Share

PEMBALASAN DEWA MAUT
PEMBALASAN DEWA MAUT
Author: Nandar Hidayat

Bab 001

last update Last Updated: 2025-10-30 07:54:23

Angin senja di Gunung Lawu berbisik pilu, membawa aroma daun jati yang terbakar dan debu padang sabana yang kering.

Cahaya matahari, kini selembar emas tipis, merangkak turun dari ufuk, menyelimuti Padepokan Jati Sakti dalam semburat jingga keunguan.

Di tengah halaman padepokan, di bawah pohon jati tertua yang akar-akarnya menjulur seperti urat naga tidur, berdirilah seorang pemuda.

Nama pemuda itu Dipasena. Usianya baru genap delapan belas tahun, tetapi sorot matanya telah menyimpan kedalaman dan ketajaman sebilah keris pusaka yang baru ditempa.

Dialah mutiara Padepokan Jati Sakti, yang dalam waktu tiga tahun telah menguasai Pukulan Naga Bumi dan menembus tingkat kelima dari jurus Tujuh Titik Maut –sebuah pencapaian yang bahkan murid-murid tertua pun hanya bisa impikan.

Namun, sore itu, mutiara itu dibalut lumpur fitnah.

Di sekelilingnya, puluhan pasang mata menyala penuh murka, memandangnya seolah dia adalah bangkai yang mengundang lalat.

Di tangan Ki Lunggana, murid tertua yang wajahnya keras membatu seperti arca Candi Sukuh, tergantung sehelai kain hitam yang dihiasi bordiran benang perak.

Di tengahnya, tersemat lencana berbentuk kalajengking dengan ekor melengkung tajam. Lencana Padepokan Kala Durga. Golongan hitam yang dihujat dan dihindari.

“Dipasena,” suara Ki Lunggana menggema, berat dan dingin seperti palu godam menghantam batu nisan. “Kami menemukannya di lipatan pakaianmu, tersembunyi di balik bilik tidurmu. Sebuah tenger dari tempat yang najis. Jelaskan, anak muda, sebelum amarah kami menjulang tinggi melampaui puncak gunung ini!”

Dipasena menggeleng, gerakan kepalanya seolah menolak takdir yang kejam. Rambut hitamnya yang panjang tergerai sedikit menutupi wajahnya yang pucat.

Rasa sakitnya bukan pada tuduhan, melainkan pada mata-mata yang dulu menatapnya dengan bangga, kini memancarkannya dengan penghinaan.

“Saya tidak tahu, Ki Guru,” jawab Dipasena, suaranya pelan tetapi mengandung getaran ketegasan. “Ini fitnah, jerat yang dipasang oleh tangan yang iri. Hamba bersumpah demi langit dan bumi, demi leluhur Padepokan Jati Sakti, tak sejengkal pun hati hamba pernah bersekutu dengan Padepokan Kala Durga. Ibarat gajah alingan suket teki, tak mungkin kejahatan sebesar ini bisa disembunyikan.”

Tawa sinis meledak dari Ki Gendola, murid yang satu tingkat di bawah Ki Lunggana, yang selalu memandang Dipasena dengan kecemburuan yang tak tersembunyikan.

“Basa-basi! Kau kira kami buta? Lencana itu tak mungkin terbang sendiri! Hanya anjing yang setia yang mengenakan kalung tuannya. Kau adalah kancil yang pura-pura suci, padahal wis didilat asu.”

Ki Lunggana mengangkat tangan, menghentikan riak cemoohan itu. Ia menatap Dipasena lurus, matanya menyelidik mencari bayangan kebohongan.

“Mulut bisa berdusta, Nak. Tetapi sukma tak pernah bisa bersembunyi. Aku tak ingin mendengar lidah lagi. Biarkan ilmuku bicara.”

Seketika, aura di sekitar Ki Lunggana berubah. Jati Sakti mengajarkan ketenangan, tetapi apa yang terpancar darinya kini adalah amukan air bah yang ditahan.

Dipasena merasakan tekanan udara di sekitarnya mengental.

