Ibu Endang yang mendengar itupun emosinya memuncak. Ingin sekali menjambak rambut mantunya yang tergerai lurus biar lebih berantakan. Percuma cantik bila tak ada rasa hormat.
Dengan gerakan cepat Ibu Endang berhasil menarik rambut Devi. Menjambaknya begitu kuat, hingga tubuh Devi terpaksa mengikuti tarikannya agar meminimalisir rasa sakit.
Devi menahan tangan Ibu Endang dengan tangan kirinya. Kakinya ikut mangkrak menendang pahanya Bu Endang hingga membuat sedikit tersungkur ke belakang.
Masih tak terima, ibu Endang maju hendak mencakar tapi langsung ditepis kasar oleh Devi. Dia berhenti melawan dan hendak menyudahi perkelahian itu. Karena ia sadar dia bisa saja mengalahkan Ibu Endang karena masa sekolah dia sudah mahir di dunia persilatan.
Masih saja Bu Endang ingin melawan dengan mendorong-dorong tubuhnya Devi. Tubuhnya yang berlemak membuat dia cepat ngos-ngosan. Cukup dengan hentakan, Ibu Endang tersungkur.
Devi langsung berlalu meninggalkan Bu Endang yang masih memperbaiki nafasnya dan menyeret tubuhnya agar lebih dekat tembok. Dia menyenderkan tubuhnya dan mulutnya tak berhenti mengucap sumpah serapah untuk Devi. Sayangnya Devi sudah berlalu dan tak mengindahkan suaranya. Dan langsung mengambil handuk untuk mandi. Dari tadi dia juga belum sarapan ditambah suruh olahraga paksa membuat perutnya semakin melilit.
Saat selesai mandi, ia melirik ke arah Bu Endang. Nafasnya yang masih ngos-ngosan membuat Devi tersenyum miring. Ada kebahagiaan tersendiri bila dirinya bisa membuat orang kesusahan. Entah darimana asalnya, tapi Devi sudah menyadarinya sejak kecil. Sifatnya yang tak mempunyai rasa iba membuat dia dijauhi temannya masa sekolah. Hanya beberapa yang mau berteman dengannya.
Namun, dia tidak memperdulikan itu, dia hanya butuh berpura-pura bila keluarganya sedang berduka.
Devi mengambil baju di almari depan ranjangnya. Memilah-milah satu per satu akhirnya menemukan pakaian yang pas, kaos Hitam lengan pendek dan celana jins sobek sobek panjangnya di atas mata kaki. Tubuhnya seperti gitar spanyol membuatnya memakai baju apapun cocok, dengan tinggi 170 cm, kulit putih, rambut Hitam lebat dan alis yang hampir menyatu membuatnya terlihat sempurna.
Teringat pertama kali ia bertemu dengan Hasan, saat itu ia lagi nongkrong di Kedai kopi, seorang diri untuk mencari hiburan.
Setiap hari pula Hasan dan teman groupnya pasti ngamen di Kedai kopi itu dan Hasan menjadi gitaris di sana. Saat asyiknya menyesap kopi, hujan turun begitu derasnya.
Hingga ia tidak bisa beranjak dari Kedai kopi. Hari semakin malam, para pengunjung pun sudah pergi satu per satu. Hanya menyisakan Devi.
Hasan pun turun dari panggungnya dan menghampiri Devi, ia mencoba mendekati dengan membawa satu paper cup.
"Bolehkah Aku ikut bergabung denganmu?" tawarnya masih berdiri di belakang kursi.
Devi gelagapan dan tanpa berpikir ia mengangguk, membiarkan Hasan duduk dengan semeja dengannya.
"Hasan." Ia memperkenalkan dirinya sendiri dengan meletakkan paper cup itu ke meja.
"Um, saya Devi, lengkapnya Devi mareeta," jawabnya tanpa menatap ke arah Hasan. Tangannya meremas ujung bajunya. Ada perasaan nervous menghampiri dirinya.
"Cantik sekali. Secantik orangnya," puji Hasan menatap tanpa berkedip ke arah Devi.
