Mag-log in
Angin senja di Gunung Lawu berbisik pilu, membawa aroma daun jati yang terbakar dan debu padang sabana yang kering.
Cahaya matahari, kini selembar emas tipis, merangkak turun dari ufuk, menyelimuti Padepokan Jati Sakti dalam semburat jingga keunguan. Di tengah halaman padepokan, di bawah pohon jati tertua yang akar-akarnya menjulur seperti urat naga tidur, berdirilah seorang pemuda. Nama pemuda itu Dipasena. Usianya baru genap delapan belas tahun, tetapi sorot matanya telah menyimpan kedalaman dan ketajaman sebilah keris pusaka yang baru ditempa. Dialah mutiara Padepokan Jati Sakti, yang dalam waktu tiga tahun telah menguasai Pukulan Naga Bumi dan menembus tingkat kelima dari jurus Tujuh Titik Maut –sebuah pencapaian yang bahkan murid-murid tertua pun hanya bisa impikan. Namun, sore itu, mutiara itu dibalut lumpur fitnah. Di sekelilingnya, puluhan pasang mata menyala penuh murka, memandangnya seolah dia adalah bangkai yang mengundang lalat. Di tangan Ki Lunggana, murid tertua yang wajahnya keras membatu seperti arca Candi Sukuh, tergantung sehelai kain hitam yang dihiasi bordiran benang perak. Di tengahnya, tersemat lencana berbentuk kalajengking dengan ekor melengkung tajam. Lencana Padepokan Kala Durga. Golongan hitam yang dihujat dan dihindari. “Dipasena,” suara Ki Lunggana menggema, berat dan dingin seperti palu godam menghantam batu nisan. “Kami menemukannya di lipatan pakaianmu, tersembunyi di balik bilik tidurmu. Sebuah tenger dari tempat yang najis. Jelaskan, anak muda, sebelum amarah kami menjulang tinggi melampaui puncak gunung ini!” Dipasena menggeleng, gerakan kepalanya seolah menolak takdir yang kejam. Rambut hitamnya yang panjang tergerai sedikit menutupi wajahnya yang pucat. Rasa sakitnya bukan pada tuduhan, melainkan pada mata-mata yang dulu menatapnya dengan bangga, kini memancarkannya dengan penghinaan. “Saya tidak tahu, Ki Guru,” jawab Dipasena, suaranya pelan tetapi mengandung getaran ketegasan. “Ini fitnah, jerat yang dipasang oleh tangan yang iri. Hamba bersumpah demi langit dan bumi, demi leluhur Padepokan Jati Sakti, tak sejengkal pun hati hamba pernah bersekutu dengan Padepokan Kala Durga. Ibarat gajah alingan suket teki, tak mungkin kejahatan sebesar ini bisa disembunyikan.” Tawa sinis meledak dari Ki Gendola, murid yang satu tingkat di bawah Ki Lunggana, yang selalu memandang Dipasena dengan kecemburuan yang tak tersembunyikan. “Basa-basi! Kau kira kami buta? Lencana itu tak mungkin terbang sendiri! Hanya anjing yang setia yang mengenakan kalung tuannya. Kau adalah kancil yang pura-pura suci, padahal wis didilat asu.” Ki Lunggana mengangkat tangan, menghentikan riak cemoohan itu. Ia menatap Dipasena lurus, matanya menyelidik mencari bayangan kebohongan. “Mulut bisa berdusta, Nak. Tetapi sukma tak pernah bisa bersembunyi. Aku tak ingin mendengar lidah lagi. Biarkan ilmuku bicara.” Seketika, aura di sekitar Ki Lunggana berubah. Jati Sakti mengajarkan ketenangan, tetapi apa yang terpancar darinya kini adalah amukan air bah yang ditahan. Dipasena merasakan tekanan udara di sekitarnya mengental. Ki Lunggana mulai menarik napas, dadanya membusung, dan