Share

Bab 7

Pembalasan istri pelit uang sesungguhnya

Bab 7

Sepertinya Ibu keceplosan bicara, karena terlihat dia gugup dan salah tingkah. Baiklah kalau begitu, urus saja kebutuhanmu sendiri, Mas. Dan tunggu pembalasan istri pelit yang sesungguhnya.

Ibu pergi membawa soto satu rantang beserta gorengan. Pasti di rumah wanita itu akan kembali berteriak, karena beras untuk memasak sudah habis. Karena tadi aku juga sempat melihat ember tempat beras, sudah bersih tidak tersisa beras satu gelas pun. Biarlah, biarlah Ibu dan juga Mas Bayu berpikir dengan jernih. Bagaimana aku bekerja keras agar kebutuhan rumah tangga bisa selalu terpenuhi. Eh, malah ibu mertua selalu mengatakan aku pelit.

"Mbak Arum, punya Ibu mertua sama suami kek begitu kok Mbak Arum Ki masih bertahan?" tanya Siti sembari tangan mengaduk oseng-oseng. 

"Sit, pernikahan itu bukan main-main. Kalau nggak cocok cerai, kalau nggak suka pisah. Nggak begitu konsepnya, Siti." Aku berkata jujur, rumah tangga bukanlah sesuatu hal yang bisa dipermainkan. Karena pernikahan adalah sebuah ikatan janji suci kita terhadap Tuhan. Hanya saja terkadang kesabaranku habis untuk menghadapi dua manusia seperti mereka. 

"Sabar, Mbak Arum. Semoga Mas Bayu dan juga Ibu Wati segera disadarkan. Semoga mereka segera taubat, biar nggak seenaknya sendiri sama Mbak Arum. Kadang aku tu gemes lihat Mas Bayu yang diam aja ketika Ibunya ngatain Mbak Arum pelit. Padahal aku lihat sendiri lho, kalau Mbak Arum ini setiap belanja nggak main-main. Semua kebutuhan rumah tangga dia yang memenuhi."

"Tapi tidak untuk sekarang, Sit. Aku harus lebih tegas kepada mereka. Mulai sekarang aku akan pelit seperti yang Ibu katakan selama ini. Biar mereka tahu rasanya punya menantu pelit kek aku!"

"Benar, Mbak Arum. Mbak Arum harus lebih tegas, biar nggak diinjak-injak oleh mereka. Mentang-mentang Mbak Arum diem, mereka seenaknya sendiri. Ya nggak, Mbak Tini?" Kini pandangan Siti beralih kepada Tini.  Aku yang sedang menyiapkan semua makanan pada etalase hanya bisa tersenyum geli mendengar dukungan dari para karyawan ku. Mereka ini sudah paham betul watak Ibu mertua. Tidak jarang mereka melihat dan juga mendengar aku selalu di cap pelit oleh mertua. Jadi jika mereka ikut greget melihat tingkah mertua, wajar adanya. 

"Semua sudah selesai belum, sit. Sudah jam setengah enam. Aku buka ya warungnya?" Aku membuka tulisan tutup menjadi buka. Menyiapkan kursi dan juga meja. Menyapu lalu mengelap meja. Sedangkan kedua karyawan ku masih menyiapkan beberapa menu yang belum matang. 

Satu persatu pelanggan mulai berdatangan. Ada yang sarapan soto ada juga yang hanya membungkus makanan untuk dibawa pulang. 

Terlihat dari kejauhan Agus dan juga istrinya. Mereka datang dengan pakaian rapi hendak berangkat kerja. 

"Pagi, Mbak Arum. Aku mau sarapan di sini ya. Soto dua sama minuman teh hangat dua." Aku pun menyiapkan pesanan kedua iparku ini. Biasa, dia makan setiap pagi di sini tanpa mau membayar. Dengan dalil masih saudara ipar, dulu aku diam saja. Tapi tidak sekarang, silahkan ambil sesuka kalian tapi nanti aku akan berikan catatan berapa yang harus dibayar. Mulai pagi ini dan seterusnya siapapun yang makan di warung, harus bayar, tanpa terkecuali.

"Makasih, ya Mbak. Aku berangkat kerja dulu!" ucap Agus sembari mengajak Rani melangkah pergi.

"Eit, mau kemana?" tanyaku kepada keduanya. Mereka saling melempar pandangan, mungkin bertanya-tanya apa yang aku lakukan.

