Share

Bab 6

Author: Beatarisa
last update Last Updated: 2025-07-03 19:01:03

Setelah ucapan dingin Clive, "Kalian yang harus memilih," seluruh hutan seolah menahan napas. Pandangan selusin perampok itu kini terkunci pada satu sosok pemuda yang berdiri tenang di atas kereta.

Pemimpin mereka, seorang pria bertubuh besar dengan codet mengerikan yang membelah alisnya, tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya serak dan kasar, seperti batu yang digerus.

"Hahaha! Dengar itu, anak-anak? Bocah ini punya nyali!" ejeknya, menunjuk Clive dengan pedangnya yang berkarat. "Sepertinya kamu memiliki nyali yang besar, anak muda. Tapi nyali saja tidak bisa menghentikan pedang. Apa kau sudah siap untuk mati di usiamu yang masih hijau ini? Apa kau sudah bosan menikmati dunia?"

Clive tidak menjawab. Ia hanya menatap si pemimpin dengan mata yang tajam dan dingin, seperti singa yang sedang mengukur jarak ke mangsanya. Keheningannya jauh lebih mengintimidasi daripada ancaman apa pun.

Si pemimpin perampok, yang mulai jengkel dengan kebisuan Clive, menggeram. "Aku tidak punya waktu untuk ini. Segera turunkan semua bawaan kalian dan enyah dari sini, selagi aku masih berbaik hati memberikan kalian kesempatan kedua untuk hidup!"

"Jangan bermimpi kau bajingan!" teriak Barto dengan suara yang gemetar karena amarah, bukan karena takut. Ia mencabut sebuah belati kecil dari pinggangnya. "Langkahi dulu mayatku jika ingin mengambil dagangan kami!"

Senyum jahat terlintas di bibir si pemimpin. "Ternyata orang tua ini yang paling berisik. Baiklah." Ia memberi isyarat dengan dagunya pada tiga anak buahnya. "Beri orang tua itu pelajaran. Patahkan satu lengannya agar dia belajar sopan santun."

Tiga perampok itu menyeringai dan melompat dari kuda mereka, menghunus pedang dan mendekati kereta Barto.

"Jangan!" pekik Barto.

Saat pedang pertama diayunkan ke arah Barto, waktu seolah melambat bagi Clive.

Angin berdesir kencang.

Dalam sekejap mata—bukan kiasan, tapi benar-benar sekejap—sosok Clive lenyap dari atas kereta. Ia muncul kembali di antara Barto dan ketiga penyerangnya, posisinya rendah seperti macan tutul yang siap menerkam.

Perampok pertama, yang ayunannya kini mengarah pada ruang kosong, terkejut. Sebelum ia sempat memproses apa yang terjadi, pangkal telapak tangan Clive menghantam dagunya dengan kecepatan kilat. Terdengar bunyi "KRAK" pelan bukan dari tulang yang patah, tapi dari gigi yang bergemeletuk. Mata si perampok memutih dan ia langsung ambruk tak sadarkan diri.

Perampok kedua menusukkan pedangnya. Clive memiringkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat beberapa senti dari rusuknya. Dengan gerakan memutar yang luwes, ia menggunakan punggung tangannya untuk menepis lengan si perampok, lalu dua jarinya menusuk cepat ke arah sekumpulan saraf di bahu. Si perampok menjerit kesakitan, lengannya lumpuh seketika dan pedangnya jatuh berdentang di tanah.

Perampok ketiga, yang paling besar, mengaum dan menebaskan pedangnya secara horizontal. Clive merunduk di bawah ayunan itu, kakinya menyapu pergelangan kaki si perampok dengan kekuatan yang terukur. Keseimbangan pria besar itu hilang. Saat ia jatuh ke belakang, Clive menepuk pelan punggungnya, memastikan kepalanya tidak terbentur batu saat mendarat. Tiga orang tumbang dalam tiga detik. Tanpa satu pun luka fatal.

Seluruh perampok yang tersisa, termasuk pemimpin mereka, ternganga ngeri. Barto dan kedua anak buahnya menatap dengan mulut terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka saksikan.

"Setan apa dia...?" bisik salah satu perampok.

Si pemimpin dengan codet itu akhirnya pulih dari keterkejutannya. Wajahnya memerah karena marah dan malu. "Apa yang kalian tunggu?! Dia hanya satu orang! Serang bersama-sama! Habisi dia!"

