Rangga telah siuman dari pingsannya, dia mendapati dirinya berbaring di tempat tidur batu. Kepalanya masih terasa pusing dan dadanya masih terasa sesak. Aroma ramuan herbal yang pekat menyergap hidungnya.
Rangga mencoba bangun, dia mengangkat kepala dan tubuhnya perlahan, tapi ternyata tubuhnya masih terasa sakit ketika bergerak. "Aaargh!"Rangga berseru tertahan. Tubuh Rangga kembali ambruk, pemuda itu merasakan rasa sakit yang luar biasa di dada dan perutnya serta sakit kepala yang luar biasa. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki masuk ke kamar. "Aah...syukurlah kamu sudah bangun!" Rangga terkejut dan menoleh, seorang nenek-nenek berdiri dihadapannya, dia membawa nampan yang penuh dengan guci-guci kecil dan cawan. Tapi lagi-lagi Rangga terkejut ketika menyadari siapa nenek itu. Hampir saja dia berteriak ketakutan. Nenek itu adalah nenek yang membukakan pintu untuknya. "Mbah, ternyata Simbah itu orang ya,"ujar Rangga dengan polosnya. Nenek itu tertegun namun sedetik kemudian dia terkekeh. "He he he he tentu saja aku orang. Lihat kakiku masih menapak tanah." Suara tawanya terdengar menyeramkan di telinga Rangga seperti suara kuntilanak. Nenek itu meletakan nampan di meja batu di dekat Rangga lalu duduk di tepi tempat tidur batu. "Aku memang lebih mirip hantu daripada orang. Tak heran orang-orang memanggilku dengan panggilan Wanita Iblis Gunung. Tapi jangan kuatir, aku tidak akan mencabut nyawamu heh heh heh." "Terimakasih Mbah, sudah menyelamatkan saya." Usai berbicara dada Rangga terasa sesak. "Uhuuk...uhuuk." Darah kental berwarna merah kehitaman keluar dari mulutnya. Nenek itu mengambil kain lalu mengelap darah yang tersisa di mulutnya. "Heeh keterlaluan sekali, mereka memukulimu sampai luka dalam parah. Ada pendarahan di paru-paru dan limpamu. Untung badanmu kuat menahannya, tapi kamu sudah lima hari tidak sadar. Rangga terkejut menyadari dirinya ternyata sudah tidak sadarkan diri selama lima hari. "Jadi saya pingsan selama lima hari?" Si Nenek mengangguk "Iya, tapi sudahlah tenangkan saja dirimu. Yang penting sekarang kamu selamat. Siapa namamu dan darimana asalmu Ngger?" "Saya Rangga, murid Padepokan Sekar Jagad milik Mpu Waringin. Lalu siapa nama Nenek." Tiba-tiba wajah nenek tampak tidak suka mendengar nama Mpu Waringin. "Kamu bisa memanggilku Mbah Janti. Ternyata kamu murid Kancil Tua licik itu ya." Rangga tak menyangka tanggapan Mbah Janti yang tampak tidak suka mendengar nama gurunya disebut. "Tapi saya baru dua hari di tempat itu, setelah itu mereka mengusir saya karena saya dituduh membantu Kangmas Gondo, Kakak seperguruan saya membunuh Mpu Waringin." "Hah, Kancil Tua itu sudah mati rupanya?" Mbah Janti menghela nafas lalu berkata lagi "Yaah dia memang pantas mati tapi mengapa muridnya membunuh gurunya sendiri?"tanya si Nenek. "Mungkin mereka mengincar kitab Sang Hyang Agni milik Mpu Waringin,"jawab Rangga. "Apa...kitab itu dicuri muridnya sendiri? Huuh benar-benar keterlaluan mereka. Tapi walaupun kitab itu sudah mereka kuasai, belum tentu mereka bisa mempelajari isi kitab itu,"Mbah Janti berbicara dengan nada mengejek. Rangga yang tadinya masa bodoh dengan Kitab Sang Hyang Agni mendadak tertarik setelah mendengar penjelasan Mbah Janti. "Apa isi kitab itu? Sepertinya Simbah mengetahui segala hal tentang kitab itu." Mbah Janti mulai bercerita "Kitab itu sudah ada dimasa Kerajaan Medang dan menjadi incaran para pendekar di Jawa. Awalnya para Resi di kuil Sywagrha yang menyimpannya. Setelah itu entah bagaimana kitab itu bisa berpindah tangan ke orang