Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di halaman kediaman Valtieri, membelai rerumputan yang dingin dan lembap. Duke Armand berdiri tegak, wajahnya menegang, berdiri tepat di samping Duchess Mirella yang memeluk mantel bulunya erat-erat, sementara Lady Sabrina berdiri sedikit di belakang ibunya dengan mata menunduk, menyembunyikan sesuatu di balik tatapan manisnya. Sir Aldrich berdiri di sisi ayahnya, kedua tangannya bersedekap, matanya tajam menatap rombongan pasukan kerajaan yang bersiap untuk berangkat kembali ke ibu kota.
Di hadapan mereka, berdiri Putra Mahkota Kaelion Dravenhart, tegap dengan jubah hitam kebesaran kerajaan yang berayun tertiup angin pagi. Sir Alberto berdiri di belakangnya, diam seperti bayangan setia. Setelah semalam memutuskan mundur untuk sementara, kini pagi itu rombongan Putra Mahkota akan kembali ke ibu kota. Namun, ketegangan di udara masih menebal, dan semua orang tahu urusan ini belum berakhir. "Pencarian tetap kalian lakukan," ucap Putra Mahkota dengan suara tenang namun tegas, matanya menyapu satu per satu anggota keluarga Valtieri. "Seret Lady Eveline ke hadapanku, dalam keadaan hidup... atau mati." Duke Armand menelan ludah, wajahnya berubah pucat sesaat, tetapi ia berusaha menjaga ketenangan di hadapan sang Putra Mahkota. “Yang Mulia...” Kaelion mengangkat satu tangan, menghentikan sang Duke yang hendak bicara lebih jauh. “Dan—” Ia menghentikan perkataannya sesaat, sebelum matanya yang dingin beralih menatap Sir Aldrich tajam. “Cari tahu siapa pria yang pernah ditemui Lady Eveline.” Suasana mendadak membeku. Duke Armand tampak terkejut, matanya sedikit membelalak. “P-Putra Mahkota, apa maksud Anda—” Tatapan Kaelion kembali pada Duke Armand, tajam dan penuh peringatan. “Aku tidak butuh penjelasanmu. Yang kubutuhkan adalah kebenaran.” Di belakang Duke, Duchess Mirella mencengkeram ujung mantelnya erat, matanya berkedip cepat menahan keterkejutannya. Lady Sabrina menatap Putra Mahkota dengan wajah yang berusaha tetap tenang, namun jemari tangannya mengepal kuat di balik lipatan gaunnya. Untuk apa Putra Mahkota mencari tahu pria itu? Mengapa itu penting baginya? Sabrina menunduk, matanya berkilat licik, namun hatinya dipenuhi rasa was-was. “Untuk apa Putra Mahkota peduli pada pria itu? Apa dia cemburu? Atau dia... ingin memastikan Eveline tidak punya tempat kembali?” pikir Sabrina dalam hati, mencoba menenangkan debaran jantungnya. “Sir Aldrich,” panggil Kaelion. “Siap, Yang Mulia.” “Aku tidak peduli bagaimana caranya, aku ingin laporan lengkap siapa pria itu, apa hubungannya dengan Lady Eveline, dan apa yang mereka rencanakan.” Sir Aldrich sempat ragu sejenak sebelum menundukkan kepala dalam-dalam. “Perintah akan saya laksanakan.” Putra Mahkota Kaelion menaikkan dagunya sedikit, matanya menyapu semua yang ada di depannya. “Jika kalian gagal menangkap Lady Eveline, anggaplah ini sebagai penghinaan pada tahta Eldoria.” Suaranya tetap tenang, namun setiap kata terpatri dengan dingin di udara pagi itu. Duke Armand menggertakkan giginya, “Kami tidak akan mengecewakan Anda, Yang Mulia.” Kaelion tidak menjawab lagi. Ia memutar tubuhnya, menaiki kudanya dengan gesit, jubah hitamnya berkibar, menandakan akhir dari pertemuan itu. Sir Alberto segera mengikuti, memberikan isyarat pada pasukan untuk bersiap. Saat rombongan Putra Mahkota mulai bergerak meninggalkan halaman kediaman Valtieri, Lady Sabrina menatap punggung sang Putra Mahkota dengan tatapan bercampur kagum dan ambisi. Ia memejamkan matanya sejenak, menghirup udara pagi yang dingin. “Ibu,” bisik Sabrina perlahan pada Duchess Mirella, “Aku akan memastikan Putra Mahkota akan memandangku.” Duchess Mirella menoleh dengan senyum tipis, “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Sabrina.” Di