Share

Bab 8

Author: Kanza-Azzahra
last update Last Updated: 2025-10-24 23:35:28

Pagi di kampung itu terasa sendu meski mentari sudah menanjak tinggi. Embun masih menempel di ujung rumput, ayam berkokok dari kejauhan, dan suara gamelan bambu dari rumah tetangga terdengar samar di antara hembusan angin lembap. Di rumah sederhana milik keluarga Raras, udara pagi dipenuhi aroma kopi hitam dan suara isak tertahan.

Ibu Raras duduk di kursi dalam rumahnya, masih dengan mata sembab dan wajah letih. Di pangkuannya tergenggam selendang biru milik Raras,

selendang kesayangannya sejak kecil.

Sudah dua hari Raras pergi, tapi rasanya seperti berbulan-bulan bagi sang ibu. Walau semalam anaknya sempat menelpon, kerinduan itu tak berkurang sedikit pun.

“Katanya baik-baik saja, tapi Ibu masih kepikiran, kakak kamu…” ucapnya pelan, suaranya serak dan bergetar. “Kota itu besar, Nak. Ibu takut Raras bingung di sana.”

Sang putra bungsu yang masih berseragam SMA, menatap ibunya dengan lembut. Ia baru saja meletakkan sepiring tempe goreng di meja. “Sudahlah, Bu. Mbak Raras sama Bik Jani, kan? Aman kok. Tadi waktu nelpon juga suaranya ceria. Katanya rumah majikan Bik Jani bagus banget.”

Ibu menghela napas panjang, menatap keluar jendela tempat sinar matahari menembus tirai lusuh. “Iya, Ibu tahu… tapi tetap saja, hati ini rasanya nggak tenang. Raras baru pertama kali pergi jauh. Kalau ada Ayahmu…” ucapnya terputus, matanya berkaca-kaca lagi.

Rian cepat-cepat memegang tangan ibunya. “Ibu jangan nangis lagi, ya. Ayah pasti juga nggak mau lihat Ibu terus sedih. Mbak Raras pergi juga demi kebaikan, kan? Biar nggak dijodohin sama si Juragan itu.”

Ibu mengangguk pelan, menyeka air matanya dengan ujung kerudung. “Iya, Ibu tahu. Ibu cuma kangen. Biasanya tiap pagi Raras bantu nyapu halaman, sekarang sepi banget.”

Remaja itu tersenyum kecil, berusaha menghibur. “Kalau gitu, nanti aku yang nyapu. Tapi jangan suruh masak, ya. Bisa gosong semua,” ujarnya, mencoba membuat ibunya tertawa.

Dan berhasil. Ibu tersenyum tipis di antara air mata.

“Dasar kamu ini, kalau nggak bikin Ibu kesal, ya bikin ketawa terus.”

Suasana di rumah itu perlahan menghangat. Angin pagi masuk lewat jendela, membawa aroma sawah dan wangi bunga melati dari kebun kecil di belakang rumah. Di dapur, air di panci mendidih pelan, sementara radio tua memutar lagu lawas—menemani pagi yang penuh rindu tapi juga penuh doa.

Radio kesayangan ayah.

Ibu menatap langit-langit rumah mereka, kemudian berbisik lirih, “Semoga Raras benar-benar bahagia di sana, Nak. Jangan sampai ada yang menyakitinya lagi.”

Remaja itu menatap ibunya lama, lalu tersenyum yakin. “Pasti, Bu. Mbak Raras kuat, kok. Kita juga harus kuat. Ayah di penjara, Mbak di kota, tinggal kita berdua yang jaga rumah ini. Nanti kalau semuanya udah selesai, kita pasti kumpul lagi.”

Ibu mengangguk pelan. Hatinya masih sesak, tapi sedikit lega mendengar suara Raras semalam di telepon. “Ibu kangen banget sama suaranya. Tapi alhamdulillah, dia nelpon. Masih sempat bilang ‘Ibu jangan nangis, ya’. Padahal justru kalimat itu bikin Ibu makin nangis.”