Sembilan perampok yang tersisa, didorong oleh amarah dan ketakutan, menyerang Clive secara serentak. Ini bukan lagi pertarungan, ini adalah badai bilah pedang yang mengarah dari segala penjuru.

Clive menyeringai jijik. "Majulah."

Apa yang terjadi selanjutnya adalah sebuah tarian kematian yang mengerikan sekaligus indah. Clive bergerak di antara mereka seperti hantu. Sebuah pedang menebas dari kanan, ia membiarkannya lewat lalu sikunya menghantam ulu hati si penyerang. Sebuah kapak mengayun dari atas, ia melangkah ke samping, menangkap gagangnya, dan menggunakan momentum si penyerang untuk melemparkannya ke arah dua orang lainnya, membuat mereka jatuh bertumpukan.

Ia tidak menangkis dengan kekuatan, ia mengalir. Ia membelokkan serangan, menggunakan pergelangan tangan lawan sebagai poros, membuat mereka saling menghalangi. Pukulannya tidak ditujukan untuk membunuh, tapi untuk melumpuhkan: sendi siku, lutut, titik-titik tekanan di leher. Setiap gerakannya efisien, tanpa satu pun energi yang terbuang. Terdengar suara dentang pedang yang saling beradu karena salah arah, erangan kesakitan, dan bunyi tubuh yang jatuh ke tanah.

Dalam waktu kurang dari satu menit, keheningan kembali menyelimuti hutan. Sembilan orang tergeletak di tanah, mengerang kesakitan, lumpuh sementara, tapi semua masih bernapas.

Hanya satu yang masih berdiri. Si pemimpin dengan codet. Pedangnya jatuh dari genggamannya yang gemetar. Kakinya lemas hingga ia jatuh terduduk di tanah, lalu ia merangkak mundur, matanya dipenuhi teror murni saat melihat Clive berjalan perlahan ke arahnya.

Wajah Clive yang tadinya tenang kini menjadi dingin seperti es di puncak gunung, matanya memancarkan aura yang haus darah, sebuah topeng yang sengaja ia pasang.

"Tuan Bandit," kata Clive, suaranya pelan namun memotong keheningan malam. Ia berjongkok di depan pemimpin perampok yang wajahnya kini pucat pasi. "Apa hanya itu kemampuan kalian? Kemampuan seperti ini bahkan tidak cukup ampuh untuk menggertak seekor anak domba."

"Ma-maafkan saya, Tuan... Ampuni kami..." isak pria besar itu, keberaniannya lenyap tak bersisa.

Clive tersenyum, sebuah senyuman manis yang kontras dengan matanya yang mematikan. Pemimpin perampok itu tahu, senyuman itu adalah senyuman seorang pembunuh berdarah dingin.

"Berterima kasihlah pada Tuan Barto," bisik Clive. "Karena aku sedang dalam suasana hati yang baik setelah ia memberiku tumpangan gratis. Jika tidak..." Clive mengangkat tangannya dan membuat gerakan menggorok leher di udara. "...mungkin aku sudah memisahkan kepalamu yang bodoh itu dari tubuhmu."

"Saya bersumpah, Tuan! Kami tidak akan melakukannya lagi! Biarkan kami hidup!"

Clive berdiri, wajahnya kembali menjadi topeng dingin tanpa ekspresi. "Aku tidak ingin melihat wajah kalian lagi. Bawa teman-temanmu yang tidak berguna itu dan enyah dari sini. Tapi dengarkan baik-baik..."

Ia menatap mata si pemimpin, menusuknya dengan tatapannya. "Wajah kalian semua sekarang terukir di ingatanku. Jika aku sampai mendengar atau melihat salah satu dari kalian kembali ke jalan ini dan merugikan orang lain... aku sendiri yang akan memburu kalian satu per satu, dan aku akan memisahkan nyawamu dari ragamu. Paham?"

"Pa-paham, Tuan!"

"Sekarang, pergi!"

Seperti disengat listrik, pemimpin perampok itu bangkit dan berlari tunggang langgang membangunkan anak buahnya. Mereka yang sudah sadar segera membantu yang lain, menaikkan mereka ke atas kuda, dan kabur dari tempat itu seolah dikejar iblis.

