Share

Bab 6. Tatapan Kosong

Author: Queen Aurora
last update Last Updated: 2024-02-07 22:40:20

Namun, tindakan Shireen tersebut hanya semakin membuat api kemarahan di dalam diri Nick berkobar. Ia merasa tidak terima atas perlakuan Shireen yang seenaknya menamparnya dan menghina dirinya. Dengan penuh amarah, Nick meraih rambut panjang Shireen dan menjambaknya dari belakang dengan kasar. Rasa sakit yang dialami oleh Shireen membuatnya berteriak kesakitan, namun itu tidak mengurangi kegigihan Nick dalam melampiaskan kemarahannya.

Dalam sekejap, air mata Shireen kembali turun membasahi wajahnya seraya memegang tangan Nick. Ia berusaha melepaskan cengkraman tangan Nick yang begitu kuat dari rambutnya. Hatinya hancur melihat perubahan drastis dalam sikap Nick yang dulunya begitu lembut dan penyayang. 

"Siapa kamu sampai berani menamparku seperti itu?" tanya Nick dengan penuh amarah tidak peduli dengan jeritan Shireen yang kini menangis dan memohon agar Nick melepaskannya. Tatapan matanya penuh kemarahan, membuat Shireen semakin takut pada suaminya.

"Aku tidak akan pernah menceraikanmu, Shireen! Dan jangan pernah meminta untuk berpisah dariku. Seharusnya, kamu bersyukur karena kini aku mengangkat derajatmu! Mengerti?" ucap Nick dengan nada penuh penekanan di setiap katanya. Suara kerasnya terdengar menusuk hati Shireen, membuatnya semakin terpuruk dalam kesedihan.

"Sekali lagi, aku mendengar kamu ingin bercerai dariku, maka aku akan membuatmu menderita!" tambah Nick seraya melepaskan jambakan tangannya dari rambut Shireen seraya mendorongnya membuat wanita itu terjatuh ke lantai yang dingin. Rasa sakit fisik hanya menjadi gambaran nyata dari betapa hancurnya hati Shireen saat ini.

Shireen begitu tidak berdaya menghadapi Nick. Dia merasa seperti sedang hidup dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Dia tidak pernah menyangka jika Nick berubah 180 derajat hanya dalam waktu satu malam. Laki-laki yang penuh kasih sayang dan penuh pengertian yang selama ini melekat dalam diri Nick seolah hilang begitu saja. Semua kenangan indah mereka bersama terasa seperti angin lalu, menguap begitu saja.

“Kita akan pulang ke rumah! Cepat pakai kembali bajumu. Aku beri waktu 15 menit,” ucap Nick sambil melihat ke arah jam tangannya tidak peduli dengan Shireen yang menangis tersedu-sedu karena ulahnya.

Shireen merasa hatinya hancur mendengar perkataan Nick. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan mereka akan menjadi seperti ini. Semula, dia sangat bahagia ketika Nick melamarnya dan mereka memutuskan untuk menjalani hidup bersama sebagai suami istri. Namun, perlakuan Nick membuat Shireen mulai menyadari bahwa dia melakukan kesalahan besar.

Dengan gontai dan sangat terpaksa, Shireen berjalan menuju kamar mandi hotel. Air mata masih mengalir di pipinya saat dia mencoba membersihkan tubuhnya dengan tatapan kosong. Dia merasakan beban yang begitu berat di dalam dirinya, tak mampu lagi ia menahan kesedihan dan kekecewaan yang ada.

Shireen duduk sendiri di tepi bathtub hotel tersebut sambil memandangi air yang mengalir deras dari keran mandi. Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan kesedihan dan penyesalan. Bagaimana bisa segalanya berubah secepat ini? Bagaimana bisa cinta yang begitu indah menjadi penderitaan yang tak terhingga?

