Share

Serangan Tak Terduga

”Semua jalan sama saja, akan sampai ke puncak,” jawab Ki Panjong. “Hanya saja, menurut jejak-jejak ini, jalan selatan dan utara telah dilalui para pendekar. Maka dari itu, kita lewat jalan tengah saja.”

Kedua pendekar yang beda usia itu berjalan menyusuri jalan tengah. Jalan semakin lama semakin menanjak. Membuat kedua kaki terasa berat untuk melangkah.

Jalan yang dilalui merupakan jalan setapak dan sempit. Suro dan Ki Panjong tidak bisa beriringan. Ki Panjong yang berjalan di depan, sedangkan Suro di belakangnya.

Walau sudah tua Ki Panjong masih mampu berjalan cepat mendaki batu-batu terjal. Jalan yang menuju puncak ternyata berkelok-kelok. Semakin tinggi, semakin sulit didaki.

Banyak semak belukar yang membuat kaki-kaki mereka kadang terhambat. Semak yang lebat membuat perjalanan lebih lambat.

Matahari telah tenggelam ketika mereka baru mendaki seperempat dari tinggi gunung. Suro dan Ki panjong masih terus mendaki.

Ketika hari semakin gelap, mereka beristirahat. Mereka duduk di bawah pohon besar yang dihimpit batu-batu besar. Keduanya melepas lelah sambil mengedarkan pandangan ke bawah.

”Ki, sebenarnya apa kehebatan Bunga Puspajingga sehingga orang-orang ingin memperebutkannya?” tanya Suro sambil mengunyah buah maja. Dia berikan sebiji pada ki Panjong.

”Banyak sekali kehebatannya,” jawab Ki Panjong sambil menerima buah maja dari Suro. ”Bisa untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit. Ada yang menggunakannya untuk obat awet muda, untuk menambah kecantikan, dan masih banyak lagi.”

”Lalu untuk apa Ki Panjong mencari biji Bunga Puspajingga itu? Padahal untuk menanam bunga ini tidak gampang.”

”Aku ingin menanam biji itu di Gunung Ciluhung yang terdapat di Ujung Kulon. Biar kalau anak cucuku atau orang-orang sekitar Ujung Kulon memerlukan, tidak perlu jauh-jauh ke gunung ini.”

Beberapa saat mereka berdiam diri karena masing-masing sedang mengunyah buah maja. Suro diam-diam memandang wajah Ki Panjong yang tersorot sinar bulan.

Wajah yang berkerut-kerut itu masih menyisakan katampanan masa mudanya. Suro berpikir, di masa mudanya dulu, pasti banyak gadis yang tergila-gila pada Ki Panjong!

”Ki, apa saja yang diceritakan guru tentang diriku?”

”Dia hanya menceritakan bahwa dia mempunyai murid tunggal, namanya Suro. Hanya itu yang diceritakan Maeso Item kepadaku.”

”Beruntung Ki Panjong mengetahui itu,” gumam Suro.

”Beruntung tentang apa, Suro?” tanya Ki Panjong keheranan.

”Beruntung karena Ki Panjong telah diberitahukan guru tentang namaku. Sehingga tadi tidak perlu bertanya nama padaku,” jawab Suro bohong.

Padahal yang dimaksud Suro, bila gurunya menceritakan dirinya secara lengkap, termasuk asal-usul dan orang tuanya, maka keadaan akan lain. Mereka pasti tidak bisa seakrab ini.

Ki Panjong pasti akan memanggilnya ‘Pangeran Suro’ karena dirinya anak raja Agung Paramarta, penguasa Krendobumi. Dan tentu saja Ki Panjong akan menyebut kata ’pangeran’ atau mungkin ’raden’ setiap namanya disebut.

Bukan hanya sampai di situ, orang tua itu pasti merasa kikuk dan kaku kalau berbicara atau pun bertingkah laku. Berbicara dengan putra raja, tentu saja berbeda dengan saat berbicara dengan orang biasa.

”Ki, coba ceritakan sedikit tentang dirimu!” pinta Suro pada pendekar tua itu.

”Tak ada yang menarik yang perlu diceritakan tentang diriku,” jawab Ki Panjong merendah. ”Aku hanyalah  tetua dukuh Ujung Kulon. Tidak ada hal lain yang perlu diceritakan selain itu.”

“Sudahlah Suro,” kata Ki Punjong, “kau tak perlu menanyakan lagi tentang diriku! Sudah larut malam, mari kita tidur! Besok masih bamyak yang harus kita lakukan.”

