Pembalasan istri pelit yang sesungguhnya
Bab 3"Rum, kemarin masih sejuta kok!""Iya, Mas sejuta. Yang Arum tanya kan kenapa tinggal sejuta? Selama ini kamu gunakan untuk apa uang yang lain?" Mas Bayu kembali terdiam. Aku benar-benar gemas melihat tingkah lelaki satu ini. Kalau mem*tilasi orang bukanlah suatu tindakan Pidana, sudah aku lakukan dari tadi."Jawab, Mas!"***"Mas Bayu terdiam, entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Aku kini menatap Ibu mertua yang masih berdiri dengan tangan melipat di depan dada."Permisi, Mbak Arum. Nasi nya masih nggak?" Tiba-tiba ada satu pelanggan yang datang. Menyelamatkan Mas Bayu maupun Ibu mertua dari cecaran berbagai pertanyaan dariku. Aku langsung sigap, berdiri dan menghampiri pelanggan tersebut. Meninggalkan Mas Bayu tanpa sepatah katapun."Masih, Mas. Mau makan di sini atau di bungkus?" tanyaku ramah. Semarah apapun aku, jika sudah ada pelanggan yang datang berubah lah raut wajahku menjadi ramah. Karena pelanggan adalah raja. Tidak mungkin aku bersikap judes di hadapan mereka. Bisa-bisa kabur para pelangganku."Dibungkus aja, Mbak. Lima ya jangan lupa es teh lima juga.""Ow, baik Mas. Ditunggu dulu ya, saya siapkan dulu!""Iya, Mbak."Dengan cekatan aku mengambil kertas minyak, memasukan nasi, oseng tempe dan juga telur dadar dalam satu wadah. Tidak lupa menutupnya dengan tali karet, kegiatan itu aku ulangi hingga lima bungkus nasi. Tidak lupa membuatkan es teh dalam plastik sebanyak lima bungkus. Mas Bayu dan juga Ibu mertuaku hanya menatapku sinis dari kejauhan tanpa berniat membantu sekalipun. Entahlah, terbuat dari apa hati mereka. Hingga para pelanggan pun kembali berdatangan. Aku sibuk mengurus mereka hingga tanpa aku sadari Mas Bayu dan juga Ibu mertua sudah tidak ada lagi di warung. ****Aku menghitung uang hasil penjualan nasi hari ini. Alhamdulilah, keuntungannya lumayan banyak. Aku melirik ke arah jam yang melingkar di dinding. Biasanya jam segini, sebentar lagi Mas Bayu pulang untuk sekedar makan siang. Mas Bayu bekerja disalah satu pabrik ternama di kota. Jarak antara tempat dia bekerja dengan rumah tidaklah jauh. Sehingga dia lebih suka memilih pulang ke rumah untuk makan siang daripada membawa bekal.Dengan cepat aku memasukan uang-uang itu ke dalam tas. Takut jika lelaki itu tahu uang tabunganku lumayan banyak, bisa-bisa lelaki itu juga menggunakannya untuk hal-hal yang tak kuketahui."Mbak Arum." Seseorang berteriak dari luar. Gegas aku keluar rumah, mencari tahu siapa yang memanggil namaku."Agus? Ngapain kamu disini? Jam berapa ini? Kok sudah ada di rumah? Kamu nggak kerja?" Aku bertanya pada Agus, kenapa laki-laki itu masih ada di rumah. Padahal jam masih menunjukan angka sebelas lebih. Agus tidak menjawab lantas dia masuk kedalam rumah begitu saja. Menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi, lalu menyandarkan kepalanya pada kursi."Iya, Mbak. Aku libur kerja hari ini. Kedatanganku kemari, mau minjem duit sama Mbak Arum." Kini lelaki itu memperbaiki duduknya. Lalu mengalihkan pandangannya ke arahku."Pinjem duit? Lho bukannya kamu sama Rini bekerja. Masih kurang?" "Ada apa ini?" Tiba-tiba Ibu keluar dari kamar, menyibakkan gorden pintu yang ada di ruang tamu. Lalu wanita itu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi."Ini lho, Bu. Agus mau pinjem duit sama Arum, padahal dia dan juga istrinya kan bekerja. Mereka mempunyai dua kali gaji. Tapi masih mau minjem duit, memangnya masih kurang?" "Kamu itu, Rum. Jadi kakak itu mbok ya ngayomi adiknya. Kalau adiknya minta tolong mbok ya dibantu. Kamu itu bersyukur, usaha kamu lancar. Masih dapet gaji dari suami. Adik sendiri minta tolong malah di hina.""Siapa yang menghina, Bu? Arum cuma tanya apa masih kurang lagian Agus mau minjem duit buat apa?" "Buat apa? Buat mencukupi