serat-serat uratnya menegang di balik kain hitam. Tembong Sukma. Ilmu andalan Padepokan untuk memancing dan membaca aura kegelapan. Ilmu ini bekerja layaknya cermin yang memaksa batin lawan untuk menampakkan warna sejatinya. Jika ada setitik saja hawa sakti hitam yang tersimpan, ilmu itu akan menariknya keluar seperti magnet menarik besi. Ki Lunggana menyalurkan tenaga dalam murni, setebal kawah candradimuka, dan melontarkannya ke arah dada Dipasena tanpa sentuhan fisik. Dipasena berdiri tegak, tak bergeming. Dia memejamkan mata, membiarkan energi murni Ki Lunggana meresap ke dalam dirinya. Segara Napas yang ia latih membiarkan energi itu mengalir, tetapi tidak bereaksi. Seolah dia adalah sumur yang dalam, airnya bening dan dingin, menolak lumpur apapun untuk menetap. Keheningan melanda halaman. Murid-murid menahan napas. Ki Lunggana tampak terkejut, dahinya mengernyit. “Kosong…” gumam Ki Lunggana, sebuah pengakuan yang tertelan oleh kerongkongan. “Tak ada hawa kala… hanya udara jernih.” “Itu hanya trik, Kakang!” seru Ki Gendola dengan suara mendesis, wajahnya merah padam karena amarah yang bercampur malu. “Dia menggunakan ilmu penyamaran. Golongan hitam itu ahli ngraga sukma! Dia pasti telah membuang sukma najisnya dan hanya meninggalkan kulit luarnya yang suci! Ngelmu iku kalakone kanthi laku! Buktikan dengan tangan!” Ucapan Ki Gendola, yang sarat dengan racun cemburu, berhasil mematikan keraguan yang baru muncul. Keraguan adalah setitik air di padang pasir amarah; ia mudah menguap. “Tangkap dia!” perintah Ki Lunggana, suaranya kembali mengeras, diresapi oleh keharusan untuk menjaga nama baik padepokan. “Adili dia sesuai hukum piwulang! Bawa dia ke balai siksa!” Seketika, tiga murid, yang tubuhnya paling tegap dan ilmunya paling matang, melompat maju. Mereka adalah Candra, Darma, dan Agung. Mereka tidak menyerang dengan senjata, tetapi dengan tangan kosong, teknik pegangan dan kuncian Padepokan Jati Sakti yang terkenal kejam dan efisien. Dipasena membuka matanya. Pandangannya tidak lagi berisi kesedihan, melainkan cermin dari langit yang meredup, penuh badai yang tertahan. Dia telah membiarkan fitnah melukainya; dia tidak akan membiarkan tangan-tangan ini membelenggunya. “Tunggu!” Dipasena berseru, suaranya kini melengking, membanting kesunyian sore. “Jika kalian memilih jalan ini, maka aku akan membuka jalanku sendiri. Ora obah, ora mamah. Kalian menuduhku penyusup, maka biarlah aku berjuang sebagai pendatang yang tak punya rumah!” Candra, yang berada paling dekat, melancarkan pukulan Guntur Menyulam Bumi tingkat tiga ke arah perut Dipasena, sebuah teknik yang bertujuan memutus aliran napas lawan. Dipasena bereaksi dengan kecepatan yang melampaui kemampuan mata. Gerakannya bukan hanya cepat, tetapi juga melenting dan halus seperti air yang mengalir di atas batu licin. Dia tidak menghindar ke samping, melainkan bergerak ke dalam serangan. Dia menggunakan jurus Benteng Pawana. Ini adalah jurus pertahanan Padepokan Jati Sakti. Dia menarik napas ke dalam rongga dada, membiarkan energi kosmik Prana dari alam semesta tersedot masuk dan berputar di sekitar tubuhnya. Energi ini bukan hanya