PEMBALASAN UNTUK SUAMI TIDAK TAHU DIRI (4)
''... Mulai detik ini, secara sadar aku menjatuhkan talak terhadapmu, Wulan Widya binti Sanusi. Kamu sudah bukan istriku lagi.''
Bagai tertancap pisau di dada, hatiku teramat sakit ketika mendengar ucapan yang keluar dari mulut Mas Hilman. Dia menceraikanku.
''Hanya masalah sepele kamu menceraikan aku, Mas? Oke, mulai detik ini juga aku sudah bukan lagi menjadi istrimu. Sekarang, keluar dari rumahku!'' Tubuhku bergetar ketika mengatakan hal barusan. Aku tak menyangka, pernikahan yang sudah dilalui selama sepuluh tahun berakhir begitu saja.
Terlihat, raut wajah Mas Hilman tersenyum kecut. Dia memandang wajah tak suka.
''Kamu nggak akan bisa mengusirku dari rumah ini, Wulan. Sudah aku katakan kemarin bahwa rumah ini sudah menjadi milikku,'' ucapnya dengan sombong.
''Tidak mungkin! Aku sama sekali nggak percaya apa yang kamu ucapkan. Kamu penipu! Pergi dari rumahku sekarang!'' Aku mencekal pergelangan tangan Mas Hilman dan membawanya pergi keluar dari rumah.
''Lepaskan!''
Secara sengaja Mas Hilman mendorong tubuhku hingga tersungkur ke tanah. Tanpa merasa bersalah, dia melenggang kembali ke rumah. Sungguh, sangat keterlaluan! Padahal aku sudah mengusirnya, tapi kenapa malah aku yang jadi diusir dari rumahku sendiri?
Perlahan, aku berusaha bangkit tertatih hendak mengejarnya agar tak lagi menginjakkan kaki di rumah ini. Aku tidak ingin Mas Hilman menguasai rumah yang sudah bersusah payah aku bangun dari nol.
''Pergi dan bawa ketiga anakmu dari rumah ini!''
Tiba-tiba Mas Hilman keluar sembari memaksa ketiga anakku keluar dari rumah. Dia melempar tas dan mendorong ketiga anakku hingga tersungkur ke tanah. Mereka menangis mendapat perlakuan kasar dari papanya.
''Berani kamu menyakiti anakku, akan kubunuh kau, Hilman!'' Aku mencekal kerah bajunya. Menatapnya dengan penuh kebencian. Amarahku sama sekali tak mampu terbendung ketika melihat salah satu anakku pingsan dan mengalami pendarahan di kepala akibat terkena batu.
''Sudah mulai berani kamu, hah? Ayo, hajar aku kalau bisa!'' Tanganku terkepal kuat bersiap memberikan bogeman mentah di kedua pipinya. Dia tertawa senang seakan aksiku dia anggap lucu.
Bugh!
Tanpa pikir panjang, aku meninju kedua pipi Mas Hilman. Belum cukup puas, aku langsung menampar dan memukul tubuhnya secara membabi buta. Mas Hilman kegelapan, ia mungkin awalnya menyangka bahwa aku hanya wanita lemah yang tidak akan bisa melawannya. Tapi buktinya aku mampu melakukannya, ini semua karena sakit hatiku atas perlakuannya terhadap ketiga anakku.
''YaAllah, Via ....,''
Aku memeluk tubuh anak bungsuku yang bernama Via, dia berumur empat tahun. Dengan cepat, aku menggendongnya dan membawanya pergi ke rumah sakit terdekat agar mendapatkan pertolongan.
Sesampainya di rumah sakit, kedua perawat langsung membawa anak bungsuku ke ruang IGD. Tangisku pecah ketika menyaksikan Via yang hingga detik ini belum sadarkan diri. Aku takut dia kenapa-napa. Dokter pun sedang berusaha menyelamatkan nyawa anakku.
''Mama yang sabar, kita doakan saja Via agar keadaannya baik-baik saja tidak parah,'' ucap Gadis.
''Iya, Gadis. Mama pun berharap begitu.''
