LOGINPagi yang berbeda Di alami Raras di kediaman mewah tempat ia bekerja. Para pekerja bangun pagi sekali dan mengerjakan tugas mereka masing-masing.
Raras sudah mandi ketika adzan subuh berkumandang kemudian melanjutkan untuk membantu para mbak dan bik jani yang sedang sibuk di dapur. "Raras, mending kamu bersihkan kamar Tuan muda, Siapkan air hangat, baju kerjanya dan bangunkan dia" Ujar Ratna Raras diam mendengarkan, Ia meringis dan sebenarnya enggan untuk bertemu pria itu karena masih malu dengan kejadian kemarin. Ingin rasanya dia menolak dan bertukar tugas dengan Yuni atau yang lain tapi Raras tak se pemberani itu untuk berani mengungkapkan isi pikirannya apalagi ia orang baru disini. "Eh malah bengong, sana pergi" Ratna menyenggol lengan Raras yang terlihat diam dan melamun. Raras tersentak kaget kemudian mengangguk pasrah. Ya ampun! kakinya berat banget rasanya. Ini kenapa kakinya seperti terbenam dalam lumpur hisap atau ada magnet yang membuat ia sulit bergerak. Raras berjalan menaiki tangga tepat dimana Kamar tuan muda berada. Sesampainya didepan pintu kamar, Raras menatap pintu kamar yang tertutup rapat, ia mulai mengatur nafas. "Oke Raras tarik nafas kemudian hembuskan" Raras mulai mengetuk pintu beberapa kali tapi tak jua ada jawaban dari si pemilik kamar. Lelah mengetuk, ia memberanikan diri memutar handle pintu yang ternyata gak dikunci. Raras mulai melangkah pelan. Kamar itu tampak remang, hanya diterangi cahaya kekuningan dari lampu meja di sisi ranjang. Aroma maskulin langsung menyergap hidungnya perpaduan sabun, parfum mahal, dan sedikit wangi kopi yang sudah dingin di meja kerja. Kamar ini terlihat luas, bergaya modern dengan dominasi warna abu dan hitam. Di satu sisi, ada lemari kaca tinggi berisi jas dan kemeja yang tersusun rapi seperti di butik. Lantai kayunya bersih mengilap, dan di dekat jendela besar tergantung tirai tebal yang masih tertutup rapat. Langkah Raras terhenti saat matanya menangkap sosok pria yang terbaring di atas ranjang king size itu. Tuan Muda Maxime tertidur nyenyak, hanya mengenakan celana panjang, dada bidangnya terekspos, naik turun mengikuti irama napas. Raras spontan menelan ludah. Ya Tuhan... ini gimana? batinnya panik. Tugasnya tentu membangunkan Tuan Muda dan menyiapkan pakaian serta air hangat. Tapi sekarang, bahkan untuk mendekat saja, lututnya serasa mau lemas. Ia terdiam cukup lama untuk memberanikan diri lalu menatap wajah sang tuan muda yang masih terpejam. Rambutnya sedikit berantakan, tapi tetap tampan dengan rahang tegas dan bibir yang sedikit terbuka, membuatnya tampak... terlalu tenang dan hmm seksi. Astaga Raras sejak kapan kamu begini? meski orang kampung Raras cukup hobby membaca novy online dan drama luar negeri seperti Korea, Turki dan Thailand. Tuan muda itu terlihat seperti tokoh utama dalam novel online, perfect! Tidak, sejak kapan Raras berubah mesum begini? Raras menarik napas dalam-dalam, menepuk pipinya pelan. “Oke, Raras. Fokus. Bangunin. Gak usah mikir aneh-aneh.” Pelan-pelan, ia mendekat ke sisi ranjang. “Tuan Muda…,” panggilnya lirih. Tak ada reaksi. Ia mencoba sedikit lebih keras. “Tuan Muda, ini sudah pagi. Tuan harus ke kantor kan?" Masih