***

Nick membawa Shireen ke apartemen miliknya yang terletak di pusat kota. Apartemen itu tampak begitu berantakan, dengan pakaian yang berserakan dan barang-barang yang tidak rapi tertata. Shireen hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong.

"Aku harus pergi bekerja," ucap Nick tiba-tiba setelah menerima telepon dari seseorang. "Aku tahu jika kita masih dalam waktu bulan madu, tetapi ada masalah yang harus membuatku pergi."

Shireen tidak dapat menahan diri untuk merespons ucapan Nick. Tatapannya benar-benar kosong dan hampa, seolah-olah dia sedang melihat sesuatu yang jauh di kejauhan. Dia masih belum bisa mempercayai bahwa sikap Nick bisa berubah secepat ini, seolah-olah tidak ada apa pun yang terjadi pada hubungan mereka.

"Aku akan segera kembali," kata Nick sambil mencium kening Shireen lembut. "Dan aku harap kamu bisa membereskan semua ini." 

Dengan langkah mantap, ia meninggalkan apartemen tersebut meninggalkan Shireen sendirian dalam keheningan.

Detik berikutnya, tubuh Shireen mulai terasa lemas seperti kehilangan segala energinya secara tiba-tiba. Kekosongan hatinya semakin menguat saat dia ambruk ke lantai tanpa daya. Air mata berlinang deras dari matanya saat dia merasakan kesedihan mendalam menyelimuti dirinya.

Dia duduk di lantai dingin apartemen itu sambil memeluk tubuhnya sendiri, mencoba menenangkan diri dari kehancuran hidupnya yang sudah terjadi. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban dan rasa sakit yang tak terlukiskan. Dia menangis sejadi-jadinya tidak peduli apakah tangisannya akan terdengar keluar atau tidak.

“Kenapa takdir seolah melarangku untuk bahagia?” tanya Shireen dengan suara lirih di tengah-tengah tangisannya yang begitu menyayat hati.

Shireen berjalan masuk ke ruangan apartemen yang berantakan, dengan hati yang sangat berat. Langkah kakinya terasa berat seolah-olah dia menarik beban di kedua kakinya. Di mana-mana terlihat pakaian berserakan, piring kotor, dan sampah menumpuk. Shireen menelan ludah dan mulai merapikan semuanya dengan perlahan.

Saat mengangkat piring kotor, air mata Shireen tiba-tiba menetes. Dia menangis pelan, meratapi nasibnya karena ternyata menikahi pria brengsek seperti Nick. Shireen masih sulit menerima kenyataan bahwa laki-laki itu tidak seperti yang dia harapkan. Namun, saat ini Shireen tidak bisa pergi meski sikap Nick sangatlah keterlaluan, karena dia tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa diharapkan.

Sambil terus menangis pelan, Shireen mengumpulkan pakaian kotor dan memasukkannya ke dalam mesin cuci. Dengan berat hati, dia mulai menyapu lantai, mengelap meja, dan membuang sampah yang menumpuk.

Di tengah kegiatan membersihkan apartemen, Shireen tak kuasa menahan tangisnya lagi. Ia duduk di lantai, menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan menangis sejadi-jadinya. 

Namun, dibalik keputusasaannya, Shireen mencoba untuk berharap. Mungkin suatu hari nanti, Nick akan berubah menjadi pria yang lebih baik. Mungkin suatu saat, mereka bisa hidup bahagia bersama seperti pasangan suami istri pada umumnya. Dengan menggenggam erat harapan itu, Shireen bangkit dan kembali melanjutkan pekerjaannya membersihkan apartemen yang berantakan itu. Sebab, saat ini, Nick-lah satu-satunya orang yang hanya Shireen punya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMUAS NAFSU MAJIKAN SUAMI   Bab 44. Liontin

