Iring-iringan kereta kuda itu melaju perlahan, kini bukan lagi dalam pelarian, melainkan dalam ritme perjalanan yang lelah. Gelapnya Hutan Makaoka terasa pekat, hanya diterangi oleh lentera yang bergoyang di sisi kereta dan lautan bintang di atas kanopi pohon. Suara jangkrik dan pekikan burung hantu yang sesekali terdengar menjadi musik pengiring malam mereka.
Barto, yang sejak tadi diam, akhirnya menoleh pada Clive. "Kuda-kuda ini sudah berlari jauh lebih kencang dari biasanya. Anak-anak buahku juga pasti sudah lelah," katanya dengan suara serak. "Jika kita terus paksakan, kita akan tiba di Arion dalam lima jam. Tapi rasanya itu bukan pilihan yang bijak. Bagaimana jika kita beristirahat?" Clive mengalihkan pandangannya dari kegelapan hutan. "Aku tidak terburu-buru, Tuan Barto. Keselamatan Anda dan tim lebih penting." Barto tersenyum lega. "Kau memang anak yang baik." Ia menunjuk ke depan. "Sekitar dua kilometer lagi, ada sebuah desa kecil yang tersembunyi. Namanya Fusha. Ada penginapan dan kedai yang bagus di sana, milik teman lamaku. Kita akan beristirahat di sana sampai fajar." Clive menganggukkan kepalanya, menyetujui dalam diam. Benar saja, tak lama kemudian, cahaya hangat dari beberapa lentera mulai terlihat di antara pepohonan. Mereka tiba di Desa Fusha, sebuah kantong peradaban yang nyaman dan tenang, terlindung dari kebrutalan dunia luar. Aroma kayu bakar dan masakan rumah menyambut mereka. Barto menghentikan keretanya di depan sebuah bangunan dua lantai yang paling besar, dengan papan nama bertuliskan "Kedai & Penginapan Sando". "Oke, anak-anak, turunkan beberapa barang penting! Kita bermalam di sini dan lanjut saat matahari terbit!" seru Barto pada anak buahnya. "Baik, Tuan!" jawab mereka serempak, kelegaan terpancar dari wajah mereka. Saat mereka melangkah masuk, kehangatan dan suara tawa pelan langsung menyambut mereka. Seorang pria gempal dengan kumis tebal dan senyum lebar sedang mengelap meja bar. "Barto! Demi janggut semua dewa, kukira kau sudah dimakan serigala di jalan!" seru pria itu, melempar kain lapnya dan menghampiri untuk memeluk Barto dengan erat. "Sando, kau bajingan tua!" balas Barto sambil tertawa, menepuk punggung temannya. "Butuh lebih dari sekadar serigala untuk menumbangkanku! Bagaimana kabarmu?" "Yah, seperti yang kau lihat. Aku masih hidup, masih menuang anggur, dan masih mendengarkan keluhan para pengelana. Kau sendiri?" "Sedikit petualangan di jalan, tapi kami semua selamat." Barto melirik ke sekeliling. "Aku butuh kamar malam ini, Sando. Tiga kamar, dan bawakan anggur terbaikmu dua botol. Sudah lama sekali aku tidak merayakan kehidupan." "Tentu saja! Tapi bukankah kalian berempat?" Sando menghitung. "Yang satu ini," kata Barto sambil menunjuk Clive, "akan tidur di sofa dekat perapian jika dia mau. Anak muda butuh punggung yang kuat, kan?" guraunya. Saat itulah, seorang gadis muda keluar dari dapur, membawa nampan berisi gelas-gelas kosong. Ia memiliki rambut cokelat gelap yang diikat ke belakang dan mata yang bersinar ramah di bawah cahaya lentera. "Ayah, meja nomor tiga sudah selesai." "Ah, Elanie," kata Barto dengan senyum lebar. "Wah, wah... apakah itu benar-benar kamu? Sudah berapa lama aku tidak kemari? Rasanya baru kemarin kau masih gadis kecil yang mencuri kue jahe dari dapur. Kenapa sekarang kau sudah tumbuh menjadi gadis yang secantik ini?" Elanie tersipu malu, senyum manis tersungging di