Tengah malam itu begitu sunyi, hanya suara angin menggoyangkan dedaunan dan gemerisik binatang malam yang terdengar.
Anya terbangun lebih dulu, matanya terbuka lebar ketika dari kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda yang menggema di antara pepohonan. Semakin lama, suara itu semakin mendekat. “Lady Eveline!” bisik Anya panik, mengguncang tubuh Eveline yang masih terlelap dalam tidur gelisah. Eveline terkejut, matanya terbuka dengan cepat, napasnya terengah saat kesadarannya kembali. “Ada apa?” bisiknya. “Dengar... mereka datang, Lady!” Anya menarik tangannya, memaksa Eveline duduk dan mendengar suara yang kini semakin jelas—suara kaki kuda, banyak, berderap cepat. Wajah Eveline memucat, tetapi matanya memancarkan keteguhan. “Kita harus pergi sekarang.” Mereka bergegas berdiri, mengambil jubah yang sempat mereka jadikan alas tidur, dan merapikan diri seadanya. Eveline melirik ke arah keranjang berisi beberapa apel yang mereka kumpulkan tadi, ragu untuk mengambilnya, tetapi Anya dengan cepat mengambil dua biji dan memasukkannya ke kantong kain seadanya. Mereka keluar dari pondok terbengkalai itu, melangkah cepat menyusuri rerumputan, meninggalkan jejak samar di tanah. Dari kejauhan, obor-obor mulai terlihat, suara teriakan ksatria yang memerintahkan pasukannya terdengar di antara suara derap kuda. “Cepat, Anya!” Eveline menarik tangan Anya, mereka berlari menembus semak-semak, cahaya bulan membantu mereka melihat jalur samar di hutan yang gelap. Di belakang mereka, suara seorang ksatria terdengar keras, “Jejak mereka di sini! Mereka baru saja pergi dari pondok ini!” Sementara itu, obor-obor dinyalakan di sekitar pondok, suara kaki kuda berhenti, dan suara perintah dikeluarkan untuk memeriksa jejak kaki mereka. Anya menoleh dengan napas terengah, “Mereka menemukan kita, Lady.” Eveline mengepalkan tangannya, menatap lurus ke depan, “Kita tidak boleh tertangkap, tidak sekarang.” Dan mereka terus berlari menembus kegelapan malam, menuju arah perbatasan, dengan harapan masih ada sisa waktu sebelum fajar datang. °°°° Di sisi lain, langit malam kian pekat, hanya diterangi sinar bulan pucat dan lampu obor pasukan yang berkelip di antara pepohonan. Putra Mahkota Kaelion Dravenhart menurunkan kapuconya saat angin malam menampar wajahnya, berdiri tegak di depan pondok reyot itu. Sir Aldrich dan Sir Alberto turun dari kuda mereka, langkah sepatu besi menginjak tanah yang dingin. Kael melangkah masuk ke dalam pondok, debu halus beterbangan saat kakinya menyentuh lantai kayu tua. Tangannya terulur, menyentuh lantai yang masih hangat, sedikit lembap oleh embun malam. “Masih hangat,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri, namun matanya bersinar tajam. Sir Alberto mendekat, tangannya menggenggam gagang pedangnya. “Bagaimana, Yang Mulia?” Kael perlahan berdiri, matanya menyapu seluruh sudut pondok yang masih meninggalkan jejak dua orang perempuan yang sempat beristirahat di sana. Potongan kain kecil yang tertinggal di paku, jejak kaki kecil yang samar, dan sisa-sisa daun kering yang tergeser ke samping. “Dia baru saja pergi...” gumam Kael. Ia melangkah keluar, menatap ke arah gelap hutan yang menjulur seperti lorong tanpa akhir. Angin malam menerpa rambutnya, membuat jubah hitamnya berkibar di belakang, wajahnya menegang, matanya menatap tajam pada gelap hutan. Sir Aldrich menahan napas, melihat aura dingin dari Putra Mahkota