tidak ada gerakan selain dengusan napas yang berat tapi tenang. Raras menggigit bibir, ragu. Akhirnya, dengan tangan gemetar, ia menyentuh pelan bahu pria itu. “Tuan…” Baru saja ujung jarinya menyentuh kulit hangat itu, Maxime bergumam pelan, suaranya berat dan serak, “Hmm… lima menit lagi.” Raras langsung menarik tangannya cepat-cepat, wajahnya panas seperti habis tersengat. Tapi ia tahu, kalau Tuan Muda telat bangun, bisa-bisa justru dia yang dimarahi. Ia menatap jam di dinding, lalu memantapkan diri. “Tuan Muda… ini sudah pagi nanti tuan terlambat ke bekerja " Maxime akhirnya membuka matanya perlahan. Tatapan tajam itu langsung membuat Raras kaku. Ia memandangi gadis itu dengan pandangan setengah sadar, lalu duduk sambil menguap. Selimutnya melorot sampai pinggang, membuat Raras buru-buru memalingkan wajah. “Kenapa bengong?” tanya Maxime dengan suara serak, nada darar tapi berwibawa. “Ti-tidak, Tuan. Saya… saya hanya—” “Siapkann jas hitam dan kemeja putih di lemari. Dan tolong siapkan air hangatnya sekarang.” “Ba-baik, Tuan.” Raras mengangguk Raras langsung bergerak cepat, membuka lemari kaca yang tinggi itu. Semua pakaian tersusun rapi, berurutan dari warna gelap ke gelap lagi. Ia menarik jas dan kemeja yang dimaksud, lalu membawanya ke kursi kerja. Yang terang cuma ada warna putih dan semua nya didominasi warna gelap. Setelah itu, ia masuk ke kamar mandi untuk menyalakan air hangat di bak besar dari marmer. Suara air mengalir lembut, menenangkan, tapi jantung Raras tetap berdebar kencang. Ketika ia keluar lagi, Tuan Muda sudah berdiri di dekat jendela, membenarkan rambutnya yang berantakan, masih tanpa baju. Cahaya pagi yang menembus celah tirai menyorot siluet tubuhnya yang kekar dan tegap. Raras buru-buru menunduk. “Tuan, air hangatnya sudah siap.” Maxime hanya mengangguk singkat, lalu berjalan melewatinya menuju kamar mandi. "Jangan pergi dulu, bantu aku memakai baju" ujar pria itu sebelum melangkah memasuki kamar mandi. Raras terdiam dengan berbagai kemungkinan dari maksud ucapan sang majikan. Memakai baju? Hm ini gimana dan apa maksudnya? Begitu pintu kamar mandi tertutup, Raras menepuk dadanya sendiri pelan. “Ya Tuhan, baru dua hari kerja udah hampir jantungan…” gumamnya lirih, sambil tersenyum kikuk dan mulai menata pakaian di atas kursi seperti perintah sang tuan muda. Raras berdiri sembari memperhatikan desain interior kamar, ia mulai membersihkan ranjang yang berantakan. Cukup lama Raras menunggu tuan muda itu keluar, lama juga ya mandinya. kenapa para cowok itu kalau mandi lama banget ya? "Aku kebawah aja kali ya, lagian gak mungkin aku membantu tuan muda memakai baju, dia kan uda dewasa" Raras mulai melangkah tapi lengannya ditahan seseorang dan tangannya secara refleks ditarik. wajah Raras membentur dada bidang yang basah dengan aroma sabun yang menguar tajam. "Mau kemana?" Suara Pria berstatus majikannya ini terdengar berat dan aneh Tubuh Raras bergetar takut. "Sa... saya mau turun ke bawah tuan" "Apa kamu tidak mendengarkan perintah saya tadi? Bantu saya bersiap, mulai sekarang tugas kamu mengurus saya dengan baik" "Ta... tapi tuan" "Tidak ada bantahan" Pagi itu dengan tubuh gemetar, dengan perasaan