"Bayar! Mana uangnya, kalian kan sudah makan. Jadi bayar dulu baru pergi!"

"Lho? Kok bayar sih, Mbak. Biasanya kan nggak bayar?" tutur Rani membuatku ingin tertawa.

"Itu dulu, mulai sekarang kalian kalau makan di warung ku harus bayar. Semua yang ada di dunia ini nggak gratis, termasuk makan di warung ku ini."

"Ya Allah, Mbak Arum. Kamu lupa siapa yang ngasih kamu modal biar usaha seperti ini? Setelah usaha Mbak Arum lancar, malah jadi seperti ini? Mbak Arum itu Seperti kacang lupa kulitnya ya!"

"Jaga bicaramu, Rani. Kamu juga ingat, suamiku sudah membayar kontrakan untuk kalian sebesar lima juta? Ingat nggak? Kalian kembalikan tidak uang tersebut? Dan inget ya Rani, aku sudah mengembalikan uang yang digunakan untuk modal usaha ini. Malah Mbak lebihkan, jadi sebaiknya kalian nggak usah ungkit-ungkit masalah itu." Terlihat bibir Rani mencebik ketika aku berkata demikian.

"Mbak Arum ini memang pelit ya! Malu, Mbak di lihat orang-orang. Nagih bayaran pada saudara sendiri!" Kini giliran Agus, berbicara kata malu dihadapanku.

"Sebenarnya yang seharusnya malu itu kalian, kalian berpenampilan seperti pekerja kantoran. Namun cuma bayar tiga puluh ribu saja nggak mau! Nggak malu!" Kini Agus dan juga Rani terlihat tidak suka mendengar ucapanku. Biar saja, biar mereka sadar bahwa warungku ini bukan tempat makan gratis untuk mereka yang sok kaya namun malas bayar.

"Halah, cuma tiga puluh ribu? Bayar, Mas. Jangan bikin aku malu, lihat semua orang sudah ngeliatin kita!" Agus segera merogoh sakunya mencari uang dengan lembaran puluhan berjumlah tiga. Lalu melemparnya tepat di wajahku.

Astagfirullahaladzim, kelakuan mereka benar-benar nggak sopan. Aku segera mengambil lembaran uang itu yang jatuh dilantai. 

Lalu membersihkan piring dan juga gelas bekas para pelanggan. Membawanya ke dalam cucian lalu aku duduk di meja kasir. Pagi ini pagi yang begitu melelahkan harus menghadapi manusia-manusia yang kelewat batas. 

Aku yakin bahwa kedua iparku pasti akan mengadu pada Mas Bayu. Dan aku harus bersiap jika lelaki itu datang sewaktu-waktu.

Jam menunjukan angka delapan. Sosok yang bergelar suami itu tidak nampak di warung, mungkin Mas Bayu sudah berangkat bekerja tanpa datang terlebih dahulu ke warung. Syukurlah, semoga tidak ada huru hara lagi setelah ini.

Aku menghitung uang yang lumayan banyak, alhamdulilah tidak berhenti aku mengucap syukur karena pagi ini daganganku lumayan laris.

Aku mencatat sayur apa yang akan dibeli, kebutuhan warung apa saja yang sudah habis. Tidak lupa aku membawa buku tabungan, sengaja aku menyimpan uang pada rekening sendiri yang beberapa hari lalu sudah aku buat tentunya tanpa sepengetahuan Mas Bayu.

"Sit, aku kepasar dulu. Belanja buat dagangan besok. Kalian tunggu warung ya?"

"Siap, Mbak."

"Ati-ati, Mbak Arum," titah Siti dan juga Tini. Meskipun mereka ini bukan saudara namun perhatian dan juga pengertian mereka melebihi saudara kandung. Aku bersyukur memiliki karyawan yang baik seperti mereka. 

Aku baru saja naik pada jok motor matic, hendak menstater motor namun segera aku urungkan ketika melihat Ibu mertua sudah kembali datang ke warung. Tentunya dengan wajah masam. Aku tahu, pasti Rani dan juga Agus sudah mengadu pada Ibu. Ah, kita lihat saja apa yang akan terjadi. Pastinya huru-hara akan kembali bergema.

"Ada apa lagi, Bu?" 

"Arum, kamu itu benar-benar kelewatan ya!"

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status