PEMBALASAN UNTUK SUAMI TAK TAHU DIRI (2)
''Kamu salah, Wulan ... apa kamu lupa? Satu tahun lalu, kamu sudah menandatangi surat yang pernah aku berikan ke kamu. Rumah ini sudah beralih nama atas namaku sendiri Hilman Hendrawan. Jadi kamu tidak berhak menggugat ataupun mengusirku dari rumahku sendiri.''
Degh!
''Apa?''
Aku terkejut mendengar ucapan Mas Hilman. Apakah betul yang diucapkannya bahwa aku pernah menandatangi surat pemberian Mas Hilman satu tahun lalu? Tapi, masa iya? Bukankah selama ini, Mas Hilman tidak mengetahui di mana letak aku menyimpan barang berharga itu.
''Kamu bohong, Mas. Setahuku, aku sama sekali belum pernah menandatangani surat apapun yang pernah kamu kasih.''
''Jika kamu nggak percaya, nggak masalah. Yang penting rumah ini sudah menjadi atas namaku dan aku berhak tinggal di rumah ini!'' Tegasnya dan langsung pergi sembari menutup pintu dengan keras.
Aku yakin, suamiku berbohong. Dia nggak akan mungkin berani memindahkan nama kepemilikan rumah ini, apalagi aku sama sekali enggak pernah merasa menandatangani surat apapun. Mungkin ia hanya mengancam supaya aku takut.
Sebagai seorang istri, ingin sekali rasanya dibahagiakan oleh suami. Bukan hanya materi saja, setidaknya jika Mas Hilman menunjukkan rasa sayang dan cintanya dengan cara perhatian aku sangat bersyukur.
Suara deringan ponsel seketika membuyarkan lamunanku, aku langsung mencari di mana letak benda pipih berada. Tak jauh dari tempat aku berdiri, terlihat jelas benda seperti ponsel terselip di balik bantal sofa. Rupanya ini adalah ponsel Mas Hilman. Aku lantas menatap layar dan ternyata kontak itu bertuliskan 'Bidadari'.
'Hah, bidadari? Siapa dia?' gumamku dalam hati.
Tanpa menaruh curiga, aku langsung mengangkat panggilan telepon tersebut.
''Kamu dari mana saja sih, kok baru sekarang ngangkat teleponnya?'' tanya suara wanita yang seakan marah dari seberang telepon.
Siapa dia?
Aku berusaha untuk tidak menjawab pertanyaannya. Aku ingin tahu, apa yang ingin ia ucapkan.
''Kenapa nggak di jawab? Jadi nggak kita ketemu? Aku ingin dinner romantis di restoran seperti kemarin,'' sahutnya lagi.
Diner romantis seperti kemarin? Apa jangan-jangan selama ini Mas Hilman ada main wanita di belakangku?
Pantas saja, selama ini dia selalu acuh dan jarang betah di rumah. Sekarang aku paham, kontak yang bernama 'Bidadari' ini siapa. Aku ingin tahu seberapa cantiknya dia hingga Mas Hilman menamai kontak wanita ini 'Bidadari'.
Aku pun lantas mematikan sambungan telepon secara sepihak. Biarlah, biar wanita itu tahu diri bahwa Mas Hilman sudah memiliki istri dan anak.
Sekarang aku melangkah meninggalkan kamar bermaksud mencari keberadaan Mas Hilman, semoga saja ia belum pergi dari rumah.
''Bagus! Ibu setuju. Seharusnya dari dulu kamu berbuat nekad seperti itu, Wulan pasti nggak akan mungkin curiga.''
Tiba-tiba langkah kakiku terhenti ketika aku mendengar Ibu berbicara. Terlihat, Mas Hilman pun ada dan nampaknya mereka tengah mengobrol tentangku.
''Betul, Bu. Wulan memang sangat polos. Aku pun nggak menyangka bisa semudah itu mendapatkan barang berharga itu,'' ujar Mas Hilman.
Barang berharga? Maksudnya apa? Apa jangan-jangan yang dimaksud adalah sertifikat rumah ini?
''Barang berharga apa yang dimaksud kalian?'' tanyaku sehingga membuat mereka terkejut.
''Wulan ... sejak kapan kamu ada di sini?'' tanya Mas Hilman. Wajahnya terlihat cemas.
''Aku barusan mendengar obrolan kalian. Kenapa kamu menyebut aku polos dan barang berharga apa yang kamu maksud?'' tanyaku lagi.
