Suara genderang malam berdentum pelan, menyelimuti halaman istana batu yang lembap setelah hujan. Obor-obor menyala di sepanjang pelataran, menampakkan bayangan seorang wanita dengan gaun compang-camping dan rambut panjang berantakan, berdiri dengan kaki telanjang di tanah becek.
Tubuhnya penuh luka, garis-garis biru lebam membentang di sekujur tubuhnya. Matanya sayu, nyaris padam, seolah berada di ambang kematian. Lady Eveline Valtieri. Putri Duke Armand Valtieri. Wanita yang selama ini disebut penggoda Putra Mahkota. Villainess kerajaan. Dia berdiri sendirian di hadapan puluhan pasang mata bangsawan dan para pengawal, tanpa satu pun yang membelanya. Di atas balkon tinggi dengan ukiran singa emas, seorang pria berdiri dengan wajah dingin dan mata setajam pisau. Putra Mahkota Kaelion Dravenhart. Pria yang dikenal sebagai penguasa masa depan yang kejam, yang akan membunuh siapa pun yang berani menghalangi jalannya menuju takhta. Dingin, bengis, tanpa ampun. Tatapan Kael jatuh ke arah Eveline, seolah dia hanya seekor hewan yang siap dikuliti di hadapannya. “Lady Eveline Valtieri,” suara algojo menggema, menciptakan gema di halaman istana. “Atas tuduhan pengkhianatan terhadap keluarga kerajaan, hukuman mati akan dilaksanakan malam ini.” Eveline tersenyum kecil, getir. Seumur hidupnya, dia dijuluki sebagai wanita licik yang hanya menginginkan kekuasaan, menggoda Putra Mahkota demi kehormatan keluarganya, tanpa ada yang mau melihat kebenaran di balik reputasi kotornya. Tidak ada yang tahu, termasuk pria yang menatapnya dari balkon, bahwa semua ini adalah jebakan. “Ha... haha... hahahaha.” Tawanya menggema di halaman istana. Lebih menyakitkan daripada ketidakpedulian orangtuanya yang membiarkannya dipermalukan di hadapan semua orang. “Berhentilah tertawa, Eve!” suara Duke Armand membentak, namun goyah. Bukannya berhenti, Eveline justru tertawa lebih keras, seolah ucapan ayahnya adalah lelucon kejam yang pantas diejek. Putra Mahkota mengangkat tangannya, membuat semua orang diam. “Ini hukuman yang pantas kau dapatkan, Lady Eveline,” suara Pangeran Mahkota, terdengar dingin dan dalam. Eveline mengangkat kepalanya, menatap bintang-bintang di langit yang tampak redup malam itu, seperti menantikan sebuah mukjizat yang tidak akan pernah datang. Ia mengabaikan sang pujaan hati, angin malam menusuk tulangnya, membuat tubuhnya gemetar, tapi bukan itu yang menakutinya. Bukan kematian. Tangannya turun, menyentuh perutnya yang masih rata. Rahasia yang bahkan tidak diketahui oleh ayahnya, atau siapa pun di istana ini. Rahasia yang dia sembunyikan sejak malam itu, malam ketika takdirnya berubah dalam satu kejadian yang tidak pernah ia inginkan. Putra Mahkota. Kaelion. Dia menatap ke balkon, tepat ke arah pria itu, dengan mata yang tidak lagi menunjukkan ketakutan, hanya kemarahan dan tekad. “Aku akan kembali,” bisiknya pada angin, pada dewa-dewa yang mungkin masih mendengar. “Demi diriku. Dan demi darah dagingku. AKU AKAN KEMBALI KAEL... AKU AKAN KEMBALI.” Bersamaan dengan itu, suara pedang ditarik dari sarungnya memecah keheningan. Algojo mengangkat pedang itu tinggi, pantulan obor menari di atas bilahnya. Waktu seperti melambat. Matanya menatap mata Kael untuk terakhir kalinya. Hanya satu detik—dia melihat sesuatu di sana. Penyesalan. Sesuatu yang tidak seharusnya ada di mata seorang pria dingin seperti Kael. Tapi terlambat. Pedang turun dengan cepat, menembus kulit dan tulang, meninggalkan rasa dingin yang merambat dari leher hingga ke seluruh tubuh. Tubuhnya ambruk ke tanah becek, darah hangat membasahi tanah di bawahnya, bercampur dengan lumpur, menimbulkan aroma besi yang menyesakkan. Gelap. Hening. Suara jeritan para wanita bangsawan terdengar samar, tapi perlahan semuanya menghilang, digantikan suara petir yang menggelegar, hujan