Terdengar suara langkah kaki memasuki ruangannya. Jalu menoleh, terlihat Hasta masuk sambil membawa satu gendul tuak dan dua cawan.
Jalu memandang Hasta dengan pandangan menyelidik curiga. "Mau apa kamu masuk kemari tanpa izinku?!" Namun Hasta tak sedikitpun terlihat marah atau tersinggung. Dia tetap tersenyum sambil berjalan mendekati Jalu dan menepuk bahunya. "Jangan marah dulu Kangmas Jalu. Aku hanya ingin merayakan keberhasilanmu merebut Kitab Sang Hyang Agni. Setelah ini Kangmas pasti bakal menjadi pendekar tanpa tanding." Wajah Jalu mulai melunak, tampaknya dia senang mendengar pujian Hasta yang setinggi langit. Tapi sejurus kemudian dia menghela nafas panjang. "Hasta, aku tidak sekedar ingin menjadi pendekar tanpa tanding, tapi aku juga ingin menjadi pejabat istana. Aku yakin setelah menguasai ilmu Sang Hyang Agni kemudian terkenal sebagai pendekar tanpa tanding, Gusti Ratu Tribuana pasti bersedia menjadikanku sebagai seorang pejabat." Hasta tertegun dan membatin Ternyata dia punya tujuan lain. Jalu menatap Hasta penuh harap "Jalu, bapakmu adalah pejabat istana, kuharap bapakmu bersedia membantuku masuk ke lingkungan istana." Hasta tersenyum dan menganggukan kepala tanda bersedia "Jangan kuatir Kangmas Jalu, setelah pengangkatanmu sebagai Ketua Perguruan Sekar Jagat, aku akan mengajakmu menemui Romoku. Nanti Romo akan mengajakmu menghadap Gusti Ratu Tribuana." Wajah Hasta tampak sumringah, ternyata Hasta tidak hanya sekedar menemui pejabat biasa, tapi justru menjanjikannya bertemu langsung dengan Gusti Ratu Tribuana. Suatu hal yang melebihi ekspetasi Jalu. "Terimakasih Hasta, kamu memang sahabatku yang terbaik,"ujar Jalu. Hasta menuangkan tuak ke cawan yang dibawanya, lalu memberikan satu cawan kepada Jalu. "Sekarang mari kita minum tuak dulu untuk merayakan keberhasilanmu mendapatkan kitab Sang Hyang Agni dan sebagai calon pejabat Majapahit." Jalu tersenyum bangga mendengar pujian Jalu yang setinggi langit. Terbayang sudah kemegahan, kekayaan dan kehormatan yang bakal dia terima jika jadi pejabat. Aroma tuak yang harum menggugah selera Jalu untuk segera meminumnya. Jalu meminum isi cawan menenggaknya sampai habis. "Aaah...tuak ini enak sekali, darimana kamu mendapatkannya? Berikan aku secawan lagi!"perintah Jalu. "Tentu saja, tuak ini buatan Gondo. Ternyata selama ini dia sering membuat tuak sendiri. Tidak hanya dari Nira tapi dia juga membuatnya dari aneka buah-buahan." Hasta menuang tuak ke cawan lalu Jalu kembali meminumnya. Dia langsung menenggak tuak dengan hanya satu tenggakan saja. Tiba-tiba mata Jalu terbelalak, tenggorokannya terasa terbakar, napasnya sesak, pandangannya mulai kabur. Cawan yang sedang dipegangnya jatuh kelantai pecah berkeping-keping. Tangannya menunjuk Hasta, menatapnya dengan pandangan penuh dendam. "Hasta...biadab kamu! Teganya kamu menipuku!" Hasta tertawa licik, rupanya dia tidak meminum tuaknya, hanya pura-pura menenggaknya. "Ha ha ha ha Kangmas Jalu, apa bedanya dengan kamu yang tega membunuh guru sekaligus bapak angkatmu sendiri? Padahal dia sudah memungutmu ketika bayi dari pinggir hutan dan memeliharamu sampai dewasa." Jalu masih melotot memandangi Hasta. Dadanya makin sesak pandangannnya mulai gelap. "Kamu...kamu...awas ya, kelak...kamu... juga akan dikhianati temanmu. Celakalah kamu!" Setelah itu Jalu roboh ke lantai dan tak bergerak lagi. Hasta tersenyum puas melihat Jalu sudah tewas karena racun yang dibawanya. "Huh...dasar bodoh, manusia gila pujian dan harta. Memangnya siapa yang mau