"Lari nak, pergilah" Bisik seorang wanita dengan kulit kuning langsat pada gadis cantik dengan kulit putih dan bibir merah bak delima.
"Gak buk, Raras gak mau" "Dengarkan ibuk nak, pergilah dari sini demi keselamatanmu" ibu terlihat bersimbah air mata tapi gadis dua puluh satu tahun itu masih tetap menggeleng. "Dengarkan ibu Raras!" Wanita paruh baya itu berteriak keras, nafasnya tersengal menahan amarah Raras Sekarini namanya, Terlahir dari keluarga sederhana namun bahagia menjadi sebuah syukur bagi Raras. Tapi semua tak seindah yang ia harapkan. Saudara laki-laki tertuanya merantau ke luar negeri dan tak ada kabar sampai sekarang, Raras terlahir sebagai anak tengah dan perempuan Satu-satunya, ia memiliki Adik laki-laki yang sekarang masih Sma. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga dahulu tapi sekarang? tidak lagi tepatnya semenjak ayahnya di jebloskan ke penjara oleh juragan Warto. Ibu harus mengantikan ayah di sawah dan kebun milik mereka. Juragan itu bisa dibilang sebaya ayah Raras, suka bertindak semena-mena di kampung ini dan merasa paling kaya. Ayah Raras tidak salah, ia tertuduh mencuri pupuk yang tadinya diantar oleh seorang warga, katanya bantuan dari desa tapi tiba-tiba Juragan Warto datang dan menuduh ayah Raras mencuri. Masih membekas diingatan Raras kejadian Juragan Warto mengajukan syarat untuk membebaskan sang ayah pada Raras tapi kedua orang tua Raras menolak syarat pria tua itu. "Pergilah nak, ibu dan bapak tidak rela kamu menikahi si Warto" "Tapi bagaimana dengan ibuk dan adik?" Raras terisak pilu memeluk sang ibu. Sementara adik Raras menangis dan merasa tak berguna sekarang. Adik Raras yang bernama Aryo menghapus kasar air matanya. Suara jangkrik mendominasi malam ini, Tak lama ketukan kuat dan hantaman keras di pintu depan berbunyi. "Raras, buka pintunya. Calon suami kamu datang sayang" "Sayangku, Jangan malu. Ayo keluar" Itu suara Juragan Warto. Tubuh Raras bergetar. Aryo mengambil tas dan membuka lemari sang kakak kemudian memasukkan pakaian Raras secara asal. "Apa yang kamu lakukan dek?" "Aku yang memutuskan kak, aku gak mau melihat kakak menikah dengan bandot tua itu." "Tapi bagaimana dengan ayah? "Ayah akan bebas nanti" Ibu Raras menangis, ia berjalan keluar kamar putrinya kemudian masuk kedalam kamarnya mengambil beberapa uang simpanan. "Ini ambillah, gunakan untuk keperluan kamu" "Buk.." Raras menangis memeluk ibunya, wanita itu mengusap lembut bahu sang putri. "Doa ibuk selalu untuk kamu sayang" Aryo menatap ibunya memberi pengertian tanpa bicara bahwa ia akan mengantarkan kakaknya ke jalan untuk mencari bus. "Antarkan kakak mu sampai mendapatkan tumpangan nak" Aryo mengangguk, tanpa pikir panjang ia segera mengenggam tangan sang kakak. Raras memeluk sang ibu dan tangis haru mewarnai malam itu. Sementara didepan Rumah Juragan Warto masih tak bosan mengetuk pintu. Melancarkan godaan dan bahkan sudah membayangkan berbagai hal indah yang akan ia lalui bersama Raras. "Kok gak dibuka juga ya?" Juragan bertanya pada anak buahnya. "Mungkin dia dandan dulu juragan, pakai baju seksi untuk menyambut calon suami. beuh pasti cantik sekali dengan kulit seputih susu miliknya dan menggoda mata" Juragan Warto tersenyum tapi kemudian mengeplak bahu anak buahnya kencang. "Berani sekali kamu membayangkan