Share

Bab 7

Author: Beatarisa
last update Last Updated: 2025-07-04 19:01:48

Iring-iringan kereta kuda itu melaju perlahan, kini bukan lagi dalam pelarian, melainkan dalam ritme perjalanan yang lelah. Gelapnya Hutan Makaoka terasa pekat, hanya diterangi oleh lentera yang bergoyang di sisi kereta dan lautan bintang di atas kanopi pohon. Suara jangkrik dan pekikan burung hantu yang sesekali terdengar menjadi musik pengiring malam mereka.

Barto, yang sejak tadi diam, akhirnya menoleh pada Clive. "Kuda-kuda ini sudah berlari jauh lebih kencang dari biasanya. Anak-anak buahku juga pasti sudah lelah," katanya dengan suara serak. "Jika kita terus paksakan, kita akan tiba di Arion dalam lima jam. Tapi rasanya itu bukan pilihan yang bijak. Bagaimana jika kita beristirahat?"

Clive mengalihkan pandangannya dari kegelapan hutan. "Aku tidak terburu-buru, Tuan Barto. Keselamatan Anda dan tim lebih penting."

Barto tersenyum lega. "Kau memang anak yang baik." Ia menunjuk ke depan. "Sekitar dua kilometer lagi, ada sebuah desa kecil yang tersembunyi. Namanya Fusha. Ada penginapan dan kedai yang bagus di sana, milik teman lamaku. Kita akan beristirahat di sana sampai fajar."

Clive menganggukkan kepalanya, menyetujui dalam diam.

Benar saja, tak lama kemudian, cahaya hangat dari beberapa lentera mulai terlihat di antara pepohonan. Mereka tiba di Desa Fusha, sebuah kantong peradaban yang nyaman dan tenang, terlindung dari kebrutalan dunia luar. Aroma kayu bakar dan masakan rumah menyambut mereka.

Barto menghentikan keretanya di depan sebuah bangunan dua lantai yang paling besar, dengan papan nama bertuliskan "Kedai & Penginapan Sando".

"Oke, anak-anak, turunkan beberapa barang penting! Kita bermalam di sini dan lanjut saat matahari terbit!" seru Barto pada anak buahnya.

"Baik, Tuan!" jawab mereka serempak, kelegaan terpancar dari wajah mereka.

Saat mereka melangkah masuk, kehangatan dan suara tawa pelan langsung menyambut mereka. Seorang pria gempal dengan kumis tebal dan senyum lebar sedang mengelap meja bar.

"Barto! Demi janggut semua dewa, kukira kau sudah dimakan serigala di jalan!" seru pria itu, melempar kain lapnya dan menghampiri untuk memeluk Barto dengan erat.

"Sando, kau bajingan tua!" balas Barto sambil tertawa, menepuk punggung temannya. "Butuh lebih dari sekadar serigala untuk menumbangkanku! Bagaimana kabarmu?"

"Yah, seperti yang kau lihat. Aku masih hidup, masih menuang anggur, dan masih mendengarkan keluhan para pengelana. Kau sendiri?"

"Sedikit petualangan di jalan, tapi kami semua selamat." Barto melirik ke sekeliling. "Aku butuh kamar malam ini, Sando. Tiga kamar, dan bawakan anggur terbaikmu dua botol. Sudah lama sekali aku tidak merayakan kehidupan."

"Tentu saja! Tapi bukankah kalian berempat?" Sando menghitung.

"Yang satu ini," kata Barto sambil menunjuk Clive, "akan tidur di sofa dekat perapian jika dia mau. Anak muda butuh punggung yang kuat, kan?" guraunya.

Saat itulah, seorang gadis muda keluar dari dapur, membawa nampan berisi gelas-gelas kosong. Ia memiliki rambut cokelat gelap yang diikat ke belakang dan mata yang bersinar ramah di bawah cahaya lentera.

"Ayah, meja nomor tiga sudah selesai."

"Ah, Elanie," kata Barto dengan senyum lebar. "Wah, wah... apakah itu benar-benar kamu? Sudah berapa lama aku tidak kemari? Rasanya baru kemarin kau masih gadis kecil yang mencuri kue jahe dari dapur. Kenapa sekarang kau sudah tumbuh menjadi gadis yang secantik ini?"

