Namun, tindakan Shireen tersebut hanya semakin membuat api kemarahan di dalam diri Nick berkobar. Ia merasa tidak terima atas perlakuan Shireen yang seenaknya menamparnya dan menghina dirinya. Dengan penuh amarah, Nick meraih rambut panjang Shireen dan menjambaknya dari belakang dengan kasar. Rasa sakit yang dialami oleh Shireen membuatnya berteriak kesakitan, namun itu tidak mengurangi kegigihan Nick dalam melampiaskan kemarahannya.
Dalam sekejap, air mata Shireen kembali turun membasahi wajahnya seraya memegang tangan Nick. Ia berusaha melepaskan cengkraman tangan Nick yang begitu kuat dari rambutnya. Hatinya hancur melihat perubahan drastis dalam sikap Nick yang dulunya begitu lembut dan penyayang.
"Siapa kamu sampai berani menamparku seperti itu?" tanya Nick dengan penuh amarah tidak peduli dengan jeritan Shireen yang kini menangis dan memohon agar Nick melepaskannya. Tatapan matanya penuh kemarahan, membuat Shireen semakin takut pada suaminya.
"Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Shireen! Dan jangan pernah meminta untuk berpisah dariku. Seharusnya, kamu bersyukur karena kini aku mengangkat derajatmu! Mengerti?" ucap Nick dengan nada penuh penekanan di setiap katanya. Suara kerasnya terdengar menusuk hati Shireen, membuatnya semakin terpuruk dalam kesedihan.
"Sekali lagi, aku mendengar kamu ingin bercerai dariku, maka aku akan membuatmu menderita!" tambah Nick seraya melepaskan jambakan tangannya dari rambut Shireen seraya mendorongnya membuat wanita itu terjatuh ke lantai yang dingin. Rasa sakit fisik hanya menjadi gambaran nyata dari betapa hancurnya hati Shireen saat ini.
Shireen begitu tidak berdaya menghadapi Nick. Dia merasa seperti sedang hidup dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia tidak pernah menyangka jika Nick berubah 180 derajat hanya dalam waktu satu malam. Laki-laki yang penuh kasih sayang dan penuh pengertian yang selama ini melekat dalam diri Nick seolah hilang begitu saja. Semua kenangan indah mereka bersama terasa seperti angin lalu, menguap begitu saja.
“Kita akan pulang ke rumah! Cepat pakai kembali bajumu. Aku beri waktu 15 menit,” ucap Nick sambil melihat ke arah jam tangannya tidak peduli dengan Shireen yang menangis tersedu-sedu karena ulahnya.
Shireen merasa hatinya hancur mendengar perkataan Nick. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan mereka akan menjadi seperti ini. Semula, dia sangat bahagia ketika Nick melamarnya dan mereka memutuskan untuk menjalani hidup bersama sebagai suami istri. Namun, perlakuan Nick membuat Shireen mulai menyadari bahwa dia melakukan kesalahan besar.
Dengan gontai dan sangat terpaksa, Shireen berjalan menuju kamar mandi hotel. Air mata masih mengalir di pipinya saat dia mencoba membersihkan tubuhnya dengan tatapan kosong. Dia merasakan beban yang begitu berat di dalam dirinya, tak mampu lagi ia menahan kesedihan dan kekecewaan yang ada.
Shireen duduk sendiri di tepi bathtub hotel tersebut sambil memandangi air yang mengalir deras dari keran mandi. Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan dan penyesalan. Bagaimana bisa segalanya berubah secepat ini? Bagaimana bisa cinta yang begitu indah menjadi penderitaan yang tak terhingga?
***
Nick membawa Shireen ke apartemen miliknya yang terletak di pusat kota. Apartemen itu tampak begitu berantakan, dengan pakaian yang berserakan dan barang-barang yang tidak rapi tertata. Shireen hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong.
"Aku harus pergi bekerja," ucap Nick tiba-tiba setelah menerima telepon dari seseorang. "Aku tahu jika kita masih dalam waktu bulan madu, tetapi ada masalah yang harus membuatku pergi."
Shireen tidak dapat menahan diri untuk merespons ucapan Nick. Tatapannya benar-benar kosong dan hampa, seolah-olah dia sedang melihat sesuatu yang jauh di kejauhan. Dia masih belum bisa mempercayai bahwa sikap Nick bisa berubah secepat ini, seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi pada hubungan mereka.
"Aku akan segera kembali," kata Nick sambil mencium kening Shireen lembut. "Dan aku harap kamu bisa membereskan semua ini."
Dengan langkah mantap, ia meninggalkan apartemen tersebut meninggalkan Shireen sendirian dalam keheningan.