Si bungsu itu tertawa kecil. “Namanya juga Mbak Raras. Selalu manis, tapi suka bikin nangis.”

Di luar, suara sapi dari kandang tetangga bercampur dengan desir angin dan kicau burung. Hari baru dimulai di kampung itu, dengan rindu yang masih menggantung, tapi juga dengan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.

Rumah sederhana itu mungkin sunyi tanpa Raras, tapi di dalamnya, doa dan harapan terus tumbuh dan menjaga setiap langkah anak perempuan yang kini berjuang di dunia yang lebih luas.

______

Sementara di Rumah Juragan Warto

Rumah besar milik Juragan Warto sore itu terasa lebih mencekam dari biasanya. Angin yang berembus dari jendela lebar ruang tamu seolah ikut takut menembus ke dalam. Langit kampung masih biru pucat, tapi suasana di dalam rumah itu sudah gelap oleh amarah.

Pria berusia lima puluhan itu berdiri di depan meja tamu, batiknya terbuka dua kancing di atas, memperlihatkan perut buncit yang naik-turun seiring napasnya yang memburu. Koran yang baru dibacanya tadi pagi kini diremas dan dilempar ke lantai.

“Dua hari! Dua hari, dan gadis itu belum ketemu juga?!” suaranya menggelegar, membuat dua anak buahnya yang berdiri di depan pintu nyaris mundur.

Salah satu dari mereka memberanikan diri menjawab, “Dengar kabarnya, Juragan. Katanya Raras itu izin kerja di kota. Kata tetangga mereka sempurna dengar Raras nelpon.”

Juragan Warto mendengus, matanya melotot tajam seperti mau menelan orang. “Kerja di kota? Hah! Gadis itu masih polos dan terlalu muda, tiba-tiba bisa kerja di kota? Jangan bodoh! Pasti ada yang bantuin dia kabur!”

Tangannya mengambil asbak di meja dan menghantamkannya ke lantai. Pecahannya beterbangan, dan abu rokok berserakan di karpet mahalnya sendiri. Tapi Juragan tidak peduli.

“Dasar sial! Aku udah janjikan hidup enak, rumah, uang, bahkan mau nikahin dia secara baik-baik! Tapi malah kabur!” suaranya meninggi lagi.

Kedua anak buahnya menelan ludah. Tak ada yang berani menjawab. Semua tahu, sejak bercerai lima tahun lalu, Juragan Warto jadi mudah meledak. Rumah besar yang dulu ramai kini hanya diisi suara langkahnya yang berat, dan bentakan-bentakan tanpa arah.

Ia berjalan mondar-mandir di ruang tamu, menatap bingkai foto lamanya di dinding—foto saat ia masih muda dan tersenyum bersama mantan istrinya. Sudut bibirnya bergerak kaku, antara menyesal dan marah.

“Kalau ketemu Raras,” katanya pelan tapi mengancam, “seret dia ke sini. Aku nggak peduli dia nangis, jerit, atau minta ampun. Aku mau lihat seberapa berani dia nolak aku di depan mata.”

Salah satu anak buahnya menelan ludah. “Kalau dia beneran kerja di kota, gimana, Juragan?”

Juragan berhenti. Menatap mereka lama, sebelum akhirnya tersenyum—senyum tipis yang justru lebih menakutkan daripada marah. “Kota segede apa pun, aku bisa cari. Aku akan lakukan apapun. Jangan pikir dia bisa sembunyi.”

Ia mengambil rokok dari saku batiknya, menyalakannya. Asapnya mengepul, membentuk kabut di sekitar wajahnya yang keras dan penuh gurat.

“Dulu aku udah kalah sama perempuan yang ninggalin aku. Sekarang nggak akan lagi,” gumamnya, lebih ke dirinya sendiri. “Kalau Raras pikir bisa lari, dia belum tahu siapa Juragan Warto.”

