Melihat reaksi Shireen, rasa percaya diri Liam semakin meningkat. Ia merasa puas bisa memberikan kenikmatan kepada Shireen. Dengan penuh keberanian, Shireen membusungkan dadanya lebih jauh lagi, menenggelamkan Liam diantara p*yudaranya seolah meminta lebih dari apa yang sudah diberikan oleh Liam.
Liam semakin menyesap p*yudara Shireen dengan semakin kuat, sesekali menggigit p*ting Shireen yang membuatnya mengerang kesakitan. Rasa sakit akibat gigitan Liam yang terlalu kuat membuat Shireen merasakan sensasi campuran antara kenikmatan dan rasa sakit yang membara di dalam dirinya. "Sa-kit," ucap Shireen seraya membuka mata dan menatap ke arah Liam.
Selama beberapa saat, tatapan mereka saling bertemu di tengah-tengah ruangan yang penuh dengan gairah dan nafsu birahi. Wajah Shireen memerah karena dia benar-benar menikmati setiap sentuhan sensual yang diberikan oleh Liam. Dia bisa merasakan denyutan-denyutan erotis dari tubuhnya sendiri, memberikan sinyal bahwa dia ingin lebih banyak lagi.
"Honey, kamu menyukainya?" tanya Liam dengan suara lembut namun penuh keinginan.
Namun, tanpa ragu sedikit pun, Shireen langsung menggelengkan kepalanya sebagai bentuk penolakan meski sebenarnya dia sangat ingin melanjutkan permainan ini. Dia berusaha keras untuk tetap sadar di tengah-tengah pengaruh obat perangsang dan sentuhan kenikmatan yang begitu intens dari Liam.
"Aku mohon ... hentikan," pintanya dengan suara bergetar menahan tangis.
Meskipun hatinya berkata lain, tapi pikirannya masih jernih untuk tidak terjebak sepenuhnya dalam godaan s*ksual ini.
Liam marah melihat reaksi Shireen yang masih memohon untuk berhenti. Dia menatap nanar ke arah wanita itu, bingung dengan perasaan campuran antara kesal dan kecewa yang melanda dirinya.
"Harusnya kamu menjawab, 'lakukan yang membuatku lebih enak lagi, Tuan' bukan malah menangis kembali seperti itu, sialan!" umpat Liam dengan kasar.
“Baiklah, aku akan menunjukkan padamu bagaimana rasa kenikmatan yang lebih dari ini dan kamu akan memohon padaku untuk melanjutkan permainan ini,” ucap Liam seraya turun dari tubuh Shireen.
Dengan gerakan yang tiba-tiba, Liam membuka lebar-lebar kedua kaki Shireen yang putih mulus itu. Shireen terkejut dengan tindakan tersebut dan menggelengkan kepalanya dengan cepat. Air mata tak terbendung lagi mengalir dari matanya saat ia mencoba menahan tangis.
“Jangan lakukan itu, Tuan! Aku mohon. Jangan sentuh bagian itu,” pinta Shireen sambil berusaha memohon kepada Liam agar tidak melanjutkan aksinya.
Namun, Liam sama sekali tidak mendengar permohonan Shireen. Ia tampaknya tidak peduli dengan air mata yang turun membasahi wajah cantik wanita itu.
Liam melihat jika liang kenikmatan milik Shireen sudah basah menandakan bahwa Shireen benar-benar menikmati apa yang sedang dilakukan olehnya. Melihat pemandangan indah itu membuat gairah dan nafsu Liam semakin meningkat. Seolah-olah tanpa ampun, Liam mulai memainkan bagian paling sensitif di antara kedua kaki Shireen menggunakan lidahnya yang lincah.
Shireen merasakan sensasi baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tanpa sadar, matanya langsung terpejam ketika lidah Liam menyentuh bagian miliknya tersebut. Ia tenggelam dalam gelombang kenikmatan yang tiada akhir.
“Ah, Tuan …,” ucap Shireen dengan suara yang terguncang, hampir menyerupai jeritan. Ia merasakan sensasi yang begitu kuat dan intens saat lidah Liam menyentuh bagian miliknya untuk pertama kalinya.
Shireen tidak bisa menahan diri lagi. Tubuhnya bergetar hebat karena kenikmatan yang melanda setiap serat tubuhnya. Setiap gerakan lidah Liam membuat Shireen semakin terbuai dalam dunia kenikmatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Liam terus memainkannya dengan lidahnya tampak lihai, menjelajahi setiap lekukan dan tonjolan yang ada di payudara Shireen. Tangannya juga tidak tinggal diam, ia kembali menyentuh payudara Shireen dan meremasnya dengan sedikit kasar. Sensasi itu membuat Shireen mendesah dalam kenikmatan campur rasa sakit.
"Ah, ah, Tuan, ah, aku … mohon hentikan," pinta Shireen sambil menggigit bibir bawahnya. Meski dia mendesah tetap saja meminta berhenti karena perasaan campur aduk yang melanda tubuhnya.
