Saat ia akan melangkah mengikuti firasatnya, tiba-tiba sebuah suara teriakan terdengar memanggil namanya.
"Jendral George!"Sontak George tersentak dan teralihkan perhatiannya. Seseorang yang gagah terlihat menghampiri dirinya. Pria dengan tinggi 195 cm dengan tubuhnya yang atletis dan berbalut sebuah seragam loreng.George mengerutkan keningnya memandang seseorang tersebut."Jendral George, Kami sudah mencarimu selama 1 tahun ini. Saya sangat senang bisa menemui anda di sini," ucap Seseorang tersebut, seraya menyodorkan tangan ke hadapan George."Jendral? saya bukan seorang Jendral. Mungkin anda salah orang, saya bukan George yang anda maksud," ucap George. Tatapannya begitu heran memandang seseorang yang bertubuh besar dengan rambut cepak khas anggota militer tersebut."Tidak, saya tau betul anda Jendral George. Saya adalah Letnan Charles. Saya adalah orang kepercayaan anda. Ada satu peristiwa yang harus saya katakan kepada bapak," ucap seseorang tersebut.Namun George enggan untuk meladeninya. Ia membuka telapak tangannya saat orang tersebut akan menjelaskan."Maaf, saya tidak punya banyak waktu. Saya bukan George yang anda maksud. Sekarang saya harus pergi!"George meninggikan suaranya bergegas melangkah menjauhi orang tersebut.Namun pria berpakaian loreng tersebut tak menyerah begitu saja. Ia mencoba mengejar George yang tengah berjalan tergopoh-gopoh."Jendral!""Jendral!""Tolong dengarkan saya dulu!" seru sang Letnan.George lantas menghentikan langkahnya seketika. Dan ia pun berbalik badan."Tolong tinggalkan saya. Saya punya privasi yang tidak bisa diganggu!" seru George dengan nada tinggi."Baik, saya tidak akan mengganggu Bapak. Tapi yang perlu Jendral ketahui. Bahwa Anda bukanlah orang sembarangan. Banyak yang mengintai untuk mencelakai Anda, Jendral!" ucap Sang Letnan dengan nada sedikit meninggi.Letnan Charles bahwasanya menyadari bahwa George telah mengalami sebuah peristiwa yang membuatnya lupa ingatan. Dan di momen inilah ia mencoba menyadarkan George tentang jati dirinya.Namun George tampak ragu dengan ucapan Charles."Mengada-ada kamu ini!""Saya bukan siapa-siapa! apalagi seorang Jendral! Memegang senjata saja saya tidak pernah! mimpi kamu!" seru George dengan nada suara tinggi."Jendral menginginkan bukti?""Baik, saya akan buktikan," ucap Charles.Lalu Charles mengambil ponsel dari saku bajunya dan memperlihatkan sebuah foto dari layar ponselnya."Anda ingat ini Pak?" tanya Charles seraya tersenyum.George pun terkejut kala ia melihat sebuah foto dirinya tengah membidik sebuah target saat ia tengah memberikan sebuah pelatihan kepada para prajurit."Loh, bagaimana bisa saya ada di foto itu?!" tanya George."Itulah alasan kami mencari Bapak. Kami akan membawa Jendral untuk kembali memimpin kesatuan kami," ucap Letnan Charles, seraya tersenyum dan menegakkan badannya.George tampak mengerut keningnya. Ia tak habis pikir dengan apa yang dilihatnya."Be-begitu ya,""Karena, Jujur saya tidak tau apapun tentang masa lalu saya," ucap George."Nah sekarang biarkan saya menceritakan tentang diri anda, Jendral.""Apakah Bapak bersedia?" tanya Charles."Mm... Baiklah," jawab George.Namun saat baru saja Charles hendak menjelaskan. Sebuah peristiwa tiba-tiba membuat George mengalihkan perhatian.Sebuah mobil alpard mengebut mengenai kubangan air hingga menyiprati sekujur tubuh George yang tengah berdiri di pinggir jalan.George terkejut dan secara spontan meneriaki mobil tersebut."Hey, Liat-liat kalau jalan!" seru George, dengan suara yang lantang.Tiba-tiba mobil itu berhenti, lalu berjalan mundur semakin mendekat.Saat mobil berada di hadapan George. Seseorang keluar dari mobil. Dan ternyata, seseorang itu adalah Jhonson. Dia adalah Kakak kandung Veronica dan berumur 40 tahun. 