bibirnya. "Selamat datang kembali, Paman Barto. Sudah hampir dua tahun. Anda terlihat sangat sibuk." Saat mata mereka bertemu, dunia Clive yang tadinya hanya berisi hutan, kuil, dan amarah, tiba-tiba berhenti berputar. Elanie tersenyum padanya—sebuah senyuman yang tulus dan hangat, bukan senyum sinis atau penuh ketakutan yang ia bayangkan akan ia temui. Untuk sesaat, Clive lupa cara bernapas. Ia merasa canggung, seperti orang asing di tubuhnya sendiri, dan dengan cepat memutus kontak mata, merasakan pipinya menghangat secara aneh. "Tuan Zenith, sepertinya Anda tertarik dengan Nona Elanie," bisik salah satu anak buah Barto dengan nada menggoda. Wajah Clive langsung memerah. "Eh, kalian... tidak, tidak... jangan salah sangka..." Kedua anak buah Barto tertawa terbahak-bahak melihat reaksi itu. "Maaf, Tuan. Kami hanya bercanda." Elanie, yang diperintahkan ayahnya untuk menyiapkan kamar, berjalan melewati mereka. "Kamar nomor 4, 5, dan 13 sudah siap, Tuan-tuan. Silakan pilih yang disukai," katanya dengan suara lembut, sambil melirik sekilas ke arah Clive sebelum bergegas naik ke lantai dua. Kedua anak buah Barto segera naik untuk beristirahat. Clive, alih-alih mengikuti, justru menarik sebuah kursi dan bergabung dengan Barto dan Sando di dekat bar. "Tuan Sando, apakah Anda punya kopi? Dan mungkin... sebatang rokok?" tanya Clive. Permintaan yang aneh, tapi ia ingin merasakan sesuatu yang normal. Sando tersenyum. "Tentu saja, Nak. Kopi terbaik di Fusha dan tembakau dari lembah seberang." Ia menyajikan secangkir kopi hitam panas dan sebatang rokok lintingan. Clive menerimanya, menyulut rokok itu dengan bara dari perapian, lalu terbatuk hebat saat menghisapnya untuk pertama kali. Barto dan Sando tertawa. "Pelan-pelan, Nak," kata Sando ramah. "Menikmati hidup itu seni, tidak bisa terburu-buru." "Sepertinya aku belum pernah melihatmu bersama Barto," lanjut Sando, menatap Clive dengan tatapan ingin tahu. "Kau supir kuda barunya?" Sebelum Clive sempat menjawab, Barto memotong. "Oh, bukan. Dia pengembara. Kami bertemu di jalan, tujuannya sama ke Arion, jadi kuajak saja sekalian. Kau tahu aku, selalu kasihan pada anak muda yang berjalan sendirian di hutan." Sando mengangguk-angguk, namun matanya masih menelisik wajah Clive. "Begitu... pantas saja. Tapi aneh, wajahmu nampak tidak asing bagiku. Seperti pernah kulihat di suatu tempat... apa kau pernah ke Fusha sebelumnya?" "Tidak, Tuan. Ini pertama kalinya," jawab Clive tenang. "Mungkin hanya perasaanku saja," kata Sando, lalu beralih ke Barto. "Tapi kau benar-benar nekat, Barto. Lewat jalur selatan di malam hari. Kudengar geng si Codet semakin merajalela." "Kami bertemu mereka," kata Barto singkat. Sando tersentak. "Lalu?! Bagaimana kau bisa lolos?" Barto tersenyum misterius dan melirik Clive. "Katakan saja... para Dewa sedang berpihak pada kami malam ini." Sando menggeleng tak percaya. "Zaman sekarang semakin sulit. Pajak dari Ravelinz mencekik, keamanan hanya untuk mereka yang bisa bayar mahal. Kau ingat Leo, anak si pandai besi? Tahun lalu dia pergi bekerja di tambang kristal milik Leiva di Distrik 3, berharap bisa mengirim uang untuk keluarganya. Dia kembali enam bulan lalu..." Sando berhenti, suaranya menjadi berat. "...dengan satu kaki dan tatapan mata yang kosong. Mereka memeras tenaganya sampai habis, lalu membuangnya saat ia cedera. Tanpa pesangon, tanpa pengobatan. Itulah wajah kekuasaan mereka yang