Kemudian, setelah puas Liam menghentikan aksinya. Sebelum menggunakan "rudal"nya untuk memberikan kepuasan lebih lanjut kepada Shireen, dia mulai memainkan jarinya di bagian liang kenikmatan itu tanpa memasukkannya ke dalam. Dia hanya memainkan jarinya di bagian luar milik Shireen dengan gerakan yang lambat namun penuh gairah. Setiap sentuhan jari Liam membuat Shireen kembali mendesah keenakan. Dia tidak pernah tahu jika miliknya akan seenak ini ketika disentuh oleh jari-jari pria seperti ini.
"Ah, Tuan," desah Shireen yang memejamkan matanya untuk menyerap semua sensasi nikmat yang diberikan oleh Liam.
Liam semakin meningkatkan kecepatan aksinya membuat Shireen semakin mendesah dengan kuat merasakan kenikmatan itu secara keseluruhan. Cukup lama Liam memainkan jarinya di sana, dia melihat tubuh Shireen yang mulai bergelinjang dan tampak segera memasuki puncak kenikmatannya. Namun, pada saat yang bersamaan Liam langsung menghentikan aksinya dengan tiba-tiba. Hal ini membuat Shireen langsung membuka matanya dengan kebingungan.
"Kamu memintaku berhenti, 'kan?" tanya Liam dengan senyum lebar di wajahnya.
Ekspresi puas terpancar di wajah Liam seolah sengaja mempermainkan Shireen agar wanita itu memohon kepadanya agar melanjutkan aksinya.
Mata Shireen berkaca-kaca dan napasnya terengah-engah. Tubuhnya gemetar karena pengaruh obat perangsang yang diberikan oleh Liam. Pikiran jernihnya sudah hilang entah ke mana, digantikan oleh dorongan nafsu yang tak terkendali.
Liam berdiri di dekat pintu dengan senyum puas di wajahnya. Dia tahu betapa kuat efek obat itu pada Shireen, dan dia merasa berkuasa atas dirinya. "Bagaimana rasanya, Shireen?" tanyanya dengan nada sombong. Sudah beberapa menit lamanya Shireen berusaha menahan gejolak hasrat yang ingin segera dituntaskan.
Shireen menundukkan kepala, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya yang masih tersisa.
"Aku... aku tidak bisa lagi," gumamnya lemah.
Liam mendekati Shireen dengan langkah mantap. Dia melihat ke dalam mata wanita itu dan merasakan getaran hasrat yang membara di tubuh wanita itu.
"Tentu saja kamu bisa," bisik Liam sambil menyentuh pipi Shireen dengan lembut.
Shireen menoleh ke arah Liam, matanya penuh keraguan namun juga dipenuhi rindu akan sentuhan pria.
"Tapi ini bukan aku," desisnya pelan dengan napas yang masih saja tidak teratur.
Liam tersenyum sinis dan menjawab dengan suara rendah, "Ini adalah bagian dari dirimu yang selama ini kamu sembunyikan."
"Tolong ... penuhi hasratku," pintanya dengan suara serak. Kini pikiran jernih Shireen sudah hilang digantikan dengan hawa nafsu yang ingin segera dia rasakan akibat obat perangsang itu.
Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruang makan, menghangatkan lantai marmer yang dingin. Beberapa pelayan mondar-mandir menyiapkan sarapan, tapi suasana rumah itu tetap terasa sunyi, seolah menahan napas menunggu sesuatu.Liam duduk di meja makan, mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku dan celana bahan gelap. Secangkir kopi masih mengepulkan aroma di hadapannya, namun tak tersentuh. Matanya kosong menatap piring di depannya, pikirannya entah melayang ke mana. Sejak semalam, bayangan Shireen terus mengganggunya. Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang lemah... dan kata-katanya yang tajam.Tiba-tiba langkah pelan terdengar dari arah tangga. Liam mendongak.Dan di sana... berdiri Shireen.Ia mengenakan gaun sederhana berwarna krem dengan rambut panjangnya yang tergerai lembut di bahu. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tapi matanya tampak jauh lebih hidup dibanding semalam. Tegas, berani, dan... dingin.Liam berdiri dari kursinya, tampak terkejut. “Kamu... bangun pagi,
Hari itu, Liam duduk di ruang rapat kantor pusat perusahaannya yang menjulang tinggi di jantung kota. Seorang manajer tengah berdiri di depan layar proyektor, menjelaskan strategi pemasaran kuartal berikutnya dengan penuh semangat. Namun, mata Liam kosong. Tatapannya tak benar-benar tertuju pada layar, melainkan mengawang, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.Bayangan wajah Shireen terus menghantui benaknya. Tatapan wanita itu yang penuh luka, air matanya yang jatuh tanpa bisa dibendung, dan tamparan yang mendarat di pipinya masih terasa membekas, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Liam bukan tipe pria yang mudah goyah, tetapi Shireen berhasil mengguncangnya dengan cara yang tak terduga."Tuan Liam, bagaimana menurut Anda tentang pendekatan yang kami ajukan untuk segmen remaja?" suara sang manajer memecah keheningan.Liam tersentak. Ia menoleh perlahan, tak langsung menjawab. Semua orang di ruang rapat menatapnya dengan cemas, menunggu tanggapan. Beberapa terlihat m