lain." "Jadi kitab itu sempat lama menghilang?" tanya Rangga. "Ya, setelah keruntuhan Kerajaan Medang, kitab itu tidak terdengar lagi kabarnya. Sempat muncul kembali di masa kerajaan Kadiri saat Gusti Prabu Jayabaya memerintah, setelah itu menghilang lagi. Mbah Janti mengambil bahan herbal dari guci-guci kecil, mencampurnya di cawan. Sambil bekerja Mbah Janti melanjutkan ceritanya. "Tapi duapuluh tahun yang lalu, setelah lama menghilang, kabar tentang kitab ini muncul kembali. Para pendekar mulai mencari keberadaannya dan memperebutkan kitab itu,"ungkap Mbah Janti. "Lalu siapa yang memegang kitab Sang Hyang Agni saat itu? Seharusnya kitab itu dikembalikan ke pemiliknya para Resi di kuil Sywagrha,"ujar Rangga. Mbah Janti tak menjawab dia memeriksa luka lebam di tubuh Rangga, lalu mengolesinya dengan ramuan dari sebuah guci kecil dengan hati-hati. Rangga meringis kesakitan ketika tangan Mbah Janti menyentuh luka lebam hitam di sekitar perutnya. "Yang di sini sakitkah?"tangan Mbah Janti menyentuh bagian ulu hati. "Aaarrgh!" Rangga menjerit kesakitan. "Masih sakit ya?"Mbah Janti menatap Rangga dengan pandangan iba. Rangga mengangguk sambil meringis menahan sakit. "Iya Mbah, rasanya seperti ditusuk ribuan jarum." Nenek menghela nafas lalu melanjutkan cerita tentang Kitab Sang Hyang Agni untuk mengalihkan perhatian Rangga dari rasa sakitnya. "Duapuluh tahun yang lalu terjadi pertarungan antar pendekar di Lembah Hantu ini memperebutkan Kitab Sang Hyang Agni." "Tapi bagaimana para pendekar bisa tahu soal kitab ini? Bukankah kitab itu sudah lama menghilang?"tanya Rangga. Baginya cerita ini menarik sehingga dia sejenak bisa melupakan rasa sakit di tubuhnya. Mbah Janti melanjutkan ceritanya. "Kitab itu terakhir dikuasai oleh sekte Bhairawa pemuja Durga. Pemimpin sekte itu adalah Dewi Sekar. Dengan ilmu hitamnya, Sekar berhasil mengalahkan para pendekar yang memperebutkan kitab itu. Kamu tahu siapa Dewi Sekar?" "Dewi Sekar? Tentu saja saya tidak mengenalnya,"jawab Rangga dengan raut wajah bingung. "Huh keterlaluan kamu, itu kan isteri Mpu Waringin gurumu. Tapi dasar Waringin laki-laki licik, dia merayu Dewi Sekar agar bisa menguasai kitab itu dan sialnya Dewi Sekar mau saja diperdaya. Dasar perempuan bodoh,maki Mbah Janti. Rangga kebingungan, di matanya sepertinya Mpu Waringin adalah seorang pendekar yang baik dari golongan putih. Tapi Mbah Janti sama sekali tak menganggap Mpu Waringin adalah orang yang layak dihormati. "Pertarungan perebutan kitab Sang Hyang Agni itu benar-benar mengerikan. Tak peduli pendekar golongan hitam atau putih semua sama-sama berebut saling bunuh." "Lalu bagaimana Dewi Sekar bisa mengalahkan para pendekar itu?"tanya Rangga. "Saat malam tiba, Sekar menggunakan ilmu hitamnya membunuhi semua pendekar yang berkumpul di Lembah Hantu. Dia berhasil mempengaruhi pikiran para pendekar itu sehingga mereka kesurupan dan melakukan bunuh diri massal." Bergidik Rangga mendengar cerita Mbah Janti. Membayangkan satu orang bunuh diri saja sudah seram apalagi jika yang bunuh diri banyak orang di saat yang sama secara serentak. "Bagaimana Mbah Janti bisa tahu sejarah Kitab Sang Hyang Agni dari awal sampai akhir?" Mbah Janti menatap tajam mata Rangga membuat Rangga sedikit takut. Sedetik kemudian nenek aneh itu terkekeh "Heh heh heh heh rupanya kamu tertarik dengan dongeng ini ya?" Rangga tersenyum malu dan kembali menatap wajah Mbah Janti berharap dia kembali melanjutkan ceritanya. "Nanti kalau kamu sudah sembuh aku tunjukan sesuatu. Apa yang ingin kamu ketahui tentang sejarah kitab itu ada di