Aku dan kedua anakku—Gadis—Vero terdiam. Kami sangat berharap kondisi Via tidak terlalu serius. Ini semua gara-gara Mas Hilman, dia sangat keterlaluan sudah mencelakai Via, anak kandungnya sendiri. Seharusnya, jika dia membenciku tidak usah berprilaku kasar hingga mengakibatkan Via menjadi seperti ini. Awas saja, tunggu pembalasanku! Akan kupastikan dia menderita suatu saat nanti.
Tak lama berselang, Dokter keluar dari ruang IGD dan langsung menghampiriku.
''Bagaimana dengan keadaan anak saya, Dok?'' tanyaku tegang.
''Barusan saya sudah menjahit kepala pasien yang mengalami luka akibat cedera. Mungkin beberapa saat lagi pasien akan segera siuman,'' ucap Dokter menjelaskan.
''Alhamdulillah ....''
Aku berucap syukur. Semoga saja ucapan dokter benar bahwa Via—anakku secepatnya siuman.
Aku tak ingin anakku mengalami kondisi yang sangat parah. Aku hanya punya ketiga anakku, mereka belahan jiwa yang sampai kapan pun tak akan bisa tergantikan. Cukup satu kali, jangan ada lagi kesedihan yang menimpa mereka.
Dokter pamit berlalu pergi, sementara aku, Gadis dan Vero masuk ke ruang IGD untuk melihat kondisi Via. Terlihat, jidat di kepalanya tertutup oleh kain berwarna putih, serta hidung dan tangannya terpasang selang infusan. Dengan tertatih, aku melangkah mendekat. Lalu duduk di samping tempat tidur anakku.
''Sayang, maafkan Mama karena nggak bisa menjaga kamu dengan baik. Mama sedih melihat kamu seperti ini, Via. Cepet sadar, Sayang. Mama ingin melihat kamu ceria lagi,'' lirihku sembari mencium kening Via—anak bungsuku.
Entah kenapa, cobaan ini datang. Via, anak malang yang harus menanggung atas perlakuan yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Begitu teganya Mas Hilman membuat anak kandungnya seperti ini. Dia melebihi seekor binatang, tidak punya hati nurani.
Setetes demi tetes air mata mengalir deras di kedua pipi, aku merasa nggak sanggup menjalani kehidupan yang sangat berlika-liku seperti ini. Aku ingin bahagia, tapi entah kapan? Sampai kapan semua ini akan berakhir?
***
Kring ....!
Terdengar bunyi suara nada dering pada ponsel. Gegas aku membuka mukena yang masih terpakai di tubuh. Aku menatap layar dan ternyata Papa menelepon.
''Wulan, kapan kamu akan kembali datang ke rumah, ada sesuatu hal yang ingin Papa bicarakan terhadapmu?'' tanya Papa ketika sambungan telepon telah terhubung.
''Maaf Pa, aku belum bisa ke sana karena ada sesuatu hal yang aku pentingkan,'' sahutku menolak. Aku yakin, Papa meminta aku datang ke rumah karena Bima. Ya, pasti gara-gara dia.
''Siapa yang kamu pentingkan? Hilman? Sudah Papa katakan, berhenti mencintainya. Kamu tidak akan selamanya bahagia bersamanya, Wulan,'' ungkap Papa menebak. Padahal yang aku pentingkan adalah Via—cucu Papa sendiri. Tapi kenapa Papa selalu menyangka Mas Hilman? Hah, menyebut namanya saja aku sudah merasa mual.
''Bukan dia, Pa. Tapi Via, cucu Papa sendiri.''
''Via? Kenapa dia?'' tanya Papa terkejut.
''Via sedang dirawat di rumah sakit sekarang, Pa. Oleh sebab itu Via nggak mau kemana-mana dulu, niat mau fokus menjaga Via agar kondisinya lebih membaik,'' jelasku memberitahu Papa.
''Innalillahi ... kenapa kamu nggak bilang? Sekarang kirimkan lokasi rumah sakitnya, sekarang juga Papa dan Mama akan ke sana,'' ujar Papa lagi.
''Baik.''
Aku mematikan sambungan telepon secara sepihak. Lalu mengirimkan lokasi rumah sakit ini ke nomer w******p Papa.