Mas Hilman bangkit, dia menghampiriku. ''Aku sama sekali nggak mengatakan itu, kamu mungkin salah dengar. Ya, 'kan, Bu?'' ujarnya sambil menatap ke arah Ibu.
''Betul, Wulan. Kamu salah dengar, kami sama sekali nggak membicarakan kamu.'' Timpal Ibu terbata-bata.
''Jangan bohong! Kamu pikir aku bodoh! Asal kamu tahu, Mas. Selama ini aku sudah cukup sabar menghadapi kamu, ya. Bisa nggak sih kamu terbuka. Tolong jujur!''
Aku sama sekali nggak mempercayai ucapan Mas Hilman dan Ibu. Mereka mungkin telah bersekongkol di belakangku.
''Jaga bicaramu, Wulan. Tidak pantas kamu bicara seperti itu! Kamu itu cuma wanita polos yang nggak mengerti apa-apa.'' Dia marah. Padahal seharusnya aku yang harus marah karena dia sudah menjelekan aku di hadapan ibunya.
''Justru kamu yang harus jaga bicara. Sudah selingkuh, ngomongin kejelekan istri pula. Terus tadi kamu bilang aku polos dan sebut barang berharga. Maksudnya apa coba?'' sahutku nggak mau kalah.
''Selingkuh apalagi maksudmu, Wulan? Apa kamu nggak capek setiap hari kita berantem terus. Seharusnya kamu mikir, sudah sempurna belum kamu sebagai seorang istri berbakti pada suami,'' celotehnya lagi.
Aku menggeleng dan tersenyum sinis. ''Gini, sekarang aku tahu sama kamu Hilman Hendrawan. Kamu sudah sempurna belum menjadi seorang suami sekaligus imam yang terbaik untuk istri dan anak-anakmu, sudah pantas belum? Bisanya menasihati tapi kamu sama sekali nggak pernah mengkoreksi diri sendiri.''
''Kur4ng 4jar! Brengsek kau!''
Tiba-tiba, suamiku tak bisa menahan amarahnya. Dia melayangkan dua kali tamparan mengenai kedua pipiku. Tubuhku langsung terjatuh.
''Mama ....''
Tiba-tiba saja, Gadis—anak pertamaku datang. Dia menolong dan membantuku bangkit.
''Papa keterlaluan! Tega sekali sudah mendorong Mama!'' ujar Gadis marah.
Terlihat, tidak ada raut wajah penyesalan pada wajah Mas Hilman. Dia seakan nggak perduli, padahal sudah jelas-jelas dia sudah bertindak kasar terhadapku. Itu sudah dinamakan sebagai tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
''Mama nggak apa-apa, kan?'' tanya Gadis khawatir.
''Nggak apa-apa, Gadis. Terima kasih, ya.'' Aku tersenyum.
''Papa kok tega mendorong Mama, memangnya ada masalah apa?'' tanya Gadis penasaran.
''Mungkin Papa nggak sengaja, Gadis. Sekarang kamu pergi ke kamar ya ganti baju.'' Gadis mengangguk. Dia pergi ke kamar.
Aku menarik nafas gusar. Ingin sekali rasanya membalas perlakuan Mas Hilman, tapi bagaimana caranya?
Tiba-tiba ponsel berdering. Aku menatap pada layar, ternyata Papa menelepon.
''Kamu di mana sekarang? Jadi ke sini?'' tanya Papa dari seberang telepon.
''Jadi, Pa. Sekarang aku ke sana.'' Panggilan pun langsung berakhir. Aku lantas pergi meninggalkan halaman rumah.
****
''Aku menyesal karena dulu nggak menuruti ucapan Papa, jika dulu aku nurut mungkin aku nggak akan pernah menikah dengan Mas Hilman,'' ucapku pada Papa. Air mataku tak henti menetes di pelukan Papa.
Saat ini, aku tengah berada di rumah kedua orang tuaku.
''Menyesal pun sekarang sudah nggak ada gunanya lagi, Wulan. Semuanya sudah terjadi. Apalagi kamu dan Hilman sudah memiliki anak tiga,'' ujar Papa.
Aku terdiam dan hanya bisa menangis sekarang. Aku mencurahkan semua keluh kesah yang aku rasakan kepada Papa. Selama ini, aku selalu menyembunyikan rasa sakit hatiku. Tapi sekarang, aku mencurahkan apa yang aku pendam kepada Papa.
Papa terlihat sangat marah dan emosi ketika mendengar Mas Hilman sudah bertindak kasar. Padahal, selama ini nggak pernah sekalipun kedua orang tuaku melakukan tindakan kasar seperti apa yang dilakukan oleh Mas Hilman hingga membuatku trauma.
