LOGINDewa Maut mendengus. “Aku tidak akan membiarkan Rembong mengambilmu!”
“Aku bukan milikmu lagi!” Mangunjaya memejamkan mata. Ia tahu Dewa Maut hanya mencoba menunda, tetapi Angkasa Gelap Rembong terlalu cepat. Ia harus bertindak sekarang. “Aku sudah memberimu petunjuk tentang Kekosongan Murni,” kata Mangunjaya, tersedak. “Tapi kau tidak punya waktu untuk mempelajarinya!” Rembong tertawa terbahak-bahak, tawa yang kering. “Waktunya habis, Mangunjaya. Ucapkan selamat tinggal pada keberadaan!” Mangunjaya mengabaikan Rembong. Dia menatap Dewa Maut, yang kini sedang berjuang membebaskan dirinya dari tarikan Angkasa Gelap. “Dengarkan aku, Dipasena!” Mangunjaya berteriak dengan sisa-sisa napasnya. “Lima Elemenmu adalah kunci! Tapi kau tidak punya wadah untuk menampung yang Keenam! Aku akan memberimu wadah itu!” Anggrawati, yang berlindung di kubah Angin-Air Dewa Maut, menjerit ngeri. “Guru! Jangan!”“Noda? Maksudnya seperti kita, begitu?” Suara Rembong terdengar geli. Dipasena melanjutkan, suaranya hampir tak terdengar. "...akan dianggap sebagai ancaman. Sebagai penyakit. Dan akan dimusnahkan tanpa ampun untuk menjaga kemurnian Loka Keseimbangan." Keheningan kembali mengisi ruangan, kini terasa lebih berat dan menekan. Hanya suara dengung lembut dari peta bintang yang tersisa. “Hahahahahaha!” Tawa Ki Rembong meledak, tanpa humor, hanya kemenangan murni yang kejam. “Jadi begitu, ya? Tempat bagus itu ternyata punya kebijakan ‘Dilarang Memawa Sampah’. Dan kamu, sobat, kebetulan sedang membawa aku, sampah paling beracun di jagat raya. Gila, apes sekali nasibmu.” "Jadi ini jebakan," kata Dipasena dingin, tangannya terkepal di sisi tubuhnya. “Bukan jebakan. Ini pilihan,” koreksi Rembong, nadanya penuh kepuasan. “Pilihan yang sangat mudah, malah. Kamu tetep di sini, di dunia fana, jadi penguasa absolut. Kita bi
Anggrawati harus keluar dari sini. Sekarang. Matanya melesat ke sekeliling, mencari celah. Celah itu tidak ada. Ia terkepung. Di tengah keputusasaan itu, matanya menangkap sesuatu yang berkilau di antara artefak di atas altar. Liontin perak dengan ukiran harimau milik Ki Argasura. Ukurannya kecil. Mudah dibawa. Sebuah ide gila terlintas di benaknya. Jika ia tidak bisa menghentikan mereka, setidaknya ia bisa mengacaukan ritual mereka. "Kamu pikir kehancuran itu kekuatan?" teriak Anggrawati, mencoba mengulur waktu sambil menggeser posisinya perlahan mendekati altar. "Itu kelemahan! Jalan pintas bagi mereka yang terlalu pengecut untuk membangun sesuatu!" "Membangun apa?" balas Rakṣasa, melangkah turun dari altar. "Membangun penderitaan? Membangun kekecewaan? Dewa Maut sudah menunjukkan jalannya. Hanya ada satu kejujuran di alam semesta, Anggrawati, dan itu adalah akhir dari segalanya!" Saat Rakṣasa berbicara, pe