suatu tempat." "Saat terjadi pertarungan duapuluh tahun yang lalu apakah Mbah Janti berada di sini?" Mbah Janti tertegun sejenak, dia menghentikan kegiatannya tapi tak menjawab pertanyaan Rangga. Setelah itu dia kembali menuangkan air panas ke cawan dan mengaduknya. "Mbah...." Rangga masih ingin bertanya lagi namun Mbah Janti keburu menukasnya. " Ah sudahlah tidak usah dibahas lagi, sekarang minum jamu dulu, biar kamu lekas sembuh." Mbah Janti menyorongkan cawan ke bibir Rangga. Pemuda itu menatap Mbah Janti dengan pandangan ragu. Mbah Janti tampaknya memahami pikiran Rangga. "Jangan takut, ini bukan racun." Rangga akhirnya meminum isi cawan sampai habis. Dia merasakan ramuan herbal itu sangat pahit. Setelah cawan pertama habis, nenek memberikan cawan kedua "Sekarang minum ini supaya lukamu tidak bernanah di dalam." Rangga mengambil cawan kedua dan segera meminumnya. Ternyata ramuan di cawan kedua ini manis rasanya.. Setelah meminum 2 ramuan itu, Rangga mulai merasakan tubuhnya sudah mulai sedikit ringan. "Madu ini enak sekali," Rangga berkomentar. "Tentu saja madu ini berasal dari aneka bunga yang berkhasiat mencegah kuman berkembang biak di lukamu. Ada sari bunga Sambung Jiwa, Wijaya Kusuma, Mawar Hutan, Cendana dan banyak lagi. Madu ini ku ambil sendiri dari hutan." Mbah Janti membereskan obat-obatan dan menatanya kembali di atas nampan. "Kamu mau makan Ngger?"Mbah Janti menawarkan makanan. Rangga tersadar,perutnya sudah lapar setelah lima hari tidak terisi makanan. "Ya Mbah, saya lapar." "Ya sudah, aku ambil makanan dulu ya,"Mbah Janti berlalu keluar kamar. Rangga sebenarnya masih ingin bertanya lagi, tapi Mbah Janti sepertinya sibuk dengan kegiatannya sehingga Rangga tidak jadi bertanya. ***** Sementara itu di Padepokan Sekar Jagad, para murid sedang mempersiapkan upacara pengangkatan Jalu sebagai Ketua Perguruan Sekar Jagad. Di Ruang tengah kediaman Mpu Waringin Jalu mengeluarkan kitab Sang Hyang Agni dan mulai membuka lembarannya. Kitab Sang Hyang Agni terbuat dari lembaran kulit kerbau yang ditulis dengan tinta hitam. Saat melihat isinya, Jalu mengerutkan keningnya. Huruf-huruf yang tertulis di dalamnya bukanlah tulisan huruf Jawa Kuno yang dikenalnya melainkan tulisan aneh yang dia tidak tahu darimana asalnya. Dia melanjutkan membuka kitab itu ternyata ada kerusakan di lembar halaman paling belakang seolah ada orang yang sudah menyobeknya. Jalu baru sadar, ternyata kitab itu sudah tidak lengkap lagi halamannya. "Bangsat, ternyata aku cuma dapat separo dan hurufnyapun asing bagiku. Aku harus mencari orang yang bisa menerjemahkan tulisan ini,"gumamnya.Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan. Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin
Ruangan di sebelah kamar Hasta adalah tempat penyimpanan obat dan bahan-bahan obat. Gembong membuka pintu ruang penyimpanan bahan obat, situasi di dalam gudang begitu gelap. Dia mengambil lampu sentir yang tergantung di dinding lalu masuk dan memeriksa di dalamnya. Terdengar bunyi mencicit dan bunyi benda yang saling berbenturan di belakang lemari. "Cit cit cit! Glodak glodak glodak!" Gembong mendekati lemari, beberapa tikus bermunculan dari bawah lemari penyimpanan bahan obat, disusul dengan seekor kucing yang melompat dari atas lemari. Saat melompat, kucing itu menyenggol tangan Gembong yang sedang memegang sentir. "Sialan, tikus tikus !" Tikus-tikus berlarian dari balik lemari. Gembong yang tampak sangar dan perkasa ternyata takut dengan tikus. Karena terjangan kucing, lampu sentir yang dibawa Gembong terjatuh dan minyak kelapa bahan bakar lampu sentir tumpah ke lantai. Minyak yang terkena api langsung terbakar merembet ke tumpukan kayu, akar kering dan rak yang diatas
Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja. Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah
"Anda tidak usah membuka cakra tenaga dalam saya Lagipula saya tidak berminat belajar silat. Sebaiknya kita pulang saja Mbah, saya juga sudah lelah dan mengantuk.""Ya ya ya kita pulang, Simbah lupa kalau kamu sebenarnya masih sakit."Mereka berdua kembali menyusuri jalan setapak pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Rangga yang sudah lelah segera merebahkan dirinya di tikar. Namun udara gunung yang dingin membuatnya sulit tidur.Dicobanya memejamkan mata sambil berhitung sehingga lama kelamaan akhirnya dia mulai mengantuk. Antara sadar dan tidak sadar, saat dirinya sudah setengah terlelap, ada satu sosok pria berpakaian serba putih seperti seorang Resi menghampirinya.Resi itu membangunkannya dengan lembut. Saat Rangga membuka matanya, Resi itu tersenyum ramah lalu berkata "Ngger, tadi aku melihatmu bersama Janti di sana."Rangga mengucek-ucek matanya, dia merasa aneh dengan kehadiran seorang Resi secara tiba-tiba di kamarnya. Dia hantu apa manusia? Bagaimana dia bisa masuk kemari?
"Mbah, saya kan tidak berbakat, kenapa Simbah malah memilih saya?" Mbah Janti tersenyum.memandang Rangga lalu menepuk bahunya. "Karena hatimu baik dan kamu cerdas. Simbah percaya setelah ini kamu mampu mengatasi kesulitanmu membuka cakra tenaga dalam. Sekarang duduklah dan ikuti perintahku, aku akan mencoba lagi membuka cakra tenaga dalammu." Rangga duduk bersila sedangkan Mbah Janti berdiri di depannya. "Sekarang kamu hirup udara dalam-dalam dan hembuskan melalui mulut perlahan." Ini persis seperti yang diajarkan Resi Dharmaja, batin Rangga. Karena sebelumnya sudah pernah melakukannya, Rangga tidak menemui kesulitan melakukannya. Mbah Janti lalu duduk di belakang Rangga menempelkan tangan di punggung Rangga. Tapi hanya dalam hitungan detik Mbah Janti menarik tangannya. "Cakra tenaga dalamu sudah terbuka, siapa yang membantumu membukanya?"tanya Mbah Janti dengan nada menyelidik. Rangga tertegun ternyata Mbah Janti sudah tahu, tapi dia masih tidak ingin menceritakan pert
Rangga mendekapkan kitab Sang Hyang Agni ke dadanya lalu menatap Mbah Janti. "Mbah, saya berjanji akan mengembalikan kitab ini pada para pendeta di Sywa Grha setelah saya mempelajarinya. Tapi ajarkan saya membaca huruf Brahmi." Mbah Janti tampak lega mendengar pernyataan Rangga. Dia mengangguk lalu berkata. "Terimakasih Rangga sudah bersedia membantuku. Kitab ini memang sudah seharusnya berada di Sywa Grha. Jika kamu bertemu para pendeta Sywa Grha, sampaikan permintaan maaf kami dari sekte Bhairawa yang sudah menahan kitab itu di sini." Rangga mengangguk "Ya Mbah, saya akan sampaikan pada mereka." "Terimakasih Rangga, aku sudah lega. Sekarang aku akan mengajarkanmu cara membaca huruf Brahmi dan jurus-jurus Sang Hyang Agni." ***** Selama di Lembah Hantu, Rangga selain mempelajari ilmu sang Hyang Agni, Mbah Janti juga mengajarkan ilmu-ilmu dari sekte Bhairawa. "Rangga, aku juga mengajarkanmu ilmu dari Sekte Bhairawa. Bagi para pendekar golongan putih, ilmu ini adalah ilmu