Senyumnya mengembang saat menyadari perubahan rona wajah gadis yang di depannya. Semu merah di pipi.
"Kenapa sendirian? Aku sering memperhatikan, Kamu selalu datang sendiri ke sini."
"Aku hanya ingin menyendiri."
"Owh. Kamu tinggal di mana?"
"Di atas bumi di bawah langit," jawab Devi masih tak mau menatapnya.
Hasan tersenyum kecil. Ia pun kemudian menawarkan untuk mengantarkan pulang.
Devi pun menyetujui tawarannya karena memang tidak ada pilihan.
Akhirnya mereka bergegas meninggalkan kafe, saat itu Hasan mengendarai sepeda motor matic. Mereka nekat menerabas hujan tanpa memakai jas hujan. Dikarenakan jarak rumah Devi tidak terlalu jauh.
Semenjak itulah mereka manjadi akrab dan bertukar nomor. Yang pada akhirnya mereka memutuskan untuk menikah.
Saat ia tersentak dalam lamunannya. Ia menghela napasnya panjang dan n Devi gak habis fikir, pernikahan yang seharusnya lebih harmonis seperti keluarga lainnya, tak sesuai yang ada dipikirannya. Acap kali mereka selalu bertengkar. Tapi setelahnya berbaikan kembali.
Devi pun bergegas mengambil kunci motor yang berada di atas lemari, setelah mendapatkan kuncinya, dia berlalu meninggalkan Ibu Endang begitu saja tanpa berkata sepatah katapun.
Devi menstater motornya yang tersimpan rapi di garasi. Ia memanaskan sebentar dan langsung tancap gas menuju rumah makan.
Sekian menit berlalu, akhirnya yang dituju pun sudah di depan mata. Dia memarkirkan motornya di depan rumah masakan Padang. Parkiran begitu penuh berjubel.
Devi melihat sekiling untuk mencari tukang parkir, namun nihil, tukang parkirnya tak kelihatan batang hidungnya, sebelumnya pasti ada tukang parkir jadi dia tidak kesusahan menempatkan motornya meskipun parkiran penuh.
Alhasil Devi turun dari motor, dan mulai merapikan motor satu dengan yang lainnya, agar motornya bisa masuk di antaranya.
Setelah sekian menit dengan peluh yang menetes dari anak rambut, membasahi pipinya yang merona karena terpapar matahari yang begitu menyengat. Akhirnya ada peluang untuk memasukkan motor ke parkiran.
Ia mendorong motornya dengan sangat pelan karena takut akan menyenggol motor lainnya, tentu saja itu semakin merepotkan.
setelah motornya terparkir secara benar. Ia pun menegakkan punggungnya dan hendak menuju ke rumah makan dengan senyuman mengembang.
Belum sempat melangkah ia melihat sepasang kekasih keluar dari Rumah makan, dan dengan mudahnya mengeluarkan motor karena sudah tertata rapi yang di buat Devi, Devi melihat memandangi dengan perasaan emosi, tak ikhlas. Senyumannya hilang begitu saja dan langsung berubah dengan tatapan melotot.
Bagaimana tidak emosi, ia melihat si lelaki bersendau gurau dengan pacarnya tanpa kesusahan membuat celah agar motornya bisa keluar.
Ini langsung mudahnya keluar begitu saja.
Spontan dia menendang motornya sendiri sambil mengumpat. 'damn it'
Tendangan yang dibuatnya menimbulkan suara kegaduhan, orang-orang disekitar otomatis langsung menoleh ke arah Devi.
Untuk mendamaikan suasana dan menjaga harga dirinya dia mengangkat tangannya isyarat menandakan tidak apa-apa sambil berucap "aku tersandung tadi," sambil pura-pura menepuk kaki panjangnya.
yang langsung di sambut 'oh ria' dan mereka melanjutkan aktivitas seperti sebelumnya.
Devi menarik napas dan berjalan masuk ke rumah Padang, memesan es jeruk, juga nasi yang rendang daging sapi.
Dia berlalu mencari tempat duduk yang kosong, mengintari pandangan. Akhirnya menemukan di posisi pojok.