menjadikanmu pejabat Majapahit." Hasta mengambil kitab Sang Hyang Agni yang tergeletak di samping Jalu, lalu menyembunyikannya di belakang lemari di ruangan itu. Setelah itu dia mengeluarkan bungkusan yang digembolnya lalu membukanya. Ada sebilah keris di dalamnya, Hasta mencabut keris lalu menusukan keris ke tubuh Jalu beberapa kali. Setelag itu dia menusuk pinggangnya sendiri. "Aaarrrgh!" Jalu berseru tertahan bagian pinggangnya sudah mengeluarkan banyak darah. Lalu dia meminum tuaknya sedikit. Saat itu juga Hasta merasakan tenggorokannya mulai terbakar dan dadanya sesak. "Aaaaghh...agghhh...nafasku...sesak." Sambil menahan sakit dan sesak nafas, dia berteriak panik. "Tolong...tolong...Rangga datang lagi balas dendam dan menyerang kita! Tolong...tolong!" Sontak beberapa orang di padepokan masuk ke pondok Mpu Waringin. Tak lama kemudian terdengar suara teriakan beberapa orang di luar. "Lihat itu Rangga...kejar dia!" Beberapa murid padepokan menghunus keris dan pedang lalu berlari ke arah sungai. Sementara itu beberapa orang yang sudah masuk ke pondok terkejut melihat Jalu tergeletak di lantai bersimbah darah bersama Hasta yang berada di sudut yang lain. "Mpu Jalu...Hasta!" Salah satu murid senior memeriksa Jalu. Dia menggelengkan kepala prihatin. "Mpu Jalu sudah meninggal." "Bagaimana dia bisa meninggal?"tanya salah satu murid padepokan. "Dia terkena racun dan luka tusukan yang parah,"jawab seorang murid senior. Seorang murid yang lain tiba-tiba berteriak ketika melihat tangan Hasta bergerak sedikit "Kangmas Hasta masih hidup!" Orang-orang merubung Hasta yang terkapar lemah dengan pinggang berdarah tertusuk keris. Dengan suara serak dan lemah Hasta berkata "Tolong...Rangga telah membunuh Kangmas Jalu." Setelah itu Hasta pingsan. "Bawa dia ke ruang pengobatan!" ****** Ketika malam tiba, Hasta tersadar dari pingsannya, luka tusukan di pinggangnya sudah diobati dan kini terasa perih dikulitnya. Tangan Hasta bergerak mengambil bumbung bambu kecil di kantongnya. Perlahan dia membuka tutupnya dan mengeluarkan isinya. Hasta mengambil 3 butir pil lalu menelannya. Seketika itu juga nafasnya mulai terasa lega. Tak lama kemudian, Gembong salah satu anggota gengnya masuk ke kamar. "Kangmas Hasta, bagaimana keadaanmu?" "Tenang saja Mbong, aku sudah minum penawarnya. Setelah Gondo mati, aku mencari tuak buah kecubung yang dulu dipakainya untuk membuat kita ambruk. Tuak itu kucampur lagi dengan bisa ular kobra. Untung saja Gondo juga membuat penawar bisa ular." Gembong tersenyum lega, ternyata racun di tuak masih bisa dilawan. "Ooh, syukurlah kalau ada penawarnya." "Bagaimana sandiwaramu saat pura-pura mengejar Rangga? Apakah pemeran Rangga berhasil meloloskan diri?"Hasta memastikan rencananya. "Tenang saja Kangmas Hasta, Tunggul yang memerankan Rangga selamat dan berhasil lolos ke seberang sungai." "Ha ha ha ha kerja yang bagus. Setelah ini Rangga pasti dicari para pendekar di dunia persilatan yang akan memperebutkan Kitab Sang Hyang Agni. Mereka tidak tahu kalau kitab ini sudah aku kuasai." "Kangmas Hasta memang pintar merancang tipu daya. Kurasa Kangmas Hastalah yang lebih pantas jadi Ketua Perguruan Sekar Jagad,"puji Gembong. Namun Hasta menukasnya "Ooh, tidak Gembong, itu bukan tujuanku. Aku punya tujuan yang lebih besar lagi. Setelah sembuh, aku mau secepatnya keluar dari sini. Terlalu berbahaya bagiku jika berlama-lama di sini." Gembong terkejut tak menyangka Hasta punya tujuan lain. "Jadi Kangmas Hasta mau pergi dari sini? Lalu bagaimana