Setelah obrolan di malam yang panjang, kehangatan kedai dan anggur mulai membuat mata terasa berat. Clive berdiri, meregangkan punggungnya yang terasa sedikit kaku.
"Tuan Barto, Tuan Sando, terima kasih untuk kopi dan obrolannya. Saya akan naik dan beristirahat," ucap Clive dengan sopan. Ia menoleh pada Barto, "Lalu, di mana Anda akan beristirahat,Tuan Barto?" Barto tertawa kecil sambil menunjuk ke sebuah sofa kulit yang tampak nyaman di dekat perapian yang masih menyala. "Jangan khawatirkan aku, Nak. Aku akan tidur di singgasana itu. Aku selalu beristirahat di sana ketika berkunjung ke sini. Pergilah, istirahat yang cukup. Perjalanan kita esok hari masih panjang." Clive tersenyum dan mengangguk. "Baiklah jika begitu. Sampai jumpa besok,Tuan Barto,Tuan Sando." Dengan langkah yang ringan, Clive naik ke lantai dua menuju kamar nomor 13. Ruangan itu sederhana—sebuah tempat tidur, sebuah meja kecil, dan jendela yang menghadap ke hutan gelap. Alih-alih langsung merebahkan diri, ia duduk bersila di lantai kayu yang dingin, memejamkan mata, dan memulai meditasi rutinnya. Napasnya melambat, detak jantungnya menjadi teratur, mencoba menenangkan badai di dalam dirinya dan menyatu dengan keheningan malam Desa Fusha. Di lantai bawah, suasana menjadi lebih santai. Sando mengeluarkan sebotol anggur beras yang lebih kuat dari lemari di bawah bar. "Ini untuk teman lama," katanya sambil menuangkan dua gelas. "Ah, minuman para dewa hahaha," sahut Barto, menerima gelas itu. Mereka terdiam sejenak, menikmati kehangatan yang menjalar di dada mereka. "Jadi," Sando memulai, suaranya lebih rendah sekarang. "Selain bertemu perampok, apa ada berita lain yang kau bawa dari jalanan,Barto?" Barto menyesap anggurnya. "Tidak terlalu penting. Cerita yang sama seperti biasa. Para pejabat di ibu kota Ravelinz lagi-lagi tertangkap memperkaya diri. Kau lihat dekrit pajak yang baru itu?" Sando mendengus, menunjuk sebuah perkamen yang tertempel di dinding kedai. "Pajak transportasi barang non-esensial? Omong kosong! Itu jelas-jelas cara mereka untuk menghancurkan pedagang kecil sepertimu dan memberiku alasan untuk menaikkan harga minumanku. Sementara perusahaan raksasa seperti Leiva dan yang lain, aku berani bertaruh mereka mendapatkan keringanan di balik layar atas semua kebijakan ini." "Itu sudah basi, Sando," kata Barto getir. "Hitung saja berapa puluh kali hal itu terjadi. Korupsi, penindasan, dan semua bentuk kecurangan di negara ini... tapi tidak pernah ada efek jera bagi mereka yang memakai mahkota atau dasi yang terbuat dari sutra. Hukum di negeri ini seperti pisau. Tumpul saat dihadapkan ke atas, tapi sangat tajam saat mengiris ke bawah." "Aku heran," gumam Sando sambil membersihkan sebuah gelas hingga berkilau. "Mereka sudah menerima gaji bulanan yang bisa menghidupi satu desa selama setahun. Tapi rasa lapar mereka akan kekuasaan dan uang sepertinya tidak pernah kenyang." Barto terdiam sejenak, menatap api di perapian. "Ini bukan hanya soal negara saja, Sando. Kita lihat saja di halaman belakang kita sendiri, Rose Valley. Polisi di sana lebih mirip pasukan pribadi Leiva daripada pelindung masyarakat. Jika kau orang miskin yang dituduh mencuri sebongkah roti, mereka akan mematahkan tanganmu atau mungkin lebih parahnya lagi mereka akan menembakmu di tempat. Tapi jika kau berasal dari seorang bangsawan dari keluarga