Ki Lunggana mulai menarik napas, dadanya membusung, dan serat-serat uratnya menegang di balik kain hitam.

Tembong Sukma. Ilmu andalan Padepokan untuk memancing dan membaca aura kegelapan.

Ilmu ini bekerja layaknya cermin yang memaksa batin lawan untuk menampakkan warna sejatinya.

Jika ada setitik saja hawa sakti hitam yang tersimpan, ilmu itu akan menariknya keluar seperti magnet menarik besi.

Ki Lunggana menyalurkan tenaga dalam murni, setebal kawah candradimuka, dan melontarkannya ke arah dada Dipasena tanpa sentuhan fisik.

Dipasena berdiri tegak, tak bergeming. Dia memejamkan mata, membiarkan energi murni Ki Lunggana meresap ke dalam dirinya.

Segara Napas yang ia latih membiarkan energi itu mengalir, tetapi tidak bereaksi.

Seolah dia adalah sumur yang dalam, airnya bening dan dingin, menolak lumpur apapun untuk menetap.

Keheningan melanda halaman. Murid-murid menahan napas. Ki Lunggana tampak terkejut, dahinya mengernyit.

“Kosong…” gumam Ki Lunggana, sebuah pengakuan yang tertelan oleh kerongkongan. “Tak ada hawa kala… hanya udara jernih.”

“Itu hanya trik, Kakang!” seru Ki Gendola dengan suara mendesis, wajahnya merah padam karena amarah yang bercampur malu. “Dia menggunakan ilmu penyamaran. Golongan hitam itu ahli ngraga sukma! Dia pasti telah membuang sukma najisnya dan hanya meninggalkan kulit luarnya yang suci! Ngelmu iku kalakone kanthi laku! Buktikan dengan tangan!”

Ucapan Ki Gendola, yang sarat dengan racun cemburu, berhasil mematikan keraguan yang baru muncul. Keraguan adalah setitik air di padang pasir amarah; ia mudah menguap.

“Tangkap dia!” perintah Ki Lunggana, suaranya kembali mengeras, diresapi oleh keharusan untuk menjaga nama baik padepokan. “Adili dia sesuai hukum piwulang! Bawa dia ke balai siksa!”

Seketika, tiga murid, yang tubuhnya paling tegap dan ilmunya paling matang, melompat maju. Mereka adalah Candra, Darma, dan Agung.

Mereka tidak menyerang dengan senjata, tetapi dengan tangan kosong, teknik pegangan dan kuncian Padepokan Jati Sakti yang terkenal kejam dan efisien.

Dipasena membuka matanya. Pandangannya tidak lagi berisi kesedihan, melainkan cermin dari langit yang meredup, penuh badai yang tertahan.

Dia telah membiarkan fitnah melukainya; dia tidak akan membiarkan tangan-tangan ini membelenggunya.

“Tunggu!” Dipasena berseru, suaranya kini melengking, membanting kesunyian sore. “Jika kalian memilih jalan ini, maka aku akan membuka jalanku sendiri. Ora obah, ora mamah. Kalian menuduhku penyusup, maka biarlah aku berjuang sebagai pendatang yang tak punya rumah!”

Candra, yang berada paling dekat, melancarkan pukulan Guntur Menyulam Bumi tingkat tiga ke arah perut Dipasena, sebuah teknik yang bertujuan memutus aliran napas lawan.

Dipasena bereaksi dengan kecepatan yang melampaui kemampuan mata.

Gerakannya bukan hanya cepat, tetapi juga melenting dan halus seperti air yang mengalir di atas batu licin.

Dia tidak menghindar ke samping, melainkan bergerak ke dalam serangan. Dia menggunakan jurus Benteng Pawana. Ini adalah jurus pertahanan Padepokan Jati Sakti.

Dia menarik napas ke dalam rongga dada, membiarkan energi kosmik Prana dari alam semesta tersedot masuk dan berputar di sekitar tubuhnya. Energi ini bukan hanya perisai, tetapi juga pusaran.