sebenarnya." Clive mendengarkan dalam diam. Genggaman pada cangkir kopinya mengerat. Cerita Sando adalah gema dari ribuan tragedi lain yang pasti terjadi di bawah tirani Leiva. Ini bukan lagi hanya tentang dendamnya. Ini tentang semua Leo yang ada di dunia. Ia menatap kehangatan api di perapian, namun di dalam dirinya, api yang lain berkobar lebih dingin dan lebih gelap. "Tuan..." sebuah suara lembut memanggil. Clive menoleh. Elanie berdiri di sana, membawa nampan untuk membersihkan meja lain. "Kopinya... apakah sesuai selera Anda?" tanyanya ragu-ragu. Lamunan kelam Clive pecah. Ia menatap gadis itu dan, untuk pertama kalinya malam itu, sebuah senyum kecil yang tulus dan tanpa beban terukir di wajahnya. "Ya," jawabnya. "Sangat enak. Terima kasih." Dan di tengah kedai kecil yang hangat itu, dikelilingi oleh teman baru dan ancaman lama, Clive Zenith merasakan secercah kehangatan yang telah lama hilang dari hidupnya. Sebuah kehangatan yang membuatnya bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya ia berjuang.Deru suara hewan buas pada Bugatti Chiron Zenith Custom kini telah mereda, digantikan oleh laju yang lebih tenang dan elegan saat Clive mengendarainya menembus jalanan Rose Valley di pagi yang cerah. Aurora Atremides duduk di kursi penumpang, matanya yang biru menatap pemuda di sampingnya dengan campuran rasa ingin tahu dan kekaguman."Kemana kita akan pergi, Clive?" Tanya Aurora."Pertama, aku akan mengajakmu mengunjungi sejarah leluhur kita di museum Citadel of Rose.""Kenapa ke museum? Aku tidak menyangka kau akan membawaku ke museum," kata Aurora, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka. "Dari semua tempat hiburan di kota ini, kenapa Citadel of Rose?"Clive tersenyum tipis, matanya tetap fokus pada jalanan. "Aku ingin kau melihat sesuatu yang nyata. Sesuatu yang punya cerita. Ayahku sering membawaku ke tempat-tempat seperti ini saat aku kecil. Ia bilang, untuk mengerti masa depan sebuah kota, kau harus mengerti dulu masa lalunya."
Di dalam menara Leiva, Gustav dan Lucas merencanakan perang dalam bayang-bayang, frustrasi oleh penolakan mentah-mentah dari keluarga Atremides. Mereka tidak menyadari bahwa di belahan kota lain, di kediaman Zenith yang kini kembali hidup, sang target utama mereka justru sedang memulai langkah ofensifnya sendiri untuk membalaskan dendam dari masa lalunya.Malam itu, di dalam apartemennya yang mewah dan minimalis di puncak sebuah gedung pencakar langit, Zhuxin Wang yang sudah mengenakan baju tidur yang sangat tipis dan lembut, sedang mencoba untuk rileks. Segelas anggur merah di tangannya, ia menatap pemandangan malam itu di Rose Valley dari jendela kacanya yang besar. Sebulan terakhir ini adalah bulan paling gila dalam kariernya. Zenith Corp, perusahaan yang ia pimpin dengan sisa-sisa tenaga, dan nafas terakhir yang berada di ambang jurang kebangkrutan karena tekanan dan desakan terus dari Leiva Industries, tiba-tiba bangkit dari kuburnya dan terbang ke atas langit. Seperti