yang semakin pekat. “Perintah selanjutnya, Yang Mulia?” Kael menoleh perlahan, sorot matanya tajam bak pisau yang baru diasah. “Pasukan kita berhenti di sini. Saat fajar, kita kembali ke istana.” Sir Aldrich mengangkat kepalanya, ragu. “Tapi, Yang Mulia—” “Tugas kita di istana lebih penting,” suara Kael menebas udara malam, dingin dan tegas. “Namun, pasukan Valtieri akan tetap melanjutkan pencarian hingga mereka menyeret Lady Eveline kembali ke hadapanku.” Sir Alberto membungkukkan badan, tangan mengepal di dada kiri. “Perintah diterima, Yang Mulia.” Hening sesaat, hanya suara dedaunan yang berbisik dihembus angin. Kael menarik napas panjang, kepalanya sedikit mendongak ke langit gelap, seakan mencari jawaban pada bulan yang menggantung pucat. “Eveline... sampai kapan kau akan berlari dariku? Apakah kau pikir kau bisa menghindar selamanya...” Kemarahan dan sesuatu yang lain—entah penyesalan atau luka lama—terlihat sekilas di matanya sebelum ia kembali menutup ekspresinya rapat-rapat. Tiba-tiba, suara derap kaki pasukan Valtieri terdengar mendekat, obor mereka memecah kegelapan. Duke Armand turun dari kudanya, mendekat dengan wajah yang terlihat letih dan penuh tekanan. “Yang Mulia,” panggil Sir Aldrich, suaranya rendah, “Kami akan melanjutkan pencarian. Aku akan memastikan putriku ditemukan sebelum matahari terbit.” Kael hanya mengangguk tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada gelap hutan, seolah bisa melihat siluet Eveline yang sedang berlari menjauh darinya. “Sir Aldrich,” panggil Kael, suaranya tenang namun dingin seperti malam yang menusuk tulang. Sir Aldrich segera maju satu langkah, menundukkan kepalanya. “Perintah, Yang Mulia.” Kael menoleh perlahan, sorot matanya tajam menembus pandangan malam. “Selain membawa Lady Eveline kembali, kau juga harus mencari tahu satu hal untukku.” Sir Aldrich mengangkat kepalanya sedikit, menatap Putra Mahkota dengan serius. “Hal apa, Yang Mulia?” Kael memejamkan matanya sejenak sebelum menatap lurus ke arah Sir Aldrich. “Cari tahu siapa pria yang pernah ditemui oleh Lady Eveline sebelum pesta kedewasaan Putri Rowena. Aku ingin tahu siapa dia, apa hubungannya dengan Lady Eveline, dan apa yang mereka rencanakan.” Sir Aldrich menelan ludah, ragu sejenak. “Apakah ini... berkaitan dengan rumor yang beredar mengenai Lady Eveline, Yang Mulia?” Kael tersenyum tipis, senyum yang lebih dingin daripada angin malam yang menggigit. “Rumor hanya akan menjadi rumor, Sir Aldrich. Aku ingin kebenaran. Tidak ada yang bisa bersembunyi dariku.” Sir Aldrich mengepalkan tangan, menepuk dada kirinya dengan hormat. “Perintah diterima, Yang Mulia.” Kael kembali menoleh ke hutan gelap, angin meniup jubah hitamnya dengan pelan, matanya menyala di bawah cahaya obor. “Kau tidak akan selamanya bisa bersembunyi dariku, Eveline... Setelah membuat kekacauan.” Sir Aldrich menatap Putra Mahkota dengan tatapan sulit diartikan. Untuk apa Yang Mulia mencari tahu siapa pria yang pernah ditemui oleh Eveline? Apa hubungannya pria itu dengan semua kekacauan ini? Namun, Sir Aldrich hanya mampu menggertakkan giginya, menahan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Ia sendiri tidak tahu-menahu mengenai pria itu. Satu-satunya yang mungkin mengetahui adalah adiknya—Lady Sabrina. “Yang Mulia, mengenai pria itu... saya belum memiliki informasi apa pun.” Suaranya pelan, ragu, namun tetap menjaga wibawa. Kael menoleh, menatap