LOGINDengan sentakan pergelangan tangan yang halus dan hampir tak terlihat, secepat kilat menyambar pohon tumbang, ibu jari Dipasena menekan titik persendian di bawah bahu Darma, dan jari tengahnya menyentuh titik pergelangan tangan Agung.
Bukan pukulan, bukan tusukan, melainkan tekanan yang mengalirkan energi internalnya. Di bawah Titik Angin, Darma merasakan otot-otot di bahunya kaku dan beku, seolah aliran darahnya diganti es. Dia menjerit tertahan, cengkeramannya mengendur. Di bawah Titik Dingin, Agung merasakan mati rasa menjalar ke seluruh lengannya, seolah lengan itu tiba-tiba menjadi kayu mati, tak bisa digerakkan. Kedua murid itu mundur, menggenggam lengan mereka yang kesakitan, terkejut melihat Dipasena yang masih berdiri tenang, seolah tak ada yang terjadi. Ki Lunggana melihat ini dengan pandangan yang gelap. Tujuh Titik Maut di tangan Dipasena jadi luar biasa walaupun masih tingkat dua. “Serang dia! Siapapun yang menangkapnya akan mendapat derajat yang tinggi!” Teriakan itu seperti cambuk. Sepuluh murid lain berhamburan maju, membentuk lingkaran yang rapat. Mereka menyerang serentak. Menggunakan kombinasi Guntur Menyulam Bumi, Tujuh Titik Maut , dan Memanah Elang. Masing-masing jurus memiliki lima tingkatan, tapi setiap murid berbeda pencapaiannya. Paling tinggi baru tingkat ketiga. Dipasena kini benar-benar terjepit. Dinding manusia itu terlalu padat, dan jurus-jurus yang datang padanya adalah jurus-jurus yang dia kenal, yang dia kuasai. Namun, pengkhianatan telah memberinya sayap kegelapan yang tak pernah dia kenal. Dia tak lagi membela diri; dia kini mencari celah. Dia melompat mundur sejengkal, menangkis dua pukulan yang datang bersamaan dengan telapak tangan terbuka. Kali ini, dia menyalurkan Tujuh Titik Maut tingkat tiga: Titik Panas dan Titik Kering. Ketika dia menangkis pukulan itu, telapak tangannya memancarkan gelombang panas yang tak terlihat. Kedua murid yang pukulan mereka ditangkis merasa telapak tangan mereka seperti dicelupkan ke dalam lahar. Kulit mereka melepuh, dan rasa sakit itu membuat mereka mundur sambil berteriak. Dipasena tidak berhenti. Dia berputar seperti topan yang terperangkap dalam sumur. Gerakannya menjadi seperti tarian kematian, memadukan keindahan jurus Jati Sakti yang sudah dia kuasai. Dia menyasar murid ketiga yang mencoba menyarangkan sebuah tendangan ke dadanya. Tendangan itu cepat, tetapi mata Dipasena lebih cepat. Dia menahan tendangan dengan lengan bawahnya, lalu melompat sedikit, dan dalam sepersekian detik, dia menyentuhkan lututnya pada Titik Mati Rasa di belakang lutut murid itu. Murid itu limbung, kakinya terasa seperti karet tanpa tulang. Dia jatuh, wajahnya pucat pasi. Dipasena kini berdiri di tengah kekacauan, dikelilingi oleh tujuh murid yang menahan diri, terkejut, terluka, dan ketakutan. Mereka melihat Dipasena bukan lagi sebagai murid terbaik, melainkan sebagai iblis yang diselubungi hawa sakti Jati Sakti. “Kau… kau benar-benar bersekutu dengan Kala Durga!” teriak Ki Lunggana, suaranya mengandung nada kekalahan yang pahit. “Hanya ilmu hitam yang bisa mengubah anak menjadi naga secepat ini!” Dipasena