Di tengah badai berita yang melanda Rose Valley tentang kebangkitan keluarga Zenith, sebuah badai lain yang lebih sunyi namun jauh lebih berbahaya sedang terbentuk. Di dalam suite termewah Hotel GoldenGate, keluarga Leiva—yang biasanya menjadi pusat perhatian—kini menunggu dengan cemas seperti tamu tak diundang. Gustav Leiva berdiri kaku, sementara Lucas mondar-mandir dengan gelisah. Mereka sedang mencoba melakukan hal yang mustahil: mendapatkan audiensi dengan Patriark Atremides tanpa janji temu.Di lantai atas, di dalam Penthouse Suite yang megah, seorang pengawal pribadi berjas hitam masuk dan membungkuk hormat di hadapan Valerius Atremides."Tuan Besar, Kepala Keluarga Leiva, Gustav Leiva, dan putranya, Lucas Leiva, ada di lobi. Mereka mengatakan ingin bertemu dengan Anda untuk membahas 'masa depan Ravelinz'," lapor pengawal itu.Berry Atremides mendengus. "Tidak punya malu. Setelah terpojok oleh Cloud, mereka datang merengek pada kita."Milla
Di aula Phoenix yang megah di dalam hotel Golden Gate.Setelah pertempuran yang melelahkan itu berakhir dan Clive menyembuhkan kedua lawannya, suasana di Aula Phoenix terasa ganjil. Para pelayan hotel dengan gemetar membersihkan puing-puing meja dan pecahan porselen, sementara keluarga Atremides menatap Clive dengan cara pandang yang telah berubah 180 derajat. Di mata mereka, ia bukan lagi sekadar anak yang telah lama menghilang lalu kembali yang beruntung atau pemuda sembrono yang membuat masalah. Ia adalah sebuah fenomena.Valerius Atremides, sang patriark, adalah yang pertama memecah keheningan setelah permainan yang hebat itu. Ia berjalan mendekati Clive, tatapannya yang tajam kini dipenuhi oleh kekaguman yang tak bisa disembunyikan."Clive Zenith," katanya, suaranya yang berat menggema. "Hari ini kau telah menunjukkan kepada kami lebih dari sekadar kekuatan dalam bertarung. Kau menunjukkan kontrol diri, prinsip, dan... belas kasihan yang tak terduga.
"Permainan... baru saja dimulai."Suara Clive yang tenang dan tanpa sumber itu menggema di Aula Phoenix, membuat bulu kuduk Milla dan Aurora berdiri. Valerius Atremides berdiri tegang di tengah ruangan, matanya yang tajam menyapu setiap sudut, mencoba menangkap getaran sekecil apa pun. Tapi tidak ada apa-apa. Hening. Seolah Clive Zenith telah lenyap dari muka bumi."Tunjukkan dirimu, bocah!" geram Valerius."Aku sudah di sini sejak tadi, Tuan Besar," jawab suara itu, kali ini terdengar dari arah kanannya. Valerius berputar, melayangkan tinju hitamnya ke udara kosong.BOOM!Sebuah tendangan kuat menghantam sisi kiri perut Valerius dengan kekuatan yang tak terduga, membuatnya terhuyung dan terbang dengan cepat, membentur dinding aula yang kokoh dengan bunyi BRUKK! yang keras."AYAH!!" teriak Berry Atremides, matanya memerah karena amarah. Ia tidak bisa lagi menahan diri. Dengan raungan, aura Emas yang agung meledak dari tubuhnya da
"Kalau begitu... ayo," ucap Valerius Atremides, suaranya yang tenang bergema di Aula Phoenix yang megah. Ia perlahan berdiri dari kursinya, tongkat kristalnya ia letakkan dengan hati-hati di atas meja. "Sembari menunggu makan malam kita tiba, kita bisa sedikit 'berdansa'. Permainan ini akan berakhir saat hidangan pertama disajikan. Kau setuju, Clive?"Clive mengangguk, bibirnya mengulas senyum ringan yang tak terbaca. "Baik, Tuan Besar Atremides. Saya setuju."Mereka berdua melangkah menjauh, mengambil posisi di tengah ruangan yang luas, menciptakan jarak sekitar lima meter di antara mereka. Meja makan panjang yang dilapisi kain beludru merah tua kini menjadi batas arena duel para raksasa.Milla, Berry, dan Aurora sontak berdiri dari kursi mereka, wajah mereka penuh dengan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan."Kakek, hentikan! Ini tidak perlu!" seru Aurora, hampir melangkah maju, namun lengan kokoh ayahnya, Berry, menahannya."Ayah,