5 tahun di atas umur George."Jhonson?!" seru George, tak menyangka.Jhonson melangkah cepat mendekat ke arah George dengan mengangkat dagu."Apa?!""Teriak sekali lagi di wajahku, sampah!"Tiba-tiba Jhonson membusungkan dada dan membenturkan tubuhnya ke hadapan George.Namun karena tubuh George yang melebihi besar tubuh Jhonson. Benturan itu pun tak berarti baginya. Ia tetap berdiri tegak dan mencoba bersikap tenang."Aku kira kamu orang lain, Mohon maafkan ya," ucap George, seraya menundukkan kepala.Namun sikap rendah hati George malah membuat Jhonson semakin arogan.Jhonson secara sengaja mencoba menggeplak kepala George.Tapi saat tangannya hampir mengenai kepala George. Secara tiba-tiba tangan Jhonson tertahan oleh genggaman tangan Charles. Dengan sangat cepat Charles dapat menangkapnya."Jangan coba-coba Anda berbuat kurang ajar kepada Jendral George!" seru Letnan Charles, dengan tatapan tajam ke arah Jhonson.Peristiwa itu seketika membuat Jhonson membatu. Dan suasana pun menjadi hening. Namun setelah itu sebuah tawa dari mulut Jhonson memecah keheningan."Hahaha!""Apa? apa saya tidak salah dengar?!""Sampah macam seperti ini Anda panggil Jendral?""Kamu tau siapa dia?""Dia itu cuma pengangguran sampah! Hanya bisa menyusahkan orang saja!"Sontak Charles naik pitam mendengar ucapannya. Ia hampir saja melayangkan tinju ke wajah Jhonson. Namun George menahannya."Sudah, biarkan dia mau berbicara apa. Bagi saya ucapan dia hanyalah angin lalu. saya sudah biasa," ucap George dengan nada pelan.Pengakuan itu malah semakin membuat Charles naik pitam. Wajahnya tampak semakin memerah dan matanya terbuka lebar menatap Jhonson."Kamu tidak tau siapa Bapak George?!""Akan ku beri pelajaran kamu!"Jhonson tampak ketakutan saat Charles memperlihatkan genggaman tangannya yang berotot dengan urat yang menyembul keluar.Ia melangkah mundur menuju ke mobilnya. Namun Charles yang sudah di puncak amarah segera mengejarnya."Untuk apa kamu ikut campur. Ini masalah saya dengan sampah itu!" seru Jhonson seraya memasuki mobilnya.Charles tiba-tiba mengangkat sisi mobil itu hingga miring. Dan membuat Jhonson histeris ketakutan."Ampun!""Ampun!""Saya tidak akan mengulanginya lagi!" seru Jhonson."Sudah, biarkan dia pergi. Bagaimana pun dia adalah kakak istri saya!" seru George.Mendengar ucapan George, barulah Charles akhirnya menurunkan kembali mobil itu.Brukk!Mobil alpard itu pun terjatuh dengan keras di sisi kanannya hingga membuat bampernya hampir copot."Kalau tidak karena Jendral George. Sudah ku buat terbalik mobilmu!""Cepat! pergi sekarang!" seru Charles, murka."Ba-baik, saya pergi sekarang!" jawab Jhonson, memelas.Lantas Jhonson langsung menancap gas dan mobil pun melaju dengan cepat.Namun saat di kejauhan. Tiba-tiba mobil berhenti dan Jhonson mengeluarkan kepalanya dari jendela lalu berteriak seraya tertawa."Hahaha! sedikit lagi Veronica akan dijodohkan dengan Jhony, anak konglomerat. Kau akan kembali