canggung Raras membantu memakaikan dasi. Yang anehnya kenapa majikannya ini sedari tadi sibuk memperhatikannya. Apa dia bau? atau ada sesuatu yang aneh di wajahnya? Sumpah Raras sangat malu, ini kali pertama ia di tatap pria asing seperti ini. "Ke... kenapa tuan terus menatap saya? ap... apa saya bau?" Raras memberanikan diri bertanya Tapi wajah Maxime tetap terlihat datar, nafas pria itu menerpa wajah Cantik Raras. "kamu..cantik" _________Pertemuan hari itu dengan Max adalah pertemuan terakhir bagi Raras karena seperti yang ia dengar pria itu ada perjalanan bisnis keluar negeri katanya satu minggu. Ini adalah weekend, tuan dan nyonya dua hari yang lalu pergi ke sebuah anak cabang perusahaan dk daerah kecil Indonesia. Rumah besar keluarga Yudhanegara terasa hening hari itu. Tak ada suara langkah Tuan Muda Maxime yang biasanya terdengar dari lantai dua, juga tak ada suara lembut Nyonya Nara memanggil Bik Jani dari ruang makan. Yang tersisa hanya dentingan sendok di dapur dan suara samar angin yang menyusup lewat jendela tinggi ruang tengah. Langit di luar terang, tapi suasana di dalam rumah justru terasa teduh, nyaris dingin. Aroma pengharum ruangan tercium wangi bercampur dengan debu halus yang berterbangan di antara cahaya matahari yang menembus tirai. Ruang tamu yang megah dengan sofa berwarna gading tampak rapi dan tak tersentuh, seperti museum kecil yang kehilangan penghuninya. Raras berjalan pelan melewa
Raras tampak cantik dengan gaun putih tanpa lengan, rambutnya di ikat dengan pita membuat gadis itu tampak menawan dalam visual yang sederhana. Yuni ternganga melihat penampilan Raras, cantik? tentu saja tapi ini serius Raras pakai putih untuk ke pasar? "Kenapa mbak?" "Dek, kami serius pakai putih ke Pasar?" Raras menggaruk tengkuknya, Ia tak membawa banyak baju jadi hanya ini yang tersisa. "i... iya mbak" Yuni menghela nafas pasrah. "Ya udah deh, buruan ntar kita terlambat" Yuni menarik lembut tangan Raras keluar dari rumah menuju mobil yang sudah menunggu di depan rumah majikan mereka. Seorang pria muda berdiri didepan mobil, dengan senyum sok tampan apalagi setelah melihat keberadaan Raras Supir muda itu, tak henti memperhatikan Raras sedikitpun "Sok ganteng lo" celetuk Yuni "Emang ganteng gue" Raras hanya tersenyum melihat interaksi keduanya "Senyum neng Raras cantik banget" Raras tersenyum canggung, pria ini memang suka sekali menggodanya. "B
Pagi itu kantor pusat Yudhanegara, perusahaan kosmetik ternama warisan keluarga, sudah sibuk sejak jam delapan. Lantai atas ruang Ceo yang ditempati Maxime sebagai pemimpin, tercium dengan lembut aroma parfum premium hasil produksi terbaru mereka. Dinding kaca transparan menampilkan pemandangan kota, sementara meja kerja besar dari marmer putih tertutup oleh tumpukan berkas, proposal, dan sampel produk. Maxime berjalan masuk dengan langkah tenang, jasnya rapi, ekspresi wajahnya kembali datar seperti biasa. Sekilas, tak ada yang tahu bahwa pikirannya sempat melayang pada seseorang di rumah tadi pagi. Begitu duduk, ia langsung membuka map laporan keuangan, matanya menyapu cepat angka-angka dan tanda tangan yang harus ia bubuhkan. “Agenda pagi ini, meeting dengan tim riset jam sembilan, lalu investor Jepang jam sebelas,” lapor Rangga yang berdiri di samping. “Baik. Siapkan semua laporan yang mereka minta.” “Sudah di meja, Tuan.” Tanpa basa-basi, Maxime mulai menandatangani be
