1
“Anak terkutuk! Pembawa sial! Karena kau, istriku meninggalkan dunia ini untuk selamanya! Karena melahirkanmu, Rindu! Lalu, kau mau melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya seperti ini?” Setiap kata yang keluar dari mulut Raden diucapkan dengan tajam, seperti pisau yang siap menebas siapa pun yang berani mendekat. Ada ketegangan di udara, seolah-olah ruangan itu sendiri ikut meringkuk di bawah bayang-bayang kemarahannya. Raden mengutarakannya setelah membantu Dewi yang tadi jatuh di lantai cukup kuat dengan posisi tangan kanan menahan bobot tubuh, duduk di sofa. “Ayah ... tolong dengarkan penjelasanku dulu. Tolong, Yah. Semua tidak seperti apa yang sedang Ayah lihat. Dengarkan aku dulu, Yah,” pinta Rindu. Gadis berusia 25 tahun itu mengiba penuh luka, penuh rasa takut. Dalam kerentanannya, ia hanya ingin didengar, diakui. Namun, ketidakpastian tergantung di udara, membebani setiap detik yang berlalu. Ia menunggu, dalam harap yang nyaris putus, agar hatinya yang terguncang ini setidaknya dapat dimengerti, meski hanya sebentar saja. “Apalagi, Rindu! Aku sudah melihat dengan mata kepalaku sendiri! Kau tega mendorong Dewi! Sekarang dia mamamu, Rindu! Bukan orang lain! Pengganti ibu kandungmu yang telah meninggal gara-gara melahirkanmu! Harusnya kau bakti pada Dewi! Tapi, kau ....” Ucapannya tertahan oleh rasa kecewa. Tangannya mengepal. Setiap tarikan napasnya terdengar pelan tapi berat, seperti seseorang yang berusaha menahan diri dari sesuatu yang tak tertahankan. Ia tidak ingin meledak lagi, bahkan lebih parah dari tadi. Tapi jelas terlihat, amuk di dalam dirinya sedang mendidih, menekan dari segala arah. Dadanya naik turun dalam irama yang tidak beraturan, dan matanya melirik tajam ke arah anak gadisnya yang ada di hadapannya. Mata Rindu memerah, bibirnya bergetar, dan menggelengkan kepala menandakan dirinya tidak setuju dengan ucapan sang ayah. Air mata menetes tanpa sadar dari wajahnya yang terlihat begitu rapuh. Tubuhnya sedikit gemetar, oleh perasaan takut dan frustasi yang tak terbendung. Ya, sudah sering dikatakan kalau Rindu anak pembawa sial sebab kehadirannya membawa luka mendalam di hati Raden. Karena melahirkan Rindu, istri tercintanya meregang nyawa. Raden tak bisa menerima walau Rindu buah cinta mereka. “Bukan begitu, Ayah. Aku tidak bermaksud mendorongnya. Aku menghormati Mama Dewi sebagai mamaku, Yah! Aku hanya mempertahankan gelang peninggalan Ibu, Yah. Aku tidak bermaksud mendorong, apalagi melukai Mama Dewi.” Rindu mengusap wajahnya yang basah, berusaha menghentikan tangisnya. Ia mencoba menahan rasa sakit yang meremas hatinya. “Bohong, Yah! Dia bohong! Aku hanya ingin menasihatinya dengan lembut. Aku ingin mengusap tangannya penuh kasih, tapi dia malah menepisnya dengan kasar. Untung hanya tanganku yang terasa sakit. Bukan kepalaku yang menghantam lantai.” Dewi yang sudah duduk di sofa, menyuarakan apa yang sedang terjadi menurut sudut padangnya. Wanita itu cemberut, menahan kesal. Ia ingin pendapatnya yang didengar oleh suami yang selama ini begitu mencintainya. “Kenapa Mama berbohong di depan Ayah, Ma! Mama sendiri yang tadi meminta gelang ini, Ma! Karena aku tidak setuju, Mama menariknya dengan paksa agar gelang ini terlepas dari tanganku. Kenapa Mama tidak jujur, Ma! Aku hanya menepis untuk menjaga gelangku, bukan sengaja untuk mendorong apalagi melukaimu, Ma!” Sekali lagi gadis itu memberikan alasan di depan ayahnya. Hanya demi mendapat kepercayaan atas apa yang sedang terjadi. Kata demi kata yang terlontar penuh