Cahaya matahari menelusup lewat tirai tipis yang menggantung di jendela kamar hotel mewah itu. Shireen mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan diri dengan cahaya terang yang menyambutnya. Kamar itu masih sunyi, hanya suara pendingin ruangan yang samar terdengar.Namun, sepi itu terasa berbeda. Ketika tangannya meraba sisi kasur di sebelahnya, Shireen terdiam. Kosong. Tidak ada Liam di sana."Liam?" panggilnya pelan, tapi tidak ada sahutan.Ia bangkit duduk, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih terasa hangat oleh sisa-sisa keintiman semalam. Perasaannya campur aduk—malu, canggung, tapi juga ada sesuatu yang tak ingin ia akui: kerinduan.Kakinya menyentuh lantai dingin saat ia berdiri, melangkah ke kamar mandi, namun tetap tak menemukan Liam di dalam sana. Shireen mulai merasa aneh. Tanpa buang waktu, ia mengenakan pakaian seadanya dan membuka pintu kamar, menelusuri koridor hotel yang mewah itu dengan jantung berdebar.Ia membuka satu demi satu pintu yang dibiarkan tid
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian itu. Rumah megah yang kini menjadi tempat tinggal Shireen masih terasa asing baginya, tetapi ia mulai terbiasa dengan keheningan dan rutinitasnya. Liam jarang pulang tepat waktu, dan saat pun ia ada di rumah, percakapan mereka hanya secukupnya. Tidak ada yang benar-benar berubah, selain bahwa kini Shireen tengah menunggu perceraian resmi dengan Nick.Pagi itu, seorang pelayan mengetuk pintu kamar Shireen. Wanita muda itu masuk sambil membawa sebuah kotak berwarna krem dengan pita emas yang terikat rapi."Tuan Liam meminta Anda memakai ini hari ini," ucapnya sopan. "Beliau akan membawa Anda ke luar kota. Mobil akan berangkat dalam dua jam."Shireen mengernyit. "Keluar kota? Untuk apa?""Saya tidak diberi tahu, Nona. Tapi Tuan Liam meminta Anda bersiap."Setelah pelayan itu pergi, Shireen menatap kotak itu cukup lama sebelum akhirnya membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah gaun panjang berwarna lembut—bukan yang terlalu mencolok, justru tampak
Klub malam itu dipenuhi asap rokok, lampu temaram, dan dentuman musik yang memekakkan telinga. Di salah satu sofa VIP yang terletak agak tersembunyi, Nick sedang bersandar dengan kepala miring, sebotol minuman keras di tangan, dan dua wanita berpakaian minim duduk menempel di kedua sisinya.Tertawa. Mabuk. Tak peduli dunia.Namun, tawa itu berhenti seketika saat salah satu wanita yang bersandar di bahunya menegakkan tubuh, lalu menunduk ketakutan. “I-Itu… siapa dia?”Langkah sepatu hitam menginjak karpet mewah ruangan itu, lambat dan berwibawa. Liam muncul dari balik kegelapan dengan tatapan yang tak terbaca, ditemani dua pria berbadan besar di belakangnya. Sorot matanya menusuk ke arah Nick seperti singa yang hendak menerkam.“Tuan Liam?” gumam Nick pelan, matanya menyipit karena efek alkohol. Ia mencoba duduk tegak, menepis tangan wanita di sampingnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Liam tak menjawab. Ia hanya menarik kursi di seberang Nick dan duduk, menyilangkan kaki dengan tena
Malam menjelang dengan sunyi yang merambat pelan di seluruh sudut rumah megah itu. Lampu-lampu gantung menyala temaram, menyisakan bayangan panjang di lantai marmer putih. Shireen duduk diam di sofa ruang tamu, memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Ia sudah mencoba makan malam, tapi hanya menyentuh beberapa suap sebelum kehilangan selera. Pikirannya terus kembali ke pagi tadi. Ke suara pecahan gelas. Genggaman kasar di wajahnya. Tatapan tajam itu. Dan sekarang, setiap menit yang berjalan hanya membuatnya semakin gelisah. Entah karena takut Liam pulang… atau karena menanti sesuatu yang tidak ia pahami. Hatinya terasa aneh. Ingin Liam datang, tapi juga tidak. Ingin menjauh, tapi terlanjur terikat. Ketika suara mobil memasuki halaman, jantung Shireen langsung berdegup cepat. Napasnya memburu. Ia berdiri, namun tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya berdiri di tempatnya—menunggu. Pintu utama terbuka. Langkah sepatu kulit terdengar teratur di lo