memandang Ki Lunggana, matanya kini berkaca-kaca, bukan karena air mata, melainkan karena hawa Prana yang berputar liar di sekelilingnya. “Ki Guru,” kata Dipasena, suaranya parau. “Saya tidak akan melawan sampai mati. Saya tidak akan membalas dendam pada tangan yang pernah memberi saya makan. Tetapi kebebasan adalah napas, dan saya takkan membiarkan kalian mencekiknya.” Pemuda ini memutar tubuhnya, menarik semua energi yang tersisa. Dia menggunakan Benteng Pawana pada batas terakhirnya, mengubah energi pertahanan menjadi gelombang kejut yang menyebar dalam radius lima tombak. Gelombang udara itu, setebal selimut baja, membentur para murid, membuat mereka terhuyung, terjatuh, dan kehilangan keseimbangan. Dipasena melompat. Dia melompat bukan ke arah pintu gerbang, tetapi ke arah tembok batu di belakangnya. Dia menyentuh tembok itu dengan ujung jari, menggunakan Tujuh Titik Maut tingkat empat: Titik Celah. Teknik ini bukan untuk menyerang lawan, tetapi untuk mencari kelemahan struktural. Prakk! Tembok itu retak. Dengan satu dorongan kaki yang kuat, Dipasena melompat melewati kerumunan yang masih terhuyung. Dia mendarat di atas tembok yang retak, lalu menoleh untuk terakhir kalinya. Dia melihat tatapan murka Ki Lunggana, tatapan benci Ki Gendola, dan tatapan murid-murid lainnya. Rasa sakit karena tatapan itu lebih tajam dari seribu tusukan keris. Jantungnya berdenyut, mengirimkan api kegelapan yang tak ia kenal ke seluruh urat nadinya. Dipasena menarik napas. Aroma daun jati yang terbakar kini terasa seperti bau dupa penguburan. “Aku pergi, Padepokan Jati Sakti,” bisik Dipasena, suaranya hanya bisa didengar oleh angin. “Kalian telah membuat musuh dari murid terbaik kalian. Aku bersumpah. Aku akan kembali. Bukan hanya untuk membersihkan nama. Tetapi untuk menguasai seluruh dunia persilatan. Sepi ing pamrih rame ing gawe. Aku akan bekerja dalam sepi, dan kalian akan menuai badai yang kuhasilkan!” Dengan itu, dia melompat turun dari tembok. Tubuhnya menghilang ke dalam kegelapan rimba, meninggalkan Padepokan Jati Sakti. Lalu masuk ke dalam rahim malam yang dingin, seorang pengkhianat yang dicap oleh fitnah, seorang murid yang kini harus menjadi Naga di rimba belantara. Malam itu, hutan di kaki Lawu terasa seolah menelan semua cahaya dan suara. Dipasena berlari, bukan lagi sebagai seorang pengecut yang lari dari kejaran, tetapi sebagai badai yang mencari tempat untuk meledak. Luka di hatinya jauh lebih perih daripada gesekan ranting dan batu di telapak kakinya yang telanjang. Padepokan Jati Sakti telah mengusirnya, membuangnya, tetapi masih ada satu jangkar yang harus ia gapai, satu muara tempat ia berharap menemukan kebenaran. Anggrawati. Adik seperguruan, calon istri, kembang padma yang selalu dia jaga dari lumpur dunia persilatan. Rumah Anggrawati, yang merupakan rumah dinas ayahnya, Barda, seorang penasihat di padepokan, terletak sekitar seratus tombak dari batas hutan, di sebuah desa kecil yang damai, bernama Wiradesa. Dipasena memperlambat larinya saat mendekati desa. Napasnya, yang sejak tadi dia atur dengan Ilmu pernapasan, kini terasa berat dan tercekat. Dia memaksa dirinya