    "Dia adalah ayahku.”Kata-kata itu jatuh di ruangan ICU yang steril, lebih sunyi dari bunyi monitor, lebih tajam dari jarum infus. Waktu seolah berhenti. Liam menatap Shireen, mencoba mencari jejak kebohongan atau kebingungan di matanya. Tapi yang ia temukan hanyalah kejujuran yang menyakitkan dan ketakutan yang mendalam.Ayah Shireen. Pria yang membunuh ibunya.Dunia Liam yang baru saja mulai tertata kembali kini hancur berkeping-keping. Realita itu terlalu absurd, terlalu kejam untuk bisa diterima. Perempuan yang ia cintai, perempuan yang menjadi pusat alam semestanya, adalah putri dari monster yang telah menghancurkan keluarganya."Tidak," bisik Liam, lebih pada dirinya sendiri. Tangannya yang menggenggam tangan Shireen terasa dingin. "Itu... itu tidak mungkin. Nick pasti berbohong. Dia hanya ingin menghancurkan kita.""Aku juga berharap begitu, Liam," jawab Shireen lirih, air matanya mulai mengalir. "Tapi... entah kenapa, sebagian dari diriku merasa... itu benar.""Apa maksudmu?"

  • PEMUAS NAFSU MAJIKAN SUAMI   Bab 43. Sadar

    "Dia bilang, 'Jika Lawrence tahu siapa Shireen sebenarnya, dia tidak akan hanya membunuhku. Dia akan membunuh mereka semua'."Kata-kata itu menggantung di koridor rumah sakit yang sunyi, terasa lebih dingin dan lebih berbahaya daripada ancaman fisik mana pun. 'Mereka semua'. Siapa 'mereka'? Dan siapa Shireen sebenarnya? Pertanyaan itu berputar di benak Liam, menciptakan labirin baru yang lebih gelap dan lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.Alessa menatapnya, menunggu reaksi. Tapi Liam hanya diam membeku. Otaknya mencoba memproses informasi itu, menghubungkannya dengan kepingan-kepingan aneh lainnya. Nick yang tiba-tiba punya sumber daya untuk melawannya. Daniel Hartman, paman Alessa, yang dihancurkan oleh ayahnya. Dan Shireen, seorang yatim piatu, yang entah bagaimana menjadi pusat dari semua badai ini."Liam?" panggil Alessa lembut, menyadarkannya."Pergilah, Alessa," kata Liam pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tidak menatapnya. Matanya terpaku pada pintu ruang ICU, seol

  • PEMUAS NAFSU MAJIKAN SUAMI   Bab 42. Sebuah Kunci

    "Saat perempuan ini sadar nanti... jika dia sadar," kata Daniel, setiap katanya terdengar seperti vonis. "Singkirkan dia dari hidupmu. Selamanya.”Keheningan yang mengikuti ultimatum itu terasa lebih dingin daripada lantai rumah sakit. Liam mengangkat kepalanya perlahan, menatap ayahnya. Bukan lagi dengan tatapan anak yang terluka, tapi dengan tatapan seorang pria yang didorong hingga ke batasnya."Tidak," jawab Liam, suaranya pelan tapi begitu mantap hingga Daniel pun tampak sedikit terkejut."Apa katamu?""Aku bilang, tidak," ulang Liam, ia bangkit berdiri, kini mereka saling berhadapan dengan tinggi yang sejajar. "Aku tidak akan meninggalkannya."Daniel tertawa kecil, tawa yang penuh cemoohan. "Jangan bodoh, Liam. Kamu pikir apa yang bisa perempuan sepertinya berikan padamu? Selain masalah dan kelemahan?""Dia memberiku sesuatu yang tidak pernah kamu atau ibuku berikan," balas Liam, matanya berkilat. "Dia memberiku alasan untuk menjadi manusia.""Manusia?" Daniel mendengus. "Kita b

