Share

Bab 4

Pembalasan istri pelit uang sesungguhnya

Bab 4

"Sejuta itu banyak lho, Mas." Aku kembali mengaduk masakan. 

"Rum, uangmu pasti banyak. Setiap hari kamu jualan, pelanggannya sudah banyak. Setiap bulan aku juga selalu memberimu jatah. Kenapa Agus pinjem duit kamu nggak kasih? Benar apa kata Ibu, kamu kakak ipar pelit."

Astagfirullahaladzim, aku beristigfar dalam hati. Ingin rasanya aku menumis lelaki itu di dalam wajan. 

"Mas, setiap hari kita makan kan? Pagi, siang juga sore. Pakaian kamu selalu rapi, bersih dan juga wangi. Kamu pikir semua itu nggak pake uang? Kamu pikir uang lima ratus ribu per bulan cukup? Kamu pikir listrik, air dan juga arisan  dibayar pakai daun? Ha? Benar apa yang dikatakan Ibumu dan juga adikmu itu, aku pelit. Jadi jangan pernah pinjem uang lagi sama aku, Mas." 

"Ow ya, satu lagi. Aku bakal nyari tahu kemana uang tabungan kita selama ini. Kalau kamu memang nggak pelit, kenapa nggak kamu aja yang ngasih Agus sejuta?"

Kini Mas Bayu terdiam, mendengar ucapanku. Lelaki itu tidak lagi berkata sepatah katapun. Dia melengos, lalu pergi meninggalkan aku, aku  kembali melanjutkan aktivitas ku mengaduk masakan.

Mas Bayu itu sebenarnya baik, dia juga rajin menjalankan ibadah lima waktu. Namun sayang, dia terus saja dipengaruhi Ibu dengan berpikir negatif tentang aku. Padahal dulu lelaki itu berjanji akan selalu membahagiakan ku. Apakah dia lupa akan janji-janji manisnya dulu. Ah, jika sedang di Landa masalah seperti ini, rasanya aku rindu sama Emak di kampung. 

Aku mematikan kompor setelah masakanku matang. Sembari menunggu pelanggan, aku berselancar di dunia maya. Melihat-lihat status para tetangga di jejaring sosial membuatku hilang penat. Bagaimana tidak, mereka pamer seolah memiliki banyak uang dan juga harta meskipun pada kenyataannya tidak demikian adanya. Dasar, dunia tipu-tipu. Daripada mereka gunakan untuk pamer di sosial media mending digunakan untuk bekerja, seperti yang aku lakukan saat ini. Lihat, dua karyawan sudah aku miliki hasil dari perjuanganku selama ini. Usaha tidak akan mengkhianati hasil bukan. Jadi kalau hasilmu belum memuaskan  mungkin usahamu belum maksimal. 

"Mbak Arum, ini tanggal berapa? Bukannya hari ini Mbak Arum arisan ya?" tanya Siti, karyawan ku.

"Ow ya, sampai lupa aku. Aku tinggal dulu ya!"

"Iya, Mbak. Siti doakan semoga kali ini Mbak Arum dapet arisan."

"Amin, ya Allah." Aku mengenadahkan tangan. 

Aku bergegas pulang ke rumah, berniat mengambil buku tabungan yang aku simpan di rumah. Setibanya di rumah, tak kudapati Agus maupun Mas Bayu. Mungkin mereka sudah kembali bekerja, entah mendapatkan uang darimana Agus. Yang pasti aku tidak mau lagi mengeluarkan uang satu sen pun.

Glodak

Suara gaduh terdengar dari kamar Ibu mertua, aku yang tengah mencari buku tabungan pun. Sejenak berhenti, lalu menajamkan Indra pendengaranku. Suara gaduh itu sudah tidak lagi terdengar, membuatku kembali melanjutkan pencarian. 

Aku berniat pergi ke rumah Bu RT, karena arisan setiap bulan di adakan di rumah beliau. Langkahku berhenti tatkala aku berpapasan dengan Ibu mertua. Beliau keluar dari kamar dengan mengunakan gamis berwarna merah marun. Gamis yang tidak pernah aku lihat sebelumnya, sepertinya akhir-akhir ini Ibu mertua mengenakan gamis baru. Aroma minyak wangi menguar dari pakaian Ibu mertua, mengenakan hijab instan yang menjuntai. 

