Share

Bab 2. Menguras isi kulkas

Betapa terkejutnya Devi melihat pemandangan yang membuat emosinya langsung terpancing, kulkas yang sebelumnya terisi penuh, kini kosong melompong.

Giginya bergemeletuk, tangannya mengepal.

 Dia langsung membanting pintu kulkasnya dengan keras sehingga menimbulkan suara kaca berdentingan. Botol-botol di dalam saling bertabrakan. Dan masih belum puas juga, Devi menendang kulkasnya hingga mundur beberapa centi.

Hasan hanya melihat pasrah amukan istrinya, dan dia sudah menyiapkan mental untuk menahan cacian yang akan menghujaminya.

Devi langsung berjalan ke arah dapur. Melihat stok perbawangannya juga ludes. Dia tak segan mengambil tempat bawangnya dan melemparkan ke arah Hasan. Emosinya masih belum mereda, dia mengambilnya alat-alat masak dan langsung melemparnya.

Dengan sigap Hasan mencoba menghindari namun lemparan yang tak ada hentinya membuat dia kewalahan dan nahas, pelipisnya terkena gagang spatula dan menimbulkan sakit yang berbekas.

"Mas! Aku capek kalo begini terus! Aku beli bahan makanan itu hasil kerja aku, Mas! Kamu bisa gak sih ngomong sama Ibumu itu!"

"Dev, sabar ya! Besok Mas akan berbicara sama Ibu," ucapnya pelan mendekati Devi.

Devi tak habis pikir, kenapa Ibu Mertua terlalu rakus mengambil haknya, sisa gaji Mas Hasan yang sudah terpotong untuk bayar cicilan dikasih Ibunya, sampe ia tak diberi jatah nafkah. Alhasil dia harus banting tulang mencari nafkah.

Plak!

Dengan lancar tangannya menampar pipinya Hasan, setidaknya ini mengurangi sedikit perasaan sakit hatinya.

Hasan yang mendapat tamparan langsung terlonjak kaget. Dan tangannya langsung memegangi pipinya yang merah, jiwanya seakan-akan meronta ingin membalas.

Harga dirinya jatuh saat itu juga, dia merasa tidak pantas istrinya menampar. Seharusnya yang pantas adalah dia, Karena dia adalah kepala keluarga, namun sekarang dia tak mampu melakukan apa-apa, ibunya yang selalu meminta gajinya di awal bulan. Membuatnya dipandang sebelah mata oleh Istrinya sendiri. Karena kehidupannya numpang sama Devi.

*** 

Esoknya mereka tampak saling mendiamkan satu sama lain, dan payahnya, Hasan tak memegang uang sepeserpun. 

Terdengar notifikasi Pesan masuk di ponselnya.

[Bro, besok malam datang ya di acara ulang tahun gue! Istri lo juga diajak!]

Dia membaca perlahan namun penuh dengan penekanan, diundang dalam keadaan gak punya uang untuk membeli kado. Mencoba memutar otak dan akhirnya menemukan jalan keluar. Dia mengambil ponselnya lagi, dan mengetik sesuatu untuk mengirimi pesan ke salah satu teman kantornya.

[Ris, besok aku pinjami satu juta ya, urgent. Tolong ya!] Begitu isi pesannya dan langsung centang biru.

Sedangkan di seberang sana sedang mengetik sesuatu, hati Hasan tak karuan. Menunggu sambil berharap.

[Ya, besok tak bawakan.]

Balasan singkat tapi membuat Hasan tak perlu risau untuk ke depannya.

 Dia beranjak memberanikan diri untuk berbicara sama Devi.

"Dev, besok temenin Mas, ya! Ke acara ulang tahun temannya Mas," ucapnya sembari mengelus punggungnya Devi, Hasan sepertinya sudah terlatih untuk merayu Devi.

"Hm," jawabnya datar.

"Makasih, Sayang," ucapnya sambil mengecup pipi kiri. Devi 

"Owh ya, Dev. Boleh pinjam uangmu gak? Seratus ribu saja, buat jaga-jaga nanti kalo bensin habis," tanyanya sambil memegangi tangan Devi. Memainkan kedua jarinya, menyapu dari atas ke bawah dengan sentilan jemari. Membuat bulu kuduk Devi berdiri.