Ketika pukulan Candra menyentuh dada Dipasena, Candra merasakan seolah tangannya tidak menghantam daging, melainkan menabrak dinding udara yang padat, yang seketika berbalik mendorongnya dengan kekuatan dua kali lipat.

Candra terhuyung mundur, kaget dan kesakitan.

Darma dan Agung datang dari dua sisi, mengunci lengan Dipasena dalam teknik Tujuh Titik Maut tingkat awal.

Teknik ini bertujuan mengikat sendi dan urat syaraf, melumpuhkan lawan tanpa darah.

Saat kedua tangan kokoh Darma dan Agung menyentuh lengannya, Dipasena memejamkan mata lagi.

Dia membiarkan energi Prana yang telah ia kumpulkan dari alam semesta, yang mengalir dalam jalur meridian tubuhnya, bergerak lurus dan tajam.

Dipasena melawan dengan Tujuh Titik Maut juga, tapi pada tingkat kedua yang digunakan untuk membela diri dari serangan mematikan.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 008

    “Saudaramu menyerangku lebih dulu,” jawab Dipasena, suaranya tenang. “Aku hanya membela diri.”Siluman Harimau Merah itu maju satu langkah, tubuhnya yang besar menggetarkan tanah.“Alasanmu basi seperti bangkai di padang gurun!” raung Siluman Harimau Merah. “Namaku Cakar Emas. Aku adalah penjaga yang lebih tua. Aku akan membalas kematian saudaraku, dan aku akan mengambil kembali Inti Merah yang kini ada di dalam raga kotor-mu!”Dipasena mengepalkan tangannya. Dia merasakan Tenaga Dalam baru itu berdenyut di bawah kulitnya, menuntut untuk dilepaskan.Dia telah kehilangan cintanya, warisannya, dan namanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan nyawanya di hari pertama kelahiran kembali ini.“Jika kau datang untuk bertarung,” kata Dipasena, tatapannya tajam dan tak terhindarkan. “Aku siap. Tunjukkan padaku hukum rimbamu!”Siluman Harimau Merah itu meraung, membuka mulutnya, memamerkan taringnya yang sebesar belati. Dia mengam

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 007

    Malam di Hutan Seribu Maut terasa semakin pekat dan dingin setelah pertarungan.Dipasena bersandar pada batang pohon yang tumbang, mencoba memulihkan sedikit Tenaga Dalamnya yang terkuras habis.Batu Cahaya Merah yang ia genggam terasa hangat, memberikan sedikit ketenangan yang menipu.Dia merasakan energi baru mengalir, mengisi kekosongan, seolah dia adalah cangkir kosong yang diisi kembali dengan air kehidupan.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.Tiba-tiba, Batu Cahaya Merah itu berdenyut dengan kecepatan tinggi, dan panas yang semula terasa menenangkan, kini berubah menjadi bara api yang membakar."Ada apa ini!?" Dipasena tersentak. Dia membuka telapak tangannya.Batu itu kini memancarkan cahaya merah darah yang sangat terang, cahayanya mampu menembus kegelapan hutan.Panasnya tak tertahankan, seolah ia menggenggam besi tempa yang baru diangkat dari api.“Panas!” desis Dipasena, mencoba melepa

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 006

    Dia membutuhkan jurus yang berfokus pada kekuatan inti dan penghancuran. Dia memilih Pukulan Naga Bumi.Hanya dia, murid muda yang telah mencapai tingkat ketiga dari lima ilmu Pukulan Naga Bumi. Dipasena menyiapkan ilmu itu dengan tenaga penuh.Siluman Serigala Merah menyerang lebih dulu, melompat tinggi, cakar depannya siap merobek dada Dipasena.Dipasena menunggu, membiarkan serigala itu semakin dekat, dan pada kejap yang tepat, dia melancarkan serangan balasan.Pukulan Naga Bumi, Tingkat Satu: Goncangan Permukaan.Pukulan ini adalah serangan jarak pendek yang mengalirkan energi ke permukaan, menciptakan dampak fisik yang murni.Dipasena meninju udara kosong di bawah perut serigala yang melompat.Wutt! Syutt!Energi pukulan itu, meskipun tidak menyentuh, menciptakan tekanan udara yang begitu padat.Siluman Serigala Merah, yang biasanya kebal terhadap benturan biasa, terkejut.Tubuhnya yang sedang melayang dihantam oleh gelombang kejut tersembunyi. Raungannya terpotong.Serigala itu