Setelah selesai, aku menyimpan ponsel ke dalam tas. Lalu, merapikan sajadah dan mukena yang barusaja aku pakai. Aku menjalani ibadah shalat dan berdoa kepada Tuhan agar Yang Maha Penguasa memberikan kesembuhan untuk anakku, Via.
''Mama ....''
Gadis tiba-tiba datang dan menghambur memeluk tubuhku. Dia menangis tersedu-sedu.
''Kamu kenapa datang-datang nangis?'' tanyaku heran.
''Via, Ma. Barusan kejang-kejang dan sekarang sedang ditangani oleh dokter.'' Gadis menjelaskan kedatangannya.
''Apa?''
Bersambung
Aduh, ada apalagi dengan Via? Kok bisa Hilman tega melakukan itu terhadap anak kandungnya sendiri?
“Mas pengen punya anak dari kamu, Dek,” ucap Tomi pada Wulan. Saat ini, mereka tengah berbincang di kamar sembari menatap langit-langit yang ada di dinding. “Sabar, ya, Mas. Maaf aku belum bisa kasih keturunan sama kamu. Tapi mudah-mudahan kedepannya aku bisa hamil nanti. Kita berdoa aja, ya,” ujar Wulan penuh harap. Dia berusaha meyakini suaminya—Tomi agar mau bersabar menunggu buah hati yang dia idam-idamkan dari rahim Wulan. “Tapi kapan, Dek?” Tomi menatap nanar wajah istrinya. Dia benar-benar sangat berharap Wulan hamil dan bisa memberikan keturunan untuknya. “Ntahlah, Mas. Lagipula Mas tahu sendiri aku sudah melahirkan empat orang anak, mungkin aku susah hamilnya karena itu.”Tomi menghela nafas berat, dia merasa sudah seharusnya menjadi ayah, pernikahannya sudah berjalan selama tiga tahun namun Wulan belum juga bisa memberikan keturunan kepadanya. Memang, Wulan sudah memiliki anak empat dengan pernikahan yang sebelumnya bersama Hilman. Akan tetapi, Tomi ingin memunyai anak b
“Tapi, kemarin Mama kaya lihat dia di penginapan ....” “Di penginapan?” tanyaku sedikit dengan nada terkejut. “Iya, benar. Persis seperti Bima. Waktu itu Mama pengen panggil dia tapi malah keburu masuk ke mobil.” Mama menjelaskan. Aku sedikit terkejut ketika mendengar ucapan Mama. Tetapi, aku nggak percaya. Sudah jelas satpam di rumahnya bilang kalau Bima meninggal dunia dan sudah di makamkan. Mana mungkin satpamnya berbohong. “Mungkin Mama salah lihat, jadi mikirnya dia Bima, padahal nyatanya Bima sudah meninggal dunia.”Mama terkekeh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya mungkin ya, kayanya Mama salah lihat malah nyangka dia itu Bima.”“Iya, Ma, mungkin sudah nasib Bima harus seperti itu, aku juga masih belum menyangka dia pergi secepat itu,” lirihku dengan perasaan berkecamuk. Selama mengenal Bima dari dulu sampai sekarang, dia adalah laki-laki yang baik, punya rasa tanggung jawab yang tinggi, dan selama menjalin hubungan dengan dia pun aku selalu merasa tenang da
Aku melangkah pelan bergegas membuka pintu, dan .....''Mas Tomi?''Aku menatap wajah suamiku dengan sedikit terkejut, rupanya yang mengetuk pintu adalah suamiku sendiri bukan seperti apa yang aku bayangkan.''Kamu kenapa?'' Tanya Mas Tomi heran.''Ah, nggak kenapa-napa kok, Mas,'' ucapku sembari terkekeh.Mas Tomi terdiam, dia melenggang dari hadapanku dan segera mencuci wajahnya.''Aku izin pagi ini mau pergi ya, Sayang,'' ujar Mas Tomi meminta izin.''Memangnya mau kemana sepagi ini, Mas?'' Aku kembali bertanya karena penasaran akan kemana perginya suamiku sepagi ini. Terlebih malam tadi kami tidak melakukan malam pert4ma yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri yang baru saja melewati proses ijab qobul kemarin, dan malah sekarang meminta izin untuk pergi?''Temanku ada yang meninggal,'' jelasnya lagi sambil menatapku dengan wajah serius.''Temanmu yang mana?'' tanyaku sembari menatap dengan pandangan dingin. Entah kenapa firasatku malah tertuju pada Bima.Ya, siapa lag