Udara terasa berat, penuh dengan gema lantunan monoton yang keluar dari tenggorokan para pemuja fanatik ini. Obor-obor yang tertancap di dinding gua berkedip-kedip, cahayanya menari liar di atas wajah-wajah yang menatap kosong ke depan dengan ekstase yang mengerikan. Seorang pemuja di sebelahnya, pemuda kurus dengan mata cekung, bergumam tanpa menoleh. "Indah, bukan? Energi murni kehancuran." "Sangat indah," balas Anggrawati, suaranya ia buat serak dan rendah. "Dewa kita pasti senang." "Oh, pasti," sahut pemuda itu, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Rakṣasa bilang, malam ini adalah awal dari pembersihan sejati. Tidak ada lagi abu-abu. hanya hitam." Di depan sana, di atas sebuah altar batu alam yang dialiri parit-parit kecil berisi cairan hitam kental, seorang pria berdiri membelakangi mereka. Jubahnya hitam legam tanpa hiasan, namun auranya begitu kuat hingga udara di sekitarnya terasa mel
"Ini bukan untuk didobrak," sahut Dipasena. Ia bisa merasakan aliran Prana yang rumit terkunci di balik pintu itu, sebuah segel kuno. Ia melompat turun dari punggungan, mendarat tanpa suara di depan bangunan itu. Udara di sini terasa berat dan penuh energi. "Ini harus dibuka dengan aliran yang tepat." “Aliran, aliran. Merepotkan sekali!,” gerutu Rembong. “Sudah, hajar saja.” Dipasena memejamkan mata, mengabaikan parasit di jiwanya. Ia mengangkat telapak tangannya, memfokuskan niatnya. Prana Kekosongan yang gelap mulai berkumpul, berputar membentuk bola energi hitam pekat. Ia mencoba membentuknya menjadi kunci, sebuah aliran tipis dan presisi yang bisa membuka segel itu. “Warna hitam? Sangat cocok dengan kita,” bisik Rembong penuh semangat. “Tambahkan sedikit lagi, supaya lebih kuat. Beri sentuhan kebencianmu seperti ketika memikirkan si Anggrawati!” "DIAM!" raung Dipasena dalam h
"Itu sudah jadi batas antara Loka Utara dan Angin Selatan sejak sepuluh generasi, kenapa sekarang dipermasalahkan?" Anggrawati bertanya. "Kenapa? Karena tidak ada lagi Ki Loka di sana untuk memberi perintah, Tuan!" balas Kusumo, membanting tangannya ke atas reruntuhan batu. "Dia sudah jadi debu di kaki Dewa Maut. Sekarang, batasnya adalah sejauh mana prajuritku bisa bergerak." Anggrawati menarik napas dalam. "Jadi kalian akan terus bertikai sampai kalian semua menjadi korban kebodohan sendiri, begitu?" "kalau aku boleh bertanya, Nona," sela Nyai Saraswati, melipat tangannya, "sebenarnya peran Nona itu apa, ya, di sini? Nona bukan pemimpin padepokan. Nona juga tidak sekuat su—ah, maaf, sekuat Tuan Dipasena." Suhu terasa menurun tajam. Itu adalah tusukan tersembunyi yang telak. Mereka tidak menghormati kebijaksanaannya, mereka hanya menilai berdasarkan kekuatannya, berdasarkan warisan Dewa Maut yang destruktif.
"Pemimpin mereka… Rakṣasa," bisik Handoko, wajahnya pucat pasi. "Dia sangat karismatik. Dia meyakinkan semua orang bahwa kelemahan manusia adalah belas kasihan, dan kehancuran adalah kebenaran universal. Mereka semakin besar, Nona Anggrawati. Jika mereka berhasil menyelesaikan ritual mereka, bukan hanya padepokan kecil, tapi seluruh peradaban akan runtuh!" Anggrawati melihat wajah Handoko, mendengar kegilaan dalam ceritanya, dan ia menyadari betapa naifnya dia berpikir masalah mereka hanyalah soal pembagian tanah warisan. Kekacauan yang Dipasena tinggalkan telah menumbuhkan monster baru, monster yang kini menyembah Dewa Maut sebagai idola kehancuran murni. Dia harus bertindak. Ini jauh lebih mendesak daripada persatuan yang sia-sia. "Kau berani," kata Anggrawati, membantu Handoko berdiri. "Tolong beristirahat. Aku akan menangani ini." Anggrawati melepaskan Handoko, menatap ke arah utara. Angin dingin meniup k