calon istriku" "Ma.. Maaf juragan" Anak buahnya meringis kesakitan. Siapa yang tidak menyukai Raras Sekarini? Kembang desa yang menjadi buah bibir pemuda desa bahkan desa tetangga. Gadis itu sangat cantik dan tutur katanya juga lembut dan santun. Kehadiran Raras bak musik penenang kala pikiran sembrawut. Indah begitulah kata yang muncul di benak pria desa kala melihat gadis itu. Juragan Warto kembali mengetuk pintu tanpa kata menyerah sedikitpun. Ia sudah lama menduda sejak bercerai dengan istrinya dan memilih untuk bergonta-ganti pasangan setiap malam, Mbak mbak yang sering nongkrong di cafe remang kerap menjadi langganan juragan tua itu. Tapi setelah melihat Raras tumbuh dewasa dan cantik, pria tua itu menjadi terobsesi dengan Raras. Sementara Raras keluar dari pintu belakang rumah, pemandangan sawah menjadi pemandangan di gelapnya malam. Suasana dingin menusuk kulit tapi itu tak menghentikan tekad Aryo untuk menyelamatkan kakaknya. Aryo tak berhenti berlari meski peluh membasahi wajahnya, meski kakinya terasa perih terkena bebatuan di pematang sawah. Hanya satu hal yang mengisi kepalanya yaitu menyelamatkan sang kakak dari jerat pernikahan yang tidak ia inginkan. Juragan Warto menawarkan pernikahan sebagai syarat untuk membebaskan ayah mereka tapi ayah Raras menolak bebas jika harus melihat putri cantiknya menikahi juragan mata keranjang itu. Tangan kakaknya terus digenggam erat, dingin dan gemetar. Gadis itu menunduk, menahan isak tangis yang nyaris pecah. Malam kian larut, hanya cahaya bulan yang setia menerangi jalan mereka. Suara burung hantu sesekali terdengar, menyatu dengan gesekan dedaunan padi yang tertiup angin. Begitu sampai di jalan raya, Aryo menarik napas panjang, dadanya naik turun dengan cepat. Ia menoleh ke kanan dan kiri, jalanan tampak lengang, hanya sesekali suara deru kendaraan besar lewat menggetarkan tanah di bawah kaki mereka. “Kak, tunggu di sini sebentar,” ujar Aryo, suaranya serak tapi tegas. “Aku bakal hentikan bus atau cari travel yang lewat. Kakak harus pergi malam ini juga, sebelum orang-orang itu nyusul kita.” Sang kakak memegang bahunya, matanya berkaca-kaca. “Aryo… kalau kakak pergi, bagaimana denganmu dan ibuk?” Aryo menggigit bibirnya, menahan getir yang mendesak di dada. Ia tahu, setelah ini ia mungkin harus menghadapi amarah, bahkan ancaman juragan tua yang punya banyak pengikut. Tapi ia sudah mantap dengan pilihannya. “Aku nggak apa-apa. Selama Kakak bisa bebas, aku rela. Aku adikmu… tugasku melindungi Kakakku dan juga ibuk.” Raras menangis dalam diam. "Jaga diri kakak dengan baik, kami sayang kakak" Raras memeluk adiknya yang kini sudah dewasa dan selalu melindunginya. Dari kejauhan, cahaya lampu kendaraan mendekat. Aryo langsung melambaikan tangannya, berharap itu bus antarkota atau setidaknya travel yang bisa membawa sang kakak pergi jauh dari desa. Malam itu, di bawah langit yang sepi, dua saudara itu berdiri di pinggir jalan raya, menantang nasib dan takdir yang sudah ditentukan untuk mereka. Tapi itu bukan Bus atau Travel tapi mobil pribadi. Mobil itu berhenti dan seorang wanita paruh baya yang merupakan tetangga mereka di desa keluar dari dalam. "Aryo, kamu ngapain malam-malam disini?" Bik Jani, begitu mereka memanggilnya. Jani bekerja sebagai asisten rumah tangga di kota