Detik berikutnya, tubuh Shireen mulai terasa lemas seperti kehilangan segala energinya secara tiba-tiba. Kekosongan hatinya semakin menguat saat dia ambruk ke lantai tanpa daya. Air mata berlinang deras dari matanya saat dia merasakan kesedihan mendalam menyelimuti dirinya.
Dia duduk di lantai dingin apartemen itu sambil memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menenangkan diri dari kehancuran hidupnya yang sudah terjadi. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban dan rasa sakit yang tak terlukiskan. Dia menangis sejadi-jadinya tidak peduli apakah tangisannya akan terdengar keluar atau tidak.
“Kenapa takdir seolah melarangku untuk bahagia?” tanya Shireen dengan suara lirih di tengah-tengah tangisannya yang begitu menyayat hati.
Shireen berjalan masuk ke ruangan apartemen yang berantakan, dengan hati yang sangat berat. Langkah kakinya terasa berat seolah-olah dia menarik beban di kedua kakinya. Di mana-mana terlihat pakaian berserakan, piring kotor, dan sampah menumpuk. Shireen menelan ludah dan mulai merapikan semuanya dengan perlahan.
Saat mengangkat piring kotor, air mata Shireen tiba-tiba menetes. Dia menangis pelan, meratapi nasibnya karena ternyata menikahi pria brengsek seperti Nick. Shireen masih sulit menerima kenyataan bahwa laki-laki itu tidak seperti yang dia harapkan. Namun, saat ini Shireen tidak bisa pergi meski sikap Nick sangatlah keterlaluan, karena dia tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa diharapkan.
Sambil terus menangis pelan, Shireen mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke dalam mesin cuci. Dengan berat hati, dia mulai menyapu lantai, mengelap meja, dan membuang sampah yang menumpuk.
Di tengah kegiatan membersihkan apartemen, Shireen tak kuasa menahan tangisnya lagi. Ia duduk di lantai, menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan menangis sejadi-jadinya.
Namun, dibalik keputusasaannya, Shireen mencoba untuk berharap. Mungkin suatu hari nanti, Nick akan berubah menjadi pria yang lebih baik. Mungkin suatu saat, mereka bisa hidup bahagia bersama seperti pasangan suami istri pada umumnya. Dengan menggenggam erat harapan itu, Shireen bangkit dan kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan apartemen yang berantakan itu. Sebab, saat ini, Nick-lah satu-satunya orang yang hanya Shireen punya.
Cahaya matahari menembus kaca jendela besar ruang makan, menghangatkan lantai marmer yang dingin. Beberapa pelayan mondar-mandir menyiapkan sarapan, tapi suasana rumah itu tetap terasa sunyi, seolah menahan napas menunggu sesuatu.Liam duduk di meja makan, mengenakan kemeja putih yang digulung sampai siku dan celana bahan gelap. Secangkir kopi masih mengepulkan aroma di hadapannya, namun tak tersentuh. Matanya kosong menatap piring di depannya, pikirannya entah melayang ke mana. Sejak semalam, bayangan Shireen terus mengganggunya. Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang lemah... dan kata-katanya yang tajam.Tiba-tiba langkah pelan terdengar dari arah tangga. Liam mendongak.Dan di sana... berdiri Shireen.Ia mengenakan gaun sederhana berwarna krem dengan rambut panjangnya yang tergerai lembut di bahu. Wajahnya masih terlihat sedikit pucat, tapi matanya tampak jauh lebih hidup dibanding semalam. Tegas, berani, dan... dingin.Liam berdiri dari kursinya, tampak terkejut. “Kamu... bangun pagi,
Hari itu, Liam duduk di ruang rapat kantor pusat perusahaannya yang menjulang tinggi di jantung kota. Seorang manajer tengah berdiri di depan layar proyektor, menjelaskan strategi pemasaran kuartal berikutnya dengan penuh semangat. Namun, mata Liam kosong. Tatapannya tak benar-benar tertuju pada layar, melainkan mengawang, seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri.Bayangan wajah Shireen terus menghantui benaknya. Tatapan wanita itu yang penuh luka, air matanya yang jatuh tanpa bisa dibendung, dan tamparan yang mendarat di pipinya masih terasa membekas, bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional. Liam bukan tipe pria yang mudah goyah, tetapi Shireen berhasil mengguncangnya dengan cara yang tak terduga."Tuan Liam, bagaimana menurut Anda tentang pendekatan yang kami ajukan untuk segmen remaja?" suara sang manajer memecah keheningan.Liam tersentak. Ia menoleh perlahan, tak langsung menjawab. Semua orang di ruang rapat menatapnya dengan cemas, menunggu tanggapan. Beberapa terlihat m
