Share

Diceraikan

PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (3)

Tahun demi tahun, tak pernah lagi aku mendengar kabar mengenai Bima dan Dinar. Tapi sekarang, Bima kembali datang dan mengatakan bahwa ia masih menungguku? Hah, ucapan laki-laki buaya darat memang seperti itu!

''Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, Wulan. Bukankah kamu tidak bahagia dengan Hilman?'' ujar Papa yang seakan mendukung Bima.

''Aku memang nggak bahagia dengan Mas Hilman, belum tentu juga aku mau bersama Bima, Pa. Lagipula apa Papa lupa tentang apa yang sudah Bima perbuat bersama Dinar?''

Aku sama sekali nggak setuju dengan tujuan Papa. Bima adalah laki-laki yang dulu pernah menyakitiku, nggak akan mungkin aku mau kembali bersama dia. 

''Iya, Papa ingat Wulan, tetapi bukankah itu dulu? Bima sudah menyadari kesalahannya dan sudah menjadi pribadi yang lebih baik. Papa harap—"

''Cukup, Pa! Berhenti mengatakan apapun tentang Bima. Setelah kejadian 11 tahun lalu, aku sudah melupakan tentangnya. Aku nggak mau lagi mengingat laki-laki brengsek itu!'' Aku bangkit dan memilih pergi meninggalkan Papa. 

Aku heran, selama ini bukankah Papa yang sangat membenci Bima karena dia sudah dengan sengaja menyakiti perasaanku. Tapi kenapa Papa berubah? Apa mungkin Bima sudah melakukan sesuatu sehingga Papa menyuruhku berhubungan dengan Bima?

''Wulan ....''

Langkah kakiku terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namaku. Aku pun menatap ke arah sumber suara. Seketika jantungku berdetak cepat. 

''Bi–bima?''

'Kenapa dia bisa ada di sini? Apa jangan ini semua rencana Papa?' pikirku dalam hati.

''Wulan, kamu apa kabar?'' tanya Bima mendekat.

''Kabarku baik.'' 

Dadaku bergetar hebat, aku tidak ingin berlarut dalam kegelisahan. Semua sudah selesai, aku dan Bima sudah nggak ada hubungan apapun lagi. 

''Bagaimana hubunganmu dengan suami? Aku dengar rumah tanggamu sedang dalam masalah. Kamu jangan khawatir ak—''

''Bukan urusanmu! Untuk apa kamu datang lagi di kehidupanku, bukankah kamu sudah hidup bahagia bersama Dinar?'' sentakku penuh amarah.

''Dinar?! Hah, aku dan dia telah lama berpisah. Oleh sebab itu aku datang kembali. Tentunya ingin kembali denganmu.'' Dengan bangganya ia mengatakan hal itu. Apakah dia sudah lupa bahwa dulu pernah menyakiti perasaanku? 

''Aku sudah berstatus istri orang, Bima. Tidak akan mungkin aku mau kembali bersamamu,'' ungkapku bernada tinggi.

''Untuk saat ini mungkin kamu bisa mengatakan hal itu, tapi nanti kamu pasti akan bertekuk lutut dihadapanku.'' 

Aku tersenyum kecut, memandangnya penuh kebencian. Tidak akan mungkin aku mau kembali ke pelukannya setelah apa yang sudah ia perbuat. 

Tanpa mau basa-basi, aku melangkah pergi meninggalkan dirinya. Tidak perduli depan apa yang akan ia perbuat. Yang jelas, masa lalu bersamanya sudah aku kubur rapat-rapat. 

***

''Kamu dari mana jam segini baru pulang?" tanya Mas Hilman, dia berdiri sembari menatap kedatanganku.

''Bukan urusanmu!'' Aku acuh melenggang pergi ke kamar.

Terdengar hembusan nafas gusar dari kerongkongan Mas Hilman. Biasanya dia nggak pernah perduli kemana perginya aku. Tapi sekarang, dia seakan perduli. 

''Kalau bicara sama suami yang sopan!'' Tiba-tiba aja Mas Hilman datang dan langsung mendobrak pintu dengan keras. 

''Untuk apa kamu bertanya, bukankah selama ini kamu nggak pernah perduli terhadapku?'' ujarku tak mau kalah.

''Sejak kapan aku nggak pernah perduli terhadapmu, Wulan. Selama ini aku selalu perduli. Kamu memang keras kepala, tak disangka ternyata benar ucapan Ibu bahwa memang kamu istri yang tidak becus. Aku menyesal telah menikahimu yang bekas orang lain!'' sentaknya membuat darah dagingku mengalir. 