kebutuhan dong, Arum. Kamu itu ya, kalau niat bantu ya bantu aja. Nggak usah ngurusi urusan orang lain. Lagian jadi kakak ipar itu jangan pelit-pelit."Ya Allah, siapa yang pelit? Uang tabunganku selama ini yang bawa Mas Bayu. Setiap hari aku nyiapin makan pagi hingga makan malam juga menggunakan uangku. Semua kebutuhan keluarga ini dari mulai sabun mandi, sabun cuci hingga pasta gigi aku yang beli. Wanita tua itu masih bicara soal pelit, Ya Tuhan.Selama ini aku diam saja, ketika Mas Bayu hanya memberi nafkah sebesar lima ratus ribu perbulan. Toh aku juga memiliki penghasilan, aku pikir sisa uang yang diberikan kepadaku dia tabung. Karena kami berencana membeli rumah. Namun pada kenyataannya tabungan kami tidak semakin bertambah justru malah habis tak tersisa. Dan kemana uang itu semua aku belum tahu kebenaran nya. Dan kini Ibu mertua masih bicara soal pelit? Baiklah Bu, akan aku tunjukan menantu pelit itu yang seperti apa? "Aku nggak ada duit, Gus. Maaf," ucapku berbohong.Membuat Ibu dan juga Agus saling melmpar pandangan. "Lho, bukannya setiap hari kamu jualan? Terus kemana saja uangnya, Rum?" tanya Ibu penasaran."Lho, buat kebutuhan dong, Bu. Sebaiknya Ibu nggak usah ngurusin urusan pribadiku deh. Kalau Ibu punya uang, kenapa nggak Ibu yang bantu Agus?" Kini wanita tua itu mencebik, mendengar ucapanku baru saja. Aku berniat pergi meninggalkan kedua manusia itu. Namun langkahku terhenti kala Ibu mertua kembali bertanya. "Lho kamu mau kemana, Rum? Ini Agus gimana?""Iya, Mbak. Aku butuh banget duit itu. Kalau ada sejuta deh, Mbak. Nanti kalau gajian aku ganti."Aku menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan."Gus, maaf. Mbak nggak punya duit sebanyak itu!" Terlanjur marah, meskipun ada, aku juga tidak akan pernah memberikan uang itu kepada mu, Gus.Aku bergegas pergi meninggalkan Agus dan juga Ibu. Entah kemana lagi Agus akan meminjam uang, sudah tidak aku pedulikan lagi. Kebaikanku selama ini sudah mereka salah artikan, kini terserah kalian mau mengatakan aku pelit atau apapun itu aku tidak peduli. Aku menstater motor matic lalu melaju menuju warung. Disana sudah terlihat beberapa pelanggan yang tengah menikmati makan di warung ku yang sederhana. Aku langsung bergegas menuju dapur, melihat makanan apa saja yang sudah habis. Berniat kembali memasak jika nanti pelanggan datang lagi. Tanganku begitu lihai menumis bumbu. Memasukan bahan makanan kedalam wajan lalu kembali mengaduknya. "Mbak, tadi Mas Agus kesini. Nyariin Mbak Arum," ucap salah satu karyawanku."Iya, tadi sudah ke rumah kok," jawabku apa adanya. Mataku terus saja fokus pada wajan yang ada dihadapanku. Terus mengaduknya agar bumbu tercampur rata. "Rum." Tiba-tiba suara bariton itu memanggilku dengan nada sedikit ketus. Aku lalu mengalihkan pandangan kepada lelaki itu yang nafasnya tersengal-sengal. "Mas Bayu? Kok ke warung? Makanannya sudah aku siapkan seperti biasa di meja makan." Sebesar apapun rasa kecewaku pada lelaki ini. Tetap saja, kewajibanku sebagai seorang istri tetap aku jalankan. Meskipun hanya sekedar menyiapkan makanan. "Aku kesini bukan mau makan, Arum." Nada bicara Mas Bayu sedikit meninggi, mungkin Ibu dan juga Agus sudah mengadu pada Mas Bayu hingga terlihat raut wajahnya penuh amarah. "Masalah Agus?""Iya, kenapa kamu tidak memberinya uang? Kan hanya sejuta!"BersambungPembalasan istri pelit uang sesungguhnyaBab 4"Sejuta itu banyak lho, Mas." Aku kembali mengaduk masakan. "Rum, uangmu pasti banyak. Setiap hari kamu jualan, pelanggannya sudah banyak. Setiap bulan aku juga selalu memberimu jatah. Kenapa Agus pinjem duit kamu nggak kasih? Benar apa kata Ibu, kamu kakak ipar pelit."Astagfirullahaladzim, aku beristigfar dalam hati. Ingin rasanya aku menumis lelaki itu di dalam wajan. "Mas, setiap hari kita makan kan? Pagi, siang juga sore. Pakaian kamu selalu rapi, bersih dan juga wangi. Kamu pikir semua itu nggak pake uang? Kamu pikir uang lima ratus ribu per bulan cukup? Kamu pikir listrik, air dan juga arisan dibayar pakai daun? Ha? Benar apa yang dikatakan Ibumu dan juga adikmu itu, aku pelit. Jadi jangan pernah pinjem uang lagi sama aku, Mas." "Ow ya, satu lagi. Aku bakal nyari tahu kemana uang tabungan kita selama ini. Kalau kamu memang nggak pelit, kenapa nggak kamu aja yang ngasih Agus sejuta?"Kini Mas Bayu terdiam, mendengar ucapanku. Le