turun dengan deras, menyapu kehampaan yang menelan tubuh dan jiwanya. Namun, saat dunia gelap benar-benar menelannya, Eveline merasakan sesuatu yang aneh. Seperti tarikan lembut yang mengangkatnya dari kehampaan, membawa kesadarannya kembali. Saat matanya terbuka, dia mendapati dirinya menatap langit-langit kamarnya, sebuah kastil tua di belakang kediaman duke Valtieri. Helaan napasnya berat, keringat dingin membasahi punggungnya, dan tubuhnya menggigil hebat. Dia bangkit, matanya menatap sekitar, mendapati cermin besar yang memantulkan bayangan seorang gadis muda dengan mata penuh amarah dan ketakutan. Dia hidup. Dia kembali. Tangannya yang gemetar terangkat, meraba wajahnya sendiri, merasakan kulit hangat dan nafas yang masih berembus. “A-aku... hidup?” suaranya parau, tercekat di tenggorokan, matanya bergetar menatap bayangannya sendiri di cermin. Seolah baru bangun dari mimpi buruknya. Eveline mmejamkan matanya sejenak, napasnya terhenti untuk beberapa detik. Kilas bayangan itu terlihat mengerikan, terasa nyata dan menyesakkan. “Entah ini adalah mimpi buruk, atau kau memberiku kesempatan untuk hidup? Akan... Akan ku pastikan, hidupku tidak akan mendekati kematian, lagi.” Seketika itu juga, Eveline Valtieri mengepalkan tangan, menahan getar tubuhnya. Kali ini, dia akan melindungi dirinya sendiri, menjauh dari sang Putra Mahkota, dan menghancurkan siapa pun yang berani mengambil segalanya dari dirinya lagi. Tidak ada yang dapat menghentikannyanya, termasuk Putra Mahkota, Kaelion Dravenhart... Dia akan menjadi iblis yang siap menyeret sang Putra Mahkota jatuh ke dalam neraka bersamanya.Fajar menyingsing, sinar matahari yang masih pucat menembus celah dedaunan tinggi, menari bersama embun yang masih menempel di rerumputan liar.Eveline terbangun lebih dulu. Kepalanya sedikit pening, punggungnya terasa pegal setelah semalaman tertidur dalam posisi duduk bersandar di bawah pohon besar itu. Tidak terasa mereka tertidur saat menunggu malam berganti pagi di tengah hutan seperti ini.Matanya mengerjap beberapa kali, mengusir kantuk yang masih menggantung. Ia mengatur napas, lalu menoleh ke sisi sampingnya.“Anya...” panggilnya pelan.Tidak ada jawaban.Kening Eveline mengerut, matanya kini menatap lebih serius ke arah Anya yang masih memejamkan mata di sampingnya, tubuh gadis itu terbungkus jubah tipis yang mereka gunakan semalaman.“Anya...” panggil Eveline lagi, kali ini sedikit lebih keras.Masih belum ada jawaban, hingga akhirnya Anya mengerang pelan, suaranya terdengar serak, “L-Lady...”Perasaan tidak enak muncul di dada Eveline, ia segera merangkak mendekati Anya, m
Hentakan kuda memecah keheningan malam. Darius, Rhett, dan Maric memacu kuda jantan mereka menyusuri hutan dengan kecepatan terukur, nafas kuda terlihat seperti uap tipis dalam udara malam yang dingin.Rhett yang memimpin di depan, menarik tali kekang kudanya hingga kuda hitam itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya sebelum perlahan menjejak tanah.Mereka berhenti. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun gelap yang berdesir pelan. Cahaya bulan hanya menembus di sela dedaunan, menimbulkan bayangan kabur pada wajah mereka.Ini bukan wilayah Lumor lagi.“Ada apa?” tanya Maric, matanya berusaha menembus gelap, hanya disinari obor kecil di genggamannya.“Kita akan beristirahat di sini.” Rhett turun dari kudanya, mengusap leher kuda hitam itu sebelum mengikat tali kekangnya pada batang pohon besar yang kokoh. “Kita lanjutkan pencarian saat fajar menyingsing.”Darius ikut turun, menepuk pundak kudanya sebelum mengikatnya tak jauh dari kuda Rhett, sedangkan Maric menuntun kudanya