Elanie tersipu malu, senyum manis tersungging di bibirnya. "Selamat datang kembali, Paman Barto. Sudah hampir dua tahun. Anda terlihat sangat sibuk."

Saat mata mereka bertemu, dunia Clive yang tadinya hanya berisi hutan, kuil, dan amarah, tiba-tiba berhenti berputar. Elanie tersenyum padanya—sebuah senyuman yang tulus dan hangat, bukan senyum sinis atau penuh ketakutan yang ia bayangkan akan ia temui. Untuk sesaat, Clive lupa cara bernapas. Ia merasa canggung, seperti orang asing di tubuhnya sendiri, dan dengan cepat memutus kontak mata, merasakan pipinya menghangat secara aneh.

"Tuan Zenith, sepertinya Anda tertarik dengan Nona Elanie," bisik salah satu anak buah Barto dengan nada menggoda.

Wajah Clive langsung memerah. "Eh, kalian... tidak, tidak... jangan salah sangka..."

Kedua anak buah Barto tertawa terbahak-bahak melihat reaksi itu. "Maaf, Tuan. Kami hanya bercanda."

Elanie, yang diperintahkan ayahnya untuk menyiapkan kamar, berjalan melewati mereka. "Kamar nomor 4, 5, dan 13 sudah siap, Tuan-tuan. Silakan pilih yang disukai," katanya dengan suara lembut, sambil melirik sekilas ke arah Clive sebelum bergegas naik ke lantai dua.

Kedua anak buah Barto segera naik untuk beristirahat. Clive, alih-alih mengikuti, justru menarik sebuah kursi dan bergabung dengan Barto dan Sando di dekat bar.

"Tuan Sando, apakah Anda punya kopi? Dan mungkin... sebatang rokok?" tanya Clive. Permintaan yang aneh, tapi ia ingin merasakan sesuatu yang normal.

Sando tersenyum. "Tentu saja, Nak. Kopi terbaik di Fusha dan tembakau dari lembah seberang." Ia menyajikan secangkir kopi hitam panas dan sebatang rokok lintingan. Clive menerimanya, menyulut rokok itu dengan bara dari perapian, lalu terbatuk hebat saat menghisapnya untuk pertama kali.

Barto dan Sando tertawa. "Pelan-pelan, Nak," kata Sando ramah. "Menikmati hidup itu seni, tidak bisa terburu-buru."

"Sepertinya aku belum pernah melihatmu bersama Barto," lanjut Sando, menatap Clive dengan tatapan ingin tahu. "Kau supir kuda barunya?"

Sebelum Clive sempat menjawab, Barto memotong. "Oh, bukan. Dia pengembara. Kami bertemu di jalan, tujuannya sama ke Arion, jadi kuajak saja sekalian. Kau tahu aku, selalu kasihan pada anak muda yang berjalan sendirian di hutan."

Sando mengangguk-angguk, namun matanya masih menelisik wajah Clive. "Begitu... pantas saja. Tapi aneh, wajahmu nampak tidak asing bagiku. Seperti pernah kulihat di suatu tempat... apa kau pernah ke Fusha sebelumnya?"

"Tidak, Tuan. Ini pertama kalinya," jawab Clive tenang.

"Mungkin hanya perasaanku saja," kata Sando, lalu beralih ke Barto. "Tapi kau benar-benar nekat, Barto. Lewat jalur selatan di malam hari. Kudengar geng si Codet semakin merajalela."

"Kami bertemu mereka," kata Barto singkat.

Sando tersentak. "Lalu?! Bagaimana kau bisa lolos?"

Barto tersenyum misterius dan melirik Clive. "Katakan saja... para Dewa sedang berpihak pada kami malam ini."

Sando menggeleng tak percaya. "Zaman sekarang semakin sulit. Pajak dari Ravelinz mencekik, keamanan hanya untuk mereka yang bisa bayar mahal. Kau ingat Leo, anak si pandai besi? Tahun lalu dia pergi bekerja di tambang kristal milik Leiva di Distrik 3, berharap bisa mengirim uang untuk keluarganya. Dia kembali enam bulan lalu..." Sando berhenti, suaranya menjadi berat. "...dengan satu kaki dan tatapan mata yang kosong. Mereka memeras tenaganya sampai habis, lalu membuangnya saat ia cedera. Tanpa pesangon, tanpa pengobatan. Itulah wajah kekuasaan mereka yang sebenarnya."