Rangga bergegas naik ke tepian sungai, sementara makhluk bersisik seperti ikan itu masih berada di dalam air. Seumur hidupnya belum pernah Rangga melihat wujud makhluk halus atau siluman apapun. Jadi ini adalah pengalamn pertamanya. Rangga berusaha membunuh rasa takut yang mulai menguasai dirinya. Dia mencoba menggertak makhluk di depannya. "Kalau kamu mencari gara-gara denganku, kamu bertemu dengan orang yang salah!" Usai berbicara, Rangga mulai menghimpun tenaga dalam di tangannya, lalu melontarkan sebuah pukulan jarak jauh ke arah makhluk itu. "Hyaaaa!"Rangga berteriak ketika melontarkan pukulan ke arah makhluk seram itu. Tiba-tiba terdengar suara dentuman keras seperti bom meledak "Blaaar!" Pecahan batu berhamburan di sungai. Makhluk seram itu ternyata tidak dapat dipukul, energi pukulan Rangga melesat menembus tubuh makhluk seram itu dan menghantam batu dibelakangnya. Terkesiap Rangga melihat upayanya gagal. "Ha ha ha ha ha, percuma saja kamu berusaha membunuhku man
"Jadi Dewi Sekar sebenarnya masih hidup tetapi hanya berubah wujud? Tapi bukankah beliau sudah insyaf dan tidak lagi menganut aliran Bhairawa setelah menikah dengan Mpu Waringin?" Rangga serasa tak percaya, isteri Mpu Waringin menjadi budak iblis yang bisa menjelma sebagai siluman ikan. "Benar, memang dia sudah insyaf. Tapi sebelum dia mengenal Waringin, dia telah menggadaikan hidupnya pada Wastya, Raja Siluman Ikan yang menghuni sungai itu. Wastya menjanjikan kecantikan dan kehidupan abadi asal Sekar bersedia menjadi isterinya,"ungkap Mbah Janti. Mbah Janti menyorongkan cawannya yang sudah kosong pada Rangga "Ngger, tolong tuangkan wedhang jahenya." Rangga meraih poci lalu menuangkan wedhang jahe untuk Mbah Janti dan dirinya. Setelah menyeruput minumannya, Rangga bertanya, "Jadi Dewi Sekar akhirnya menikah dengan Wastya? Tapi bagaimana mungkin demit menikahi manusia? Bukankah Sang Hyang Widi melarang pernikahan antara manusia dengan demit?" Rangga hampir tak percaya ada man
"Sebagai pengganti matamu yang telah kami ambil, aku akan menggantinya dengan penglihatan mata ketiga,"ujar Saloka."Maksudmu aku diberi mata baru? Lalu mata siapa yang akan kalian gunakan sebagai pengganti?"tanya Jiwo keheranan.Saloka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jiwo."Kamu akan memiliki penglihatan mata batin tanpa batas. Kamu bisa melihat apa yang seharusnya tak terlihat."Jiwo tertawa sinis"Kalau cuma kaya gitu sih, dukun-dukun bahkan anak kecil bisa melihat makhluk halus. Apa istimewanya mata ketigaku?"Wajah Saloka berubah, dia tampak tidak suka disepelekan ilmunya."Kamu betul-betul orang yang tidak tahu terimakasih. Pandangan mata ketiga yang kuberikan kepadamu bukanlah mata ketiga biasa seperti yang dimiliki dukun-dukun kelas teri itu. Banyak orang yang menginginkan ilmu itu. Mereka rela bertapa bertahun-tahun untuk mendapatkan penglihatan Mata Ketiga itu tapi tak satupun dari mereka yang mampu memperolehnya karena syaratnya memang berat.""Baiklah kalau memang il
Kulitnya terasa perih karena berjalan menembus semak berduri dan terkena goresan ranting. "Buug!" Jiwo menabrak batang pohon besar yang menghalangi jalannya. Kepalanya pusing, kedua rongga matanya terasa sakit, setelah itu dia pingsan. Saat itu Jiwo merasa tubuhnya menjadi seringan kapas melayang keluar dari tubuhnya sehingga dia dapat melihat dirinya yang sedang terbaring di lantai hutan. Heei... aku bisa melihat sekarang, tapi apa aku sudah mati?pikir Jiwo. Sebuah lorong yang diterangi cahaya tiba-tiba terbentang di depannya. Jiwo terkejut melihat lorong bercahaya itu tiba-tiba sudah berada di depannya. Apakah lorong ini menuju nirwana?batin Jiwo sambil melangkah lebih dekat lagi mendekati pintu lorong. Jiwo terus melangkahkan kaki memasuki lorong, namun baru beberapa langkah masuk lorong, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh sebuah kekuatan besar, tersedot masuk lebih dalam ke dalam lorong dengan kecepatan tinggi. Jiwo berusaha keluar dari lorong tapi tak bisa. T