perisai, tetapi juga pusaran. Ketika pukulan Candra menyentuh dada Dipasena, Candra merasakan seolah tangannya tidak menghantam daging, melainkan menabrak dinding udara yang padat, yang seketika berbalik mendorongnya dengan kekuatan dua kali lipat. Candra terhuyung mundur, kaget dan kesakitan. Darma dan Agung datang dari dua sisi, mengunci lengan Dipasena dalam teknik Tujuh Titik Maut tingkat awal. Teknik ini bertujuan mengikat sendi dan urat syaraf, melumpuhkan lawan tanpa darah. Saat kedua tangan kokoh Darma dan Agung menyentuh lengannya, Dipasena memejamkan mata lagi. Dia membiarkan energi Prana yang telah ia kumpulkan dari alam semesta, yang mengalir dalam jalur meridian tubuhnya, bergerak lurus dan tajam. Dipasena melawan dengan Tujuh Titik Maut juga, tapi pada tingkat kedua yang digunakan untuk membela diri dari serangan mematikan. ***"Itu sudah jadi batas antara Loka Utara dan Angin Selatan sejak sepuluh generasi, kenapa sekarang dipermasalahkan?" Anggrawati bertanya. "Kenapa? Karena tidak ada lagi Ki Loka di sana untuk memberi perintah, Tuan!" balas Kusumo, membanting tangannya ke atas reruntuhan batu. "Dia sudah jadi debu di kaki Dewa Maut. Sekarang, batasnya adalah sejauh mana prajuritku bisa bergerak." Anggrawati menarik napas dalam. "Jadi kalian akan terus bertikai sampai kalian semua menjadi korban kebodohan sendiri, begitu?" "kalau aku boleh bertanya, Nona," sela Nyai Saraswati, melipat tangannya, "sebenarnya peran Nona itu apa, ya, di sini? Nona bukan pemimpin padepokan. Nona juga tidak sekuat su—ah, maaf, sekuat Tuan Dipasena." Suhu terasa menurun tajam. Itu adalah tusukan tersembunyi yang telak. Mereka tidak menghormati kebijaksanaannya, mereka hanya menilai berdasarkan kekuatannya, berdasarkan warisan Dewa Maut yang destruktif.
"Pemimpin mereka… Rakṣasa," bisik Handoko, wajahnya pucat pasi. "Dia sangat karismatik. Dia meyakinkan semua orang bahwa kelemahan manusia adalah belas kasihan, dan kehancuran adalah kebenaran universal. Mereka semakin besar, Nona Anggrawati. Jika mereka berhasil menyelesaikan ritual mereka, bukan hanya padepokan kecil, tapi seluruh peradaban akan runtuh!" Anggrawati melihat wajah Handoko, mendengar kegilaan dalam ceritanya, dan ia menyadari betapa naifnya dia berpikir masalah mereka hanyalah soal pembagian tanah warisan. Kekacauan yang Dipasena tinggalkan telah menumbuhkan monster baru, monster yang kini menyembah Dewa Maut sebagai idola kehancuran murni. Dia harus bertindak. Ini jauh lebih mendesak daripada persatuan yang sia-sia. "Kau berani," kata Anggrawati, membantu Handoko berdiri. "Tolong beristirahat. Aku akan menangani ini." Anggrawati melepaskan Handoko, menatap ke arah utara. Angin dingin meniup k
Kekehannya terdengar lagi, lebih keras. “Ayolah, Dipasena. Kita berdua tahu apa yang benar-benar menyenangkan.” "Sudah kukatakan diam!" bentaknya. Ia mengayunkan tangannya dengan gusar. Pohon yang baru saja ia hidupkan langsung meledak menjadi debu ungu dan serpihan kayu, tersapu angin gunung. Keheningan kembali menyelimuti. “Nah! Begitu seharusnya! Menghancurkan itu jauh lebih mudah, bukan? Lebih… memuaskan.” Suara itu terdengar puas. “Tidak perlu berpikir, tidak perlu niat. Hanya perlu sedikit rasa benci. Dan kau, bukankah kau memilikinya dalam jumlah yang sangat banyak?” Jantung Dipasena berdebar kencang, sebuah sensasi aneh yang sudah lama tak ia rasakan. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. "Sisa kesadaranmu seharusnya sudah lenyap saat aku menyerap kekuatanmu." “Sisa kesadaran?” Suara Ki Rembong terdengar geli. “Bodoh. Kau pikir kekuatan itu hanya gumpal
