"Nyonya besar, saya titipkan putra saya pada anda, anda tidak perlu khawatir, saya juga akan membantu mengurus tuan besar, jika anda berkenan dan memperbolehkannya" ucap Aletta pada Sandra.
Sandra hanya mengangguk dan tak berbicara sepatah katapun.
"Ibu ….Tidak bu, bagaimana nanti, pikirkan baik-baik, anda tidak bisa memanggilku dengan sebutan putra" ucap Aditya terlihat tak rela.
"Tidak apa-apa putraku, nyonya besar akan menyayangimu lebih dari apapun, ibu tetaplah ibu kandungmu nak, kelak kita masih tetap akan bersama, yang penting ibu bisa melihatmu setiap hari" ucap Aletta.
"Apakah ibu didesak mereka, agar mau diperalat begini bu? Masih ingatkah dulu mereka begitu menghinakanmu, mengusir kita dari rumah besar itu dan mencampakan kita berdua untuk hidup di komplek perumahan kumuh, apakah anda sudah melupakan perbuatan mereka?" Tanya Aditya begitu marah dan ketus terhadap pria yang berbaring dan paman Yosef.
"Tidak nak, mereka tidak mendesak ibu atau mengancam, ini satu-satunya cara agar perusahaan ayahmu tidak hancur, ibu ikhlas, tidak apa-apa kita berpisah status asal ibu tetap di sampingmu" jawab Aletta begitu haru.
Aditya menangis seperti anak kecil dengan air mata berjatuhan di pipinya yang terus menerus dia seka dengan kedua tanganya.
Aletta hanya bisa memeluk dan mengusap punggung putranya yang terisak seperti anak umur 5 tahun yang tidak jadi dibelikan mainan oleh ibunya.
Sandra juga merasa begitu kasihan saat melihat Aditya menangis pilu seperti itu, jika dia ibunya, dia juga tak akan rela membiarkan putra semata wayangnya harus melupakan ibu kandung dan memanggil sebutan ibu pada ibu tirinya, seperti hal yang akan terjadi padanya ke depan.
"Ayo, lihatlah ayahmu nak, bisikanlah kata-kata agar dia segera bangun, ibu yakin beliau pasti mendengar suaramu" ajak Aletta lalu menuntun putranya mendekati tubuh Fajar yang berbaring tak berdaya itu.
Sandra berdiri dan sedikit mundur, memberikan ruang untuk Aletta bersama Aditya untuk mendekati tubuh suaminya.
Aditya memandang lekat wajah itu, wajah yang selama ini dia benci sekaligus dia rindukan.
"Bu, bukankah jika dia mati hidup kita akan tenang? Bukankah jika dia lenyap, hidup kita akan bahagia? Hidup ini hanya tentang aku dan dirimu ibu, aku tidak ingin melihat ibu menangisi pria ini lagi" ucap Aditya dalam hati.
Karena seperti yang dia ketahui, selama ini ibunya sering menangis diam-diam merindukan sosok Fajar di sampingnya, meskipun ibunya bisa disebut pelakor atau perempuan perebut suami orang, tetapi Aditya tahu jika ibunya setia hanya dengan Fajar, dia tidak ingin menikah lagi meskipun saat Fajar meninggalkannya dia masih muda dan sangat cantik, karena kecantikan dan kemolekan tubuhnya lah yang membuat Fajar terjerat cinta Aletta dan berselingkuh dari Sandra istri sahnya.
Sekarang, setelah 10 tahun lamanya terpisah, diasingkan meskipun masih satu kota tetapi mereka tidak pernah bertemu dan sekarang saat bertemu kembali dalam keadaan yang mengenaskan, ayahnya terbaring di sana, begitu lemah tak berdaya padahal yang Aditya ketahui ayahnya adalah sosok yang begitu perkasa, hanya orang yang begitu licik saja yang bisa membuatnya begitu tak berdaya seperti sekarang. Perasaan Aditya sangat berkecamuk saat ini, dia merasa benci, marah dan juga dendam terhadap orang yang begitu tega melakukan ini terhadap ayahnya.