Ia duduk perlahan di kursi besar ukiran jati, menatap kosong ke arah pintu yang masih terbuka. Angin sore menerpa wajahnya, membawa suara ayam berkokok dan tawa anak-anak dari kejauhan—suara kehidupan yang justru membuat rumah besar itu terasa makin sunyi.

Di luar, langit mulai menguning. Cahaya sore menimpa wajah Juragan Warto yang kini redup, tapi matanya masih menyala penuh dendam.

Dan di dalam dada seorang lelaki yang kesepian itu, amarah dan obsesi mulai tumbuh menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap daripada sekadar cinta yang ditolak.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 13

    Pertemuan hari itu dengan Max adalah pertemuan terakhir bagi Raras karena seperti yang ia dengar pria itu ada perjalanan bisnis keluar negeri katanya satu minggu. Ini adalah weekend, tuan dan nyonya dua hari yang lalu pergi ke sebuah anak cabang perusahaan dk daerah kecil Indonesia. Rumah besar keluarga Yudhanegara terasa hening hari itu. Tak ada suara langkah Tuan Muda Maxime yang biasanya terdengar dari lantai dua, juga tak ada suara lembut Nyonya Nara memanggil Bik Jani dari ruang makan. Yang tersisa hanya dentingan sendok di dapur dan suara samar angin yang menyusup lewat jendela tinggi ruang tengah. Langit di luar terang, tapi suasana di dalam rumah justru terasa teduh, nyaris dingin. Aroma pengharum ruangan tercium wangi bercampur dengan debu halus yang berterbangan di antara cahaya matahari yang menembus tirai. Ruang tamu yang megah dengan sofa berwarna gading tampak rapi dan tak tersentuh, seperti museum kecil yang kehilangan penghuninya. Raras berjalan pelan melewa

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 12

    Raras tampak cantik dengan gaun putih tanpa lengan, rambutnya di ikat dengan pita membuat gadis itu tampak menawan dalam visual yang sederhana. Yuni ternganga melihat penampilan Raras, cantik? tentu saja tapi ini serius Raras pakai putih untuk ke pasar? "Kenapa mbak?" "Dek, kami serius pakai putih ke Pasar?" Raras menggaruk tengkuknya, Ia tak membawa banyak baju jadi hanya ini yang tersisa. "i... iya mbak" Yuni menghela nafas pasrah. "Ya udah deh, buruan ntar kita terlambat" Yuni menarik lembut tangan Raras keluar dari rumah menuju mobil yang sudah menunggu di depan rumah majikan mereka. Seorang pria muda berdiri didepan mobil, dengan senyum sok tampan apalagi setelah melihat keberadaan Raras Supir muda itu, tak henti memperhatikan Raras sedikitpun "Sok ganteng lo" celetuk Yuni "Emang ganteng gue" Raras hanya tersenyum melihat interaksi keduanya "Senyum neng Raras cantik banget" Raras tersenyum canggung, pria ini memang suka sekali menggodanya. "B

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 11

    Pagi itu kantor pusat Yudhanegara, perusahaan kosmetik ternama warisan keluarga, sudah sibuk sejak jam delapan. Lantai atas ruang Ceo yang ditempati Maxime sebagai pemimpin, tercium dengan lembut aroma parfum premium hasil produksi terbaru mereka. Dinding kaca transparan menampilkan pemandangan kota, sementara meja kerja besar dari marmer putih tertutup oleh tumpukan berkas, proposal, dan sampel produk. Maxime berjalan masuk dengan langkah tenang, jasnya rapi, ekspresi wajahnya kembali datar seperti biasa. Sekilas, tak ada yang tahu bahwa pikirannya sempat melayang pada seseorang di rumah tadi pagi. Begitu duduk, ia langsung membuka map laporan keuangan, matanya menyapu cepat angka-angka dan tanda tangan yang harus ia bubuhkan. “Agenda pagi ini, meeting dengan tim riset jam sembilan, lalu investor Jepang jam sebelas,” lapor Rangga yang berdiri di samping. “Baik. Siapkan semua laporan yang mereka minta.” “Sudah di meja, Tuan.” Tanpa basa-basi, Maxime mulai menandatangani be