puluhan tahun dan memang ia pulang kemarin bersama supir dari majikannya karena saudara Jani meninggal. "Bik, tolong kakakku" "Apa yang bisa bibik lakukan?" Aryo menjelaskan semuanya tanpa terkecuali pada Jani, membuat wanita tua itu prihatin. "Kalau gitu, Raras bisa ikut bersama bibik ke kota" Senyum lega terbit di bibir Aryo. Ia memanggil kakaknya. "Kak, pergilah bersama bik Jani" Raras menatap adiknya, menangis lagi dan mereka saling memeluk erat. "Bik jaga kakakku, aku percaya pada bibik" "Kamu tenang saja nak, Raras bisa bekerja dirumah majikan bibik dan bibik pasti akan menjaga kakakkmu" *****Sore menjelang malam, rumah besar itu kembali ramai. Tuan dan nyonya besar sudah kembali kerumah. Di dapur Raras membantu Bik Jani bersama Yuni dan Ratna yang ia panggil mbak untuk memasak menu makan malam. Udang tepung dan berbagai menu lainnya. "Semoga kamu betah disini ya ras" Ucap Ratna yang berdiri disamping Raras Raras yang sedang memotong bawang menoleh kemudian tersenyum. "Kalau ada yang gak paham atau dipertanyakan, tanya aja sama Bibik atau sama mbak Yuni atau Ratna" Bik Jani ikut bicara "Kamu itu cantik banget dek, aku penasaran loh sedari tadi mau nanya. kamu ada keturunan bule ngak sih? cantik banget kamu" Yuni gak berhenti memuji Raras dan itu membuat Raras menggeleng heran. "Aku gak cantik ah mbak, cantikan juga mbak" Yuni tertawa mendengarnya. "Kamu benar dek, mbak cantik. Sangking cantiknya mbak ditinggal selingkuh " Tawa Yuni terdengar sumbang dan pilu. Raras jadi gak enak hati mendengarnya, gadis itu mendekati Yuni memegang pundaknya kemud
Hari pertama yang cukup baik bagi Raras, masakannya ternyata disukai majikan barunya. Bik Jani juga banyak membantunya, wanita itu sangat baik sekali. Disini Raras bertemu Yuni, ia juga pekerja dirumah konglomerat ini sama seperti Jani dan Raras. Yuni, seorang janda muda, bercerai dari suaminya karena sang suami selingkuh. Janda muda itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Siang itu setelah majikan mereka pergi bekerja dan sibuk dengan rutinitas aktivitas masing-masing. Raras duduk bersama Yuni di meja belakang khusus buat para pekerja. Menikmati segelas coklat dingin dan seblak yang baru saja dibuat Yuni untuk mereka berdua. "Semoga betah disini ya dek" Yuni menyeruput Coklat sembari menatap Raras. Senyum Raras terkembang di wajah cantiknya, ia menganggukkan kepalanya. "Kamu cantik banget loh dek, gak cocok jadi Art tapi cocok jadi nyonya, mungkin bisa jadi nona muda rumah ini" Yuni cekikikan menutup mulut dengan wajah yang berbinar. Raras hanya tersenyum
Maxime Yudhanegara bukanlah nama asing di kalangan pengusaha muda di negara ini. Di usia tiga puluh empat tahun, ia sudah berhasil membawa perusahaan keluarganya ke level yang lebih tinggi. Perusahaan kosmetik yang dulu hanya beroperasi dalam lingkup kecil, sebuah usaha rumahan yang dirintis oleh kakeknya puluhan tahun lalu kini berkembang menjadi salah satu brand kecantikan lokal ternama dengan pasar yang menjangkau hampir seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Meski banyak yang melihatnya sebagai sosok sempurna muda, mapan, tampan, dan karismatik. Maxime tahu betul bahwa apa yang ia capai tidak datang dengan mudah. Ada kerja keras yang tak pernah henti, ada malam-malam panjang tanpa tidur, ada juga tanggung jawab besar yang menempel erat di pundaknya sejak ia memutuskan untuk meneruskan usaha keluarga. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar meninggi, Maxime sudah berada di kantor pusat perusahaannya. Gedung berlantai puluhan itu berdiri megah di pusat kota, dikelilingi gedung