Setelah mereka semua lenyap ditelan kegelapan, Barto dan kedua anak buahnya akhirnya bisa bernapas. Mereka mendekati Clive dengan tatapan penuh kekaguman dan rasa hormat yang mendalam.

"Nak... terima kasih," kata Barto, suaranya masih bergetar. "Ini... ini kedua kalinya dalam satu hari kau menyelamatkan nyawaku."

"Tuan... Zenith," ucap salah satu anak buah Barto sambil menunduk dalam-dalam. "Terima kasih banyak telah menyelamatkan kami semua."

Clive menoleh pada mereka, topeng dinginnya mencair, kembali menjadi pemuda yang tenang. "Takdir yang membawaku ke sini, dan takdir pula yang menentukan pertemuan kita. Berterima kasihlah pada para Dewa. Aku hanya perantara yang kebetulan lewat untuk melindungi kalian," katanya dengan rendah hati. "Di masa depan, tolong jaga diri kalian baik-baik, Tuan-tuan."

Ketiganya mengangguk, terlalu terpesona untuk bisa berkata-kata lagi. Mereka melanjutkan perjalanan, namun kini suasana di dalam kereta terasa sangat berbeda. Ada rasa aman yang luar biasa, namun juga ada rasa gentar terhadap pemuda pendiam yang duduk tenang di samping Barto, yang baru saja membuktikan bahwa di dalam dirinya, bersemayam kekuatan yang mampu menciptakan badai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 38

    Di dalam kantor Direktur Utama yang mewah, keheningan terasa begitu tebal hingga bisa diiris dengan pisau. Pertemuan sunyi antara sang pewaris yang kembali dengan sang penjaga takhta berakhir saat Zhuxin Wang akhirnya memecah keheningan, suaranya tetap tenang namun kini ada sedikit nada yang tak terbaca."Rapat dewan akan segera dimulai," katanya. "Sebaiknya kita tidak membuat mereka menunggu lebih lama."Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berjalan menuju pintu. Clive dan Nelson mengikutinya dalam diam, berjalan di belakangnya menyusuri koridor pribadi yang sama. Clive memperhatikan punggung wanita itu—tegap, penuh percaya diri, sebuah benteng yang telah menahan gempuran selama sepuluh tahun. Dia bukan hanya penjaga gerbang, batin Clive. Dia adalah gerbang itu sendiri. Untuk merebut kembali Zenith, aku tidak bisa hanya melewatinya. Aku harus membuatnya membukakan pintu untukku.Mereka tiba di depan pintu ganda yang menuju ruang rapat utama. Zhuxin ber

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 37

    Pagi merayap masuk melalui jendela-jendela besar mansion keluarga Zenith, membawa serta keheningan yang terasa berat. Keheningan itu sarat akan peristiwa kemarin—kedatangan tak terduga Don Decker Salvatore dan Sembilan Pilar Penjaganya, sebuah nama yang bergaung seperti lonceng kematian, telah mengoyak selubung damai yang tipis di rumah ini. Bagi Clive, pagi ini bukan lagi sekadar pergantian hari. Ini adalah sebuah proklamasi. Waktu untuk bersembunyi telah usai.Di ruang makan yang megah, di bawah lukisan cat minyak favorit ayahnya yang seolah menatapnya dengan mata bijak, Clive menemukan Nelson sedang memberikan instruksi pada seorang supir. Aroma kopi arabika yang pekat dan roti panggang hangat buatan Barbara menguar di udara, sebuah kontras yang tajam dengan ketegangan yang menggantung. Rossa duduk di salah satu kursi, mengaduk tehnya dengan tatapan cemas."Nelson," suara Clive terdengar lebih mantap dari hari-hari sebelumnya, memotong keheningan. Clive menarik kursi dan duduk, mat

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 36

    Di dalam kamar utama kediaman Zenith yang megah, Clive berbaring tak bergerak. Meskipun semua luka fisiknya telah sembuh total berkat regenerasi Ashura yang mengerikan, tubuhnya kini harus membayar harganya. Setiap sendi, setiap otot, dan setiap serat saraf di tubuhnya terasa seperti sedang terbakar oleh api yang dingin. Itu adalah gema rasa sakit, efek samping dari pengambilalihan tubuh oleh sang Dewa Perang. Ashura adalah entitas dengan kekuatan abadi; tubuh fana Clive harus menanggung beban dari kekuatan dahsyat itu. Efek ini, seperti yang pernah Kakek Yuan jelaskan, baru akan menghilang setelah seharian penuh beristirahat total. Pintu kamarnya terbuka pelan. Nelson Valdez masuk dengan langkah tanpa suara, membawa nampan berisi segelas air dan beberapa pil pereda nyeri. Ia menatap Tuan Mudanya yang terbaring dengan wajah pucat dan napas yang sedikit berat. "Tuan Muda," bisik Nelson pelan. "Saya telah menghubungi Nona White dan memberitahu apa yang terjadi pada Anda. Saya pikir...