Di balik kabut Lumor yang tak kunjung menipis, cahaya senja tampak tertahan lama. Tak ada yang benar-benar tahu kapan hari berganti malam di sini.Rhett dan Maric saling menatap, lalu kembali memandangi Oldrick yang duduk di dekat api unggun, tangannya sibuk membalik kayu agar bara tidak padam.“Apa sebaiknya kita mencari mereka? Ini bahkan sudah malam, Tetua,” ucap Rhett, nada suaranya rendah namun tegang. Sejak sore, Lady Eveline dan Anya belum kembali. Mereka sempat ingin turun ke sungai untuk mencari, namun Oldrick sebelumnya bersikeras mereka akan pulang, merasa janggal, namun tetap diam.Oldrick diam, memandangi api yang menari, cahayanya memantul di matanya yang keriput. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Mereka tidak akan kembali.”Rhett dan Maric saling menoleh cepat, wajah mereka berubah waspada, alis Maric bertaut dalam.“Apa maksudmu—” suara Maric terdengar tajam.Oldrick yang tadinya menunduk perlahan menaikkan pandangannya, menatap keduanya dengan soro
“Lady...”Eveline langsung menoleh, mendapati Anya yang tergesa-gesa menghampirinya dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang berisi pakaian dan kain lusuh mereka.“Sudah?” tanya Eveline dengan suara datar.Anya mengangguk cepat. “Semuanya sudah selesai,” balasnya pelan. Dari belakang, Tetua Lumor, Oldrick, menyusul keluar rumah, berdiri di samping mereka dengan wajah khawatir.“Aku dan—” “Ah, ternyata kalian ada di sini.”Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Rhett dan Maric berjalan mendekat dengan langkah tenang, sorot mata mereka sulit dibaca. Eveline menarik napas perlahan, menetralkan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.“Ada apa? Apa kalian membutuhkan obat-obatan?” tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Di sampingnya, Anya tampak menegang, menggenggam pegangan keranjang dengan erat.Rhett menatap Eveline sejenak sebelum menggeleng pelan. “Tidak, Lady.”Maric menundukkan kepala sedikit. “Kami
“Lady, kita kehabisan bahan untuk obat-obatan. Aku akan mengambilnya lagi,” ucap Anya, menoleh pada Lady Eveline yang tengah menumbuk daun herbal untuk warga yang terkena gatal-gatal.“Pergilah, Anya. Ah... ambil juga beberapa daun thyme,” balas Eveline tanpa menoleh sedikit pun.“Baiklah, Lady.”Anya berjalan menjauh, menuju rawa tempat dedaunan herbal itu tumbuh. Suara serangga dan angin lembab rawa menemani langkahnya.Namun, langkah Anya terhenti saat suara rendah dan teredam terdengar di kejauhan.“Apa Putra Mahkota sendiri yang akan datang ke Lumor membawa Lady Eveline ke istana?”Anya menajamkan pendengarannya, wajahnya memucat.“Entahlah, kita hanya dapat menunggu Darius kembali. Mungkin saja kita yang akan membawa Lady itu ke istana,” suara pria lain menjawab.Anya beringsut mendekat ke balik pohon ek besar, matanya menangkap dua pria berpakaian lusuh layaknya pedagang keliling dengan keranjang herbal dan kantong kulit di pinggang mereka—Rhett dan Maric. Dadanya berdegup cepa
Ratu Seraphina menatap mereka lama, sorot matanya dingin meski senyumnya terukir di bibir. “Ah... tentu saja, tinggallah beberapa hari. Aku yakin, Yang Mulia Raja merindukanmu,” ucapnya, matanya beralih pada Duchess Leztia. “Bukan begitu, Duchess Gerwyn?” Duchess Gerwyn membalas senyum itu dengan senyum tipis yang penuh kehati-hatian. “Tentu saja, Yang Mulia Ratu.” Duke Gerwyn berdeham pelan sebelum angkat bicara, “Sebagai adik dari Yang Mulia Raja Eldoria, apakah kami diperkenankan menjenguk beliau?” Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Kael menoleh perlahan, menatap Duke Gerwyn dengan sorot mata dingin bak pisau yang mengiris diam-diam. “Tidak ada ‘kami’,” ucap Kael tegas, setiap kata keluar dengan tekanan. “Yang Mulia Raja hanya dapat dijenguk oleh satu orang.”Tatapan Duke Gerwyn mengeras sesaat sebelum ia menoleh pada istrinya. Duchess Gerwyn mengangguk tipis, wajahnya tetap tersenyum namun matanya berkilat.Duke Gerwyn menarik napas, menoleh kembali pada Kael. “Baikla