nasib saya dan teman-teman yang lain?" Hasta tersenyum dan menepuk pundak Gembong. "Jangan kuatir, semua orang yang sudah membantuku akan kujadikan ajudanku. Kalian semua akan masuk Kasatrian sebagai prajurit Majapahit. Disana kalian akan mendapatkan upah, makanan, pakaian dan tempat tinggal." Gembong terperangah mendengar janji Hasta. Dia menatap Hasta dengan pandangan tak percaya. "Benarkah itu Kangmas Hasta?" Hasta mengangguk meyakinkan Gembong. "Tentu saja, jika kalian berprestasi, kalian bisa jadi Senopati bahkan bisa menjadi Rakaryan Tumenggung." Wajah Gembong langsung sumringah "Terimakasih Kangmas Hasta, aku pasti akan menjadi abdimu yang paling setia." Tiba-tiba dari ruangan sebelah terdengar suara keras. "Glodak glodak glodak!" Seketika Hasta dan Gembong terdiam, wajah mereka berubah waspada. "Apa itu? Apa ada yang menguping pembicaraan kita? Gembong, periksa ruangan sebelah dan laporkan padaku apa yang kamu temukan di sana!"perintah Hasta. Gembong berdiri dan langsung berjalan cepat menuju ruangan sebelah."Ah, aku tidak menginginkannya Romo, yang kuinginkan hanyalah hidup damai bersama Saras,"kata Rangga.Dipo tersenyum menanggapi keinginan anaknya"Ooh, anak Romo ini rupanya sudah pengen kawin ya?"Rangga tersadar lalu tersipu malu."Bukan begitu Romo, itu memang keinginan saya. Lagipula belum tentu juga Bhre Pajang setuju. Para Raja bawahan yang lain pasti juga ingin meminang Saras."Dipo menepuk bahu Rangga lalu berkata."Sudahlah, seminggu lagi upacara akan dilaksanakan. Kamu bersiaplah, ini aku sudah belikan kamu celana gringsing, jarik, selendang sutera dan seperangkat perhiasan emas untuk ikut upacara. Sebentar aku ambil dulu di kamar."Dipo atau Gajah Mada berdiri dari duduknya lalu masuk ke kamarnya. Saat kembali dia membawa satu kotak kayu lalu diletakan di depan Rangga."Ini, ambilah untukmu. Kulihat bajumu sudah lusuh dan sobek, jadi aku belikan yang baru."Rangga membuka kotak kayu itu dan di dalamnya dia mendapati ada pakaian dan seperangkat perhiasan emas permata di dala
Dipo mendekati Rangga yang masih duduk terpaku di tepi sendhang. Ditepuknya bahu anaknya lalu berkata"Semua sudah berlalu, ayo kita pulang sekarang."Suara ayam berkokok mulai terdengar di kejauhan, Rangga dan Dipo memacu kuda mereka pulang ke rumah.******Setelah kutukan pisau bedah Ra Tanca dimusnahkan di sendhang Sela Pitu, Rangga pulang dengan tubuh lelah namun hati lapang. Malam itu, ia tertidur pulas di pembaringan di rumahnya, diiringi suara cengkerik dan desir angin dari kebun belakang. Namun, tidurnya tidak tenang.Dalam mimpinya, Jiwo muncul. Wajahnya cemberut dan penuh amarah yang terpendam. Ia menagih janji lama."Kamu berhutang padaku, Rangga. Sesuatu yang paling kau sayangi, entah nyawamu... atau Saras."Rangga terbangun dengan dada sesak, karena lelah dia bangun kesiangan. Matahari sudah tinggi saat ia bersiap meninggalkan rumah. Dia tahu, waktu menepati janji telah tiba.Sebelum berangkat, ia menulis lontar untuk Saras. Tulisannya tergesa namun jujur: Saras, maafkan