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 35

    Di dalam kamar utama kediaman Zenith yang megah, Clive berbaring tak bergerak. Meskipun semua luka fisiknya telah sembuh total berkat regenerasi Ashura yang mengerikan, tubuhnya kini harus membayar harganya. Setiap sendi, setiap otot, dan setiap serat saraf di tubuhnya terasa seperti sedang terbakar oleh api yang dingin. Itu adalah gema rasa sakit, efek samping dari pengambilalihan tubuh oleh sang Dewa Perang. Ashura adalah entitas dengan kekuatan abadi; tubuh fana Clive harus menanggung beban dari kekuatan dahsyat itu. Efek ini, seperti yang pernah Kakek Yuan jelaskan, baru akan menghilang setelah seharian penuh beristirahat total.Pintu kamarnya terbuka pelan. Nelson Valdez masuk dengan langkah tanpa suara, membawa nampan berisi segelas air dan beberapa pil pereda nyeri. Ia menatap Tuan Mudanya yang terbaring dengan wajah pucat dan napas yang sedikit berat."Tuan Muda," bisik Nelson pelan. "Saya telah menghubungi Nona White dan memberitahu apa yang terjadi pada Anda. Saya pikir... k

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 34

    Hening. Yang tersisa di dalam ruangan penthouse yang porak-poranda itu hanyalah suara napas yang tersengal dan rintihan pelan dari para Pilar Penjaga yang tergeletak di antara puing-puing. Di tengah kehancuran itu, Nelson menatap Tuan Mudanya dengan cemas saat ia membantu Clive yang baru saja sadar untuk berdiri."Tuan Muda, ayo kita pergi dari sini," bisik Nelson, nadanya mendesak. "Semua telah berakhir. Tidak ada yang perlu kita lakukan lagi di tempat ini."Clive menggeleng pelan, menepis tangan Nelson dengan lembut. Matanya tidak tertuju pada para pilar yang tak berdaya, melainkan pada satu sosok yang bersandar di dinding beton yang retak—Don Decker Salvatore. Sang Raja Dunia Bawah kini tampak mengenaskan, napasnya dangkal dan tersengal, dan darah terus merembes dari luka tusuk di dadanya. Aura Emasnya yang agung telah padam."Tunggu, Nelson," kata Clive. "Aku ingin memastikan sesuatu."Dengan langkah yang masih sedikit goyah karena sisa-sisa pertarungan internalnya, Clive berjalan

  • PEMBALASAN DENDAM ZENITH   Bab 33

    Dunia menjadi hitam.Pukulan terakhir dari Julian Draxler tidak hanya meremukkan tulang rusuk Clive, tapi juga memadamkan kesadarannya. Suara-suara di ruangan itu—teriakan panik Nelson, tawa kejam Julian, detak jantungnya sendiri—perlahan meredam, ditelan oleh kegelapan yang dingin dan tak berujung. Ia terjatuh ke dalam jurang yang sunyi di dalam pikirannya sendiri.Namun, di dalam kegelapan itu, ia mendengar sebuah teriakan lain. Sebuah teriakan dari masa lalu yang penuh dengan kepanikan."Kakek! Clive lepas kendali!"(Kilas Balik - Kuil Surgawi, Satu Tahun Lalu)Di tengah lapangan latihan yang damai, di bawah tatapan tenang patung-patung Buddha, Clive yang berusia 22 tahun sedang beradu tanding dengan Wing Shao. Mereka bergerak cepat, hanya menggunakan Chi murni tanpa Tension, sebuah latihan untuk menguji batas stamina dan kontrol."Kau melambat, Clive!" seru Wing sambil menangkis pukulan Clive."Aku... baru... mulai!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status