penekanan. Penuh keyakinan agar sang ayah kali ini benar-benar menjatuhkan hatinya untuknya. Hati yang dipenuhi rasa iba. “Lihat, Yah. Dia pandai berbicara, padahal jelas tadi Ayah melihat sendiri betapa kuatnya Rindu mendorongku.” Dewi membisikkan terus pendapat dari sisinya yang menurutnya paling benar. Skenarionya harus sesuai maunya. Namun, yang dikatakan memang tampak demikian. Saking emosinya, Rindu menepis begitu kuat dan terlihat di mata Raden yang berjalan menuju ruang keluarga. Karena itu, dengan mata kepala sendiri, sang ayah melihat tindakan yang menyulut emosinya. Wajah Raden menegang. Tangannya mengusap wajahnya dengan kasar, seolah berharap mendapat solusi yang tepat. Matanya berkedip cepat, seakan berusaha mencerna setiap kata yang dilemparkan ke arahnya, namun semakin ia mendengarkan, semakin ia merasa tenggelam dalam kebingungan. Kedua pendapat itu sama kuatnya, sama meyakinkannya, tapi juga bertolak belakang. “Aku jujur, Yah! Aku hanya mempertahankan gelang peninggalan Ibu yang hendak diambil paksa oleh Mama Dewi. Percayalah padaku, Yah.” Rindu kembali menitikkan air mata. Masih berharap begitu kuat agar dirinya yang dipercaya. Ia berbicara jujur dari lubuk hati terdalam. Tidak ada niatan untuk membual di depan sang ayah. “Buat apa aku ingin mengambil gelang itu, Yah. Tidak masuk akal! Kalaupun aku ingin gelang, aku bisa langsung meminta padamu, Yah. Tanganku sakit. Aku takut ada hal buruk yang terjadi pada tanganku sebab ulah anak itu, Yah.” Dewi sama saja. Wajahnya sendu sambil sesekali menahan sakit. Ia berani berujar mengingat Raden begitu cinta padanya. Berkat dia, Raden kembali punya gairah hidup yang sebelumnya direnggut oleh kehadiran Rindu di dunia ini. Di dalam hati tentu bergejolak. Kesal menghadapi Rindu yang terus saja banyak bicara. Yang diinginkan, Rindu diam dan menerima segala konsekuensi sesuai alur cerita yang telah dibuat oleh Dewi. “Tapi, aku tidak bohong, Yah.” Dengan langkah yang berat, Raden mendekati anak gadisnya dengan tatapan sengit. Plak! “Jangan banyak beralasan, Rindu. Kalau kau menggunakan gelang peninggalan ibumu sebagai alasan, lebih baik berikan padaku. Kamu tidak pantas memakainya.” Rindu memegang pipi yang terasa panas. Tidak menyangka, tangan ayahnya sampai mendarat di pipinya cukup kuat. Air mata yang hendak jatuh, coba dihadang. Percuma, tidak akan menyembuhkan luka yang sudah terlanjur ditorehkan oleh Raden selama ini. “Kalau kau tetap ingin tinggal di rumah ini, serahkan gelang itu kepadaku agar tidak kau gunakan lagi sebagai alasan untuk menyelakai Dewi. Kalau tidak, lebih baik, pergi dari rumah ini. Kau pasti akan berulah lagi selama gelang itu ada padamu.” Mendengar itu, kemarahan makin bertakhta di dalam hati. Rindu memegang gelangnya yang begitu disayang. Gelang yang begitu berharga dalam hidupnya. Sisa dari ibunya yang masih bisa direngkuh dengan nyata. “Lebih baik aku pergi, Yah! Ucapanku benar dan aku tidak akan pernah memberikan gelang ini kepada siapa pun. Termasuk Ayah!” Ucapan lantang keluar dari lisan Rindu. Tatapannya tajam. Ia tak ingin menangis lagi di hadapan ayahnya yang selalu tak menganggap dirinya sebagai anak. Hanya kesialan yang disematkan padanya oleh orang yang harusnya memberi kasih. “Permisi, Tuan. Maaf saya menyela. Saya hanya ingin menyampaikan apa yang telah saya lihat dan saya ketahui mengenai kejadian ini. Bolehkah saya menyampaikannya?” ujar seorang laki-laki dari arah dapur. Dia adalah salah satu pembantu di rumah itu. Lelaki yang usianya sekitar 30 tahunan bernama Uka.32“Semua keputusan ada di tangan Ayah. Tentang bagaimana nasib Mama Dewi dan Dini, Ayah pasti akan mengambil keputusan dengan adil,” ujar Ukasya menanggapi ucapan sang mertua.Raden tak bicara lagi. Ia hanya berusaha membuang beban yang membelenggu di dalam dada.