Setelah lumayan menunggu agak lama, pelayan datang membawa pesanannya, menaruhnya di meja yang langsung disambut antusias. Devi begitu bersemangat, memandangi piring yang berisi rendang daging, ditemani dengan rebusan daun singkong dan sambal hijau dengan siraman kaldu di atas nasi yang masih mengeluarkan uap panasnya, membuat Devi menelan Slavinanya.
Tak mau menunggu lama Devi langsung mengambil garpu dan sendok, menarik piringnya diposisi yang pas agar tidak berjauhan dengan dagunya, menyantapnya Seperti kuli bangunan yang habis bekerja. Tak menunggu waktu yang lama nasinya ludes tak bersisa.
Dan 'eeegghh' suara kodoknya keluar. Ia meraih gelas dan meminumnya.
Devi mengistirahatkan perutnya yang sudah terasa penuh sambil memainkan gawainya. Setelah serasa cukup, Devi bergegas ke arah kasir untuk membayar pesanan tadi.
Dia berjalan sambil memainkan gawainya ke arah parkiran, melihat motornya yang berada di tengah membuat otaknya kembali mendidih. Memang motornya keadaan masih sama seperti tadi, bedanya parkirannya kembali tidak beraturan, untuk masuk mengambil motor dengan badannya pun sudah tidak ada celah, mungkin pelanggan yang datang setelahnya yang memenuhi parkiran.
Tak mau ambil pusing, Devi memesan ojek online untuk mengantarnya ke salon langganannya, membiarkan motornya di parkiran. Dan akan mengambilnya sepulang dari salon nanti.
Tidak menunggu lama tukang ojek online sudah datang, melambaikan tangannya ke arah Devi. Devi pun langsung menghampiri dan naik di atas motornya, dan tanpa ba-bi-bu motornya langsung melesat, dan membuat Devi sedikit terkejut. Dan otomatis memukul pundak si tukang ojek.
"Pelan dong, Bang!" teriak Devi dari belakang.
"Maaf, tadi saya melihat mantan saya di sana, Neng. Aku malu bila sampai ketahuan sama dia," ucapnya sambil memelankan sepeda motornya.
"Kenapa harus malu, jadi tukang ojek juga gak jelek-jelek amat," jawab Devi mencoba membelanya.
"Gak keren, Neng. Masak masih muda hanya jadi tukang ojek, harusnya kerja di kantoran."
"Halah, buat apa kerja di kantoran, kalo gajinya saja bukan buat istrinya," Devi teringat nasib dirinya. Dan mimiknya mendengkus kesal.
Si tukang ojek pun bingung dengan jawabannya, dia hanya melajukan motornya tanpa menjawab ungkapan Devi.
# Dikerjai Ibu mertuaSetelah sampai tujuan, Devi melihat layar ponselnya, dan membayar sejumlah tarif yang tertera di layar.Devi masuk ke ruangan salon dan merasa beruntung Karena kondisi sedang sepi, jadi tak perlu untuk mengantrinya.Devi pun mengatakan sama tukang salon keinginannya untuk Spa full body, facial wajah dan creambath rambut.Setelahnya dia diarahkan oleh pegawainya ke ruangan khusus untuk spa, dan membaringkan badannya di atas kasur empuk tapi tipis yang berukuran sesuai dengan badannya. Ia pun dengan pasrah sambil memejamkan kelopak matanya. Tidak menunggu lama ia sudah merasakan pijitan dan beberapa gerakan Perawatan yang lihai dari mbak salon membuatnya menguap berkali-kali.Setelah selesai Spa lanjut untuk facial, wajahnya yang mulus tanpa jerawat memudahkan mbaknya mengolesi krim racikan andalan dari salonnya, tanpa harus memencet jerawat seperti beberapa pelanggan sebelumnya.Devi tampak menikmati pelayanannya, dan saat ingin beranjak ke tahap selanjutnya dia
Jam kerja telah berakhir, dengan perasaan semangat yang menggebu , Hasan melangkah keluar meninggalkan gedung menuju parkiran, lalu ia mengemudikan mobilnya