sisi lain, Sir Aldrich menatap rombongan yang mulai menjauh dengan mata tajam. Di dalam pikirannya, satu nama terus bergema—Eveline. “Maafkan aku, Eveline...” batinnya getir. “Kau telah mempermalukan keluarga ini, dan sekarang... aku harus menyeretmu kembali.” Pria itu menarik napas dalam-dalam, sebelum menoleh ke arah Lady Sabrina yang berdiri bersama Duchess Mirella. Tatapan Sabrina saat itu penuh kesal, seolah sedang menahan amarah yang tak bisa diungkapkan, namun saat ia menyadari tatapan kakaknya mengarah padanya, wajahnya berubah canggung. “Sabrina,” panggil Aldrich dengan suara rendah, tetapi tegas. Lady Sabrina terlonjak kecil, menoleh dengan cepat. “Kakak?” Langkah Aldrich perlahan mendekat, matanya tajam, membuat Sabrina gelisah dan menelan salivanya. “Malam itu, di pesta kedewasaan Putri Rowena... kau yang mengatakan pada Putri Rowena bahwa Eveline pernah bertemu dengan seorang pria lain, bukan?” Wajah Sabrina langsung pucat, matanya berkedip cepat, gugup. “A-aku... itu...” “Kau tahu siapa pria itu?” tanya Aldrich lagi, suaranya terdengar menuntut, tetapi ia berusaha menahan emosinya. Sabrina mengatupkan bibirnya, tangannya meremas ujung gaunnya erat-erat. Malam itu, sebenarnya hanya kebohongan yang terlontar dari mulutnya demi menjatuhkan Eveline. Ia hanya ingin memancing kemarahan Putri Rowena dan Putra Mahkota, dan kini, kebohongan itu kembali menjeratnya. “Aku...” Sabrina menunduk, menahan napas sejenak. “Malam itu gelap, Kak. Aku tidak begitu mengenal wajah pria itu... aku hanya... hanya melihat siluet seorang pria bersama Eveline.” Sir Aldrich memejamkan matanya sejenak, rahangnya mengeras. “Kau benar-benar tidak ingat? Atau kau hanya menutupi sesuatu dariku?” Sabrina mendongak perlahan, matanya sedikit berkaca. “Aku tidak menutupi apapun, Kak... sungguh, aku hanya ingin... saat itu aku hanya...” Suara Sabrina tercekat, tidak berani melanjutkan. Ia takut jika kebohongannya terbongkar, ia akan kehilangan kesempatan untuk mendekati Putra Mahkota, dan lebih dari itu, ia takut pada ibunya yang kini menatapnya tajam dari samping. Duchess Mirella akhirnya membuka suara, “Aldrich, jika adikmu mengatakan tidak tahu, maka jangan memaksanya.” Sir Aldrich menghela napas kasar, menatap adiknya lama sebelum berbalik. “Jika kau ingat sesuatu, Sabrina, beritahu aku segera. Jangan buat masalah ini semakin besar.” Sabrina hanya mengangguk kecil, matanya menunduk, sembari menggigit bibir bawahnya menahan perasaan campur aduk dalam hatinya. Setelah Aldrich berbalik, Sabrina menoleh pada ibunya dengan wajah pucat, napasnya memburu. Duchess Mirella menyipitkan mata, menilai putrinya dengan tatapan tajam bak pisau. “Kau berani berbohong lagi pada keluargamu sendiri, Sabrina?” “Ibu... aku hanya...” Suara Sabrina bergetar, ia mencoba mencari kata untuk menjelaskan, namun tak satupun kata keluar dari mulutnya. Sang Duchess mendekat, mencengkram dagu putrinya dengan kasar, membuat mata mereka sejajar. “Kau akan tetap mempertahankan kebohonganmu ini, atau kau akan menghancurkan masa depanmu sendiri.” Sabrina menutup matanya, menahan perih pada dagunya. “Aku tidak bisa, Ibu... kalau mereka tahu aku berbohong, Putra Mahkota akan membenciku,” lirihnya, suaranya nyaris tak terdengar. “Dan... kenapa Putra Mahkota tiba-tiba mencari pria itu?” Duchess Mirella menghela napas, tangannya melepaskan dagu Sabrina perlahan. Tatapan matanya menajam, penuh kalkulasi dingin. “Jangan khawatir, Sabrina. Putra Mahkota hanya ingin memastikan Eveline diadili. Itu saja.” Sabrina menggigit bibirnya, menunduk, masih gemetar. “Tapi... kalau pria itu memang tidak pernah ada, bagaimana jika—” “Kalau pria itu tidak pernah ada,” Duchess Mirella memotong, suaranya