untuk tenang. Rila lan narima, menerima nasib dengan ikhlas, adalah pelajaran pertama yang ia dapat dari Guru Besar. Dia harus menjelaskan, dia harus membersihkan namanya di hadapan satu-satunya orang yang ia yakini akan mendengarkan. Setelah memanjat sebuah pagar bambu yang tertutup lumut, Dipasena mengendap di balik rumpun pisang. Cahaya dari lampu minyak yang tergantung di teras rumah Anggrawati tampak seperti titik api di tengah kegelapan. Dipasena melihat bayangan di teras kayu. Bayangan itu bergerak. Si pemuda mencondongkan tubuhnya, menahan napas. Anggrawati. Dia duduk di bangku kayu jati, rambutnya yang panjang terurai seperti tirai malam. Namun, di sampingnya, ada bayangan lain. Bayangan itu tinggi, tegap, dan kekar. Jantung Dipasena terasa seolah dicengkeram tangan raksasa. Siapa itu? ***"Itu sudah jadi batas antara Loka Utara dan Angin Selatan sejak sepuluh generasi, kenapa sekarang dipermasalahkan?" Anggrawati bertanya. "Kenapa? Karena tidak ada lagi Ki Loka di sana untuk memberi perintah, Tuan!" balas Kusumo, membanting tangannya ke atas reruntuhan batu. "Dia sudah jadi debu di kaki Dewa Maut. Sekarang, batasnya adalah sejauh mana prajuritku bisa bergerak." Anggrawati menarik napas dalam. "Jadi kalian akan terus bertikai sampai kalian semua menjadi korban kebodohan sendiri, begitu?" "kalau aku boleh bertanya, Nona," sela Nyai Saraswati, melipat tangannya, "sebenarnya peran Nona itu apa, ya, di sini? Nona bukan pemimpin padepokan. Nona juga tidak sekuat su—ah, maaf, sekuat Tuan Dipasena." Suhu terasa menurun tajam. Itu adalah tusukan tersembunyi yang telak. Mereka tidak menghormati kebijaksanaannya, mereka hanya menilai berdasarkan kekuatannya, berdasarkan warisan Dewa Maut yang destruktif.
"Pemimpin mereka… Rakṣasa," bisik Handoko, wajahnya pucat pasi. "Dia sangat karismatik. Dia meyakinkan semua orang bahwa kelemahan manusia adalah belas kasihan, dan kehancuran adalah kebenaran universal. Mereka semakin besar, Nona Anggrawati. Jika mereka berhasil menyelesaikan ritual mereka, bukan hanya padepokan kecil, tapi seluruh peradaban akan runtuh!" Anggrawati melihat wajah Handoko, mendengar kegilaan dalam ceritanya, dan ia menyadari betapa naifnya dia berpikir masalah mereka hanyalah soal pembagian tanah warisan. Kekacauan yang Dipasena tinggalkan telah menumbuhkan monster baru, monster yang kini menyembah Dewa Maut sebagai idola kehancuran murni. Dia harus bertindak. Ini jauh lebih mendesak daripada persatuan yang sia-sia. "Kau berani," kata Anggrawati, membantu Handoko berdiri. "Tolong beristirahat. Aku akan menangani ini." Anggrawati melepaskan Handoko, menatap ke arah utara. Angin dingin meniup k
Kekehannya terdengar lagi, lebih keras. “Ayolah, Dipasena. Kita berdua tahu apa yang benar-benar menyenangkan.” "Sudah kukatakan diam!" bentaknya. Ia mengayunkan tangannya dengan gusar. Pohon yang baru saja ia hidupkan langsung meledak menjadi debu ungu dan serpihan kayu, tersapu angin gunung. Keheningan kembali menyelimuti. “Nah! Begitu seharusnya! Menghancurkan itu jauh lebih mudah, bukan? Lebih… memuaskan.” Suara itu terdengar puas. “Tidak perlu berpikir, tidak perlu niat. Hanya perlu sedikit rasa benci. Dan kau, bukankah kau memilikinya dalam jumlah yang sangat banyak?” Jantung Dipasena berdebar kencang, sebuah sensasi aneh yang sudah lama tak ia rasakan. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. "Sisa kesadaranmu seharusnya sudah lenyap saat aku menyerap kekuatanmu." “Sisa kesadaran?” Suara Ki Rembong terdengar geli. “Bodoh. Kau pikir kekuatan itu hanya gumpal