Clive mendengarkan dalam diam. Genggaman pada cangkir kopinya mengerat. Cerita Sando adalah gema dari ribuan tragedi lain yang pasti terjadi di bawah tirani Leiva. Ini bukan lagi hanya tentang dendamnya. Ini tentang semua Leo yang ada di dunia.

Ia menatap kehangatan api di perapian, namun di dalam dirinya, api yang lain berkobar lebih dingin dan lebih gelap.

"Tuan..." sebuah suara lembut memanggil.

Clive menoleh. Elanie berdiri di sana, membawa nampan untuk membersihkan meja lain. "Kopinya... apakah sesuai selera Anda?" tanyanya ragu-ragu.

Lamunan kelam Clive pecah. Ia menatap gadis itu dan, untuk pertama kalinya malam itu, sebuah senyum kecil yang tulus dan tanpa beban terukir di wajahnya.

"Ya," jawabnya. "Sangat enak. Terima kasih."

Dan di tengah kedai kecil yang hangat itu, dikelilingi oleh teman baru dan ancaman lama, Clive Zenith merasakan secercah kehangatan yang telah lama hilang dari hidupnya. Sebuah kehangatan yang membuatnya bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya ia berjuang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 38

    Di dalam kantor Direktur Utama yang mewah, keheningan terasa begitu tebal hingga bisa diiris dengan pisau. Pertemuan sunyi antara sang pewaris yang kembali dengan sang penjaga takhta berakhir saat Zhuxin Wang akhirnya memecah keheningan, suaranya tetap tenang namun kini ada sedikit nada yang tak terbaca."Rapat dewan akan segera dimulai," katanya. "Sebaiknya kita tidak membuat mereka menunggu lebih lama."Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Clive dan Nelson mengikutinya dalam diam, berjalan di belakangnya menyusuri koridor pribadi yang sama. Clive memperhatikan punggung wanita itu—tegap, penuh percaya diri, sebuah benteng yang telah menahan gempuran selama sepuluh tahun. Dia bukan hanya penjaga gerbang, batin Clive. Dia adalah gerbang itu sendiri. Untuk merebut kembali Zenith, aku tidak bisa hanya melewatinya. Aku harus membuatnya membukakan pintu untukku.Mereka tiba di depan pintu ganda yang menuju ruang rapat utama. Zhuxin ber

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 37

    Pagi merayap masuk melalui jendela-jendela besar mansion keluarga Zenith, membawa serta keheningan yang terasa berat. Keheningan itu sarat akan peristiwa kemarin—kedatangan tak terduga Don Decker Salvatore dan Sembilan Pilar Penjaganya, sebuah nama yang bergaung seperti lonceng kematian, telah mengoyak selubung damai yang tipis di rumah ini. Bagi Clive, pagi ini bukan lagi sekadar pergantian hari. Ini adalah sebuah proklamasi. Waktu untuk bersembunyi telah usai.Di ruang makan yang megah, di bawah lukisan cat minyak favorit ayahnya yang seolah menatapnya dengan mata bijak, Clive menemukan Nelson sedang memberikan instruksi pada seorang supir. Aroma kopi arabika yang pekat dan roti panggang hangat buatan Barbara menguar di udara, sebuah kontras yang tajam dengan ketegangan yang menggantung. Rossa duduk di salah satu kursi, mengaduk tehnya dengan tatapan cemas."Nelson," suara Clive terdengar lebih mantap dari hari-hari sebelumnya, memotong keheningan. Clive menarik kursi dan duduk, mat

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 36

    Di dalam kamar utama kediaman Zenith yang megah, Clive berbaring tak bergerak. Meskipun semua luka fisiknya telah sembuh total berkat regenerasi Ashura yang mengerikan, tubuhnya kini harus membayar harganya. Setiap sendi, setiap otot, dan setiap serat saraf di tubuhnya terasa seperti sedang terbakar oleh api yang dingin. Itu adalah gema rasa sakit, efek samping dari pengambilalihan tubuh oleh sang Dewa Perang. Ashura adalah entitas dengan kekuatan abadi; tubuh fana Clive harus menanggung beban dari kekuatan dahsyat itu. Efek ini, seperti yang pernah Kakek Yuan jelaskan, baru akan menghilang setelah seharian penuh beristirahat total. Pintu kamarnya terbuka pelan. Nelson Valdez masuk dengan langkah tanpa suara, membawa nampan berisi segelas air dan beberapa pil pereda nyeri. Ia menatap Tuan Mudanya yang terbaring dengan wajah pucat dan napas yang sedikit berat. "Tuan Muda," bisik Nelson pelan. "Saya telah menghubungi Nona White dan memberitahu apa yang terjadi pada Anda. Saya pikir...