menjadi sangat dingin, “maka kita akan membuat pria itu ada.” Sabrina mendongak dengan mata membesar, terpaku pada ibunya yang kini tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduknya berdiri. “Dengar baik-baik, Sabrina. Jika kau ingin menjadi Putri Mahkota, ini harga yang harus kau bayar. Kita akan menciptakan pria itu, memanfaatkan rumor ini... lalu menjatuhkan Eveline sepenuhnya.” Sabrina menelan salivanya, dadanya naik turun menahan napas gugup, namun di matanya perlahan muncul kilatan ambisi. Perlahan, ia mengangguk. “Ini akan memperkuat rumor jika Eveline adalah wanita penggoda.” Tangan Duchess Mirella melepas dagu putrinya dengan kasar, berbalik meninggalkannya. Sabrina mengigit bibirnya, menoleh menatap punggung ibunya, lalu memandang punggung Aldrich yang sudah jauh berjalan menuju arah kuda para prajurit. “Aku akan tetap mendekati Putra Mahkota... tidak peduli bagaimana caranya.” Di kejauhan, Sir Aldrich naik ke kudanya, menarik napas panjang untuk menahan beban di dadanya. “Maafkan aku, Eveline. Jika kau tidak kembali... maka aku akan membawamu pulang dengan tanganku sendiri.” Ia mengangkat tangannya, memberi aba-aba pada prajuritnya. “Pisahkan pasukan, susuri jalur utara dan barat. Cari sampai ke perbatasan wilayah Valtieri, dan laporkan padaku segera jika menemukan jejak Lady Eveline.” Prajurit berseragam Valtieri segera memacu kuda mereka, membelah embun pagi yang masih menyelimuti tanah. Temukan Lady Eveline, hidup atau mati.Hentakan kuda memecah keheningan malam. Darius, Rhett, dan Maric memacu kuda jantan mereka menyusuri hutan dengan kecepatan terukur, nafas kuda terlihat seperti uap tipis dalam udara malam yang dingin.Rhett yang memimpin di depan, menarik tali kekang kudanya hingga kuda hitam itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya sebelum perlahan menjejak tanah.Mereka berhenti. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun gelap yang berdesir pelan. Cahaya bulan hanya menembus di sela dedaunan, menimbulkan bayangan kabur pada wajah mereka.Ini bukan wilayah Lumor lagi.“Ada apa?” tanya Maric, matanya berusaha menembus gelap, hanya disinari obor kecil di genggamannya.“Kita akan beristirahat di sini.” Rhett turun dari kudanya, mengusap leher kuda hitam itu sebelum mengikat tali kekangnya pada batang pohon besar yang kokoh. “Kita lanjutkan pencarian saat fajar menyingsing.”Darius ikut turun, menepuk pundak kudanya sebelum mengikatnya tak jauh dari kuda Rhett, sedangkan Maric menuntun kudanya
Di balik kabut Lumor yang tak kunjung menipis, cahaya senja tampak tertahan lama. Tak ada yang benar-benar tahu kapan hari berganti malam di sini.Rhett dan Maric saling menatap, lalu kembali memandangi Oldrick yang duduk di dekat api unggun, tangannya sibuk membalik kayu agar bara tidak padam.“Apa sebaiknya kita mencari mereka? Ini bahkan sudah malam, Tetua,” ucap Rhett, nada suaranya rendah namun tegang. Sejak sore, Lady Eveline dan Anya belum kembali. Mereka sempat ingin turun ke sungai untuk mencari, namun Oldrick sebelumnya bersikeras mereka akan pulang, merasa janggal, namun tetap diam.Oldrick diam, memandangi api yang menari, cahayanya memantul di matanya yang keriput. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Mereka tidak akan kembali.”Rhett dan Maric saling menoleh cepat, wajah mereka berubah waspada, alis Maric bertaut dalam.“Apa maksudmu—” suara Maric terdengar tajam.Oldrick yang tadinya menunduk perlahan menaikkan pandangannya, menatap keduanya dengan soro