kaya, lalu menabrak anak petani hingga tewas, mereka hanya akan menyebutnya 'kecelakaan tragis' dan menutup kasusnya dan ribuan alasan yang tidak masuk akal." "Itulah ironi Negara Ravelinz," balas Sando pahit. Ia kemudian mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Tapi kudengar, kesabaran beberapa pihak sudah mulai habis. Kau dengar gosip tentang Keluarga Atremides?" Mata Barto melebar. "Sang Naga dari Puncak Utara? Apa yang mereka lakukan?" "Kudengar dari seorang pengelana yang baru datang dari ibu kota," bisik Sando. "Patriark Theodorus Atremides sudah muak. Mereka secara terbuka menentang kebijakan Kanselir dan mengancam akan menyatakan perang dagang—dan mungkin perang sungguhan—jika korupsi dan semua hal buruk ini terus berlanjut." Barto bersiul pelan. "Keluarga paling kaya dan kuat nomor satu di Ravelinz melawan pemerintah? Ini akan menjadi gempa bumi yang dahsyat." "Masalahnya," tambah Sando, "yang aku dengar dari kabar dan desas desus yang beredar di masyarakat, keluarga top dua dan tiga, Keluarga Valerius dan Keluarga Blackwood, mereka justru berpihak pada pemerintah. Mereka seperti punya kepentingan bisnis yang besar dengan kebijakan korup dan semua hal negatif itu. semboyan pajak dari rakyat untuk rakyat hanyalah isapan jempol belaka." "Ini seperti cerita sepuluh tahun yang lalu," gumam Barto, tatapannya menerawang. "Aku jadi ingat... saat Keluarga Zenith masih memimpin di Rose Valley. Kota itu terasa berbeda. Pajak bisa diprediksi, jalanan lebih aman, dan para bangsawan... yah, setidaknya mereka berpura-pura peduli pada rakyat kecil. Tapi sejak Leiva mengambil alih, Rose Valley seperti menjadi sarang ular berbisa, dan racunnya menyebar ke distrik-distrik di sekitarnya." "Aku juga merasakan hal yang sama," Sando mengangguk setuju. "Angka kejahatan meningkat, kemiskinan merajalela. Mereka mengatur kebijakan sesuka hati. Andai saja Zenith masih ada. Jonathan Zenith adalah salah satu dari sedikit orang yang berani menentang kebijakan pemerintah secara langsung. Sayang sekali..." Keduanya terdiam, larut dalam kenangan masa lalu yang lebih baik. "Kau tahu apa bagian yang paling aneh di Rose Valley sekarang, Barto?" tanya Sando, memecah keheningan. "Dunia bawah tanahnya. Bos mereka, Don Decker Salvatore..." Barto mendengus. "Ah, Sang Raja Bawah Tanah dari yang menguasai semua Distrik. Orang itu." "Benar. Dia menyatakan dengan terang-terangan bahwa organisasinya tidak akan tunduk pada siapa pun. Baik pada Leiva maupun pada pemerintah. Kudengar Lucas Leiva sendiri mencoba merekrutnya, menawarkan emas dan kekuasaan. Tapi Don Decker menolaknya mentah-mentah. Dia bilang, 'Aku tidak peduli siapa yang duduk di singgasana, selama mereka tidak menginjak sarangku maka aku tidak akan mengusik nya'." "Orang itu sangat berbahaya,di tambah lagi pilar bawah tanahnya tidak bisa di remehkan. Mereka adalah yang terkuat dari ordo bawah tanah milik Don Decker Salvatore." kata Barto. "Meskipun kejam, dia sangat kuat dan punya prinsip sendiri. Mungkin itu sebabnya Leiva berpikir dua kali untuk berhadapan langsung dengannya. Pertarungan mereka akan menghancurkan separuh kota dan pasti akan banyak korban berjatuhan." Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya diisi oleh suara kayu yang terbakar di perapian. Peta dunia yang mereka bicarakan begitu rumit, penuh dengan monster dan raksasa yang siap berperang. Dan di tengah semua itu, ada seorang pemuda yang sedang tertidur di lantai atas, yang nasibnya terikat dengan semua nama besar yang baru saja mereka sebutkan. Barto menghabiskan anggurnya dalam satu tegukan, lalu menatap api dengan pandangan yang dalam. "Tapi aku percaya satu hal, Sando..." katanya pelan. "...akan selalu ada bibit baru yang tumbuh, ketika pohon besar tumbang."Di dalam kantor Direktur Utama yang mewah, keheningan terasa begitu tebal hingga bisa diiris dengan pisau. Pertemuan sunyi antara sang pewaris yang kembali dengan sang penjaga takhta berakhir saat Zhuxin Wang akhirnya memecah keheningan, suaranya tetap tenang namun kini ada sedikit nada yang tak terbaca."Rapat dewan akan segera dimulai," katanya. "Sebaiknya kita tidak membuat mereka menunggu lebih lama."Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Clive dan Nelson mengikutinya dalam diam, berjalan di belakangnya menyusuri koridor pribadi yang sama. Clive memperhatikan punggung wanita itu—tegap, penuh percaya diri, sebuah benteng yang telah menahan gempuran selama sepuluh tahun. Dia bukan hanya penjaga gerbang, batin Clive. Dia adalah gerbang itu sendiri. Untuk merebut kembali Zenith, aku tidak bisa hanya melewatinya. Aku harus membuatnya membukakan pintu untukku.Mereka tiba di depan pintu ganda yang menuju ruang rapat utama. Zhuxin ber
Pagi merayap masuk melalui jendela-jendela besar mansion keluarga Zenith, membawa serta keheningan yang terasa berat. Keheningan itu sarat akan peristiwa kemarin—kedatangan tak terduga Don Decker Salvatore dan Sembilan Pilar Penjaganya, sebuah nama yang bergaung seperti lonceng kematian, telah mengoyak selubung damai yang tipis di rumah ini. Bagi Clive, pagi ini bukan lagi sekadar pergantian hari. Ini adalah sebuah proklamasi. Waktu untuk bersembunyi telah usai.Di ruang makan yang megah, di bawah lukisan cat minyak favorit ayahnya yang seolah menatapnya dengan mata bijak, Clive menemukan Nelson sedang memberikan instruksi pada seorang supir. Aroma kopi arabika yang pekat dan roti panggang hangat buatan Barbara menguar di udara, sebuah kontras yang tajam dengan ketegangan yang menggantung. Rossa duduk di salah satu kursi, mengaduk tehnya dengan tatapan cemas."Nelson," suara Clive terdengar lebih mantap dari hari-hari sebelumnya, memotong keheningan. Clive menarik kursi dan duduk, mat
Di dalam kamar utama kediaman Zenith yang megah, Clive berbaring tak bergerak. Meskipun semua luka fisiknya telah sembuh total berkat regenerasi Ashura yang mengerikan, tubuhnya kini harus membayar harganya. Setiap sendi, setiap otot, dan setiap serat saraf di tubuhnya terasa seperti sedang terbakar oleh api yang dingin. Itu adalah gema rasa sakit, efek samping dari pengambilalihan tubuh oleh sang Dewa Perang. Ashura adalah entitas dengan kekuatan abadi; tubuh fana Clive harus menanggung beban dari kekuatan dahsyat itu. Efek ini, seperti yang pernah Kakek Yuan jelaskan, baru akan menghilang setelah seharian penuh beristirahat total. Pintu kamarnya terbuka pelan. Nelson Valdez masuk dengan langkah tanpa suara, membawa nampan berisi segelas air dan beberapa pil pereda nyeri. Ia menatap Tuan Mudanya yang terbaring dengan wajah pucat dan napas yang sedikit berat. "Tuan Muda," bisik Nelson pelan. "Saya telah menghubungi Nona White dan memberitahu apa yang terjadi pada Anda. Saya pikir...
