

“Jawab aku, Anya,” desis Eveline, tatapannya tajam, hampir seperti binatang terluka yang siap mencakar siapa saja yang berani mendekat.

Anya menelan ludah sebelum menjawab dengan suara gemetar, “Tahun 862 Era Eldoria, Lady.”

Dunia seakan berhenti berputar bagi Eveline. Tahun 862.

Tangannya yang gemetar perlahan mengepal di samping tubuhnya, kukunya menancap ke telapak tangannya sendiri hingga terasa perih, namun rasa sakit itu tak seberapa dibanding keguncangan yang mengguncang jiwanya.

862.

Tahun ketika semua kehancuran itu belum sepenuhnya terjadi.

Ia memang berhasil kembali setahun sebelum ajal menjemputnya, namun takdir tidak memberinya kemewahan untuk menghindari semua luka.

Ia tidak dapat menghindar dari kekacauan yang terjadi di malam pesta kedewasaan Putri Rowena, malam yang menjadi awal jalan berduri menuju kehancurannya.

Dan sekarang, di tahun sebelum dirinya berdiri sendirian di halaman istana, dicap sebagai pengkhianat, dan dieksekusi di hadapan tatapan dingin Putra Mahkota Kaelion Dravenhart, Eveline tahu—ini adalah kesempatan terakhirnya untuk membalikkan takdir.

Tahun sebelum segalanya direnggut darinya, dan tahun ketika dia bersumpah tidak akan membiarkan siapa pun menjatuhkannya lagi.

Eveline menoleh, menatap jendela kastil tua itu dengan napas memburu. Angin pagi meniup tirai tipis, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam. Jantungnya berdetak kencang, seperti genderang perang yang memanggilnya untuk bangkit.

Dewa telah memberinya kesempatan.

Kesempatan untuk mengubah takdirnya.

Kesempatan untuk melindungi anak yang bahkan belum sempat ia lihat wajahnya.

Kesempatan untuk membalas dendam.

“Lady Eveline... a-anda baik-baik saja?” tanya Anya, suaranya penuh kekhawatiran melihat wajah pucat majikannya.

Eveline perlahan mengalihkan tatapannya pada Anya, matanya tidak lagi kosong, melainkan penuh tekad yang membara. Bibirnya melengkung, membentuk senyum tipis yang membuat Anya terdiam.

“Aku baik-baik saja, Anya,” jawab Eveline pelan, suaranya terdengar berbeda, lebih dewasa, lebih dingin. “Aku hanya baru saja... mengingat sesuatu yang penting.”

Ia melangkah maju, melewati Anya yang masih membeku di tempatnya, menuju ruang tengah kastil tua itu.

Di luar, langit Eldoria masih diselimuti awan kelabu, namun di mata Eveline, hari ini adalah hari kebangkitannya.

“Bantu aku bersiap, Anya,” katanya sambil berhenti di ambang pintu ruang tengah. “Hari ini, kita akan mengirim pesan pada Duke Armand bahwa Eveline Valtieri bukan gadis yang bisa mereka kurung seenaknya.”

Dan untuk pertama kalinya setelah kematian yang panjang, Eveline Valtieri merasa hidup kembali.

Anya memandangi punggung Lady Eveline yang tegap berdiri di ambang pintu, matanya sedikit melebar. Gadis itu terlihat berbeda pagi ini, matanya tajam dan penuh tekad, jauh dari sosok yang biasanya hanya menunduk pasrah pada hukuman keluarga Valtieri.

“B-baik, Lady,” jawab Anya dengan suara pelan, segera mengikuti Eveline menuju ruang tengah kastil tua itu.

Di sana, cahaya matahari pagi menembus jendela besar, memantul di lantai marmer yang dingin. Eveline berdiri di depan cermin besar berbingkai emas yang mulai berkarat, memperhatikan wajahnya yang pucat dengan mata yang penuh bara. Ia merapikan rambut panjangnya yang kusut dengan jari-jarinya sendiri, sementara Anya dengan cekatan mengambil sisir kayu dan mulai menyisir perlahan rambut majikannya.

Suara sisir menyapu rambut menjadi satu-satunya suara di ruangan, hingga Eveline membuka mulutnya dengan nada rendah.

“Anya, ambilkan kertas dan pena,” katanya tegas.

Anya berhenti menyisir, menatap Eveline lewat pantulan cermin dengan ragu. “Untuk apa, Lady?”

“Untuk menulis surat,” jawab Eveline, matanya menatap tajam ke arah pantulan matanya sendiri. “Aku akan mengirim pesan pada Duke Armand.”