Terkesiap Awehpati melihat serangannya gagal. Tangannya bergerak kembali merogoh sesuatu dari kantongnya, namun sebelum dia kembali bergerak, sebuah benda berkilat meluncur ke arah Awehpati. "Jleeeb!" Sebuah senjata rahasia pisau kecil berbentuk bintang sudah menempel di dahinya. Ternyata Tudjo bergerak lebih cepat, melempar pisau bintang ke arah Awehpati. Tudjo mendekat memeriksa Awehpati, setelah yakin Awehpati sudah mati, dia menyeret jasad Sang Raja Racun untuk dikuburkan. ******* Malam lengang. Angin bertiup pelan menyusup lewat celah jendela, membawa bau tanah basah dan daun kering. Rangga tiba-tiba terbangun dari tidurnya, perlahan dia duduk bersila di atas tikar pandan, matanya memandangi lemari kayu jati tempat ia menyimpan benda-benda penting. Di dalam sana, tersimpan pusaka pisau bedah milik Ra Tanca, tabib dan algojo berdarah dingin yang menewaskan ayah kandungnya, Jayanegara. Tiba-tiba "Glodag... Glodag..." Lemari itu bergetar sendiri. Suara besi beradu kayu terden
Langit mendung menggantung rendah di atas hutan kecil di pinggiran kota Trowulan. Di tengah rerimbunan pepohonan, Rangga berdiri diam. Di genggamannya, sebilah pisau bedah yang dulu digunakan Ra Tanca untuk membunuh Raja Jayanegara. Pisau yang sekarang ditakdirkan menuntaskan dendam, atau menghancurkan kebenaran.Awehpati menatap Rangga dari balik bayangan pohon Trembesi tua, sorot matanya penuh keyakinan dan dendam yang menyala dingin. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Rangga,” ucap Awehpati. Rangga menganggukan kepala dengan setengah hati.Awehpati tersenyum puas“Bagus, kalau begitu cepat lakukan! Pisau itu menunggu penebusannya. Dendam Ra Tanca harus ditegakkan, Gajah Mada harus mati!”"Tentu, tunggu saja di situ." Dipo duduk di pendopo, menyisipkan daun sirih ke dalam mulutnya. Tudjo telah meIaporkan perjalanannya mencari Saras dan membunuh Hasta. Dia sedikit lega Rangga selamat, tapi sudah lebih dari seminggu Rangga belum juga datang. Dia mulai cemas dengan keselamatan
Langkah-langkah Hasta kini mulai goyah. Tubuhnya menyerap lebih banyak energi jahat dari yang mampu ditanggung, dan mantra Lipyakara yang mengikatnya dengan dunia arwah mulai berbalik menelan jiwanya sendiri.Namun ia masih tertawa.“Cahaya dari empat penjuru? Heh... aku akan menutup langit itu dengan malam abadi!”Hasta mengangkat kedua tangannya tinggi, memanggil kekuatan terakhirnya. Terdengar suara bergemuruh, langit gua terbuka seperti mulut raksasa, dan dari sana mengalir kabut hitam yang berbentuk tangan-tangan raksasa yang terbuat dari roh para leluhur yang dikutuk.Rangga menyempitkan mata.Dia sepertinya memanggil Arwah Calon Arang, pikir Rangga.Langit runtuh, dan suara ribuan ratapan terdengar serentak. Tudjo yang berada di luar gua berseru,“Medang! Segera pasang Mantra Gayatri, jangan biarkan roh-roh ini keluar dari gua!”Medang menancapkan pedangnya ke tanah. Segel kuno menyala dalam bentuk lingkaran raksasa di mulut gua, menahan arwah-arwah jahat itu di dalam. Namun t
Suara batu yang runtuh menggema di gua raksasa itu. Dinding yang terbentur tubuh Hasta retak. Debu dan pecahan kecil berjatuhan, namun dari balik reruntuhan, suara tawa lirih terdengar lagi.“Ha ha ha ha...bagus, Rangga… sungguh kekuatan yang layak kau warisi dari Sang Hyang Agni. Tapi itu belum cukup untuk mengalahkanku.”Hasta berdiri tertatih, tubuhnya kini setengah hancur. Kulitnya yang seperti kitab-kitab gosong terkelupas, menampakkan jaringan daging hitam berdenyut. Dari dadanya mengalir asap hitam seperti racun hidup.Tiba-tiba, Hasta menancapkan tangannya ke tanah. Getaran keras merambat, tanah berguncang. Seketika bau seperti ubi gosong merebak memenuhi gua. Dari kegelapan, muncul puluhan makhluk hitam tak bernama—tubuh tinggi kurus, mata merah menyala, gigi runcing seperti serangga neraka. Suara mereka mencicit seperti suara tikus got yang mencari mangsa.“Makhluk-makhluk ini tumbal yang gagal. Tapi tak ada yang sia-sia di tanganku. Habisi mereka!” perintah Hasta.Makhluk-m