Suro mengikuti kata Ki Panjong. Dia tidur di hamparan batu di bawah pohon besar. Ki Panjong tidur bersandar pada pohon besar yang daunnya rindang.

Suro dan Ki Panjong bangun kesiangan. Matahari pagi telah menyengat tubuh mereka cukup lama. Sampai-sampai tubuh mereka berkeringat. Suro rasakan kepalanya berkeringat, sehingga dia pun kontan garuk-garuk kepala!

”Ah, kau ini bagaimana Suro? Sudah bangun kesiangan, pakai acara garuk-garuk kepala segala!” semprot Ki Panjong. “Jadi anak muda itu yang semangat! Masa tiap berpikir sedikit saja sudah garuk-garuk kepala!”

”Bukan begitu masalahnya Ki,” Suro membela diri. “Kita kalau tidak cepat berangkat, bisa kedahuluan pendekar lain!”

Tanpa berkata lagi Suro sudah berlalu meninggalkan Ki Panjong. Berjalan cepat meneruskan perjalanan. Ki Panjong segera sigap menyusul Suro.

Ketika mereka melewati jalan sempit yang di kanan kirinya terdapat batu-batuan menjulang tinggi, Ki panjong menyuruh Suro berhenti.

”Ada apa, Ki?” tanya Suro disertai mimik kagetnya yang tak bisa ditutupi.

”Hati-hati!” kata Ki Panjong serius sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru. “Aku mencium ada manusia di sekitar sini!”

“Bagaimana Ki Panjong tahu?”

“Lihat di depan kakimu!”

Suro memperhatikan benang tipis tapi kuat melintang di jalan. Dia tahu ada apa di balik benang itu. Dengan sigap dia segera mundur beberapa langkah. Ki Panjong juga berbuat serupa.

Suro mengambil batu kecil lalu dilemparkan ke arah benang. Sesuatu yang pernah mereka duga terjadi. Empat tombak meluncur cepat dari arah kanan dan kiri, di atas benang.

Tombak-tombak itu menghantam batu besar yang terletak di kanan dan kiri jalan hingga patah. Masing-masing senjata itu patah menjadi dua bagian. Jika Suro tadi tersandung benang yang melintang itu, mungkin tubuhnya sudah tertembus empat tombak yang tajam!

Beberapa saat Suro dan Ki Panjong dapat bernapas lega. Namun keduanya terperanjat ketika menengok ke atas. Di kiri dan kanan jalan sempit tampak puluhan orang berpakaian serba hitam berdiri di atas bebatuan.

Mereka mengangkat batu-batu besar. Lalu batu-batu besar itu dilemparkan ke bawah untuk menggencet Suro dan Ki Panjong!

Dengan cepat Suro dan Ki Panjong berjumpalitan ke belakang untuk menghindari gencatan batu-batu besar. Hingga dua pendekar itu mundur beberapa puluh btombak dari jebakan tadi.

Mereka segera menguasai diri. Mereka pasang kuda-kuda. Siap menghadapi segala tipu daya. Berjaga-jaga dari segala kemungkinan dan mara bahaya.

Para penyerang yang berpakaian serba hitam agaknya penasaran setelah gagal menimbuni Suro dan Ki Panjong dengan batu-batu besar. Mereka segera mencabut golok masing-masing.

Secara serentak melesat ke bawah dengan sabetan golok-golok tajam untuk mencincang Suro dan Ki Pajong!

Suro dan Ki Panjong berkelit ke sana kemari untuk menghindari sabetan senjata para perampok. Suro sesekali menghindar sambil balas menyerang dengan tendangan kaki atau pukulan tangan. Beberapa pengeroyok berjumpalitan kena hajaran Suro.

Ki Panjong kadang gunakan tongkat untuk menangkis, lalu menggebukkan tongkat itu kepada para pengeroyok. Beberapa pengeroyok terjungkal oleh hantaman tongkat di kepala, dada, atau punggung mereka.

Tak lebih dari dua jurus, Suro dan Ki Panjong dapat merobohkan para pengeroyok. Seorang dari pengeroyok yang tersisa, berada dalam himpitan Suro. Kepalan tangan kanan Suro siap mengarah kepala begundal bernasib sial itu.

”Katakan, siapa yang menyuruh kalian!” bentak Suro. ”Kalau tidak mengaku, kepecahkan kepalamu!”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status