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 005

    Layang Samba, yang fokus pada air dan angin, tidak siap untuk serangan yang datang dari bumi. Keseimbangannya hilang.Dia melompat ke belakang untuk menghindari gempa, tetapi pada kejap ia melompat, Dipasena sudah berada di udara, mengejarnya.Dipasena melancarkan sebuah tendangan mengandung tenaga besar, tendangan yang sangat cepat dan bertujuan pada ulu hati Layang Samba.Wutt!Layang Samba, meskipun terhuyung, adalah pendekar terlatih.Dia secara naluriah mengangkat Tongkat Waru-nya untuk menahan serangan itu, mengubahnya menjadi perisai kayu.Trakk!Tendangan Dipasena menghantam tongkat. Kali ini, tidak ada pantulan angin, hanya benturan energi keras dengan keras.Suara benturan itu terdengar seperti guntur kecil yang meledak di tepi sungai.Layang Samba terlempar mundur, tubuhnya melayang sekitar tiga tombak dan menghantam rumpun bambu. Tongkat Waru-nya terlepas dari genggaman dan jatuh ke sungai.Layang Samba bangkit, memegang lengannya yang kebas dan gemetar. Wajahnya pucat pas

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 004

    Lima orang itu langsung menyerang Dipasena bersamaan.Dipasena tidak menggunakan Benteng Pawana. Dia menggunakan jurus Jati Sakti yang paling dasar: sebuah jurus tendangan.Tetapi dia menyalurkan Tujuh Titik Maut tingkat lima: Titik Keras pada telapak kakinya.Dia menendang tanah. Tendangan itu tidak ditujukan kepada lawan, tetapi ke bumi di bawahnya.Ketika kaki Dipasena menghantam tanah, energi internalnya, yang dipadukan dengan Titik Keras, menciptakan getaran kuat di permukaan tanah.Getaran itu menjalar cepat.Lima murid yang berdiri di depannya merasa seolah tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba menjadi lumpur hisap yang bergerak-gerak. Mereka kehilangan pijakan, terhuyung, dan jatuh.Dipasena melompat, kakinya tidak menyentuh satu pun tubuh murid yang jatuh. Dia melompati mereka, dan dalam dua kejap, dia telah berada di belakang mereka.Dia terus berlari. Lari kali ini memiliki tujuan: mencari kekuatan.Dia tidak lagi melihat ke belakang, ke arah obor-obor yang mengejarnya. Dia

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 003

    Lalu, cahaya lampu minyak itu bergerak sedikit, dan Dipasena melihatnya. Jelas. Sejelas bayangan keris di air.Itu adalah Santaka. Saudara seperguruan yang selalu menatapnya dengan rasa iri yang lebih tajam daripada mata tombak.Santaka, yang selalu berusaha menarik perhatian Anggrawati.Dipasena mematung. Jaraknya hanya lima depa dari teras itu. Lima depa yang terasa seperti jurang tak berdasar.Anggrawati tidak hanya duduk. Dia bersandar. Anggrawati bersandar di dada Santaka. Kepala Santaka menunduk, dan ia tertawa pelan. Tawanya terdengar kasar dan menang.Lalu, Santaka mengangkat dagu Anggrawati. Dalam satu kejap, bibir mereka bertemu. Ciuman itu tidak tergesa-gesa; itu adalah ciuman yang lambat, mesra, penuh pemilikan.Dunia di sekitar Dipasena mendadak kehilangan suara. Udara seolah dicabut dari paru-parunya. Kekuatan kosmis yang baru saja ia himpun di Jati Sakti, Prana dari alam semesta, semua terasa sia-sia.Dia merasa dirinya adalah sebuah cangkang kosong, dihempas ke batu ka

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status