Anya ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baik, Lady.”

Tak lama kemudian, Anya kembali dengan selembar kertas perkamen halus dan pena bulu angsa dengan tinta hitam. Eveline duduk di kursi kayu dekat meja, menarik napas panjang sebelum mulai menulis, tinta hitam membentuk barisan kata di atas kertas dengan rapi meski tangannya sedikit bergetar.

**Duke Armand Valtieri, Ayahku.**

Jika kau pikir mengurungku di kastil tua ini akan menghentikanku, kau salah besar.

Aku mungkin telah mempermalukan nama keluarga Valtieri di mata para bangsawan, tapi kau lupa satu hal, Ayah.

Aku adalah putrimu.

Dan aku akan kembali, tidak sebagai gadis lemah yang kau pikir bisa kau gunakan sesukamu, tapi sebagai Eveline Valtieri, yang tidak akan lagi membiarkan siapa pun menjatuhkanku.

Kau akan melihat sendiri.

– Eveline Valtieri.

Setelah selesai, Eveline melipat surat itu rapi, lalu menyerahkannya pada Anya. “Kirimkan ini pada ayahku hari ini juga, Anya.”

Anya menerima surat itu dengan kedua tangannya, menunduk dalam dengan wajah tegang. “L-Lady, jika Duke tahu saya yang mengirim surat ini...”

Eveline menatap mata Anya, senyum tipis menghiasi wajahnya, “Tenang saja, Anya. Kau akan baik-baik saja. Jika mereka ingin menghukummu, katakan saja aku yang memerintahkanmu.”

Anya menggigit bibirnya sebelum akhirnya mengangguk. “Baik, Lady.”

Saat Anya berjalan pergi dengan surat itu di tangannya, Eveline menatap keluar jendela, angin pagi meniup tirai tipis ke arah wajahnya.

Di sanalah, untuk pertama kalinya setelah kematian yang panjang, Eveline Valtieri benar-benar merasa hidup kembali.

Hari ini, permainan akan dimulai, dan tidak ada seorang pun—bahkan Duke Armand, atau Putra Mahkota Kaelion Dravenhart—yang akan mampu menghentikannya.

Eveline menyandarkan punggungnya pada kursi, matanya menatap kosong ke langit-langit ruang tengah kastil tua itu. Bayangan masa di mana dirinya berdiri di halaman istana, terikat dan berlumuran lumpur dan darah, dengan pedang algojo terangkat tinggi—semuanya masih begitu jelas terpatri di pikirannya.

Glek...

Eveline menelan salivanya dengan susah payah, tenggorokannya terasa kering, seolah masih merasakan dinginnya malam eksekusi itu.

Perlahan, tangannya turun, menyentuh perutnya sendiri. Dingin. Kosong.

Tempat di mana anak masa depannya pernah ada.

Tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi sebuah kehidupan kecil yang tak berdosa, yang bahkan belum sempat melihat dunia ini sebelum semuanya berakhir dalam darah dan kematian.

Air mata menggenang di matanya, namun Eveline memejamkan mata rapat-rapat, menahan setiap tetes agar tidak jatuh. Tidak sekarang. Tidak ketika dia telah kembali untuk memperbaiki segalanya.

“Maafkan Ibu...”

Suara itu keluar sebagai bisikan, pecah dan serak, hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Dewa telah memberinya kesempatan kedua, dan dia bersumpah, kesempatan ini tidak akan dia sia-siakan.

Eveline menarik napas panjang, menenangkan detak jantungnya yang berdegup cepat, sebelum akhirnya membuka mata dengan sorot yang berbeda—sorot yang penuh dengan tekad.

Dia akan menjauh dari Putra Mahkota Kaelion Dravenhart, menjauh dari segala hal yang bisa menghancurkan dirinya. Dia akan tetap hidup, melindungi kehormatannya, dan memastikan ketika saatnya tiba, anaknya akan lahir di dunia yang aman.

Dan dia akan menghancurkan siapa saja yang mencoba mengambil segalanya darinya lagi.

Dengan gemetar, Eveline berdiri dari kursinya, tangannya masih berada di atas perutnya, sebelum akhirnya turun dengan perlahan. Dia berjalan ke arah jendela, menatap awan kelabu yang menggantung rendah di atas kastil tua itu.

Di luar sana, dunia masih sama kejamnya seperti sebelumnya, tapi kali ini, dia siap.

“Tenanglah, Eveline...” bisiknya pada dirinya sendiri, suara itu terdengar gemetar namun tegas, memantul di ruangan sunyi kastil tua itu.

