pembalasan istri pelit yang sesungguhnya
bab 8"Ada apa lagi, Bu?" "Arum, kamu itu benar-benar kelewatan ya!"****"Kelewatan bagaimana?" jawabku dengan santai."Kamu ini keterlaluan! Tadi gula sama kopi habis, sekarang beras juga habis kamu nggak beli? Gimana sih kamu itu sebagai istri? Harusnya kamu itu sadar, dan juga tahu diri. Kalau kebutuhan rumah habis, biasanya tanpa bicara kamu belanja sendiri. Kenapa justru hari ini kamu bertingkah aneh!""Aneh? Maksud Ibu apa?" Aku berlagak tidak tahu, meskipun memang aku sengaja tidak berbelanja. Karena tadi aku mendengar sendiri kata Ibu bahwa aku tidak becus mengatur keuangan. Jadi Mas Bayu memberikan sebagian besar gajinya pada Ibu karena dia pintar mengatur keuangan. Kalau begitu mulai sekarang aku tidak mau tahu lagi tentang kebutuhan rumah tangga. Aku hanya akan berbelanja dengan uang lima ratus ribu itu saja. Kalau uang itu sudah habis ya sudah, selesai."Sekarang kamu mau pergi kemana?" tanya Ibu menatap penampilanku dari ujung kaki hingga ke ujung kepala."Arum mau ke pasar, Bu. Mau belanja kebutuhan warung, belanja sayuran buat dagang besok pagi. Memangnya ada apa?""Ya sudah kalau begitu, kamu sekalian beli beras dan juga kebutuhan lain. Jangan lupa kopi sama gula. Jangan sampai Bayu pulang ke rumah, belum ada kopi," titah Ibu mertua. Kini suaranya lebih pelan dan juga lebih sopan."Mana uangnya?" Tanganku menengadah, meminta lembaran uang untuk berbelanja. Tidak mungkin aku kembali mengeluarkan uang untuk kebutuhan mereka. "Kenapa kamu minta sama Ibu? Kamu pakai uang kamu dong! Kamu kan jualan, yang pasti uang kamu lebih banyak dari Ibu!"Ternyata kedatangan Ibu bukan mau membahas soal Rani dan juga Agus. Justru kedatangannya memintaku berbelanja kebutuhan rumah. Ow, tidak semudah itu verguso. Aku tidak akan mau lagi belanja kebutuhan rumah yang begitu banyak."Ow, tidak bisa, Bu. Uang ini sudah aku hitung pas dengan kebutuhan warung. Kebutuhan rumah tangga itu harus menggunakan uang Mas Bayu. Itu kan nafkah, tapi sayang Bu. Uang nafkah yang diberikan Mas Bayu sudah habis Minggu lalu. Bukannya Mas Bayu selalu memberi Ibu uang lebih?""Terus maksud kamu pakai uang yang dikasih Bayu pada Ibu?""Ya, mau nggak mau!" Aku melipat tangan di depan dada. Lalu membiarkan Ibu berpikir dengan sendirinya. Biar saja, biar wanita tua itu menyadari bahwa uang lima ratus ribu itu tidak cukup untuk satu bulan lamanya. "Ibu nggak mau! Pokoknya Ibu nggak mau tahu, kamu harus berbelanja kebutuhan rumah. Kamu kenapa sih, Rum? Kamu marah sama Ibu? Kenapa kamu bersikap aneh semenjak pulang arisan kemarin! Atau jangan-jangan kamu iri lagi sama Ibu. Karena Ibu bisa beli perhiasan dan juga gamis baru. Sedangkan kamu sendiri, tidak punya perhiasan bahkan tabungan pun tidak punya!""Bu, tabungan Arum sudah habis sama anak lelaki Ibu. Ibu tanya sama Mas Bayu, kemana uang tabungan Arum selama ini? Dan satu lagi, Bu. Uang lima juta sudah Agus gunakan untuk membayar kontrakan Agus, ibu tidak lupa kan kalau uang segitu adalah uang tabungan Arum?""Halah, alesan. ""Bu, Arum mau belanja dulu. Keburu siang, nanti panas.""Rum, kamu belanja dulu ya untuk hari ini. Nanti Ibu bicara sama Bayu biar uang kamu ditambah sama dia. Ya, Ibu tunggu.""Ibu Saraswati, kalau Ibu meminta Arum berbelanja seharusnya Ibu memberikan Arum uang. Jadi kalau Ibu nggak ngasih Arum uang mana bisa Arum belanja?" Aku meninggalkan Ibu yang masih diam mematung di pinggir jalan.Aku tetap pada pendirianku, aku tidak akan berbelanja sebelum Mas Bayu memberiku uang. Bukannya aku pelit ya? Jadi menantu pelit itu tidak akan mengeluarkan uang satu sen pun, kalian mengerti kan maksud aku?