Sir Aldrich dengan tatapan menusuk, seolah melihat ke dasar pikirannya. “Kau akan segera mengetahuinya.” Sir Aldrich menunduk dalam, tangan kanannya mengepal di samping tubuhnya. “Baik, Yang Mulia.” Kael kembali mengalihkan pandangannya ke arah hutan, matanya tajam seperti elang berburu di malam hari. “Bawa dia padaku jika kau menemukannya. Aku ingin tahu segalanya.” Sir Aldrich mengangguk pelan, menyembunyikan gejolak di dadanya. Dalam hatinya, nama adiknya berputar tanpa henti—Sabrina. Dan malam itu, perintah telah diberikan, perburuan Lady Eveline tetap berlanjut, sementara di sisi lain, bayangan pria misterius yang pernah ditemui Eveline kini menjadi target baru Putra Mahkota—sebuah intrik yang akan membawa mereka semua ke dalam permainan takhta, harga diri, dan rahasia yang telah lama terkubur.Hentakan kuda memecah keheningan malam. Darius, Rhett, dan Maric memacu kuda jantan mereka menyusuri hutan dengan kecepatan terukur, nafas kuda terlihat seperti uap tipis dalam udara malam yang dingin.Rhett yang memimpin di depan, menarik tali kekang kudanya hingga kuda hitam itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya sebelum perlahan menjejak tanah.Mereka berhenti. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun gelap yang berdesir pelan. Cahaya bulan hanya menembus di sela dedaunan, menimbulkan bayangan kabur pada wajah mereka.Ini bukan wilayah Lumor lagi.“Ada apa?” tanya Maric, matanya berusaha menembus gelap, hanya disinari obor kecil di genggamannya.“Kita akan beristirahat di sini.” Rhett turun dari kudanya, mengusap leher kuda hitam itu sebelum mengikat tali kekangnya pada batang pohon besar yang kokoh. “Kita lanjutkan pencarian saat fajar menyingsing.”Darius ikut turun, menepuk pundak kudanya sebelum mengikatnya tak jauh dari kuda Rhett, sedangkan Maric menuntun kudanya
Di balik kabut Lumor yang tak kunjung menipis, cahaya senja tampak tertahan lama. Tak ada yang benar-benar tahu kapan hari berganti malam di sini.Rhett dan Maric saling menatap, lalu kembali memandangi Oldrick yang duduk di dekat api unggun, tangannya sibuk membalik kayu agar bara tidak padam.“Apa sebaiknya kita mencari mereka? Ini bahkan sudah malam, Tetua,” ucap Rhett, nada suaranya rendah namun tegang. Sejak sore, Lady Eveline dan Anya belum kembali. Mereka sempat ingin turun ke sungai untuk mencari, namun Oldrick sebelumnya bersikeras mereka akan pulang, merasa janggal, namun tetap diam.Oldrick diam, memandangi api yang menari, cahayanya memantul di matanya yang keriput. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Mereka tidak akan kembali.”Rhett dan Maric saling menoleh cepat, wajah mereka berubah waspada, alis Maric bertaut dalam.“Apa maksudmu—” suara Maric terdengar tajam.Oldrick yang tadinya menunduk perlahan menaikkan pandangannya, menatap keduanya dengan soro
“Lady...”Eveline langsung menoleh, mendapati Anya yang tergesa-gesa menghampirinya dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang berisi pakaian dan kain lusuh mereka.“Sudah?” tanya Eveline dengan suara datar.Anya mengangguk cepat. “Semuanya sudah selesai,” balasnya pelan. Dari belakang, Tetua Lumor, Oldrick, menyusul keluar rumah, berdiri di samping mereka dengan wajah khawatir.“Aku dan—” “Ah, ternyata kalian ada di sini.”Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Rhett dan Maric berjalan mendekat dengan langkah tenang, sorot mata mereka sulit dibaca. Eveline menarik napas perlahan, menetralkan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.“Ada apa? Apa kalian membutuhkan obat-obatan?” tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Di sampingnya, Anya tampak menegang, menggenggam pegangan keranjang dengan erat.Rhett menatap Eveline sejenak sebelum menggeleng pelan. “Tidak, Lady.”Maric menundukkan kepala sedikit. “Kami
