"Mas! Jangan seperti ini dong! Kamu bikin kita bingung tau' gak?"Mas Rian menoleh ke arah istrinya lalu berbicara. "Barusan, Pak Danu telpon, dia bilang … " Mas Rian menggantung ucapannya."Bilang apa, Mas?" Mbak Lena mengerutkan dahi."Mas, dipindah tugaskan ke Kalimantan untuk sementara, menggantikan kawan Mas yang cuti karena kecelakaan kerja," ucap Mas Rian dengan berat hati harus mengatakan ini padaku dan Mbak Lena."Yah … Mas, terus kita gimana?" cetus Mbak Lena keberatan."Apa tidak bisa di gantikan kawan, Mas, yang lain?" tanyaku memastikan. "Tidak bisa, Rim, tetap harus Mas yang kesana. Mas, kan yang paling senior, jadi Mas yang harus menggantikan," ujarnya menjelaskan.Mendengar penjelasannya, aku jadi was-was, ada rasa keberatan dalam hati ini. Tidak bisa dibayangkan jika Mas Rian jauh dari kami. Mas Rian adalah orang yang paling bisa kuandalkan, dia pelindung buatku dan Aisyah. Entah siapa yang bisa menolongku jika Mas Rian pindah tugas ke Kalimantan. "Kalau kamu tugas d
Ibnu wijaya, iya itulah namaku. Anak pertama dari dua bersaudara, Ibuku berdarah sunda dan Ayahku berdarah betawi. Aku dibesarkan di Banten. Bersama kedua orang tuaku, semasa SD aku memiliki teman kecil yang bernama Rima. Iya gadis cantik berhidung bangir itu selalu menjadi teman bermainku semasa kecil, terlebih Almarhum Ibu Rima dan Ibuku adalah sahabat baik.Dari kelas satu sampai kelas empat, Rima selalu menjadi juara kelas, dia anak yang pintar dan rajin. Namun sejak kelas lima sampai kelas enam Rima selalu menjadi peringkat kedua setelahku. Iya-predikat juara kelas yang diraih Rima selama empat tahun berturut-turut, berhasil ku rebut. Selama dua tahun aku menggantikan posisi Rima. Semenjak saat itu Rima jadi jarang bermain denganku. Sepertinya dia marah karena posisinya tergantikan.Jangankan untuk bermain bersama, untuk berbicara denganku saja dia enggan. Dia selalu menjauh saat aku dekati. Aku sangat merasa kehilangan sosok teman baikku.Setiap hari aku s
Pov IbnuWalaupun ku tahu, ini adalah rasa yang salah, karena Rima telah menjadi istri orang.Kulihat wajah Ilham, sepertinya dia sangat membenciku, tatapan yang sinis, sama sekali tidak bersahabat. Dengan tergesa-gesa dia mengajak Rima pulang. Ibu yang saat itu masih terlihat kangen dengan Rima, meluapkan kekesalannya terhadap Ilham. Dari dulu Ibu memang tidak suka dengan Ilham, sikapnya terhadap Ilham, membuat setiap orang yang melihatnya bisa menebak, jika Ibu memang tidak menyukainya.Setelah pertemuan pertamaku dengan Rima, hari-hariku menjadi lebih berwarna. Seperti mendapatkan semangat baru. Apalagi kulihat Ibu sangat ceria, sempat dia berkata padaku. "Nu, Ibu, masih berharap jika suatu saat, kamu dan Rima bisa berjodoh," harapan Ibu tentu sangat mustahil, Rima sudah berkeluarga, dia sudah memiliki anak dan suami, mana mungkin aku masih bisa berjodoh dengannya. Ah-Ibu memang ada-ada saja.☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆Sore itu hujan begitu de
"Kira-kira, kemana Mbak Lena, sampai tidak menjawab telponku." lagi-lagi aku bergumam dalam hati. Aku semakin gelisah, perasaan khawatir terus menghantui. Jangan sampai terjadi apa-apa dengan mereka.Berulang kali aku melihat jarum jam yang melingkar di tanganku. Belum juga ada kabar dari mereka, membuatku semakin bingung."Apa yang harus aku lakukan jika Mbak Lena tidak datang ke rumah sakit? Terus bagaimana urusanku dengan pihak kepolisian?" berbagai pertanyaan muncul di benakku."Kring! kring!"Bunyi ponsel berdering membangunkan lamunanku. Sebuah panggilan dari nomor yang tidak kukenal. Tanpa menunggu lama, aku segera mengangkatnya."Hallo, selamat pagi, dengan Ibu Rima?" Terdengar nada suara yang tegas di seberang telepon."Selamat pagi, Pak. Iya betul, saya Rima, maaf bapak siapa ya?" tanyaku memastikan."Saya dari pihak kepolisian, B