Di dalam kamar utama kediaman Zenith yang megah, Clive berbaring tak bergerak. Meskipun semua luka fisiknya telah sembuh total berkat regenerasi Ashura yang mengerikan, tubuhnya kini harus membayar harganya. Setiap sendi, setiap otot, dan setiap serat saraf di tubuhnya terasa seperti sedang terbakar oleh api yang dingin. Itu adalah gema rasa sakit, efek samping dari pengambilalihan tubuh oleh sang Dewa Perang. Ashura adalah entitas dengan kekuatan abadi; tubuh fana Clive harus menanggung beban dari kekuatan dahsyat itu. Efek ini, seperti yang pernah Kakek Yuan jelaskan, baru akan menghilang setelah seharian penuh beristirahat total.Pintu kamarnya terbuka pelan. Nelson Valdez masuk dengan langkah tanpa suara, membawa nampan berisi segelas air dan beberapa pil pereda nyeri. Ia menatap Tuan Mudanya yang terbaring dengan wajah pucat dan napas yang sedikit berat."Tuan Muda," bisik Nelson pelan. "Saya telah menghubungi Nona White dan memberitahu apa yang terjadi pada Anda. Saya pikir... k
Hening. Yang tersisa di dalam ruangan penthouse yang porak-poranda itu hanyalah suara napas yang tersengal dan rintihan pelan dari para Pilar Penjaga yang tergeletak di antara puing-puing. Di tengah kehancuran itu, Nelson menatap Tuan Mudanya dengan cemas saat ia membantu Clive yang baru saja sadar untuk berdiri."Tuan Muda, ayo kita pergi dari sini," bisik Nelson, nadanya mendesak. "Semua telah berakhir. Tidak ada yang perlu kita lakukan lagi di tempat ini."Clive menggeleng pelan, menepis tangan Nelson dengan lembut. Matanya tidak tertuju pada para pilar yang tak berdaya, melainkan pada satu sosok yang bersandar di dinding beton yang retak—Don Decker Salvatore. Sang Raja Dunia Bawah kini tampak mengenaskan, napasnya dangkal dan tersengal, dan darah terus merembes dari luka tusuk di dadanya. Aura Emasnya yang agung telah padam."Tunggu, Nelson," kata Clive. "Aku ingin memastikan sesuatu."Dengan langkah yang masih sedikit goyah karena sisa-sisa pertarungan internalnya, Clive berjalan
Dunia menjadi hitam.Pukulan terakhir dari Julian Draxler tidak hanya meremukkan tulang rusuk Clive, tapi juga memadamkan kesadarannya. Suara-suara di ruangan itu—teriakan panik Nelson, tawa kejam Julian, detak jantungnya sendiri—perlahan meredam, ditelan oleh kegelapan yang dingin dan tak berujung. Ia terjatuh ke dalam jurang yang sunyi di dalam pikirannya sendiri.Namun, di dalam kegelapan itu, ia mendengar sebuah teriakan lain. Sebuah teriakan dari masa lalu yang penuh dengan kepanikan."Kakek! Clive lepas kendali!"(Kilas Balik - Kuil Surgawi, Satu Tahun Lalu)Di tengah lapangan latihan yang damai, di bawah tatapan tenang patung-patung Buddha, Clive yang berusia 22 tahun sedang beradu tanding dengan Wing Shao. Mereka bergerak cepat, hanya menggunakan Chi murni tanpa Tension, sebuah latihan untuk menguji batas stamina dan kontrol."Kau melambat, Clive!" seru Wing sambil menangkis pukulan Clive."Aku... baru... mulai!"