***Setelah hari semakin sore aku segera menutup warung, bergegas kembali pulang ke rumah sebelum Mas Bayu pulang. Hari ini, sengaja aku membawa makanan sisa jualan, karena ada sisa nasi dan juga oseng. Lumayan untuk menghemat pengeluaran. Ibu mertua terlihat mencebik, beliau duduk di teras dengan ekspresi wajah yang sudah bisa ditebak, ditekuk. Setelah kejadian siang tadi, aku tidak mau berbelanja menggunakan uang pribadiku hasil dari berjualan.Jam menunjukan angka lima tepat, setelah selesai menyapu halaman. Aku segera membersihkan diri, alias mandi.Huh hahAku menghela napas panjang, ketika mendapati sabun mandi juga habis, sudah menjadi kebiasaan dalam rumah tangga. Setiap kebutuhan pasti habisnya bersamaan. Membuatku dulu, pusing tujuh keliling. Tapi tidak sekarang, aku tetap tidak bergeming. Menikmati sabun batang yang tinggal dua ruas jari saja. Tidak masalah, aku terus saja memutar-mutar sabun kecil itu agar tetap berbusa. Meskipun wanginya sudah tidak tercium lagi.Terdengar suara deru motor milik Mas Bayu pulang dari bekerja. Tadi siang lelaki itu tidak terlihat pulang ke rumah. Berarti lelaki itu tadi tidak makan siang. Karena dia tidak terbiasa membawa bekal, jika dia lapar dia lebih suka pulang ke rumah. Aku pun segera menyelesaikan ritual mandi. Mengambil pakaian ganti lalu mengenakannya. Mas Bayu cukup lama tidak segera masuk ke kamar. Aku yakin Ibu pasti sudah mencegatnya terlebih dahulu. Aku pun keluar kamar, dengan handuk yang masih bertengger di kepala. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari sosok laki-laki yang bergelar suami. Namun tidak kudapati, aku kembali berjalan menuju teras mencari keberadaan Mas Bayu. Ternyata benar, dia sudah duduk di kursi teras bersama Ibu mertua. Entah apa yang mereka bicarakan, yang pasti ketika aku datang pembicaraan mereka berhenti. "Rum, kamu antar Ibu ke warung. Biar Ibu belanja kebutuhan dapur, kamu itu benar-benar kelewatan ya! Masak kamu nggak belanja kebutuhan dapur. Uang kamu nggak akan berkah kalau kamu pelit sama keluarga!" Lelaki itu mengambil beberapa lembar uang berwarna biru. Ah, ternyata uang yang ada di dompet Mas Bayu masih lumayan banyak. Tapi kenapa dia selalu memberiku uang tidak lebih dari lima ratus ribu. Jelas bukan siapa yang pelit diantara kami?"Arum tadi sudah berniat belanja lho, Mas. Tetapi Ibu tidak mau memberikan uang belanja, mana mungkin Arum bisa berbelanja tapi uang tidak ada!""Sudah … sudah, nggak perlu dibahas lagi. Aku capek, antar Ibu saja ke warung! Jangan lupa beli gula sama kopi."Aku segera masuk kedalam rumah, berniat menggantungkan handuk di kamar mandi. Gegas aku menyambar jilbab instan kemudian mengambil kunci motor yang tergantung di tembok. "Mari, Bu. Arum antar!" Aku segera menstater motor kemudian mengendarai motor tersebut dengan perlahan. Tidak lama sampai di warung milik tetangga. Ada beberapa Ibu-ibu yang tengah berbelanja, membuat Ibu terpaksa mengantri sedikit lama. "Eh, Bu