menjadi gelandangan!"Lalu mobil itu segera pergi dengan kecepatan tinggi.Ucapan Jhonson semakin membuat George patah semangat. Ia menundukkan kepala dan merenungi diri.Namun tiba-tiba telapak tangan Charles menyentuh bahunya."Jendral George, percayalah. Ucapan dia tidak akan terjadi. Anda adalah orang istimewa. Mereka akan menyesal jika mengetahui anda yang sebenarnya," ucap Charles, mencoba menyemangatinya.Sontak George berbalik badan dan menatap Charles dengan mengerutkan keningnya.Perkataan Charles seketika membuatnya bangkit. Namun pertanyaan dalam dirinya juga semakin besar tentang siapa dirinya yang sebenarnya."George berjalan keluar dari rumah, setiap langkah terasa semakin berat seiring dengan rasa cemas yang menghimpit di dadanya. Ketegangan terasa mencekam, dan fikiran tentang Hana yang tertinggal di rumah membuatnya semakin sulit untuk berkonsentrasi. Ia tahu bahwa setiap detik berharga dalam situasi yang semakin memburuk. Di markas besar, suasana tampak mencekam. Para tentara berlari ke sana-sini, berusaha mengendalikan kekacauan setelah serangan mendadak terhadap Menteri Pertahanan. George segera mendekati ruang operasi, tempat di mana Menteri sedang berkumpul dengan staf dan analis. “George! Terima kasih kau datang,” Menteri Hendrik menyambutnya dengan lega, namun wajahnya tetap menunjukkan tekanan yang menggelayuti. “Kami baru menerima informasi bahwa serangan ini mungkin hanya bagian dari rencana yang lebih besar. Marco mungkin sudah memiliki jalur untuk menginternalisasi kekuatannya kembali.” “Menteri, siapa yang menyerang? Dan apakah kita sudah menemukan dalang di balik in
George dan timnya kembali ke markas besar dengan langkah yang berat. Mereka baru saja melalui pertempuran yang sengit dengan Marco dan pasukan mafia yang terampil, meskipun berhasil mengusir mereka, perasaan kekalahan tetap menggelayut di benaknya. Banyak yang hilang dalam pertarungan itu—kehidupan, kepercayaan, dan mungkin sedikit rasa aman. Setiba di markas besar, suasana terasa hampa. Lampu-lampu menyala terang, menyinari ruangan yang seharusnya menjadi pusat komando bagi mereka. George disambut oleh Menteri Pertahanan, Bapak Hendrik, yang menunggu di ruang tunggu. “George! Kabar yang mengejutkan tentang pertempuran baru-baru ini. Silakan duduk,” kata Menteri sambil gestur untuk mempersilakan George duduk. Wajahnya penuh kekhawatiran namun tampak berusaha tenang. "Apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Bagaimana keadaanmu dan tim?" George menarik napas dalam-dalam, mengingat kembali semua yang terlibat. “Kami terlibat dalam pertempuran yang lebih besar dari yang kami perkiraka
Malam itu, setelah pertempuran yang sangat brutal, George berdiri berjaga di tengah reruntuhan medan perang. Dia bisa merasakan napasnya yang berat dan jantungnya yang berdegup kencang. Pertarungan itu sangat sengit, dan walaupun dia telah berhasil melumpuhkan Marco, dia tahu bahwa ancaman tidak sepenuhnya sirna. Dengan peluru berserakan dan api yang menerangi seluruh medan, suasana terasa lebih menegangkan daripada sebelumnya. Marco, masih terjatuh di tanah, memegang lengan yang terkena tembakan. Nyeri yang luar biasa menghantuinya, tetapi bukan hanya rasa sakit fisik yang menyiksa—itu adalah rasa kehampaan karena menghadapi kekalahan ini. Sadisnya, kekalahan ini juga mengingatkannya pada semua yang telah hilang; kehormatan, rasa percaya diri, dan kini bahkan pasukannya. Dengan sisa kekuatan yang ada, Marco menggerakkan tubuhnya, berusaha bangkit dan melarikan diri dari tempat itu. Di balik bayang-bayang, beberapa anggota sisa mafia Marco dengan cepat menyadari situasi kritis yan