dengan membawa perasaan bahagia, ya, sebentar lagi ia menjemput sang istri untuk ke tempat di mana Rendi ulang tahun. Sesekali ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Lantas ia menambah laju mobilnya agar segera sampai rumah. Yang ia tahu ia akan pulang ke rumah yang langsung disambut istrinya dengan penampilan yang sudah dandan cantik, dan ia pun akan langsung mandi dan makan setelah itu berangkat. Apalagi hari ini Devi libur kerja. Pastinya semua sudah beres rapi. Ia tahu karena tadi Ibunya mengirimi pesan kalau Devi sedang di rumah. Dia lupa pertengkaran kemarin ia menyetir mobil sambil bernyanyi, bersiul. Rasa laparnya pun terkalahkan dengan perasaan bahagianya. Sengaja istirahat siang dia tidak makan siang karena untuk menghemat pengeluaran, uang satu juta yang dipinjam dari teman kerjanya pun sudah
Saat keluar rumah mereka melihat beberapa orang menatap mereka dengan penasaran."Ada apa sih, Mas?" tanya Devi sambil memegangi kemeja suaminya."Gak tau, Dek. Yok lah biarin aja!" jawabnya sambil menarik tangannya Devi.Hasan menyadari ini perbuatan tadi yang berteriak di depan pintu. Namun malu bila harus ngomong jujur sama Devi.Akhirnya mereka masuk mobil, meninggalkan para tetangga yang penasaran. Hasan melajukan mobilnya dengan pelan, menyusuri Jalanan, melihat ke kanan kiri bermaksud mencari toko arloji. Setelah melewati beberapa lampu merah, akhirnya menemukan toko arloji yang berada pinggir kota.Mereka turun untuk melihat-lihat jam yang dijualnya. Hasan menemukan satu jam yang sesuai dengan keinginannya. Akhirnya meminta pihak toko untuk membungkusnya dengan kertas kado dan tidak lupa mencatat namanya dulu di sebuah memo kecil yang di selipkan sebelum dibungkus.Akhirnya mereka selesai bertransaksi, kemudian kembali ke mobilnya. Mengundurkan mobilnya sesuai arahan tukang
"Loh kamu, Mas? kok bisa jadi tukang ojek, bukannya masih kerja di kantor? dan kulihat kamu masih ada diacara ulang tahun Rendi?" tanyaku bertubi-tubi.Seribu pertanyaan menunggu penjelasan di benakku, tadi yang membuatku risih di acara tadi, kenapa bisa dia datang jadi tukang ojek yang aku pesan. Rasa penasaranku terlalu menggunung hingga mengabaikan rasa sebalku tadi pas di tempat Rendi."Iya, aku nyambi tukang ojek online kalo sepulang kerja, bagaimanapun aku harus berjuang membahagiakan istriku," jawabnya menatapku nanar."Berjuang? Sampe mati-matian gitu ya? emang istrimu gak kerja?" "Ya enggaklah, ngapain aku nikahin dia kalo nyuruh dia kerja, bagaimanapun aku bertanggungjawab atas nafkahnya," ucapnya dengan matanya yang terendam memandang ke langit menatap bintang-bintang.Aku mencoba mencerna perkataannya, memang dari segi fisik suamiku lah yang unggul, tapi cara berpikirnya mampu membuat netraku berkaca-kaca. Kenapa suamiku sendiri tidak ada niatan untuk menafkahiku, apakah
Aku terduduk lemas, menatap dinding lift, sudah beberapa kali aku menggedor-gedor. Namun tidak ada sahutan dari luar, mungkinkah mereka semua sudah tertidur ataukah mereka tidak mendengar suara gedoran. Aku harus bagaimana sekarang, seorang diri di dalam lift dengan hanya membawa gawai yang sudah habis baterainya, aku benar-benar putus asa, mungkinkah aku akan mati, aku belum sempat meminta penjelasan Mas Hasan, aku tidak siap bila harus mati sekarang.Setidaknya sebelum mati aku sudah membalas perbuatan Mas Hasan, aku ingin menebus kebodohanku sendiri, aku ingin memperbaiki keadaanku saat ini.Tak terasa air mataku luruh ....Satu jam ....Dua jam ....Tiga jam ....Akhirnya aku tertidur dengan posisi badan tertekuk, kepala menyender di lutut dan kedua tangan masih memeluk lutut.Aku tersentak saat ada gedoran pintu dari luar, dan bergegas bangun untuk membalas gedoran, biar mereka tahu kalau ada orang di sini.Saat ini aku mendengar obrolan dari luar, mungkin lagi berusaha memecahk