“Jika dulu kau pernah mengejar cinta Putra Mahkota selama bertahun-tahun, dengan cara yang begitu murahan...”

Matanya terpejam, mengingat semua momen ketika dirinya memandangi punggung Kaelion dari jauh, tersenyum meski tak pernah dibalas, rela menanggung ejekan dan tatapan sinis bangsawan lain hanya demi secercah perhatian dari pria itu.

Napasnya tercekat.

Mata Eveline perlahan terbuka, sorotnya dingin, memantulkan tekad yang perlahan tumbuh di hatinya.

“Maka, hari ini... kau harus memulainya dari awal.”

Sebuah senyum pahit muncul di sudut bibirnya, namun matanya tetap tegas.

“Lupakan perasaanmu... lupakan dirinya... lupakan pria kejam dan tak berperasaan itu.”

Tangannya mengepal, jemarinya gemetar menahan amarah yang menggelegak di dadanya.

“Hiduplah... untuk membalaskan dendammu.”

Ia menunduk, kembali menatap perutnya, tempat di mana anak masa depannya pernah ada.

“Demi anakmu.”

Suaranya hampir tidak terdengar, namun di sanalah, di balik kata-kata lirih itu, terpatri sumpah Eveline Valtieri.

Sumpah untuk tidak lagi jatuh pada tatapan dingin Kaelion Dravenhart.

Sumpah untuk bertahan hidup, dan menyeret pria itu jatuh ke dalam neraka yang sama dengannya.

Sumpah untuk memastikan tak seorang pun lagi bisa menghancurkan hidupnya.

Dan untuk pertama kalinya setelah kematian panjang itu, Eveline merasakan detak hidup yang sesungguhnya dalam nadinya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 55 • Surat Lamaran Untuk Kerjaan Thandor

    Ruangan itu begitu dingin dan mencekam, bukan tanpa sebab—tapi... aura Putra Mahkota begitu mengerikan, seolah akan meledak kapan saja. “Yang Mulia, apakah anda butuh istirahat?” tanya Sir Alberto. Pasalnya selain terlihat lelah, mata pria itu juga seakan menyimpan berubah pikiran yang tampak jelas.“Aku telah menyuruhmu diam, Alberto,” ucap Kael, suaranya bgitu dingin dan menusuk di setiap kata.Sir Alberto langsung menunduk. “Maafkan saya, Yang Mulia—Putra Mahkota.”Kael tidak mnanggapi lagi. Matanya berotasi membaca kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Setiap huruf, setiap angka, tampak menelannya dengan intensitas yang membuat udara di sekitarnya semakin terasa berat dan dingin.“Kalian memang tidak becus,” geram Kael, ia menahan amarah yang nyaris meledak. Pencarian Lady Eveline sudah dilakukan sebulan penuh, sayangnya wanita itu seolah hilang di telan bumi... tanpa jejak, dan mungkin saja wanita itu sudah tiada. Ia ingin melihat sendiri jasadnya, dengan matanya sendiri.

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 54 • Aderyn, Ibukota Idoryn

    Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, akhirnya roda gerobak mereka melintasi gerbang besar ibukota Idoryn. Senja baru saja turun, menyapu langit dengan warna keemasan, hiruk pikuk kota menyambut kedatangan mereka. Jalanan ramai dipenuhi oleh pedagang, warga, dan juga para penjaga yang lalu lalang.Joren menghirup udara segar, “Inilah Aderyn, ibukota Idoryn.” ucapnya, sembari menahan tali kekang kudanya.Anya menatap sekeliling dengan mulut yang setengah terbuka, kagum akan bangunan megah, bendera-bendera kerajaan yang berkibar di setiap sudut jalan, serta cahaya lentera yang mulai dinyalakan di depan toko-toko.“Indah sekali... aku bahkan tidak tahu, jika ibukota Idoryn bisa semegah ini," ujar Anya pelan.“Beruntung, karena kau sudah menginjakkan kakimu di Idoryn, Nona Anya,” sahut Joren.Berbeda dengan Anya, yang mengagumi kota itu—Eveline hanya diam, tatapannya lurus seolah sedang memikirkan sesuatu. Ia menunduk sesaat, menatap tangannya yang masih dibalut oleh kain putih di nal

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 53 • Melanjutkan Perjalanan