"Kami adalah penghuni tempat ini! Dan sekarang kamu tidur di atas istana Raja kami!""Istana apaan, aku tidur di atas batu kali,"jawab Jiwo setengah mengantuk.Namun orang-orang itu tampaknya tak mau peduli, mereka terus membangunkan Jiwo. Ada yang menggelitiki pinggangnya, menarik kupingnya atau menjambak rambutnya. Jiwo yang sudah kecapekan tak juga bangun walaupun tidurnya diganggu.Akhirnya karena Jiwo tak juga pindah tempat, makhluk-makhluk itu memindahkan Jiwo ke atas pohon Waru. Jiwo yang masih tak sadar dirinya berpindah tempat, dengan santainya berguling membalikan badan."Buug!"Badan jiwo jatuh dari atas pohon. Pemuda itu kesakitan dan memaki"Aduuh...sialan aku dipindah. Siapa yang mindah aku?!"Akhirnya Jiwopun menyerah, sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing gara-gara jatuh dari pohon, Jiwo duduk di bawah pohon. Rasa kantuknya sudah menghilang sama sekali. Tapi Jiwo masih bersyukur, pohonnya tidak tinggi sehingga tidak membahayakan dirinya. Udara yang dingin m
Namun Dhesta tak mengindahkan perintah bapaknya. Dia mengambil Kapak Setan lalu berlari menyongsong lawan dan menghalau pasukan clurit dari Sekte Bulan Sabit Emas suruhan Hasta. Kapak Dhesta berkelebat membabat para penyerang. Jumlah mereka tidak terlalu banyak namun mereka semua memiliki tingkatan ilmu silat di atas rata-rata sehingga membuat mereka kewalahan menghadapinya. "Anak bodoh, kamu pulang ke Lawu saja, apa kamu tidak memikirkan keselamatan Amrita?" Dhesta tertegun, karena sibuk menghadapi musuh, dia melupakan Amrita. "Amrita!"Dhesta langsung berlari mencari Amrita di dalam rumah. Di sana dia melihat Amrita sudah diseret keluar dari tempat persembunyiannya oleh dua laki-laki berambut panjang terurai dengan ikat kepala Bulan Sabit Emas. Masing-masing membawa senjata clurit. "Hei...jangan sentuh dia!" Dua pria bersenjata clurit menengok terkejut ketika melihat ada orang lain di situ. Keduanya menghunus clurit lalu langsung menyerang Dhesta. "Hiyaaa." Di dalam rumah
Nyi Blorong mengejar, berusaha menangkap Saraswati. Gadis itu mencoba melawan, dengan ilmu Sang Hyang Tirta dia menyapu tubuh Nyi Blorong dengan air laut. "Whuuur!" Nyi Blorong hanya mengangkat tangannya, air laut berbalik menghantam Saraswati membuat gadis itu terkejut saat menyadari air laut berbalik mengantam dirinya. Dia berusaha menghindar tapi air laut seolah berada dalam kendali Nyi Blorong. Air laut itu seperti selendang air yang mengejar Saraswati. Kemanapun dia menghindar selendang air laut akan selalu mengejarnya. "Ha ha ha kamu bocah kemarin sore mau melawanku dengan ilmu Sang Hyang Tirta? Akulah si pengendali air yang sejati. Kamu tidak akan bisa melawanku!" Saraswati terus bergerak menghindar, walaupun dia memiliki stamina yang prima, tapi terus-terusan bergerak menghindar makin lama membuatnya semakin kelelahan. Sementara Rangga masih terus berusaha menghabisi pasukan manusia tanpa mata sehingga tak sempat memperhatikan Saraswati. Hingga suatu saat selendang