Disaat aku benar-benar sedang membutuhkan bantuan dari Mas Rian, Mas Rian malah harus tugas di kalimantan. Terus-bagaimana dengan kelanjutan sidangnya Mas Ilham, aku harus meminta bantuan pada siapa?" lirihku dalam hati."Rim, ko bengong?" Suara Mbak Lena membuyarkan lamunanku."Iya, Mbak. Aku bingung, jika Mas Rian tidak ada, lantas siapa yang akan membantuku mengurusi sidang," ucapku pada Mbak Lena."Jangan khawatir, kan ada Mbak, disini. Mbak akan selalu ada disampingmu dan Aisyah," dengan wajah menyimpan kesedihan yang sama, Mbak Lena berusaha menguatkan aku."Iya, Mbak," jawabku. Aku harus bisa berjuang, walau tanpa Mas Rian."Selamat sore Bu!" sapa dokter cantik ber hijab coklat menghampiriku dan Aisyah.Dokter yang sudah hampir satu minggu menangani Aisyah ini, terlihat datang membawa sebuah kotak."Bu, kondisi Aisyah sudah berangsur membaik, perubahannya sangat signifikan." ucap Bu dokter, membuatku sangat senang."Alha
"Mas, buka pintunya!, cepat buka pintunya, Mas!" suara lantang yang kudengar menusuk telinga.Suara yang tidak kukenal, dengan rasa penasaran aku bergegas membuka pintu, ternyata itu adalah wanita selingkuhannya Mas Ilham, dengan berkacak pinggang dia berdiri di depan pintu rumahku."Mana Mas Ilham, suruh dia keluar!" ucapnya dengan nada tinggi penuh emosi."Dia tidak ada disini, kamu tidak usah mencarinya lagi disini. Jika kamu ingin bertemu dengan dia, cari saja di penjara!" ucapku tak kalah lantang."Alah, gak usah bohong!, pasti dia bersembunyi di dalam, iya kan?, itu lihat, motornya saja terparkir di garasi!" sungutnya sambil menunjuk ke arah motor sport yang terparkir di garasi yang hanya berpagar besi, membuatnya dengan leluasa bisa melihat."Kalau kamu tidak percaya ya sudah, tapi tolong jangan pernah datang lagi ke rumah ini!""Dasar wanita kurang ajar, terserah gue mau datang kemana aja, bukan urusan lo!, minggir lo!" Dengan kasar
Segera ku gulung lagi kertas-kertas kecil ini, lalu kumasukan ke dalam tas ku, siapa tau suatu saat akan berguna, walaupun aku tidak tau, gunanya untuk apa menyimpan struk seperti ini.Selesai aku menyapukan kotoran tikus dan bangkai kecoa di kamar Aisyah, aku segera ber istirahat, karena malam sudah semakin larut.☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆☆Pagi hari setelah sholat subuh, aku segera memasak sayur bayam untuk Aisyah, Aisyah memang di wajibkan untuk makan makanan yang lembut dan berkuah. Pagi ini jadwalnya Aisyah untuk cek up ke rumah sakit.Kulihat persediaan uang di dompet sudah semakin tipis, karena tiap pergi keluar aku harus memesan taxi online yang ongkosnya lumayan lebih mahal di bandingkan denga
"Rima!" ucap wanita paruh baya ini terkejut melihatku yang membuka pintu.Sebenarnya aku juga sangat terkejut melihat kedatangan mereka berdua malam-malam begini ke rumahku, tapi aku membunyikan rasa terkejutku di hadapan mereka. Aku tau, pasti ada sesuatu yang membuat mereka datang kesini, apalagi kalau bukan karena uang."Ibu dan Ika, datang ke sini diantar siapa?" tanyaku pada mereka yang masih shock melihatku, wajah mereka seolah tidak percaya dengan apa yang mereka lihat."Ka-kamu beneran Rima, kan?" tanya Ibu terbata-bata memastikan."Iya lah, Bu, aku Rima. Mantu Ibu! Ayo Bu masuk dulu, di luar dingin!" ajak ku pada Ibu dan Ika yang masih betah mematung di depan pintu.Wajah mereka saling berpandangan, dengan langkah ragu mereka pun masuk ke dalam rumah, tanpa disuruh duduk, mereka sudah duduk dengan sendirinya di atas sofa."Ada urusan apa Ibu dan Ika, datang ke Banten?" tanyaku sambil m