***“Tumben Ayah ajak kita makan begini, Ma?” tanya Dini yang sudah duduk di dalam mobil. Mereka pergi diantar sopir biar tidak repot karena Dini masih memakai kursi roda.“Ayah lagi bahagia mungkin. Jadi kita diajak makan. Padahal, dia tidak tahu kalau kita lagi rencanain sesuatu buat Rindu. Belum ada kabar lagi di grup. Pasti lagi eksekusi. Biar mampus si Rindu itu.”“Aku masih takut kalau rencana kita bakal ketahuan, Ma. Mama yakin kan, orang yang kita suruh tidak akan tertangkap?”Mereka berbicara dengan suara pelan agar tidak didengar oleh sopir. Mobil sedang melaju di jalan raya. Sopir itu tersamarkan oleh ramainya kendaraan di jalan dan konsentrasi mengemudi yang tinggi.“Mama jamin semua akan beres sesuai rencana, Di
31Dua bulan telah berlalu setelah adegan saling memaafkan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Raden jadi sering menanyakan kabarnya Rindu melalui ponsel. Ia sungguhan ingin mengubah diri dan berusaha menjadi seorang ayah yang baik.“Sayang, beneran makannya udahan?” tanya Ukasya ketika melihat makanan di dalam piring sang isi masih lumayan banyak.Rindu mengangguk dengan raut wajah menautkan alis.“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” tanya Ukasya lagi mengetahui ekspresi yang dibuat oleh istrinya.“Bukan sakit, sih, Mas. Agak mual gimana gitu, rasanya, Mas.”Ukasya membeku seketika. Pikirannya jadi menduga-duga sesuatu yang membuatnya bahagia.“Kenapa, Mas? Malah diam?” tanya Rindu lagi.“Kamu sudah telat belum, Sayang?”Kali ini, Rindu yang terdiam. Ia memikirkan kapan terakhir cairan merah itu bertamu.“Iya, Mas. Baru dua hari, sih. Kadang, aku kan, haidnya mudur paling lama semingguan. Ini juga paling mundur aja, Mas.”“Ish! Doanya yang baik-baik. Kita coba ke dokter aja, yuk
Rindu mendekati Raden. Ia sudah meyakinkan diri tentang apa yang akan menjadi keputusannya. Meski di dalam hati ada yang seolah menahan dan memunculkan kembali rasa sakit yang didapat di masa lalu.Bismillah, semoga keputusanku memang yang terbaik.Tangan Raden yang saling bertaut diraih oleh Rindu. Seketika, lelaki itu menoleh pada anaknya. Tatapannya masih sendu.“Maafkan aku juga, Ayah. Selama ini, aku memang bukan anak yang baik untuk Ayah,” ujar Rindu tidak bisa melihat lama kedua mata sang ayah.Raden menggelengkan kepala.“Tidak, Rindu. Ayah yang banyak salah sama kamu. Ayah tidak bisa menerima takdir yang sudah terjadi. Ayah hanya melampiaskan keegoisan Ayaha padamu. Maafkan, Ayah.”Di waktu yang sama, Raden merengkuh Rindu yang selama ini tak pernah dilakukan.“Maafkan, Ayah. Selama kamu lahir di dunia ini, Ayah selalu menyakiti perasaanmu. Ayah tidak pernah memberikan kasih sayang layaknya orang tua yang baik. Ayah sangat egois. Kamu anak Ayah yang paling menerima semuanya,
“Su-sudah aku jelaskan tadi, kan, Yah,” sahut Dewi seakan menyembunyikan ketakutan.“Apa benar, orang yang mendonorkan darah untukku bukanlah Rindu, Ma?” tanya Raden lagi dengan penuh penekanan.Rindu dan keluarga suaminya hanya diam melihat drama suami-istri itu yang terasa mulai memanas.Kalau benar, Ayah mulai tergugah hatinya dan mulai mempercayai ucapanku, terima kasih, Tuhan. Engkau memang sangat baik padaku. Semoga Ayah benar-benar mengetahui kebenaran ini dan berubah lebih baik sehingga mau menerimaku sebagai anaknya tanpa menghardikku lagi.Wanita yang selama ini memelihara luka itu, hanya bisa berdoa di dalam dada untuk sang ayah. Rindu ingin berdamai demi ibunya yang sudah berada di alam yang berbeda. Agar dia bisa tenang melihat anak dan suaminya berhubungan layaknya keluarga yang penuh kasih sayang.“Semua bukti sudah aku pegang, Ma. Tolong, katakan yang jujur padaku, Ma!” pinta Raden lagi dengan suara yang agak ditinggikan.Dewi gusar. Ia membuang napas kasar. Tak bisa t