''Oh iya, ada sesuatu hal yang ingin Papa bicarakan tentang kamu mengenai ... Bima. Kemarin dia datang membicarakan kamu, dia bilang hingga detik ini masih menunggumu,'' ujar Papa lagi. Aku resah mendengar nama itu disebutkan kembali, padahal aku sudah lama melupakannya.
Bima, laki-laki yang dulu pernah singgah di hatiku. Namun, hubungan kami harus berakhir dengan cara yang tidak kusangka. Bima mengkonsumsi minuman keras hingga dengan sengaja melakukan tindakan pem3rk0saan terhadap Dinar—sahabatku.
Saat kejadian itu, aku sama sekali nggak menyangka. Laki-laki yang sangat aku cintai tega melakukan hal bejad terhadap Dinar hingga persahabatan kami kandas. Sejak saat itu, aku mulai melupakan tentangnya dan bertemu dengan Mas Hilman—laki-laki yang menjadi suamiku kini.
Tahun demi tahun, tak pernah lagi aku mendengar kabar mengenai Bima dan Dinar. Tapi sekarang, Bima kembali datang dan mengatakan bahwa ia masih menungguku? Hah, ucapan laki-laki buaya darat memang seperti itu!
''Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, Wulan. Bukankah kamu tidak bahagia dengan Hilman?''
Bersambung
Jangan lupa untuk subscribe dan follow akun author ya☺️
“Mas pengen punya anak dari kamu, Dek,” ucap Tomi pada Wulan. Saat ini, mereka tengah berbincang di kamar sembari menatap langit-langit yang ada di dinding. “Sabar, ya, Mas. Maaf aku belum bisa kasih keturunan sama kamu. Tapi mudah-mudahan kedepannya aku bisa hamil nanti. Kita berdoa aja, ya,” ujar Wulan penuh harap. Dia berusaha meyakini suaminya—Tomi agar mau bersabar menunggu buah hati yang dia idam-idamkan dari rahim Wulan. “Tapi kapan, Dek?” Tomi menatap nanar wajah istrinya. Dia benar-benar sangat berharap Wulan hamil dan bisa memberikan keturunan untuknya. “Ntahlah, Mas. Lagipula Mas tahu sendiri aku sudah melahirkan empat orang anak, mungkin aku susah hamilnya karena itu.”Tomi menghela nafas berat, dia merasa sudah seharusnya menjadi ayah, pernikahannya sudah berjalan selama tiga tahun namun Wulan belum juga bisa memberikan keturunan kepadanya. Memang, Wulan sudah memiliki anak empat dengan pernikahan yang sebelumnya bersama Hilman. Akan tetapi, Tomi ingin memunyai anak b
“Tapi, kemarin Mama kaya lihat dia di penginapan ....” “Di penginapan?” tanyaku sedikit dengan nada terkejut. “Iya, benar. Persis seperti Bima. Waktu itu Mama pengen panggil dia tapi malah keburu masuk ke mobil.” Mama menjelaskan. Aku sedikit terkejut ketika mendengar ucapan Mama. Tetapi, aku nggak percaya. Sudah jelas satpam di rumahnya bilang kalau Bima meninggal dunia dan sudah di makamkan. Mana mungkin satpamnya berbohong. “Mungkin Mama salah lihat, jadi mikirnya dia Bima, padahal nyatanya Bima sudah meninggal dunia.”Mama terkekeh sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Iya mungkin ya, kayanya Mama salah lihat malah nyangka dia itu Bima.”“Iya, Ma, mungkin sudah nasib Bima harus seperti itu, aku juga masih belum menyangka dia pergi secepat itu,” lirihku dengan perasaan berkecamuk. Selama mengenal Bima dari dulu sampai sekarang, dia adalah laki-laki yang baik, punya rasa tanggung jawab yang tinggi, dan selama menjalin hubungan dengan dia pun aku selalu merasa tenang da