Plak!

''Maksudmu apa berkata bahwa aku bekas orang lain?''

''Jangan pura-pura bodoh, Wulan. Aku tahu bahwa Anisa bukanlah darah dagingku. Dia anakmu bersama Bima—mantan kekasihmu dulu, ya, kan?'' 

Plak!

Sekali lagi tamparan mendarat pada kedua pipi Mas Hilman. Aku geram mendengar perkataannya yang begitu sangat menyakiti perasaanku. Selama ini, aku diam tak pernah sekalipun bertindak kasar pada Mas Hilman, tapi ucapannya kali ini sudah sangat keterlaluan. Dia menuduh bahwa aku telah melakukan perbuatan z!na sebelum menikah dengannya. Dia menuduh bahwa Gadis—putri pertamaku bukanlah darah dagingnya. Apakah itu yang dimaksud suami?

''Tega kamu ya berani tampar saya!'' 

Mas Hilman menampar kedua wajahku dan mendorong tubuhku hingga terjatuh. 

''Mama ....!'' Tiba-tiba Gadis datang—dia membantuku berdiri.

''Papa keterlaluan! Tega sekali memperlakukan Mama seperti ini.'' Gadis menatap tajam Mas Hilman. Dia marah melihat tindakan kasar yang dilakukan papanya. 

''Kamu dan ibumu sama saja, sama-sama perempuan tak tahu diri!'' pungkas Mas Hilman. Lalu pergi meninggalkan kami. 

Hingga detik ini, dadaku masih bergemuruh hebat. Aku tak percaya Mas Hilman akan mengatakan hal seperti itu. Seumur hidup pun, aku tak pernah memberikan mahkota kep3rawanan kepada orang lain, terkecuali suamiku sendiri—Mas Hilman. Tapi kenapa dia menuduh seakan-akan aku pernah melakukan hubungan terlarang bersama Bima—mantan kekasihku dan tak mengakui bahwa Gadis adalah anak kandungnya. Pantas saja selama ini Mas Hilman tidak pernah sekalipun memperlakukan Gadis selayaknya anak kandungnya sendiri.

''Mama yang sabar, ya. Aku nggak menyangka Papa tega melakukan tindakan kasar terhadap Mama barusan,'' ujar Gadis. 

''Iya, Gadis. Kamu nggak perlu khawatir. Mama nggak kenapa-napa kok.'' Aku tersenyum. Padahal hatiku menggebu menahan sakit yang teramat di dada. 

Gadis mengangguk. Kemudian, dia memapah tubuhku ke ranjang tempat tidur.

****

''Makanan mana, aku lapar, Wulan!'' Mas Hilman berteriak dan melempar tudung saji yang ada di atas meja makan.

''Maaf, Mas. Malam ini aku nggak masak. Stok makanan di kulkas sudah habis.'' Aku menjawabnya. 

''Baru kemarin aku kasih uang satu juta untuk sebulan sudah habis? Bukankah kemarin kamu sudah belanja banyak makanan untuk stok selama sebulan?'' ujar Mas Hilman sembari menggeleng penuh ketidakpercayaan.

''Kamu kira zaman sekarang semua serba murah? Lebih baik tidak usah kamu kasih nafkah sekalian, biar kamu sendiri tahu bagaimana rasanya mengatur uang satu juta,'' cecarku angkuh. Aku hanya ingin Mas Hilman merasakan apa yang tengah aku rasakan. Dia kira, zaman sekarang serba murah. Semua makanan dan bahan pokok lainnya sangat mahal, apalagi kami harus menghidupi tiga anak sekaligus. 

Mas Hilman terdiam dengan tatapan tajam, dia menatapku penuh kebencian. Tak lama kemudian, dia mendobrak meja makan hingga meja itu terbelah menjadi tiga bagian.

Bruk!

''Astagfirullah ....''

Aku terkejut melihat kelakuan suamiku sekarang, dia sangat agresif. Padahal sebelumnya, suamiku tak pernah sekalipun seagresif ini.

''... Mulai detik ini, secara sadar aku menjatuhkan talak terhadapmu, Wulan Widya binti Sanusi. Kamu sudah bukan istriku lagi.'' 

Bagai tertancap pisau di dada, hatiku teramat sakit ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut Mas Hilman. Dia menceraikanku. 

Bersambung

Duh, Hilman malah menceraikan Wulan, apa dia nggak mikirin kedepannya yah?

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
gayanya kayak PANGERAN ARAB nggak tahu KADAL
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status