Raras membeku. Tangannya masih menggenggam ujung dasi yang belum sempat ia rapikan. Ucapannya barusan… apa dia nggak salah dengar? “Kamu... cantik.” Suara berat itu kembali terngiang di telinganya, membuat jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat sebelum berdebar dua kali lipat lebih cepat. “Tu—Tuan bercanda, ya?” Raras mencoba tertawa kecil, kikuk. Ia menunduk, pura-pura sibuk meluruskan dasi yang dari tadi malah belum benar. Tapi tangannya gemetar hebat. Maxime tidak menjawab. Pria itu justru terus memandangi wajah Raras dari jarak yang terlalu dekat. Hanya sejengkal, hingga Raras bisa merasakan hembusan napas hangatnya di pipi. “Tidak semua orang berani menatapku seperti itu,” ujar Maxime pelan, nada suaranya datar tapi menekan, membuat udara di antara mereka seolah menegang. Raras menelan ludah. “Sa-saya tidak bermaksud menatap, Tuan... saya cuma—” “Sudah,” potong Maxime singkat. Ia mengambil jas dari kursi, memakainya tanpa mengalihkan pandangan dari Raras. “Pergi
Pagi yang berbeda Di alami Raras di kediaman mewah tempat ia bekerja. Para pekerja bangun pagi sekali dan mengerjakan tugas mereka masing-masing. Raras sudah mandi ketika adzan subuh berkumandang kemudian melanjutkan untuk membantu para mbak dan bik jani yang sedang sibuk di dapur. "Raras, mending kamu bersihkan kamar Tuan muda, Siapkan air hangat, baju kerjanya dan bangunkan dia" Ujar Ratna Raras diam mendengarkan, Ia meringis dan sebenarnya enggan untuk bertemu pria itu karena masih malu dengan kejadian kemarin. Ingin rasanya dia menolak dan bertukar tugas dengan Yuni atau yang lain tapi Raras tak se pemberani itu untuk berani mengungkapkan isi pikirannya apalagi ia orang baru disini. "Eh malah bengong, sana pergi" Ratna menyenggol lengan Raras yang terlihat diam dan melamun. Raras tersentak kaget kemudian mengangguk pasrah. Ya ampun! kakinya berat banget rasanya. Ini kenapa kakinya seperti terbenam dalam lumpur hisap atau ada magnet yang membuat ia sulit berg
Pagi di kampung itu terasa sendu meski mentari sudah menanjak tinggi. Embun masih menempel di ujung rumput, ayam berkokok dari kejauhan, dan suara gamelan bambu dari rumah tetangga terdengar samar di antara hembusan angin lembap. Di rumah sederhana milik keluarga Raras, udara pagi dipenuhi aroma kopi hitam dan suara isak tertahan. Ibu Raras duduk di kursi dalam rumahnya, masih dengan mata sembab dan wajah letih. Di pangkuannya tergenggam selendang biru milik Raras, selendang kesayangannya sejak kecil. Sudah dua hari Raras pergi, tapi rasanya seperti berbulan-bulan bagi sang ibu. Walau semalam anaknya sempat menelpon, kerinduan itu tak berkurang sedikit pun. “Katanya baik-baik saja, tapi Ibu masih kepikiran, kakak kamu…” ucapnya pelan, suaranya serak dan bergetar. “Kota itu besar, Nak. Ibu takut Raras bingung di sana.” Sang putra bungsu yang masih berseragam SMA, menatap ibunya dengan lembut. Ia baru saja meletakkan sepiring tempe goreng di meja. “Sudahlah, Bu. Mbak Raras sama B