"Gamis baru ya, Bu?" Spontan aku bertanya ketika melihat Ibu mertua berjalan tepat di hadapanku. Tangannya ditarik keatas hingga meninggalkan suara gelang yang beradu.

Aku yakin beliau bermaksud pamer kepadaku. 

"Iya dong, baju baru, gelang baru sama cincin baru!" Jari jemari Ibu ia mainkan persis anak kecil yang tengah pamer pada temannya. Membuatku menggelengkan kepala lalu berjalan menuju motor.

"Arum, tunggu Ibu. Kamu ini iri ya lihat penampilan Ibu cetar membahana?"

"Siapa yang iri, Bu. Arum ini banyak pekerjaan, setelah setor arisan Arum mau kembali lagi ke warung."

"Halah, alesan. Ow ya. Tadi Agus sudah Ibu kasih uang, besok lagi kalau adikmu itu pinjem duit kamu kasih. Setidaknya dia dulu pernah bantu kamu pas lagi kere. Jadi kamu jangan sombong, mentang-mentang usaha kamu mulai lancar." Aku memutar bola mata dengan malas. Aku yakin pasti Ibu akan kembali mengungkit masalah tadi siang. 

Aku melajukan motor menuju rumah Bu RT. Ibu yang duduk di jok belakang, terus saja memperhatikan gelang maupun cincin yang melingkar di jari telunjuknya. Aku memperhatikan sikap ibu di balik spion. 

Tidak berapa lama sampai juga di rumah Bu RT. Sudah banyak orang yang hadir, langkah Ibu semakin dibuat-buat ketika banyak orang yang memperhatikannya.

"Cie, Bu Wati. Perhiasannya baru lagi, sekarang gonta-ganti gamis. Ah, aku jadi iri deh sama Bu Wati. Anak sulungnya bisa diandalkan," celetuk salah satu warga. Aku yang mendengar ucapan beliau langsung melirik ke arah Ibu mertua. Benar saja, beliau terlihat salah tingkah. Jika yang dimaksud mereka adalah Mas Bayu, jadi Ibu bisa membeli perhiasan maupun gamis itu karena mendapatkan uang dari Mas Bayu? Jadi selama ini Mas Bayu memberikan Ibu uang? Berapa banyak? Setahuku, dia juga harus membayar cicilan motor dan juga cicilan perabot rumah tangga. Sehingga pemberian Mas Bayu yang hanya lima ratus ribu itu aku tidak pernah komplain, karena aku tahu ada banyak cicilan yang harus dibayar oleh Mas Bayu. 

Tapi jika begini akhirnya, Sebenarnya gaji Mas Bayu itu berapa? Hingga aku tidak tahu, apakah aku terlalu sibuk berjualan hingga tidak tahu.

"Arum, kamu beruntung punya suami baik seperti Bayu. Dia masih memikirkan ibunya meskipun sudah menikah. Selalu ngasih uang sama Ibunya, tiap bulan pula!" Mendengar penuturan salah satu tetangga membuatku hanya membalas dengan senyuman. Sesekali aku melirik ke arah Ibu mertua, beliau terlihat salah tingkah.

 Ibu selalu minta uang kepadaku untuk membeli kebutuhan pribadinya. Dengan alasan tidak bekerja, aku sebagai menantu yang baik, selalu memberikan uang kepada Ibu setiap dia meminta. Dia juga selalu berbicara bahwa Bayu tidak pernah memberinya uang. Membuatku kerap kali memberikan beliau uang untuk sekedar pegangan. 

Namun sekarang, didepan banyak orang. Para tetangga memuji Mas Bayu yang begitu perhatian dan juga begitu menyayangi Ibu dengan memberinya uang setiap gajian. Berarti selama ini apa yang dikatakan Ibu kepada semuanya bohong?

Astaga, betapa bodohnya aku. Atau terlalu pintar Ibu bersandiwara. 

Baiklah, jika Mas Bayu selama ini memberikan Ibu uang tanpa sepengetahuan ku. Aku juga akan bersikap demikian. Kita lihat siapa diantara kita yang bergelar pelit.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
for you
makanya jadi istri itu yg pintar masa di kibulin laki ga tau bodoh kok pake banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status