Hasan merupakan seseorang yang berperawakan tinggi, badannya tegap, wajah persegi dan berhidung mancung membuatnya terlihat seperti seorang model. Pantas saja bila Devi rela menjadi tulang punggung keluarganya, karna gaji suaminya buat nyicil mobil selebihnya dikasihkan ke ibunya. Dia dimabuk cinta dengan ketampanannya, logika ingin pergi darinya, tapi hati terus melekat pada suaminya.

"Ya," jawabnya sambil beranjak mengambil dompet.

Meskipun dia garang tapi di hatinya masih ada rasa sayang.

***

Di pagi harinya,

 Devi tampak bermalas-malasan. Dia sengaja tidak memasak untuk suaminya. Biarlah suaminya kelaparan. 

Emosi yang kemarin masih belum hilang semua.

Dan hari ini dia ijin libur kerja karena nanti mau memanjakan dirinya ke salon.

Hasan keluar dari kamarnya dan sudah terlihat rapi dengan setelan kemeja biru laut sama dasi berwarna navi. Dia langsung berjalan ke meja makan, dia duduk manis dan tidak lupa mengecup pipi istrinya, dia masih tidak menyadari di balik tudung sajinya itu kosong.

 Hasan langsung mengangkat tudung sajinya yang bersampul renda. Dan tak melihat satu pun masakan.

"Loh, Dev. Kamu kok gak masak? Mas sudah laper, Dev. Mana lagi jamnya udah mepet lagi," ucapnya sambil melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan angka 7:50 WIB.

"Seminggu ke depan Aku gak akan masak, Mas! Duit belanja sudah habis dibelanjakan kemarin," terangnya sambil mengikir kuku jari tangannya.

"Yah kok gitu sih, Dev!"  

"Lagian kenapa kamu ijinin Ibumu menguras stok bahan makanan kemarin, susah kan kalo begini." 

"Jangan pelit gitu to, Dev. Dia juga Ibumu!"

"Sampe saat ini, aku tak pernah menganggap Ibumu itu Ibuku, dia hanyalah benalu di mataku."

"Dev! Jaga bicaramu! Semakin lama aku ngomong sama kamu, membuat tensiku semakin naik," ucapnya sambil berdiri mengambil kontak mobilnya.

"Nanti sore, kamu harus sudah siap!" suruhnya sambil berlalu.

Setelah kepergian Hasan, Devi berdiri untuk 

siap-siap ke salon sama membeli sarapan untuknya.

Saat ingin mandi terdengar suara ketokan pintu dari luar. Terpaksa ia menanggalkan kembali handuknya di atas kasur. Kemudian dia berjalan ke arah pintu, saat membuka pintunya terlihat Ibu Mertua–Ibu Endang–sudah berkacak pinggang di depannya.

Devi dengan malas kembali ke dalam rumah tanpa menyapanya dan membiarkan Ibu Endang masuk ke dalam rumah.

Devi duduk di kursi sambil menyilangkan kakinya. Sudah tak ada rasa hormat untuk Ibu Endang. 

Dia mengambil toples yang berisi permen karet dan mengupasnya, memasukkan ke dalam mulut dan memainkannya sambil menatap Ibu Endang.

Tatapannya benar memancing Ibu Endang, terlihat dari tangannya yang mengepal memperlihatkan urat urat yang menonjol lebih daripada kulitnya.

"Kamu benar-benar mantu biad*b!" bentaknya sambil memajukan jari telunjuknya menunjuk ke arah Devi.

"Hasan emang suamiku, tapi aku bukan mantumu!" jawabnya menantang. Dia sudah hilang empati sama Ibu mertua semenjak gaji suami diminta semua dengan dalih biar Devi tidak memanfaatkan anaknya, masih muda harusnya bekerja.

Padahal rumah yang ditempati saat ini adalah rumah pemberian orang tua Devi. Awal menikah Hasan membawa baju yang sedikit beserta utang-utangnya yang menumpuk.

Devi mengalah dan membantu bekerja untuk melunasi hutang suaminya termasuk mahar yang dulu diberikan padanya.

Dan sekarang semua menjadi bumerang untuk Hasan, karena saat Devi merasa tersakiti oleh ulahnya. Maka tak segan Devi akan mengungkit semua uang yang telah ia keluarkan untuk suaminya.

Next bab selanjutnya 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status