Aku melangkah pelan bergegas membuka pintu, dan .....''Mas Tomi?''Aku menatap wajah suamiku dengan sedikit terkejut, rupanya yang mengetuk pintu adalah suamiku sendiri bukan seperti apa yang aku bayangkan.''Kamu kenapa?'' Tanya Mas Tomi heran.''Ah, nggak kenapa-napa kok, Mas,'' ucapku sembari terkekeh.Mas Tomi terdiam, dia melenggang dari hadapanku dan segera mencuci wajahnya.''Aku izin pagi ini mau pergi ya, Sayang,'' ujar Mas Tomi meminta izin.''Memangnya mau kemana sepagi ini, Mas?'' Aku kembali bertanya karena penasaran akan kemana perginya suamiku sepagi ini. Terlebih malam tadi kami tidak melakukan malam pert4ma yang seharusnya dilakukan oleh sepasang suami istri yang baru saja melewati proses ijab qobul kemarin, dan malah sekarang meminta izin untuk pergi?''Temanku ada yang meninggal,'' jelasnya lagi sambil menatapku dengan wajah serius.''Temanmu yang mana?'' tanyaku sembari menatap dengan pandangan dingin. Entah kenapa firasatku malah tertuju pada Bima.Ya, siapa lag
Hingga pada akhirnya ....Selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhku terbuka. Sorot mataku menerawang pada sosok laki-laki yang berdiri sembari melayangkan senyuman tipis di sudut bib1rnya.“Bi—bima ....”Aku terperanjat karena keterkejutan dengan apa yang sedang aku lihat saat ini. Untuk apa Bima berada di kamar ini? Mas Tomi? Dia kemana? Kenapa yang datang bukan suamiku. Ada apa ini sebenarnya? Pertanyaan itu seakan melayang di atas kepalaku. Entah mengapa Bima yang tadi tidak datang ke acara pernikahanku, dia malah terang-terangan datang ke kamar ini. Mau apa dia? “Kenapa kamu bisa masuk ke kamar ini, haa?” tanyaku seraya menaikan nada bicara. Aku tak suka dengan kedatangannya yang main nyolonong masuk tanpa permisi. Apa dia nggak tahu kalau kamar ini akan menjadi saksi m4l4m pert4ma aku bersama Mas Tomi, yang kini sudah resmi menjadi suamiku. Betul-betul tidak ada rasa malu. “Aku datang ke sini ingin melihat kamu betapa bahagianya menikah bersama laki-laki itu,” jelasnya sam
PoV Wulan“Bagaimana, Wulan, apakah kamu setuju dengan permintaan aku minggu lalu?” tanya seorang laki-laki, dia duduk sembari tersenyum berharap mendapat jawaban yang dia inginkan dari mulutku.Seminggu lalu, dia mencoba melamarku, lalu setelah itu, aku melakukan shalat istikhoroh agar mendapatkan jawaban atas apa yang aku doakan selama seminggu ini. Dan ternyata ....Akan tetapi, hatiku seakan tak mampu membohongi, aku takut menikah lagi dan gagal untuk yang kedua kalinya. Apalagi aku dan dia belum lama saling mengenal, aku tidak tahu karakternya seperti apa dan bagaimana. Aku selalu merasa bimbang menentukan pilihan.“Jawab, Ma, kenapa diam saja. Gadis sama adik-adik setuju kok kalau Mama mau menikah lagi,” pungkas anak pertamaku menimpali.“Iya, Wulan, mungkin sudah saatnya kamu mulai membuka hati dan menata kehidupan yang baru, Mama sangat berharap kamu bahagia, dan Mama pun setuju jika kamu menikah lagi,” ujar Mama menimpali, sama halnya seperti Gadis.Aku menatap ke sekeliling
Seketika itu, raut wajahku berubah, aku tak percaya dengan apa yang saat ini aku lihat. Ternyata ....“Dinar?” Dinar menatap tajam ke arahku, sorot matanya seakan menahan penuh kebencian.“Aku akan melaporkan ke polisi kalau kamu yang sudah mencelakaiku, Bima,” pungkasnya berucap. Aku tidak tahu sejak kapan Dinar sudah sadarkan diri dari koma, saat sebelum kedatangan polisi bahkan setelah polisi pergi pun aku masih melihat Dinar dengan kedua matanya yang masih tertutup rapat.Apakah dia mendengar ucapanku barusan? Sepertinya iya. Apalagi melihat Dinar yang sengaja menjatuhkan gelas dan berucap bahwa akan melaporkan aku ke pihak kepolisian. Nggak bisa. Dia nggak akan mungkin bisa melapor, untuk bangun saja dia pasti akan sulit, apalagi sampai melapor langsung ke kantor polisi.“Maafkan aku, Dinar, aku nggak sengaja. Ini salah faham. Aku menyesal.” Aku berusaha memohon agar dia memaafkan aku. “Nggak sengaja katamu, hah? Kamu hampir akan membunuh aku, Bima, demi Tuhan, aku nggak ridh