"Bagaimana nak? Kamu siap?" Tanya Aletta, membuyarkan lamunan Aditya.
"Baiklah ibu, aku ikuti perintahmu, bertahanlah bu, aku akan segera menyelesaikan urusan ini dan menemukan dalang dibalik tragedi penusukan ini" jawab Aditya.
"Terima kasih nak, kamu juga harus bertahan dan mempersiapkan mental untuk pertempuran ini" ucap Aletta.
"Aditya kamu gak apa-apa?" teriak Jonathan panik dan segera melindungi Aditya jika saja ada serangan lagi dari Indra."Indra apa kau ingin mati!" seru Jonathan ke arah Indra."Ayolah kita sebaiknya mati bersama-sama." Balas Indra sambil bersiap kembali menarik pelatuk.Jonathan tidak bisa membiarkan Aditya, anak buahnya maupun dia mati begitu saja, akhirnya dengan spontan tanpa sengaja menarik pelatuk dan tembakan itu mendarat tepat di dada Indra yang langsung terpental hingga jatuh ke dalam air laut di belakangnya.Semua orang terdiam, Aditya tampak terperanjat kaget saat Indra terjatuh dan tak terlihat lagi berdiri di depannya."Aditya ayo pergi." Ajak Jonathan sambil menarik lengan temannya itu, dia tak peduli keadaan Indra."Kamu yakin dia sudah mati?" tanya Aditya, lalu berdiri dan melihat laut.Wajah Aditya tersenyum puas kala melihat tubuh Indra yang tersangkut oleh jaring, pria itu tampak masih berusaha bertahan sambil menahan rasa sakit."Belum mati rupanya." Dengus Jonathan
Aditya tampak tak peduli dengan perkataan temannya itu, dia segera pergi dan berjalan lebih dulu. Sedangkan Jonathan sepertinya kini tak bisa mencegah Aditya lagi, dia menebak jika Aditya tahu kalau dia memiliki rencana terselubung."Maafkan aku kawan, aku tahu kamu berbuat begini karena ingin membuatku tetap aman." Batin Aditya mendesah saat dia menebak-nebak rencana yang dibuat temannya itu.Aditya berjalan semakin jauh menuju sebuah pelabuhan yang disana sudah mulai dipadati beberapa orang, mereka tampak bersiap untuk menurunkan barang dari kapal besar yang baru saja berlabuh.Kedua mata Aditya berkeliling mencari seseorang di sekitar sana, dengan wajah yang tegas dan pandangan yang tajam akhirnya tatapan matanya berhenti pada seseorang yang sedang duduk sambil melihat ke arah kapal di depannya.Jonathan mengawasi tatapan Aditya dan dia juga melihat sosok itu, Aditya akan melangkah pergi tapi Jonathan segera mencegahnya."Tunggulah disini, serahkan dia padaku." Kata Jonathan.Adity
Tidak ada manusia normal manapun yang akan baik-baik saja kalau dalam waktu dekat kehilangan dua orang yang paling dicintai dalam hidupnya. Begitulah kiranya perasaan Aditya dan Jonathan dapat memahaminya, makanya dia harus waspada serta menyerahkan penangkapan Indra pada para pengikutnya agar keselamatan Aditya lebih terjamin daripada dia sendiri yang menangkapnya.Jonathan berusaha sebisa mungkin berkomunikasi dengan para pengikutnya untuk memberikan perintah tanpa sepengetahuan Aditya.Waktu sudah sangat larut, keadaan dermaga juga tidak terlalu ramai seperti saat siang. Mungkin karena di siang hari banyak kapal-kapal kecil yang singgah, sedangkan malam tidak ada.Suara klakson kapal feri yang baru datang terdengar nyaring dan menggema, Aditya mulai waspada."Ayo cepat kita kesana, mungkin pria itu akan menaiki kapal feri itu." Ajak Aditya sambil menunjuk."Tenanglah ada pengikut kita di depan, pergerakan mereka lebih smooth dibanding kita berdua." Jawab Jonathan disertai senyuman