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk Saraswati. Entah darimana datangnya, ada seorang laki-laki berjalan ke arah mereka dari arah pantai. Berdebar Rangga saat melihat cara jalan orang itu. Orang itu terlihat berjalan biasa. Namun ketika kakinya melangkah, hanya dalam beberapa detik saja orang itu sudah mendekat ke arah mereka. "Saras, kita kembali ke goa, dia bukan orang. Aku tak mau berurusan dengan makhluk-makhluk di sini,"Rangga menarik tangan Saraswati mengajaknya pergi. Tapi Saraswati melepaskan tangannya dari genggaman Rangga. "Dia orang, lihat...kakinya menapak di tanah, penampilannya biasa saja seperti kita. Kalau kamu mau masuk goa, masuk saja sendiri,"Saraswati masih ngotot bertahan. Rangga mulai kesal dengan sikap keras kepala Saraswati. "Ayo kita pergi sebelum dia sampai kemari? Apa kamu tidak curiga dengan cara berjalannya?Lihat dia kelihatannya berjalan biasa, tapi hanya dalam satu langkah saja dia sudah menjangkau.jarak yang cukup jauh!" Saraswati mulai menga
Saraswati tersadar dengan gugup dia berkata "Oh ya tentu saja, bapakku seorang pertapa. Dia sering bertapa di gunung-gunung di pulau Jawa ini. Pastinya dia pernah di sini, simbol makara adalah simbol dari keluarga kami." "Lalu apa maksud bapakmu meletakan patung makara itu di sini? Seharusnya patung ini diletakan di tempat yang mudah terlihat. Bukan di tempat tersembunyi di antara celah bebatuan goa. Sepertinya dia tak ingin tempat ini ditemukan orang,"tulas Rangga. Saraswati terdiam mengingat-ingat sesuatu laku berkata lagi. "Bapakku pernah bercerita tentang jalur menuju Laut Selatan melalui sebuah lorong yang terletak di wilayah Pajang. Mungkinkah lorong ini akan membawa kita langsung menuju Laut Selatan?" Rangga teringat pengalamannya saat membebaskan keluarga Prawara dari perjanjian pesugihan dengan Nyi Blorong. Saat itu dia bisa langsung menuju Laut Selatan dari halaman belakang rumah keluarga Prawara. "Ah, tidak aku tidak mau ke sana lagi. Malas aku bertemu dengan par
Mereka menerobos kerimbunan hutan di lereng Merapi. Ternyata jalur menuju goa itu tidak semudah yang terlihat dari jauh. Mereka masih harus berjalan agak jauh. Samar terdengar suara air mengalir dengan deras, semakin dekat suara air mengalir itu semakin jelas terdengar. Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah bukit batu yang terjal. Di atas bukit batu itu ada sebuah goa. Sesampainya di depan bukit batu, Rangga berdiri terpaku. Bukit itu ternyata curam dan dipenuhi oleh bebatuan yang terjal, licin dan berlumut. "Kalau dengan cara biasa kita akan kesulitan mencapai goa itu,"Rangga berkomentar. "Lalu apa kamu mau mundur dan mencari tempat lain?"tanya Saraswati. "Tidak, kita tetap ke sana, kamu pegangan yang kenceng, aku bawa kamu ke sana,"Rangga memeluk pinggang Saraswati lalu melompat ke bukit batu, menapaki bebatuan dengan ilmu meringankan tubuh Sang Hyang Bayu. Saraswati yang terkejut berteriak kaget. "Hei, kamu tidak perlu menggendongku seperti ini. Aku juga bisa!" "Sudah
"Jolodhong adalah nama julukan teman-temannya di dunia hitam. Nama aslinya adalah Jayendra. Dia sahabat Nambi Mahapatih Majapahit saat itu. Saat Nambi pulang ke Lamajang karena Pranaraja bapaknya meninggal, Halayuda memfitnah Nambi dengan mengatakan bahwa Nambi akan memberontak. Sehingga pasukan Majapahit menyerang Nambi dan keluarganya Lamajang." "Apakah Eyang membantu Nambi memberontak?"tanya Jiwo. "Tentu saja, sebagai sahabat yang baik, Eyang Jolodhong memberitahu Nambi tentang kelicikan Halayuda. Dia kemudian membantu Nambi menghadapi pasukan Majapahit di Benteng Arnon,"tutur Bima. "Pemberontakan Nambi bisa ditumpas, lalu bagaimana nasib Eyang setelah penyerangan di Lamajang?"tanya Wening. Bima menghela nafas lalu berkata "Eyangmu tidak pulang ke Majapahit karena jika pulang dia bisa dibunuh. Setelah mengetahui Nambi telah gugur, aku dan ibuku ke Lamajang mencari bapakku. Tapi sayang sesampainya di Lamajang ibuku meninggal karena sakit dan kelelahan. Demi keselamatanku, bap