“Lady...”Eveline langsung menoleh, mendapati Anya yang tergesa-gesa menghampirinya dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang berisi pakaian dan kain lusuh mereka.“Sudah?” tanya Eveline dengan suara datar.Anya mengangguk cepat. “Semuanya sudah selesai,” balasnya pelan. Dari belakang, Tetua Lumor, Oldrick, menyusul keluar rumah, berdiri di samping mereka dengan wajah khawatir.“Aku dan—” “Ah, ternyata kalian ada di sini.”Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Rhett dan Maric berjalan mendekat dengan langkah tenang, sorot mata mereka sulit dibaca. Eveline menarik napas perlahan, menetralkan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.“Ada apa? Apa kalian membutuhkan obat-obatan?” tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Di sampingnya, Anya tampak menegang, menggenggam pegangan keranjang dengan erat.Rhett menatap Eveline sejenak sebelum menggeleng pelan. “Tidak, Lady.”Maric menundukkan kepala sedikit. “Kami
“Lady, kita kehabisan bahan untuk obat-obatan. Aku akan mengambilnya lagi,” ucap Anya, menoleh pada Lady Eveline yang tengah menumbuk daun herbal untuk warga yang terkena gatal-gatal.“Pergilah, Anya. Ah... ambil juga beberapa daun thyme,” balas Eveline tanpa menoleh sedikit pun.“Baiklah, Lady.”Anya berjalan menjauh, menuju rawa tempat dedaunan herbal itu tumbuh. Suara serangga dan angin lembab rawa menemani langkahnya.Namun, langkah Anya terhenti saat suara rendah dan teredam terdengar di kejauhan.“Apa Putra Mahkota sendiri yang akan datang ke Lumor membawa Lady Eveline ke istana?”Anya menajamkan pendengarannya, wajahnya memucat.“Entahlah, kita hanya dapat menunggu Darius kembali. Mungkin saja kita yang akan membawa Lady itu ke istana,” suara pria lain menjawab.Anya beringsut mendekat ke balik pohon ek besar, matanya menangkap dua pria berpakaian lusuh layaknya pedagang keliling dengan keranjang herbal dan kantong kulit di pinggang mereka—Rhett dan Maric. Dadanya berdegup cepa
Ratu Seraphina menatap mereka lama, sorot matanya dingin meski senyumnya terukir di bibir. “Ah... tentu saja, tinggallah beberapa hari. Aku yakin, Yang Mulia Raja merindukanmu,” ucapnya, matanya beralih pada Duchess Leztia. “Bukan begitu, Duchess Gerwyn?” Duchess Gerwyn membalas senyum itu dengan senyum tipis yang penuh kehati-hatian. “Tentu saja, Yang Mulia Ratu.” Duke Gerwyn berdeham pelan sebelum angkat bicara, “Sebagai adik dari Yang Mulia Raja Eldoria, apakah kami diperkenankan menjenguk beliau?” Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Kael menoleh perlahan, menatap Duke Gerwyn dengan sorot mata dingin bak pisau yang mengiris diam-diam. “Tidak ada ‘kami’,” ucap Kael tegas, setiap kata keluar dengan tekanan. “Yang Mulia Raja hanya dapat dijenguk oleh satu orang.”Tatapan Duke Gerwyn mengeras sesaat sebelum ia menoleh pada istrinya. Duchess Gerwyn mengangguk tipis, wajahnya tetap tersenyum namun matanya berkilat.Duke Gerwyn menarik napas, menoleh kembali pada Kael. “Baikla
Cahaya matahari siang menembus kaca besar di belakang punggung Kael, menerangi ruangan kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen dan peta-peta wilayah Eldoria. Kael duduk tegak di kursi kerjanya, jemarinya menekan pelipis sambil menatap laporan-laporan yang berserakan di mejanya. Suara ketukan halus terdengar di pintu kayu besar itu. Tok... Tok... “Masuk.” Pintu terbuka perlahan, Sir Alberto masuk dengan langkah tegap, membungkukkan badan dengan hormat. “Yang Mulia Putra Mahkota,” panggil Sir Alberto, suaranya dalam, “Darius, Ksatria Pengintai, telah kembali.” Kael membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sir Alberto, sorot matanya menajam di bawah sinar siang yang terpantul dari iris birunya. “Suruh dia masuk.” Sir Alberto membungkuk, membuka pintu lebih lebar. Darius masuk dengan langkah hati-hati, menyembunyikan napas berat yang masih belum stabil setelah perjalanan panjang. Ia menekuk satu lutut, menunduk dalam. “Saya menghadap, Yang Mulia Putra Mahkota,” ucap Darius d