Hingga pada akhirnya ....Selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhku terbuka. Sorot mataku menerawang pada sosok laki-laki yang berdiri sembari melayangkan senyuman tipis di sudut bib1rnya.“Bi—bima ....”Aku terperanjat karena keterkejutan dengan apa yang sedang aku lihat saat ini. Untuk apa Bima berada di kamar ini? Mas Tomi? Dia kemana? Kenapa yang datang bukan suamiku. Ada apa ini sebenarnya? Pertanyaan itu seakan melayang di atas kepalaku. Entah mengapa Bima yang tadi tidak datang ke acara pernikahanku, dia malah terang-terangan datang ke kamar ini. Mau apa dia? “Kenapa kamu bisa masuk ke kamar ini, haa?” tanyaku seraya menaikan nada bicara. Aku tak suka dengan kedatangannya yang main nyolonong masuk tanpa permisi. Apa dia nggak tahu kalau kamar ini akan menjadi saksi m4l4m pert4ma aku bersama Mas Tomi, yang kini sudah resmi menjadi suamiku. Betul-betul tidak ada rasa malu. “Aku datang ke sini ingin melihat kamu betapa bahagianya menikah bersama laki-laki itu,” jelasnya sam
PoV Wulan“Bagaimana, Wulan, apakah kamu setuju dengan permintaan aku minggu lalu?” tanya seorang laki-laki, dia duduk sembari tersenyum berharap mendapat jawaban yang dia inginkan dari mulutku.Seminggu lalu, dia mencoba melamarku, lalu setelah itu, aku melakukan shalat istikhoroh agar mendapatkan jawaban atas apa yang aku doakan selama seminggu ini. Dan ternyata ....Akan tetapi, hatiku seakan tak mampu membohongi, aku takut menikah lagi dan gagal untuk yang kedua kalinya. Apalagi aku dan dia belum lama saling mengenal, aku tidak tahu karakternya seperti apa dan bagaimana. Aku selalu merasa bimbang menentukan pilihan.“Jawab, Ma, kenapa diam saja. Gadis sama adik-adik setuju kok kalau Mama mau menikah lagi,” pungkas anak pertamaku menimpali.“Iya, Wulan, mungkin sudah saatnya kamu mulai membuka hati dan menata kehidupan yang baru, Mama sangat berharap kamu bahagia, dan Mama pun setuju jika kamu menikah lagi,” ujar Mama menimpali, sama halnya seperti Gadis.Aku menatap ke sekeliling
Seketika itu, raut wajahku berubah, aku tak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat. Ternyata ....“Dinar?” Dinar menatap tajam ke arahku, sorot matanya seakan menahan penuh kebencian.“Aku akan melaporkan ke polisi kalau kamu yang sudah mencelakaiku, Bima,” pungkasnya berucap. Aku tidak tahu sejak kapan Dinar sudah sadarkan diri dari koma, saat sebelum kedatangan polisi bahkan setelah polisi pergi pun aku masih melihat Dinar dengan kedua matanya yang masih tertutup rapat.Apakah dia mendengar ucapanku barusan? Sepertinya iya. Apalagi melihat Dinar yang sengaja menjatuhkan gelas dan berucap bahwa akan melaporkan aku ke pihak kepolisian. Nggak bisa. Dia nggak akan mungkin bisa melapor, untuk bangun saja dia pasti akan sulit, apalagi sampai melapor langsung ke kantor polisi.“Maafkan aku, Dinar, aku nggak sengaja. Ini salah faham. Aku menyesal.” Aku berusaha memohon agar dia memaafkan aku. “Nggak sengaja katamu, hah? Kamu hampir akan membunuh aku, Bima, demi Tuhan, aku nggak ridh