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka
Setelah mencari ruangan tempat Raden dirawat dan diizinkan untuk masuk, Rindu terdiam melihat sang ayah yang berbaring tak berdaya di atas ranjang pesakitan.Kenangan di masa lalu yang isinya hanya rasa sakit kembali memutar secara otomatis di kepala.“Walau semua kenangan yang aku ingat hanya tentang keburukan Ayah, aku datang ke sini untuk membantumu, Yah. Aku tidak ingin menjadi Ayah versi yang lain karena apa yang Ayah lakukan benar-benar terasa sakit. Aku juga tidak ingin mengecewakan Ibu di atas sana kalau aku tidak mau membantu Ayah. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka di mata Ibu, Yah. Meski setelah aku mendonorkan darahku, mungkin aku tidak akan menjenguk Ayah lagi. Kalau Ayah sadar, entah apa yang akan Ayah lakukan. Aku hanya tidak ingin merasakan sakit hati lagi.”Bulir kristal pada akhirnya membasahi pipi. Rindu menghapusnya. Lalu, mengatur napasnya agar perasaan yang bergejolak bisa mereda.Rindu yang seorang diri masuk ke ruangan itu, berbalik badan dan keluar dari sana
“Andai kita tidak pergi ke nikahannya Rindu, kecelakaan ini tidak akan terjadi kan, Ma?” Sambil terisak, Dini bicara dengan lirih, tetapi penuh amarah.Ibu dan anak itu sama-sama memikirkan satu orang yang sama. Satu orang yang selama ini sebagai sumber masalah dalam hidupnya yang tak pernah berkesudahan.“Aku pikir, Rindu yang sudah menjauh, sudah tidak akan mengusik hidupku. Tapi, sekarang malah begini, Ma! Kakiku terluka cukup parah dan entah ke depannya akan bisa sembuh seperti sedia kala atau tidak. Semua gara-gara Rindu kan, Ma?”Kepedihan itu nyatanya makin membutakan mata hati dari seorang Dini. Amarah pada Rindu makin menjadi-jadi. Hal buruk yang seandainya menimpanya di masa depan, harus menyalahkan Rindu. Ya, hanya wanita itu yang pantas disalahkan, bahkan dikutuk agar hidupnya lebih sengsara darinya.“Kalau sampai kakiku tidak bisa seperti dulu, aku mengutuk Rindu agar dia lebih menderita ketimbang aku, Ma! Aku tidak ingin dia bahagia, Ma!”Dini makin tersedu. Pikiran buru
“Sayang, kamu yakin? Kalau tidak bisa, tidak usah dipaksakan, ya,” ujar Ukasya lumayan terkejut dengan ucapan tiba-tiba yang dilontarkan oleh Rindu.Beberapa menit yang lalu, Rindu menolak dengan keras bahkan sampai meluapkan emosi dan rasa sakit hati yang mengendap di dalam relung hati.“Iya, Mas. Aku mau melakukannya,” jawab Rindu.Hilda melihat sang menantu sambil tersenyum haru. Nasihatnya ternyata dipikirkan dengan begitu matang dan bijaksana hingga akhirnya keputusan akhir yang membuat kebahagiaan didengar dari lisan wanita itu.“Aku tanya sekali lagi, kamu yakin, Sayang?” Ukasya hanya menegaskan tindakan sang istri bukan karena terpaksa hingga membuatnya makin tersiksa. Begitu cintanya Ukasya pada Rindu.Rindu menganggukkan kepala beberapa kali. Di dalam hati masih ada sedikit keraguan yang mendesir lembut. Namun, nasihat Hilda juga terngiang di pikiran. Nasihat baik yang mungkin saja akan terkabul kalau Rindu sedikit menurunkan egonya meski rasa sakit itu masih membekas.“Iya,