George mengedarkan pesan mendesak pasukannya. Dia mengorganisir pertemuan di basis militernya. Hari itu, George berdiri di pangkalan militer. Jamie, komandan dengan sikap tegas, melangkah maju dengan wajah serius. "Jendral George, kami semua terkejut mendengar kabar ini. Tak seharusnya anda berhadapan dengan Marco yang berbahaya itu sendirian. Dan dapatkah anda benar-benar menjamin keberhasilan operasi ini?" Tanya Jamie, mengawasi reaksi George. "Saya tidak punya pilihan lain. Marco telah mendapatkan kekuatan dan ia kini bergabung dengan organisasi mafia lainnya. Mereka tidak hanya mengincar saya, tetapi juga siap menyerang siapa pun yang berdiri di jalur mereka. Ini bukan hanya tentang saya. Ini tentang melindungi keamanan negeri ini,” jawab George, suaranya tegas namun tegang. Jamie mengangguk. "Kami semua siap mendukungmu, George. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Marco membentuk aliansi dengan mafia lain, ini bisa menjadi peperangan yang lebih besar." Perencanaan dan pelatih
Keheningan dalam kompleks industri yang terabaikan terasa semakin mencekam. George dan Hana berpegang erat, perasaan takut dan ketidakpastian menyelimuti Hana saat suara langkah kaki yang semakin mendekat, menandakan Marco dan anak buahnya sudah mulai mendekati mereka. George berbisik, “Hana, kita harus bersiap. Kalau mereka menemukan kita, kita tidak akan punya pilihan selain melawan.” Hana menatapnya dengan mata penuh ketakutan namun seberkas keberanian melintas di wajahnya. “Apa yang harus kita lakukan, George?” George mengambil napas dalam-dalam, merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dia mengeluarkan pistol kecil yang selalu disimpannya untuk situasi darurat. “Saya akan mengalihkan perhatian mereka. Kamu tetap di sini dan cari tempat yang aman untuk berlindung. Jika ada kesempatan, keluar sejauh mungkin.” Tanpa menjawab, Hana hanya mengangguk, hatinya berusaha menguatkan diri. George memeriksa peluru dalam pistolnya, lalu mengintip melalui celah jendela truk, melihat
Malam semakin larut ketika George dan Hana keluar dari restoran, bersiap untuk pulang. Suara mesin mobil meraung di tengah hiruk pikuk jalanan malam. George memasuki mobil, dan Hana duduk di sampingnya, merasakan ketegangan yang tak terucapkan. Dia berpaling menatap langit malam yang berbintang, namun George merasakan sesuatu yang lain: sebuah bahaya yang kian mendekat.Di saat George mulai mengendarai mobilnya. Sebuah mobil hitam terlihat membuntuti."Saya rasa kita seharusnya mengambil rute yang lain, Hana," ucap George dengan nada serius, sementara dia memutar kemudi untuk menghindari jalan yang sepi.Hana, yang tidak merasakan ancaman apa pun, mengerutkan dahi. "Tapi jalan ini lebih cepat, kan? Kita hanya ingin pulang," ujarnya dengan suara lembut.George mengalihkan pandangannya ke arah samping, matanya menyapu sekitar. Dalam sekejap, dia melihat sesosok pria bertato dengan tampang garang tengah duduk memperhatikannya dari dalam mobil hitam itu. Hati George semakin berdegup kenc