Jonathan melajukan kendaraannya dengan cepat, adrenalinnya benar-benar terpacu saat dia tahu akan menangkap penjahat itu. Penjahat yang sudah mengambil nyawa penolong keluarganya yaitu tuan Fajar, dia juga memiliki dendam bukan hanya Aditya saja."Aku juga sudah menghubungi ayahku, biarkan anak buahnya berjaga di pelabuhan agar penjahat itu tidak bisa pergi kemanapun.""Good job." Puji Aditya.Jonathan melirik sebentar, dia sangat senang ketika temannya itu bersemangat lagi.Perjalanan cukup jauh meskipun Jonathan sudah memacu kendaraannya dengan cepat, mereka berangkat dari pusat kota dan menuju ke pesisir pantai dimana Indra terlihat. Sementara Aditya tidak mau hanya diam saja dan menyia-nyiakan waktu berharganya itu, dengan cekatan dia terlihat merakit senjata api yang sudah disiapkan oleh Jonathan di kursi penumpang."Kamu memilih senjata kecil itu?" tanya Jonathan disela-sela memacu kendaraannya."Hem." Jawab Aditya pendek."Aku ingin membunuhnya perlahan dari jarak terdekat kami
Sementara Aditya belum cukup puas memandangi wajah Catrina untuk terakhir kalinya, namun kini paramedis seakan memaksanya harus segera berpisah dengan wanita itu. Benar saja apa kata teman-temannya dan Sandra, kalau dia akan menyesalinya."Tolong, biarkan aku sebentar lagi. Tolonglah…." Pinta Aditya memohon."Maafkan kami tuan Aditya, jasadnya harus segera kami bersihkan sebelum terlambat." Kata-kata paramedis itu benar-benar menyakiti hati Aditya, "bukankah memang sudah terlambat? Dia sudah mati, apalagi yang membuat semua ini tidak terlambat?""Dia tidak akan hidup lagi, bukankah semuanya sudah terlambat?""Ya beliau memang sudah tiada, tubuhnya kaku dan kulitnya mulai membiru. Apa Anda akan puas saat tubuh ini mulai membusuk? Apa itu yang Anda inginkan?" balas paramedis tersebut.Rasanya jantung Aditya berhenti berdetak, dia menyesali segalanya tapi dia juga masih ingin melihat wajah Catrina untuk beberapa saat lagi."Sudahlah ikhlaskan dia, kasihan tubuhnya." Kata Jonathan sambil
Sandra terus berbicara agar anak sambungnya itu sadar dari sikap omong kosongnya itu."Aditya dengarkan saya sekali ini_""Sejak kapan saya tidak pernah mendengarkanmu? Bukankah selama ini saya selalu menurut?" potong Aditya bertanya.Sandra menghela napas, dia juga tahu kalau putra sambungnya ini sedang dalam proses depresi akut. Hanya saja tingkat depresinya sangat mengkhawatirkan, yang lain bisa menangis, bersedih, menyalahkan diri sendiri atau marah-marah untuk meluapkan emosinya. Tapi Aditya hanya diam saja tanpa melakukan apapun, masalahnya jika dia tidak menghalangi orang-orang untuk mengurus mayat Catrina tidak jadi masalah mau bersikap begini, tapi Aditya menghalangi dan mengacaukan segalanya."Maksud ibu, apa harus ibumu yang langsung bicara padamu? Ibumu sekarang masih lemah dan terbaring di rumah sakit, tapi ibumu masih baik-baik saja. Sementara Catrina… dia sudah tiada, tubuhnya butuh segera diurus.""Lalu… apa kamu juga menganggap aku sehat sampai bisa datang kesini? Tid