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 35

    Di dalam kamar utama kediaman Zenith yang megah, Clive berbaring tak bergerak. Meskipun semua luka fisiknya telah sembuh total berkat regenerasi Ashura yang mengerikan, tubuhnya kini harus membayar harganya. Setiap sendi, setiap otot, dan setiap serat saraf di tubuhnya terasa seperti sedang terbakar oleh api yang dingin. Itu adalah gema rasa sakit, efek samping dari pengambilalihan tubuh oleh sang Dewa Perang. Ashura adalah entitas dengan kekuatan abadi; tubuh fana Clive harus menanggung beban dari kekuatan dahsyat itu. Efek ini, seperti yang pernah Kakek Yuan jelaskan, baru akan menghilang setelah seharian penuh beristirahat total.Pintu kamarnya terbuka pelan. Nelson Valdez masuk dengan langkah tanpa suara, membawa nampan berisi segelas air dan beberapa pil pereda nyeri. Ia menatap Tuan Mudanya yang terbaring dengan wajah pucat dan napas yang sedikit berat."Tuan Muda," bisik Nelson pelan. "Saya telah menghubungi Nona White dan memberitahu apa yang terjadi pada Anda. Saya pikir... k

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 34

    Hening. Yang tersisa di dalam ruangan penthouse yang porak-poranda itu hanyalah suara napas yang tersengal dan rintihan pelan dari para Pilar Penjaga yang tergeletak di antara puing-puing. Di tengah kehancuran itu, Nelson menatap Tuan Mudanya dengan cemas saat ia membantu Clive yang baru saja sadar untuk berdiri."Tuan Muda, ayo kita pergi dari sini," bisik Nelson, nadanya mendesak. "Semua telah berakhir. Tidak ada yang perlu kita lakukan lagi di tempat ini."Clive menggeleng pelan, menepis tangan Nelson dengan lembut. Matanya tidak tertuju pada para pilar yang tak berdaya, melainkan pada satu sosok yang bersandar di dinding beton yang retak—Don Decker Salvatore. Sang Raja Dunia Bawah kini tampak mengenaskan, napasnya dangkal dan tersengal, dan darah terus merembes dari luka tusuk di dadanya. Aura Emasnya yang agung telah padam."Tunggu, Nelson," kata Clive. "Aku ingin memastikan sesuatu."Dengan langkah yang masih sedikit goyah karena sisa-sisa pertarungan internalnya, Clive berjalan

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 33

    Dunia menjadi hitam.Pukulan terakhir dari Julian Draxler tidak hanya meremukkan tulang rusuk Clive, tapi juga memadamkan kesadarannya. Suara-suara di ruangan itu—teriakan panik Nelson, tawa kejam Julian, detak jantungnya sendiri—perlahan meredam, ditelan oleh kegelapan yang dingin dan tak berujung. Ia terjatuh ke dalam jurang yang sunyi di dalam pikirannya sendiri.Namun, di dalam kegelapan itu, ia mendengar sebuah teriakan lain. Sebuah teriakan dari masa lalu yang penuh dengan kepanikan."Kakek! Clive lepas kendali!"(Kilas Balik - Kuil Surgawi, Satu Tahun Lalu)Di tengah lapangan latihan yang damai, di bawah tatapan tenang patung-patung Buddha, Clive yang berusia 22 tahun sedang beradu tanding dengan Wing Shao. Mereka bergerak cepat, hanya menggunakan Chi murni tanpa Tension, sebuah latihan untuk menguji batas stamina dan kontrol."Kau melambat, Clive!" seru Wing sambil menangkis pukulan Clive."Aku... baru... mulai!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status