Wati. Tumben belanja? Biasanya Mbak Arum sendiri yang belanja! Iya nggak Mbak Arum?"Aku hanya tersenyum tanpa berniat menjawab, ibu yang mendengar pertanyaan tersebut terlihat tidak suka. Dia langsung bergegas mengambil beberapa sabun dan juga kopi pada etalase. Kemudian meletakan barang tersebut diatas meja.Ibu pemilik warung menghitung belanjaan Ibu mertua. "Jangan lupa pakai nota ya, Bu!""Siap, Bu Wati.""Astaga … kamu nggak salah hitung kan, Bu?" tanya Ibu mertua kepada pemilik warung. Kedua matanya melotot seakan hendak keluar dari tempatnya, ketika melihat deretan angka di kertas nota.Bersambung ….Bayu bergegas pergi meninggalkan penjual Bakso. Mengambil tas dan juga perlengkapan lainnya. Tidak lupa Bayu menyerahkan uang untuk membayar Bakso. Setelah selesai. Bayu kembali menghampiri Arum."Tenang, Nak. Nanti Emak ke situ sama Bude Nanik. Kamu yang tenang ya. Dimana Bayu?""Ini, Mak. Dia sudah selesai memasukan perlengkapan aku di mobil.""Ya sudah bilang sama dia nggak usah khawatir. Kamu buat jalan santai saja. Jangan melakukan pekerjaan berat ya. Apalagi naik tangga, berbahaya. Jalan santai aja di lantai bawah. Keramik di tempatmu kan licin.""Iya, Mak." Setalah mengucapkan salam Arum menutup teleponnya. "Aku sudah bilang sama Emak. Dia mau ke sini sama Bude. Kebetulan Bude lagi di rumah.""Ya sudah kalau begitu. Gimana perut kamu masih sakit?""Udah nggak kok, Mas. Nanti teras mules hilang lagi mules lagi hilang lagi. Begitu saja terus.""Alhamdulilah, kalau begitu. Semoga nanti kamu dilancarkan ya sayang.""Permisi, baksonya Mas.""Oh, ya. Terima kasih banyak, Pak." Dua m
Kesempatan kedua dan akhir dari perjuangan"Sesuatu? Apa?"Sebuah kertas berwarna putih disodorkan Arum. "Apa ini?" "Buka aja, Mas," pinta Arum membuat Bayu tersenyum bersamaan dengan rasa penasaran.Perlahan tapi pasti lelaki itu membuka kertas itu. Dibacanya dengan seksama. Bayu tersenyum, lalu pandangannya tertuju pada Arum. ****"Ini beneran?" tanya Bayu. Hanya dijawab dengan anggukan kepala sang istri. Bayu memeluk erat tubuh Arum. Tatapannya tidak lepas pada sebuah surat. Surat yang menyatakan bahwa Arum bisa kembali hamil tentunya dengan pengawasan dokter kandungan. "Alhamdulilah, semoga nanti kedepannya kamu bisa secepatnya hamil lagi.""Amin, Mas." ****Satu tahun kemudian.Arum berjalan bergandengan dengan Khaila. Melewati orang-orang yang tengah berjalan menikmati indahnya sore hari. Bayu menatap wanita itu dari kejauhan. Menyungging senyum penuh kebahagiaan. Akhirnya apa yang ia tunggu selama ini tercapai juga. Arum terlihat begitu kesusahan berjalan. Kehamilan yang m
"Kamu tega, Mas," ucap Rani di sela-sela tangisnya. Dia menelan ludahnya dengan susah payah. Membenarkan posisi duduk menjadi memeluk lutut menangis dalam dekapan sendiri. Tidak ada orang tua, anak maupun siapapun yang melapangkan hati Rani.Rani berada di titik terendah. Dimana hati, jiwa dan raganya terluka. Sebuah pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan. Penyesalan teramat dalam selama hidupnya. ******"Kamu udah putusan, Gus?" tanya Bayu di sela-sela makan malam. Ya, hari ini Bayu bersama Khaila dan juga Arum makan malam bersama di rumah Bayu. Agus berubah. Satu persatu hutang-hutang yang pernah melilitnya ia bayar. Memberikan kehidupan yang layak sebagai seorang anak pada Khaila. Mencurahkan waktu dan juga kasih sayang. "Alhamdulilah sudah, Mas. Keputusan langsung dikirim ke lapas.""Rani gimana? Kamu nggak pernah jenguk dia? Sudah sebulan ini dia disana!" tanya Arum. Bagaimanapun Rani pernah menjadi bagian hidup Agus. Pernah memberi Khaila untuknya."Nggak lah, Mbak. Aku
