32“Semua keputusan ada di tangan Ayah. Tentang bagaimana nasib Mama Dewi dan Dini, Ayah pasti akan mengambil keputusan dengan adil,” ujar Ukasya menanggapi ucapan sang mertua.Raden tak bicara lagi. Ia hanya berusaha membuang beban yang membelenggu di dalam dada.***“Tumben Ayah ajak kita makan begini, Ma?” tanya Dini yang sudah duduk di dalam mobil. Mereka pergi diantar sopir biar tidak repot karena Dini masih memakai kursi roda.“Ayah lagi bahagia mungkin. Jadi kita diajak makan. Padahal, dia tidak tahu kalau kita lagi rencanain sesuatu buat Rindu. Belum ada kabar lagi di grup. Pasti lagi eksekusi. Biar mampus si Rindu itu.”“Aku masih takut kalau rencana kita bakal ketahuan, Ma. Mama yakin kan, orang yang kita suruh tidak akan tertangkap?”Mereka berbicara dengan suara pelan agar tidak didengar oleh sopir. Mobil sedang melaju di jalan raya. Sopir itu tersamarkan oleh ramainya kendaraan di jalan dan konsentrasi mengemudi yang tinggi.“Mama jamin semua akan beres sesuai rencana, Di
31Dua bulan telah berlalu setelah adegan saling memaafkan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Raden jadi sering menanyakan kabarnya Rindu melalui ponsel. Ia sungguhan ingin mengubah diri dan berusaha menjadi seorang ayah yang baik.“Sayang, beneran makannya udahan?” tanya Ukasya ketika melihat makanan di dalam piring sang isi masih lumayan banyak.Rindu mengangguk dengan raut wajah menautkan alis.“Kamu kenapa, Sayang? Ada yang sakit?” tanya Ukasya lagi mengetahui ekspresi yang dibuat oleh istrinya.“Bukan sakit, sih, Mas. Agak mual gimana gitu, rasanya, Mas.”Ukasya membeku seketika. Pikirannya jadi menduga-duga sesuatu yang membuatnya bahagia.“Kenapa, Mas? Malah diam?” tanya Rindu lagi.“Kamu sudah telat belum, Sayang?”Kali ini, Rindu yang terdiam. Ia memikirkan kapan terakhir cairan merah itu bertamu.“Iya, Mas. Baru dua hari, sih. Kadang, aku kan, haidnya mudur paling lama semingguan. Ini juga paling mundur aja, Mas.”“Ish! Doanya yang baik-baik. Kita coba ke dokter aja, yuk
Rindu mendekati Raden. Ia sudah meyakinkan diri tentang apa yang akan menjadi keputusannya. Meski di dalam hati ada yang seolah menahan dan memunculkan kembali rasa sakit yang didapat di masa lalu.Bismillah, semoga keputusanku memang yang terbaik.Tangan Raden yang saling bertaut diraih oleh Rindu. Seketika, lelaki itu menoleh pada anaknya. Tatapannya masih sendu.“Maafkan aku juga, Ayah. Selama ini, aku memang bukan anak yang baik untuk Ayah,” ujar Rindu tidak bisa melihat lama kedua mata sang ayah.Raden menggelengkan kepala.“Tidak, Rindu. Ayah yang banyak salah sama kamu. Ayah tidak bisa menerima takdir yang sudah terjadi. Ayah hanya melampiaskan keegoisan Ayaha padamu. Maafkan, Ayah.”Di waktu yang sama, Raden merengkuh Rindu yang selama ini tak pernah dilakukan.“Maafkan, Ayah. Selama kamu lahir di dunia ini, Ayah selalu menyakiti perasaanmu. Ayah tidak pernah memberikan kasih sayang layaknya orang tua yang baik. Ayah sangat egois. Kamu anak Ayah yang paling menerima semuanya,
“Su-sudah aku jelaskan tadi, kan, Yah,” sahut Dewi seakan menyembunyikan ketakutan.“Apa benar, orang yang mendonorkan darah untukku bukanlah Rindu, Ma?” tanya Raden lagi dengan penuh penekanan.Rindu dan keluarga suaminya hanya diam melihat drama suami-istri itu yang terasa mulai memanas.Kalau benar, Ayah mulai tergugah hatinya dan mulai mempercayai ucapanku, terima kasih, Tuhan. Engkau memang sangat baik padaku. Semoga Ayah benar-benar mengetahui kebenaran ini dan berubah lebih baik sehingga mau menerimaku sebagai anaknya tanpa menghardikku lagi.Wanita yang selama ini memelihara luka itu, hanya bisa berdoa di dalam dada untuk sang ayah. Rindu ingin berdamai demi ibunya yang sudah berada di alam yang berbeda. Agar dia bisa tenang melihat anak dan suaminya berhubungan layaknya keluarga yang penuh kasih sayang.“Semua bukti sudah aku pegang, Ma. Tolong, katakan yang jujur padaku, Ma!” pinta Raden lagi dengan suara yang agak ditinggikan.Dewi gusar. Ia membuang napas kasar. Tak bisa t
“Buat apa mereka datang ke sini?” gumam Dewi ketika melihat dari jendela kedatangan mobil yang di dalamnya adalah Rindu dan keluarga besannya.Rasa gelisah merongrong di dalam hati. Dugaannya salah. Mereka ternyata masih akan menginjakkan kaki di rumahnya. Apalagi keluarga besannya adalah atasan dan pemilik tempat kerjanya Raden. Makin panas dingin yang dirasakan oleh wanita itu.Bel rumah berbunyi. Pembantu membukakan dan menyuruh para tamu itu untuk duduk sedangkan dirinya memanggil sang empunya rumah.Dewi mengatur perasaan yang tidak menentu di dalam dadanya. Ia berharap, keberuntungan selalu menyertai hidupnya agar tidak menjadi bumerang untuk dirinya sendiri atas semua yang sudah dilakukan.“Ayo, Ma. Kita temui mereka. Mungkin saja, Rindu akan mengemis untuk dimaafkan di depan kita semua,” ujar Raden dengan angkuhnya.Sang istri manggut-manggut seraya berekspresi canggung, tetapi mencoba untuk biasa saja.“Akhirnya, kamu datang juga, Rindu,” ujar Raden tidak bisa menahan diri ke
“Apa anak itu tidak akan menemuiku? Anak durhaka!”Raden diperbolehkan pulang ke rumah setelah kondisinya membaik. Begitu pula dengan Dewi dan Dini, meski Dini masih harus memakai kursi roda.Sesuai rencana, Dewi sengaja menutupi semua kebaikan yang sudah Rindu lakukan. Tentang donor darah pun, ia berhasil merahasiakannya dari Raden. Ia bercerita kalau pendonor itu bukan dari keluarga sendiri. Raden pun percaya.“Sudahlah, Yah. Jangan memikirkan sesuatu yang tidak penting. Nyatanya memang Rindu anak yang durhaka. Sejak kita dirawat di rumah sakit, mana ada anak itu menjenguk kita, Yah. Boro-boro mengkhawatirkanmu yang lagi kritis butuh darah, padahal golongan darahnya sama denganmu, Yah.”Dewi terus saja meniupkan kebencian yang membuat Raden makin murka pada Rindu.Raden berdecap kesal. Dalam lubuk hatinya, masih ada keinginan agar Rindu yang masih darah dagingnya menjenguk dan menanyakan keadaannya. Apalagi kecelakaan itu terjadi setelah dirinya pulang dari pernikahannya Rindu. Buka