  • PEMUAS NAFSU MAJIKAN SUAMI   Bab 41. Vonis

    "Sudah kubilang, Nak," kata Daniel Lawrence. "Cinta hanya akan membuatmu lemah.”Kata-kata dingin itu menusuk Liam lebih tajam dari peluru mana pun. Ia mendongak, menatap ayahnya yang berdiri di ambang pintu, dikelilingi oleh pengawal-pengawal berjas hitam. Wajah Daniel tidak menunjukkan simpati, hanya kekecewaan dan rasa jijik yang tak terselubung. Seolah putranya yang sedang memangku seorang perempuan sekarat adalah sebuah aib yang harus segera dibersihkan.Tapi Liam tidak peduli. Dunianya kini menyempit, hanya sebatas wajah pucat Shireen di pangkuannya."Panggil ambulans!" teriak Liam, suaranya parau karena panik dan putus asa. "Cepat!"Arthur, yang baru saja selesai melumpuhkan Marco, langsung mengeluarkan ponselnya. "Sudah, Tuan! Mereka sedang dalam perjalanan!""Dia kehilangan banyak darah," bisik Liam pada dirinya sendiri. Ia menekan luka di perut Shireen dengan tangannya, mencoba menghentikan aliran darah yang tak mau berhenti. Tangannya bergetar hebat. Pria yang terbiasa meng

  • PEMUAS NAFSU MAJIKAN SUAMI   Bab 40. Tertembak

    "Dia baru saja mengirimkan pesan padaku," lanjut Arthur. "Dia bilang, dia punya rencana cadangan.”Rencana cadangan. Dua kata itu terdengar seperti lonceng kematian. Waktu yang sudah tipis terasa semakin menipis. Nick, si ular licik itu, tidak hanya bermain catur dari tempat lain. Ia memiliki bidak lain di papan permainan yang tidak mereka ketahui.Wajah Liam mengeras. Kalimat yang tadi ingin ia selesaikan seolah tertelan kembali ke tenggorokannya. Tidak ada waktu untuk perasaan. Yang ada hanya waktu untuk bertindak."Apa isi pesannya?" tanya Liam, suaranya dingin dan terkendali."Hanya sebuah alamat, Tuan," jawab Arthur. "Dan satu kalimat: 'Jika terjadi sesuatu pada Marco, aku akan berkunjung ke tempat ini'."Liam berjalan cepat ke arah layar, mengetikkan alamat itu. Sebuah titik merah muncul di peta, jauh dari area pelabuhan. Jauh dari gudang tempat Alessa disandera.Jantung Shireen serasa jatuh ke perutnya. Itu alamat panti asuhan."Bajingan," desis Liam. Ia memukul meja dengan kep

  • PEMUAS NAFSU MAJIKAN SUAMI   Bab 39. Rencana Shireen

    "Potongan pertama akan segera kukirimkan ke depan pintumu.”Klik.Telepon mati, meninggalkan gaung suara tembakan dan jeritan Alessa di udara. Ruangan itu terasa menyusut, dindingnya seolah merapat, menghimpit napas Shireen. Satu jam. Waktu terasa seperti pasir yang mengalir terlalu cepat di antara jari-jari mereka.Liam membeku sesaat, wajahnya pucat pasi. Kepalan tangannya di sisi tubuhnya bergetar karena amarah yang tertahan. Lalu, ia bergerak. Bukan gerakan panik, tapi gerakan predator yang terdesak."Arthur!" teriaknya ke interkom. "Siapkan tim. Kita bergerak sekarang!""Tidak," sebuah suara pelan tapi mantap menghentikannya.Liam berbalik. Shireen berdiri di tengah ruangan, wajahnya pucat tapi matanya menyala dengan keteguhan yang mengejutkan. Tangis dan ketakutan yang tadi ada di matanya kini hilang, digantikan oleh sesuatu yang lebih dingin. Sesuatu yang menyerupai tekad."Apa maksudmu 'tidak'?" geram Liam. "Kita tidak punya waktu, Shireen!""Kamu tidak bisa pergi ke sana deng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status