“Aku kini adalah tujuan itu sendiri. Aku telah melampaui batasan yang dipegang oleh lima sesepuh bodoh itu. Aku memiliki semua yang mereka miliki, dan yang mereka takuti.” lanjut Dewa Maut. Ia akhirnya berbalik, menatap Anggrawati. Matanya, meski tidak lagi memancarkan amarah, justru lebih menakutkan karena kekosongan di dalamnya. “Aku memberimu pilihan, Anggrawati,” kata Dewa Maut. “Aku membiarkanmu hidup dua kali. Mengapa kau terus mengejarku?” Anggrawati mencengkeram erat pedang Mangunjaya. “Aku tidak mengejar Dipasena. Aku mengejar kebenaran. Kau mungkin telah menguasai Lima Elemen, tetapi kau tidak menguasai hatimu sendiri. Kau hanya wadah bagi kekuatan yang tak memiliki jiwa.” Dewa Maut tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Jiwa adalah kelemahan. Emosi adalah rantai. Aku bebas. Bebas dari dendam, bebas dari cinta, bebas dari moralitas. Kekuatan ini membebaskanku. Sekarang, Anggrawati. Aku be
Prana Lima Elemen (Kayu, Api, Bumi, Logam, Air) berputar dalam siklus yang seimbang, harmonis, seperti roda yang sempurna. Tetapi di pusat putaran itu, kini ada dua titik baru yang berlawanan: Kekosongan Murni (yang ia dapatkan dari pemahaman Mangunjaya) dan Kekosongan Gelap (yang ia curi dari Rembong). Kekuatan itu tidak hanya berlipat ganda; ia menjadi absolut. Dewa Maut merasakan setiap atom Prana di dunia persilatan. Ia merasakan sungai, gunung, kilatan petir, dan bahkan kegelapan di bawah bumi. Ia kini adalah penguasa bukan hanya dari Lima Elemen, tetapi dari dualitas yang mengikat keberadaan. Ia adalah Penguasa Kekosongan. Murid-murid Kala Durga, yang melihat guru mereka lenyap, langsung diliputi rasa panik. Mereka membuang senjata mereka dan mencoba melarikan diri, tetapi mereka tidak bisa. Dewa Maut, tanpa menoleh, mengangkat tangan kirinya ke atas. WUUUSH. Ia mengaktifka
Ki Rembong melihat Dewa Maut tiba-tiba tampak berhenti bergerak, auranya meredup sejenak, hampir seperti lilin yang padam. “Aku sedang menyesuaikan diri dengan takdir,” jawab Dewa Maut, suaranya serak. Anggrawati menyaksikan dari kubah Angin-Air. Ia melihat gurunya baru saja lenyap, dan kini Dewa Maut tampak seperti patung di tengah badai Kekosongan Gelap. Ketika Pukulan Lima Elemen Terpadunya hampir sepenuhnya diserap oleh Kekosongan Gelap Rembong, Dewa Maut melepaskan kontrol total atas Prana-nya. FZZZT! Tiba-tiba, Pukulan yang melambat itu menghilang. Bukan terserap, tetapi lenyap dari keberadaan. Rembong terperangah. “Ilusi?” “Bukan,” kata Dewa Maut, kini membuka matanya. Matanya tidak memancarkan warna Lima Elemen, tetapi cahaya abu-abu keperakan yang datar, seperti cermin yang tidak memantulkan apa pun. “Ini adalah Kekosongan Murni. Kau hanya memiliki lubang