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABab 5"Mas, aku pengen bicara sesuatu sama kamu." Aku duduk di sisi ranjang. Melihat Mas Bayu yang tengah berbaring di ranjang sembari bermain ponsel."Bicara apa, Rum? Bicara saja, aku mendengarkan kok!" jawab Mas Bayu, namun matanya masih fokus pada layar yang menyala. "Kalau boleh tahu, sebenarnya gajimu itu berapa? Setiap bulan Mas Bayu ngasih Arum cuma lima ratus ribu.""Kamu nggak percaya sama Mas?" Kini pandangan Mas Bayu beralih kepadaku. Menatap kedua manik matanya yang terlihat tidak suka mendengar pertanyaanku."Bukannya nggak percaya, Mas. Hanya saja, lima ratus ribu itu tidak cukup.""Tidak cukup? Bukannya selama ini aku berikan uang sebesar itu kamu tidak pernah marah, tidak pernah komplain apalagi meminta lebih. Terus kenapa sekarang bertanya? Apa kamu tidak ikhlas membantuku?""Bukannya tidak Ikhlas, Mas. Hanya saja sepertinya ada yang kamu tutup-tutupi dariku. Kamu pakai uang tabungan untuk membayar kontrakan Agus saja tidak b
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABab 6"Mas, aku pengen bicara sesuatu sama kamu." Aku duduk di sisi ranjang. Melihat Mas Bayu yang tengah berbaring di ranjang sembari bermain ponsel."Bicara apa, Rum? Bicara saja, aku mendengarkan kok!" jawab Mas Bayu, namun matanya masih fokus pada layar yang menyala. "Kalau boleh tahu, sebenarnya gajimu itu berapa? Setiap bulan Mas Bayu ngasih Arum cuma lima ratus ribu.""Kamu nggak percaya sama Mas?" Kini pandangan Mas Bayu beralih kepadaku. Menatap kedua manik matanya yang terlihat tidak suka mendengar pertanyaanku."Bukannya nggak percaya, Mas. Hanya saja, lima ratus ribu itu tidak cukup.""Tidak cukup? Bukannya selama ini aku berikan uang sebesar itu kamu tidak pernah marah, tidak pernah komplain apalagi meminta lebih. Terus kenapa sekarang bertanya? Apa kamu tidak ikhlas membantuku?""Bukannya tidak Ikhlas, Mas. Hanya saja sepertinya ada yang kamu tutup-tutupi dariku. Kamu pakai uang tabungan untuk membayar kontrakan Agus saja tidak b
Pembalasan istri pelit uang sesungguhnyaBab 7Sepertinya Ibu keceplosan bicara, karena terlihat dia gugup dan salah tingkah. Baiklah kalau begitu, urus saja kebutuhanmu sendiri, Mas. Dan tunggu pembalasan istri pelit yang sesungguhnya.Ibu pergi membawa soto satu rantang beserta gorengan. Pasti di rumah wanita itu akan kembali berteriak, karena beras untuk memasak sudah habis. Karena tadi aku juga sempat melihat ember tempat beras, sudah bersih tidak tersisa beras satu gelas pun. Biarlah, biarlah Ibu dan juga Mas Bayu berpikir dengan jernih. Bagaimana aku bekerja keras agar kebutuhan rumah tangga bisa selalu terpenuhi. Eh, malah ibu mertua selalu mengatakan aku pelit."Mbak Arum, punya Ibu mertua sama suami kek begitu kok Mbak Arum Ki masih bertahan?" tanya Siti sembari tangan mengaduk oseng-oseng. "Sit, pernikahan itu bukan main-main. Kalau nggak cocok cerai, kalau nggak suka pisah. Nggak begitu konsepnya, Siti." Aku berkata jujur, rumah tangga bukanlah sesuatu hal yang bisa diperm