“Lady, kita kehabisan bahan untuk obat-obatan. Aku akan mengambilnya lagi,” ucap Anya, menoleh pada Lady Eveline yang tengah menumbuk daun herbal untuk warga yang terkena gatal-gatal.“Pergilah, Anya. Ah... ambil juga beberapa daun thyme,” balas Eveline tanpa menoleh sedikit pun.“Baiklah, Lady.”Anya berjalan menjauh, menuju rawa tempat dedaunan herbal itu tumbuh. Suara serangga dan angin lembab rawa menemani langkahnya.Namun, langkah Anya terhenti saat suara rendah dan teredam terdengar di kejauhan.“Apa Putra Mahkota sendiri yang akan datang ke Lumor membawa Lady Eveline ke istana?”Anya menajamkan pendengarannya, wajahnya memucat.“Entahlah, kita hanya dapat menunggu Darius kembali. Mungkin saja kita yang akan membawa Lady itu ke istana,” suara pria lain menjawab.Anya beringsut mendekat ke balik pohon ek besar, matanya menangkap dua pria berpakaian lusuh layaknya pedagang keliling dengan keranjang herbal dan kantong kulit di pinggang mereka—Rhett dan Maric. Dadanya berdegup cepa
Ratu Seraphina menatap mereka lama, sorot matanya dingin meski senyumnya terukir di bibir. “Ah... tentu saja, tinggallah beberapa hari. Aku yakin, Yang Mulia Raja merindukanmu,” ucapnya, matanya beralih pada Duchess Leztia. “Bukan begitu, Duchess Gerwyn?” Duchess Gerwyn membalas senyum itu dengan senyum tipis yang penuh kehati-hatian. “Tentu saja, Yang Mulia Ratu.” Duke Gerwyn berdeham pelan sebelum angkat bicara, “Sebagai adik dari Yang Mulia Raja Eldoria, apakah kami diperkenankan menjenguk beliau?” Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Kael menoleh perlahan, menatap Duke Gerwyn dengan sorot mata dingin bak pisau yang mengiris diam-diam. “Tidak ada ‘kami’,” ucap Kael tegas, setiap kata keluar dengan tekanan. “Yang Mulia Raja hanya dapat dijenguk oleh satu orang.”Tatapan Duke Gerwyn mengeras sesaat sebelum ia menoleh pada istrinya. Duchess Gerwyn mengangguk tipis, wajahnya tetap tersenyum namun matanya berkilat.Duke Gerwyn menarik napas, menoleh kembali pada Kael. “Baikla
Cahaya matahari siang menembus kaca besar di belakang punggung Kael, menerangi ruangan kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen dan peta-peta wilayah Eldoria. Kael duduk tegak di kursi kerjanya, jemarinya menekan pelipis sambil menatap laporan-laporan yang berserakan di mejanya. Suara ketukan halus terdengar di pintu kayu besar itu. Tok... Tok... “Masuk.” Pintu terbuka perlahan, Sir Alberto masuk dengan langkah tegap, membungkukkan badan dengan hormat. “Yang Mulia Putra Mahkota,” panggil Sir Alberto, suaranya dalam, “Darius, Ksatria Pengintai, telah kembali.” Kael membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sir Alberto, sorot matanya menajam di bawah sinar siang yang terpantul dari iris birunya. “Suruh dia masuk.” Sir Alberto membungkuk, membuka pintu lebih lebar. Darius masuk dengan langkah hati-hati, menyembunyikan napas berat yang masih belum stabil setelah perjalanan panjang. Ia menekuk satu lutut, menunduk dalam. “Saya menghadap, Yang Mulia Putra Mahkota,” ucap Darius d