“Aku kini adalah tujuan itu sendiri. Aku telah melampaui batasan yang dipegang oleh lima sesepuh bodoh itu. Aku memiliki semua yang mereka miliki, dan yang mereka takuti.” lanjut Dewa Maut. Ia akhirnya berbalik, menatap Anggrawati. Matanya, meski tidak lagi memancarkan amarah, justru lebih menakutkan karena kekosongan di dalamnya. “Aku memberimu pilihan, Anggrawati,” kata Dewa Maut. “Aku membiarkanmu hidup dua kali. Mengapa kau terus mengejarku?” Anggrawati mencengkeram erat pedang Mangunjaya. “Aku tidak mengejar Dipasena. Aku mengejar kebenaran. Kau mungkin telah menguasai Lima Elemen, tetapi kau tidak menguasai hatimu sendiri. Kau hanya wadah bagi kekuatan yang tak memiliki jiwa.” Dewa Maut tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Jiwa adalah kelemahan. Emosi adalah rantai. Aku bebas. Bebas dari dendam, bebas dari cinta, bebas dari moralitas. Kekuatan ini membebaskanku. Sekarang, Anggrawati. Aku be
Prana Lima Elemen (Kayu, Api, Bumi, Logam, Air) berputar dalam siklus yang seimbang, harmonis, seperti roda yang sempurna. Tetapi di pusat putaran itu, kini ada dua titik baru yang berlawanan: Kekosongan Murni (yang ia dapatkan dari pemahaman Mangunjaya) dan Kekosongan Gelap (yang ia curi dari Rembong). Kekuatan itu tidak hanya berlipat ganda; ia menjadi absolut. Dewa Maut merasakan setiap atom Prana di dunia persilatan. Ia merasakan sungai, gunung, kilatan petir, dan bahkan kegelapan di bawah bumi. Ia kini adalah penguasa bukan hanya dari Lima Elemen, tetapi dari dualitas yang mengikat keberadaan. Ia adalah Penguasa Kekosongan. Murid-murid Kala Durga, yang melihat guru mereka lenyap, langsung diliputi rasa panik. Mereka membuang senjata mereka dan mencoba melarikan diri, tetapi mereka tidak bisa. Dewa Maut, tanpa menoleh, mengangkat tangan kirinya ke atas. WUUUSH. Ia mengaktifka
Ki Rembong melihat Dewa Maut tiba-tiba tampak berhenti bergerak, auranya meredup sejenak, hampir seperti lilin yang padam. “Aku sedang menyesuaikan diri dengan takdir,” jawab Dewa Maut, suaranya serak. Anggrawati menyaksikan dari kubah Angin-Air. Ia melihat gurunya baru saja lenyap, dan kini Dewa Maut tampak seperti patung di tengah badai Kekosongan Gelap. Ketika Pukulan Lima Elemen Terpadunya hampir sepenuhnya diserap oleh Kekosongan Gelap Rembong, Dewa Maut melepaskan kontrol total atas Prana-nya. FZZZT! Tiba-tiba, Pukulan yang melambat itu menghilang. Bukan terserap, tetapi lenyap dari keberadaan. Rembong terperangah. “Ilusi?” “Bukan,” kata Dewa Maut, kini membuka matanya. Matanya tidak memancarkan warna Lima Elemen, tetapi cahaya abu-abu keperakan yang datar, seperti cermin yang tidak memantulkan apa pun. “Ini adalah Kekosongan Murni. Kau hanya memiliki lubang