pembalasan istri pelit yang sesungguhnyabab 8"Ada apa lagi, Bu?" "Arum, kamu itu benar-benar kelewatan ya!"****"Kelewatan bagaimana?" jawabku dengan santai."Kamu ini keterlaluan! Tadi gula sama kopi habis, sekarang beras juga habis kamu nggak beli? Gimana sih kamu itu sebagai istri? Harusnya kamu itu sadar, dan juga tahu diri. Kalau kebutuhan rumah habis, biasanya tanpa bicara kamu belanja sendiri. Kenapa justru hari ini kamu bertingkah aneh!""Aneh? Maksud Ibu apa?" Aku berlagak tidak tahu, meskipun memang aku sengaja tidak berbelanja. Karena tadi aku mendengar sendiri kata Ibu bahwa aku tidak becus mengatur keuangan. Jadi Mas Bayu memberikan sebagian besar gajinya pada Ibu karena dia pintar mengatur keuangan. Kalau begitu mulai sekarang aku tidak mau tahu lagi tentang kebutuhan rumah tangga. Aku hanya akan berbelanja dengan uang lima ratus ribu itu saja. Kalau uang itu sudah habis ya sudah, selesai."Sekarang kamu mau pergi kemana?" tanya Ibu menatap penampilanku dari ujung k
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYA.bab 9Ibu pemilik warung menghitung belanjaan Ibu mertua. "Jangan lupa pakai nota ya, Bu!""Siap, Bu Wati.""Astaga … kamu nggak salah hitung kan, Bu?" tanya Ibu mertua kepada pemilik warung. Kedua matanya melotot seakan hendak keluar dari tempatnya, ketika melihat deretan angka di kertas nota.Ibu mertua terlihat tidak percaya, ketika melihat jumlah uang yang harus dibayar saat berbelanja.Beras sepuluh kilogram, sabun mandi, kopi, serta gula setengah kilogram. Serta tidak lupa membeli sabun cuci dan juga shampo, Ibu harus mengeluarkan uang sebesar seratus lima puluh ribu. Padahal uang pemberian Mas Bayu hanya dua ratus ribu, sisa lima puluh ribu. Ibu mertua terlihat mendengus kesal, lalu membawa sekantong belanjaan dengan bibir mencebik."Bu, semua kebutuhan rumah itu mahal. Jadi kalau Ibu keluar uang banyak itu lumrah," ucapku pelan membuat Ibu semakin terlihat tidak menyukaiku. Mungkin dalam hatinya merutuki dirinya sendiri. *****"Tumbe
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYABAB 10"Lihat, Bayu. Lihat! Seperti itu tingkah istrimu! Benar-benar tidak punya sopan santun, blas." Terdengar Ibu terus nyerocos meskipun aku sudah tidak lagi berada diantara mereka. Aku langsung bergegas menuju kamar lalu menutup pintu rapat-rapat.****Aku duduk di sisi ranjang, air mataku akhirnya lolos juga. Setelah dengan sekuat tenaga aku menahannya agar tidak keluar. Mataku mulai basah, mendengar ucapan Ibu mertua baru saja, rasanya begitu sakit. Lelaki yang aku harap mau membelaku justru dia terkesan diam, entah diamnya itu takut menambah masalah atau memang aku yang tidak dianggap olehnya. Ah, rasanya begitu menyesal sudah menikah dengan lelaki itu.Astagfirullahaladzim, aku terus saja beristighfar dalam hati. Untuk sekarang penyesalan bukanlah jalan keluar untuk masalahku. CeklekTerdengar suara pintu dibuka seseorang, ternyata Mas Bayu. Lelaki itu memutar knop lalu kembali menutup pintu kamar. Terdengar suara kakinya yang berjalan
PEMBALASAN ISTRI PELIT YANG SESUNGGUHNYA.Bab 11Hari ini aku libur berjualan, mungkin besok juga masih libur. Aku sengaja bangun pagi setelah mendengar adzan subuh berkumandang. Meskipun tadi jam tiga aku sempat membuka mata. Aku segera bergegas mengambil wudhu lalu menunaikan sholat subuh. Aku membangunkan Mas Bayu agar dia juga segera menunaikan kewajibannya. Setelah itu aku pergi menuju dapur, menyalakan kompor berniat memasak air untuk menyeduh kopi. Terlihat Ibu mertua yang turut bangun lalu menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi. Aku pun hanya diam saja, tanpa mau menyapa terlebih dahulu. Kejadian tempo hari cukup membuatku malas berbicara dengan wanita tua itu. Aku membuka kulkas mencari tahu apa yang bisa aku masak untuk sarapan pagi. Ternyata tidak ada apa-apa, hanya ada satu butir telur dan satu papan tempe. Aku kembali menutup kulkas, setelah mengeluarkan tempe dan juga telur tersebut. Nasi kemarin masih ada, aku segera mengeluarkannya dari magic com. Ibu mertua hanya mem