PoV 3Hasan menggeliat dari tempat yang ditidurinya, dia meraba sekitar untuk mencari gawainya. Saat ditemukan dia langsung mengaktifkan gawainya dan mencari aplikasi hijau yang bergambar telepon, menarik ulur layar depannya. Berharap ada pesan masuk. Namun sayangnya tak ada pesan yang masuk satu pun.Hasan bergegas bangun, menoleh kesana kemari."Dev, kamu dimana?" teriaknya sambil berjalan mondar mandir. "Devi!" Masih Belum ada jawaban dari Devi. Hasan keluar dari kamar, dia membuang nafas kasar melihat keadaan rumahnya yang masih berantakan. Hasan kembali ke kamarnya dan mengambil gawai. Memencet tombol untuk mencoba menelepon Devi. Namun tidak tersambung. "Kurang ajar sekali si Devi, ninggalin rumah berantakan! Mana perut lapar lagi!" gerutunya. Dia berlalu lalang, mencari solusi yang tepat untuknya dan akhirnya dia teringat pesan Devi."Lebih baik aku ke rumah ibu saja," ucapnya sambil bersiap pergi. Rumah ibunya yang tak terlalu jauh membuat Hasan mampu menahan laparnya. D
Devi benar-benar mantap ingin berhenti bekerja, karena kodratnya seorang isteri di rumah dan sang suami mencari nafkah.Hasan pun akhirnya kembali ke rumah, tidak jadi pergi ke rumah ibunya. Dia masuk mengambil sapu dan kain lap.Hatinya menahan dongkol yang bertubi-tubi. Rasa penasaran karena ketahuan jumlah gajinya. Membuat ia semakin berfikir keras, dia sekilas melirik Devi yang ikutan membersihkan karpet. Mengambil butir demi butir nasi yang tercecer.Rasanya dia tak rela bila harus berbagi gajinya dengan Devi, dipikirannya dia harus berbalas budi dengan ibunya jadi wajar bila ngasih uang gajinya. Tapi ke istrinya dia benar-benar tak ikhlas membaginya, karena ia beransumsi yang pantas di beri adalah orang yang tidak mampu bekerja, sedangkan Devi masih muda, mampu untuk bekerja. Entahlah anutan apa yang diikutinya sehingga tidak ada rasa kewajiban untuk menafkahi istri. Padahal itu hukumnya wajib di mata agama.Dia berfikir, seharusnya Devi beruntung karena memiliki suami yang ta
Mendengar kata cantik, Devi bergegas menghampiri suaminya. "Cantik apa maksudnya,Mas?" tanyanya tanpa menunggu teleponnya dimatikan.Hasan kaget melihat Devi sudah berada di sampingnya. "Loh, Dev. Tadi kan kamu lagi keluar kok tiba-tiba sudah di sini?" jawabnya langsung mematikan telepon."Mas, kamu mau menikah lagi? Kamu jahat, Mas.""Enggak, Dev. Kamu salah dengar tu," Kilahnya."Kalau sampai iya ... awas saja, Mas," ancam Devi dengan mata yang berkaca-kaca.Hueekk ....Tiba-tiba perut Devi begitu mual dan ingin memuntahkan isinya namun berkali-kali mencoba tak berhasil.Hasan yang melihat itu langsung khawatir dan memapah Devi untuk masuk ke Rumah.Ada perasaan menyesal dalam hatinya. Bagaimanapun dulu begitu manis berumah tangga. Hasan memandang Devi yang lemas dengan keringat di wajahnya. Memandangi inci demi inci wajah yang dulu begitu cantik dan menarik kini sudah berubah. Lebih terawat sebelum dia menikahinya."Kamu, hamil, Dev?" Hasan teringat perkataan teman kalau seorang