KARMARani menikmati dinginnya lantai di dalam penjara. Sepi, sedih dan juga terkekang. Di tempat riuhnya banyak orang yang tengah berbincang, Rani menunduk, dia tidak berani menatap orang-orang yang ada di sekelilingnya. Rani berharap mukjizat akan datang. Dia percaya Arum akan datang dan memintanya pulang. Namun, satu hari dua hari hingga satu bulan lamanya tidak jua ia dapati sosok yang dinanti. "Mbak, Rani minta maaf, Mbak. Rani khilaf. Rani tidak bermaksud mencelakai Mbak dan juga janin yang ada di kandungan Mbak. Aku harap Mbak Arum mau memaafkan aku. Aku harap Mbak Arum mau memberiku kesempatan. Huhuhu …." "Kesempatan kamu bilang? Terlambat! Kamu pantas di penjara, Rani!" ucap Arum tidak peduli. Sorot matanya tajam penuh kebencian. "Tapi Mbak. Khaila bagaimana? Bagaimana dengan anakku, Mbak? Dia masih butuh aku, masih butuh kasih sayang seorang Ibu!""Aku akan menjaga Khaila. Jauh lebih baik daripada kamu. Sebelum kamu bertindak seharusnya kamu lebih dulu berpikir. Hidup
Ternyata Ratih tengah diuji. Dia kehilangan banyak uang karena suaminya tertipu investasi bodong. Terjawab sudah kenapa beberapa waktu lalu dia meng gadai rumah pada Hendra, suami Nanik.Kini Ratih juga bekerja di warung Arum. Namun hari ini dia tidak bisa datang ke rumah Arum dikarenakan ada kepentingan di sekolah putranya. Khaila terlihat duduk dipangkuan Agus, lelaki itu tengah mengajukan perceraian kepada pengadilan agama. Dia memutuskan berpisah dengan Rani. Agus kini memulai hidup baru. Bekerja menjadi salah satu karyawan Arum tentunya. Berjalan dari bawah bersama sang putri. Dimana saat ini di jaga oleh Arum. Khaila kini sudah bersekolah. Meskipun masih taman kanak-kanak."Bagaimana, Yu. Kamu di sana sehat-sehat kan?" tanya Marni pandangannya tidak lepas pada Bayu. Arum yang tengah menuangkan minuman hangat lantas melirik sekilas kearah ibunya. "Alhamdulilah, Mak. Sehat, banyak doa yang Bayu panjatkan di sana. Untuk almarhum Ibu dan juga untuk Arum." Bayu menatap Marni namun
"Jawab, Agus. Apakah surat itu ada ditanganmu!" Bowo kembali bertanya.Agus diam. Dia menatap Khaila kemudian pandangannya beralih kepada Bowo lalu Ranti.****"Ada pada saya, Pak!""Ada pada kamu?! Lantas kenapa kamu tidak memberikan kepada Rani? Kamu tahu kan dia di tempat kedua orang tuanya.""Saya-""Bapak kecewa sama kamu!""Hu … hu … papa!" Teriak Khaila membuyarkan pandangan Agus yang mulai mengabur karena airmatanya yang hampir jatuh."Kamu anggap apa anakku Rani? Dia sudah menemani kamu dari nol. Dan sekarang kau campakkan dia! Membiarkan dia dibawa polisi dengan paksa?""Rani kelewatan, Pak. Saya sudah bicara kepada Mas Bayu dan juga Mbak Arum. Kata mereka Rani mendorong Mbak Arum hingga terjatuh!""Lantas kamu diam saja!""Ini menyangkut nyawa, Pak. Saya juga sedih tapi Rani harus mempertanggung jawabkan perbuatannya!"Plak"Pergi dari rumah ini! Bawa Khaila bersamamu!" Tamparan itu mendarat di pipi Agus. Khaila berteriak histeris. Lelaki paruh Baya itu mengepalkan tangan.