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 10

    Raras membeku. Tangannya masih menggenggam ujung dasi yang belum sempat ia rapikan. Ucapannya barusan… apa dia nggak salah dengar? “Kamu... cantik.” Suara berat itu kembali terngiang di telinganya, membuat jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat sebelum berdebar dua kali lipat lebih cepat. “Tu—Tuan bercanda, ya?” Raras mencoba tertawa kecil, kikuk. Ia menunduk, pura-pura sibuk meluruskan dasi yang dari tadi malah belum benar. Tapi tangannya gemetar hebat. Maxime tidak menjawab. Pria itu justru terus memandangi wajah Raras dari jarak yang terlalu dekat. Hanya sejengkal, hingga Raras bisa merasakan hembusan napas hangatnya di pipi. “Tidak semua orang berani menatapku seperti itu,” ujar Maxime pelan, nada suaranya datar tapi menekan, membuat udara di antara mereka seolah menegang. Raras menelan ludah. “Sa-saya tidak bermaksud menatap, Tuan... saya cuma—” “Sudah,” potong Maxime singkat. Ia mengambil jas dari kursi, memakainya tanpa mengalihkan pandangan dari Raras. “Pergi

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 9

    Pagi yang berbeda Di alami Raras di kediaman mewah tempat ia bekerja. Para pekerja bangun pagi sekali dan mengerjakan tugas mereka masing-masing. Raras sudah mandi ketika adzan subuh berkumandang kemudian melanjutkan untuk membantu para mbak dan bik jani yang sedang sibuk di dapur. "Raras, mending kamu bersihkan kamar Tuan muda, Siapkan air hangat, baju kerjanya dan bangunkan dia" Ujar Ratna Raras diam mendengarkan, Ia meringis dan sebenarnya enggan untuk bertemu pria itu karena masih malu dengan kejadian kemarin. Ingin rasanya dia menolak dan bertukar tugas dengan Yuni atau yang lain tapi Raras tak se pemberani itu untuk berani mengungkapkan isi pikirannya apalagi ia orang baru disini. "Eh malah bengong, sana pergi" Ratna menyenggol lengan Raras yang terlihat diam dan melamun. Raras tersentak kaget kemudian mengangguk pasrah. Ya ampun! kakinya berat banget rasanya. Ini kenapa kakinya seperti terbenam dalam lumpur hisap atau ada magnet yang membuat ia sulit berg

  • PEMBANTU CANTIK TUAN MAXIME   Bab 8

    Pagi di kampung itu terasa sendu meski mentari sudah menanjak tinggi. Embun masih menempel di ujung rumput, ayam berkokok dari kejauhan, dan suara gamelan bambu dari rumah tetangga terdengar samar di antara hembusan angin lembap. Di rumah sederhana milik keluarga Raras, udara pagi dipenuhi aroma kopi hitam dan suara isak tertahan. Ibu Raras duduk di kursi dalam rumahnya, masih dengan mata sembab dan wajah letih. Di pangkuannya tergenggam selendang biru milik Raras, selendang kesayangannya sejak kecil. Sudah dua hari Raras pergi, tapi rasanya seperti berbulan-bulan bagi sang ibu. Walau semalam anaknya sempat menelpon, kerinduan itu tak berkurang sedikit pun. “Katanya baik-baik saja, tapi Ibu masih kepikiran, kakak kamu…” ucapnya pelan, suaranya serak dan bergetar. “Kota itu besar, Nak. Ibu takut Raras bingung di sana.” Sang putra bungsu yang masih berseragam SMA, menatap ibunya dengan lembut. Ia baru saja meletakkan sepiring tempe goreng di meja. “Sudahlah, Bu. Mbak Raras sama B

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status