"Bik, bangun udah sampai" Bik Jani bangun dan membuka mata tanpa drama sama sekali. Ia menguap kemudian menatap sekitar. "Udah sampai toh?" "Udah, ayo turun" Bik Jani menoleh ke belakang dan membangunkan Raras. "Nduk, bangun kita udah sampai" Raras langsung membuka mata, ia menatap ke sekitar dengan pandangan linglung. Malam begitu pekat, namun lampu-lampu jalan perkotaan masih menyala terang. Suara mesin mobil yang perlahan berhenti membuat jantungnya berdebar. Gadis itu baru sadar kalau ia sudah benar-benar jauh dari kampungnya. “Ndak, ayo turun. Kita udah sampai,” ujar Bik Jani sembari menepuk pelan lengan Raras. Pintu mobil dibuka dari luar oleh seorang pria muda cukup ramah. Ia sopir pribadi keluarga majikan Bik Jani, wajahnya tegas namun ramah. Raras hanya mampu menunduk, menahan rasa canggung. Bukan hanya karena laki-laki itu asing baginya, melainkan juga karena tempat ini benar-benar jauh dari kehidupannya yang sederhana. Begitu melangkah turun, pandangan R
Malam itu, rumah sederhana keluarga Raras berubah menjadi lautan ketakutan. Angin malam berhembus dingin, tapi hawa panas amarah juragan Warto jauh lebih menusuk dada semua orang yang ada di dalam rumah termasuk ibu. Lelaki itu berdiri dengan dada membusung, wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menonjol, matanya melotot bagai harimau kelaparan yang kehilangan buruannya. “Di mana anak mu?! Di mana calon istri ku?!” teriaknya dengan suara menggelegar, membuat dinding kayu rumah bergetar. Tongkat kayu yang selalu menemaninya dihantamkan keras ke lantai, menimbulkan suara menggetarkan jantung. Ibu Raras yang sudah berumur separuh baya hanya bisa berlutut di sudut ruangan. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi gamis biru yang ia kenakan. Ia menangis, bukan hanya karena takut pada juragan yang berangasan itu, tetapi juga karena hatinya teriris melihat putrinya harus berlari menyelamatkan diri dari pernikahan yang dipaksakan, dari pria seperti juragan mata keranjang ini. “Ma
"Lari nak, pergilah" Bisik seorang wanita dengan kulit kuning langsat pada gadis cantik dengan kulit putih dan bibir merah bak delima. "Gak buk, Raras gak mau" "Dengarkan ibuk nak, pergilah dari sini demi keselamatanmu" ibu terlihat bersimbah air mata tapi gadis dua puluh satu tahun itu masih tetap menggeleng. "Dengarkan ibu Raras!" Wanita paruh baya itu berteriak keras, nafasnya tersengal menahan amarah Raras Sekarini namanya, Terlahir dari keluarga sederhana namun bahagia menjadi sebuah syukur bagi Raras. Tapi semua tak seindah yang ia harapkan. Saudara laki-laki tertuanya merantau ke luar negeri dan tak ada kabar sampai sekarang, Raras terlahir sebagai anak tengah dan perempuan Satu-satunya, ia memiliki Adik laki-laki yang sekarang masih Sma. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga dahulu tapi sekarang? tidak lagi tepatnya semenjak ayahnya di jebloskan ke penjara oleh juragan Warto. Ibu harus mengantikan ayah di sawah dan kebun milik mereka. Juragan itu bisa