    Pagi itu, Eveline, Anya, dan Joren sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Eveline berdiri di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Gaun berwarna biru tua membalut tubuhnya, dengan lapisan luar gaun panjang itu terbelah di depan, menyingkap kain putih di bagian dalam. Gaun itu dilapisi lagi oleh jubah hitam miliknya, begitu elegan, seolah menambah kesan anggun pada Eveline. menghela napas dalam-dalam.Ia menunduk, lalu menyingkap lengan pakaiannya. Balutan kain putih masih membelit lengannya, untungnya obat yang diberikan Tetua Lunar—bekerja lebih cepat. Meski masih merasakan nyeri, namun tidak begitu parah, seperti beberapa hari yang lalu.“Hah...“ Eveline menghela napas berat.“Bawalah ini, Nona Anya." Suara Tetua Lunar terdengar dari luar kamar, disusul balasan sopan dari Anya. “Terima kasih, Tetua Lunar.”Tidak lama kemudian, Anya melangkah masuk sembari membawa dua kantung kain ditangannya. Kain itu berisi ramuan obat dan gulungan kain bersih untuk mengganti perban pad

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 52 • Keputusan Eveline

    Sore itu, sinar matahari mengintip dari celah jendela kamar, menciptakan bayangan semu di lantai rumah Tetua Lunar. Eveline duduk bersandar di sisi ranjang, matanya menatap keluar dengan pandangan kosong. Rasa bosan mulai menjalari pikirannya, terhitung sudah empat hari mereka berada di Lunar—ia hanya bisa berbaring dan duduk, tanpa bisa bergerak dengan leluasa. “Hah...” Eveline mendesah pelan, tangannya belum sepenuhnya pulih—masih terasa sakit jika digerakkan, dan itu menggangunya. “Bagaimana ini,” gumamnya pelan. “Aku tidak bisa hanya berdiam diri.” Pikiran Eveline menerawang jauh, ia harus segera sembuh. Ia tidak bisa menunggu siapa pun, termasuk menunggu dirinya agar cepat pulih. Menjadi pengawal istana bukanlah hanya ambisinya semata, tetapi agar ia juga dapat belajar banyak sebelum kembali ke Eldoria. Dewa telah memberinya kehidupan kedua, dan kali ini—ia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan itu dan memastikan hidupnya memiliki tujuan yang jelas. “Tentu saja, tujuanku ada

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 51 • Kesadaran Lady Eveline

    Kicauan burung terdengar samar, seolah menyuruh orang-orang bangun dari mimpi mereka. Di kamar yang sederhana itu, Eveline berbaring dengan kanannya terlipat di atas, sedangkan tangan kirinya yang terluka berada di sisi tubuhnya.Kening Eveline bergoyang dan mengernyit, perlahan matanya terbuka. Wanita itu diam memandangi langit-langit kamar yang masih kabur di penglihatannya. Tubuhnya terasa ringan, dan kain lembap seperti menyentuh keningnya. Tangan kanannya terangkat, menyentuh kain itu.Eveline lalu menoleh ke samping, matanya menangkap sosok Anya yang duduk di kursi kayu dengan mata terpejam.“Shh…” desisnya, ketika tangan kirinya terasa sakit saat akan digerakkan. Eveline menatap kain putih yang membalut lengannya.Butuh beberapa detik sebelum ia bisa mengingat semuanya, para bandit-bandit itu. Kabut di pikirannya perlahan-lahan menipis, menyisakan rasa ngilu yang mengiris di bahu hingga ke lengan. Ia mengerang pelan, cukup pelan untuk tidak membangunkan Anya yang tertidur di ku

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 50 • Nona Eve, Mirip Seseorang

    Luka akibat tusukan belati di lengan Eveline kembali dibersihkan oleh Tetua Lunar. Darah segar sempat merembes keluar, membuat Anya panik setengah mati.“Aku akan membersihkan lagi luka Nona Eve,” ucap Tetua Lunar, suara tuanya tenang namun penuh ketegasan. Ia mengelap luka itu pelan, berhati-hati agar tak menyakiti lebih dalam.Joren duduk di sisi lain, memegang sebuah wadah tanah liat berisi air hangat yang telah dicampur dengan daun sirih dan kulit kayu yang ditumbuk halus. Air itu berwarna kecokelatan dan menguarkan aroma tajam herbal yang menyengat.Dengan gerakan perlahan, Tetua Lunar menyiramkan air ramuan itu ke luka Eveline, sedikit demi sedikit. Cairan hangat itu membuat Eveline mengerang pelan, tubuhnya menegang sesaat, namun matanya tetap terpejam. Wajahnya masih pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Apa ini tidak apa-apa?” tanya Anya cemas, kedua tangannya menggenggam erat lengan Eveline.Tetua Lunar menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tenang saja, Nona. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status