Cahaya matahari menelusup lewat tirai tipis yang menggantung di jendela kamar hotel mewah itu. Shireen mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan diri dengan cahaya terang yang menyambutnya. Kamar itu masih sunyi, hanya suara pendingin ruangan yang samar terdengar.Namun, sepi itu terasa berbeda. Ketika tangannya meraba sisi kasur di sebelahnya, Shireen terdiam. Kosong. Tidak ada Liam di sana."Liam?" panggilnya pelan, tapi tidak ada sahutan.Ia bangkit duduk, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang masih terasa hangat oleh sisa-sisa keintiman semalam. Perasaannya campur aduk—malu, canggung, tapi juga ada sesuatu yang tak ingin ia akui: kerinduan.Kakinya menyentuh lantai dingin saat ia berdiri, melangkah ke kamar mandi, namun tetap tak menemukan Liam di dalam sana. Shireen mulai merasa aneh. Tanpa buang waktu, ia mengenakan pakaian seadanya dan membuka pintu kamar, menelusuri koridor hotel yang mewah itu dengan jantung berdebar.Ia membuka satu demi satu pintu yang dibiarkan tid
Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian itu. Rumah megah yang kini menjadi tempat tinggal Shireen masih terasa asing baginya, tetapi ia mulai terbiasa dengan keheningan dan rutinitasnya. Liam jarang pulang tepat waktu, dan saat pun ia ada di rumah, percakapan mereka hanya secukupnya. Tidak ada yang benar-benar berubah, selain bahwa kini Shireen tengah menunggu perceraian resmi dengan Nick.Pagi itu, seorang pelayan mengetuk pintu kamar Shireen. Wanita muda itu masuk sambil membawa sebuah kotak berwarna krem dengan pita emas yang terikat rapi."Tuan Liam meminta Anda memakai ini hari ini," ucapnya sopan. "Beliau akan membawa Anda ke luar kota. Mobil akan berangkat dalam dua jam."Shireen mengernyit. "Keluar kota? Untuk apa?""Saya tidak diberi tahu, Nona. Tapi Tuan Liam meminta Anda bersiap."Setelah pelayan itu pergi, Shireen menatap kotak itu cukup lama sebelum akhirnya membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah gaun panjang berwarna lembut—bukan yang terlalu mencolok, justru tampak
Klub malam itu dipenuhi asap rokok, lampu temaram, dan dentuman musik yang memekakkan telinga. Di salah satu sofa VIP yang terletak agak tersembunyi, Nick sedang bersandar dengan kepala miring, sebotol minuman keras di tangan, dan dua wanita berpakaian minim duduk menempel di kedua sisinya.Tertawa. Mabuk. Tak peduli dunia.Namun, tawa itu berhenti seketika saat salah satu wanita yang bersandar di bahunya menegakkan tubuh, lalu menunduk ketakutan. “I-Itu… siapa dia?”Langkah sepatu hitam menginjak karpet mewah ruangan itu, lambat dan berwibawa. Liam muncul dari balik kegelapan dengan tatapan yang tak terbaca, ditemani dua pria berbadan besar di belakangnya. Sorot matanya menusuk ke arah Nick seperti singa yang hendak menerkam.“Tuan Liam?” gumam Nick pelan, matanya menyipit karena efek alkohol. Ia mencoba duduk tegak, menepis tangan wanita di sampingnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Liam tak menjawab. Ia hanya menarik kursi di seberang Nick dan duduk, menyilangkan kaki dengan tena
Malam menjelang dengan sunyi yang merambat pelan di seluruh sudut rumah megah itu. Lampu-lampu gantung menyala temaram, menyisakan bayangan panjang di lantai marmer putih. Shireen duduk diam di sofa ruang tamu, memeluk lutut, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Ia sudah mencoba makan malam, tapi hanya menyentuh beberapa suap sebelum kehilangan selera. Pikirannya terus kembali ke pagi tadi. Ke suara pecahan gelas. Genggaman kasar di wajahnya. Tatapan tajam itu. Dan sekarang, setiap menit yang berjalan hanya membuatnya semakin gelisah. Entah karena takut Liam pulang… atau karena menanti sesuatu yang tidak ia pahami. Hatinya terasa aneh. Ingin Liam datang, tapi juga tidak. Ingin menjauh, tapi terlanjur terikat. Ketika suara mobil memasuki halaman, jantung Shireen langsung berdegup cepat. Napasnya memburu. Ia berdiri, namun tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya berdiri di tempatnya—menunggu. Pintu utama terbuka. Langkah sepatu kulit terdengar teratur di lo