Share

PART 04

  Jarak padepokan Ki Permana Jagat dengan Krajan kuwu setempat cukup jauh sebenarnya, karena setelah mendakit jurang curam dan tinggi mereka harus melewati sebuah bukit lalu melintasi sebuah lembah yang cukup luas. Namun karena menggunakan kecepatan lari yang mengandung kekuatan ilmu meringankan tubuh, ketiga calon Pendekar Macan Tutul itu mampu mencapai kalangan pertarungan dalam waktu yang tak lama.

      Saat itu sedang berlangsung antara tiga Pendekar Penguji selaku pendekar tertantang dengan lima orang pendekar penantang. Pertarungan itu terlihat sangat seru, walau jika dilihat oleh orang-orang dunia kependekaran, tampak jelas sekali jika pertarungan itu tak seimbang. Lima pendekar memang sekali-sekali berhasil memasukkan pukulan maupun tendangan keras mereka ke tubuh ketiga pendekar penguji. Namun ketiga pendekar penguji berhasil membalas dengan serangan dan mengirimkan pukulan serta tendangan secara bertubi-tubi ke berbagai titik di tubuh kelima lawan mereka.

       “Kenapa ketiga pendekar tertantang itu melawan lima pendekar penantang sekaligus?” tanya Panji Jagat tanpa ditujukan kepada siapa pun.

      Namun seorang laki-laki yang berdiri di dekatnya mendengar pertanyaan itu dan menjawab, “Oh itu biar seimbang saja. Setelah beberapa pendekar  penantang maju, ketiga pendekar penguji itu tak sulit mengalahkannya. Untuk pertarungan yang terakhir ini, ketiga Pendekar Penguji itu menginginkan agar kelima pendekar penantang yang tersisa maju sekaligus.”

      “Ooh ... begitu?” sahut Panji Jagat tanpa menoleh ke laki-laki di sampingnya. “Jika ini kelima pendekar penantang itu kalah, berarti pertarungan berakhir?”

      “Iya, karena tak ada lagi calon pendekar penantang lainnya. Kelima pendekar itu adalah para pendekar penantang terakhir,” sahut laki-laki di sampingnya tanpa menoleh kepada Panji Jagat.

        Seolah-olah laki-laki itu mengingat sesuatu, pelan-pelan ia menoleh ke samping dan menatap wajah ketiga pemuda yang baru tiba itu baik-baik, yaitu Panji Jagat, Kerta, dan Jolong.  “Ma-maaf, apakah Anak Muda bertiga mau mengadu untung juga?”

      Panji Jagat menoleh dan sidikit mencibir bibirnya dan menjawab, “Ya jika masih diperbolehkan, mengapa tidak?”

      Mendapat jawaban itu, sepasang mata laki-laki di samping terlihat sedikit membeliak lalu mengamati perawakan Panji Jagat dan dua saudara seperguruannya, seolah-olah hendak menilai dan mengukur kemampuan mereka.

     “Benar Anak Muda bertiga mau ambil bagian?”

     “Bukan kami bertiga, tapi hanya saya saja,” jawab Panji Anom enteng.

    “Waow ...!” ucap laki-laki itu di antara takjub dan tak percaya. “Tapi ... ketiga Pendekar Penguji itu adalah pendekar yang sudah punya nama besar, Anak Muda. Belum lagi pendekar penguji terakhir, yaitu Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Saat ini dia adalah pendekar yang sedang berkibar namanya di jagat persilatan. Apakah Anak Muda sudah memahami itu?”

     “Ooh seperti itu?” sahut Panji Jagat sembari mendogak ke atas panggung pertarungan. Sebari ia menoleh kepada lawan bicaranya itu melanjutkan, “Seorang petarung sejati tidak perlu memahami siapa pun calon lawannya, Kisanak. Hanya satu tujuan saya, ketika saya akan melawan mereka, siapa pun mereka, dan saya harus keluar sebagai pemenangnya!”

      “Wah, besar sekali nyalimu, Anak Muda.  Saya harus mengagumi semangatmu. Tapi nasihatku, ketika melawan para Pendekar Penguji itu, Anak Muda harus benar-benar berhati-hati. Mereka benar-benar para pendekar yang sangat sakti.”

     “Tentu saja, Kisanak. Terima kasih atas nasihatmu.”

     Keduanya terdiam. Pandangan mereka di arahkan ke atas panggung pertarungan. Di sana masih berlangsung sebuah pertarungan yang seru. Saling pukul dan tendang berlangsung sangat cepat. Pertarungan itu tidak melibatkan senjata apa pun, hanya menggunakan tangan kosong. Entah peraturan pertarungan atau memang para petarung itu belum merasa perlu untuk mempergunakan senjata andalannya maisng-masing?

      Tiba-tiba ...

       Buggh ...!! Buggh ...!! Crassh ...!!

       Tubuh salah seorang dari ketika Pendekar Penguji mencelat ke pinggir panggung karena mendapat dua kali pukulan berantai dan satu cakaran dari lawan yang dihadapinya.

      “Kurang ajar!!” umpatnya  geram. Sorot matanya tajam diarahkan kepada lawan yang berhasil membuatnya mencelat. Tetapi saat itu lawannya sedang mengeroyok dua Pendekar Penguji lainnya. Ia segera bangkit dan langsung ikut menyerang.

       “Heaaa ....!! Heaaa ...!!”

      Secara tiba-tiba ketiha Pendekar Penguji mengubah cara serangannya. Tubuh ketiganya bergerak dengan sangat cepat, mengurung kelima lawan mereka.

      Wissh ...!!  Wissh ...!! Wissh ...!!

      Mendapat serangan yang demikian gencar dan berbahaya itu, dengan cepat kelima pendekar segera mengubah bentuk gempuran mereka dengan cara membuat perisai kuda-kuda saling membelakangi satu sama lainnya.  Bentuk pertahanan mereka itu sebentar memang mampu meredam serangan ketiga Pendekar Penguji.

       Akan tetapi, pada menit-menit selanjutnya, kelima pendekar penantang dibuat goyah oleh serangan berantai berupakan pukulan dan tendangan yang silih berganti bagai sebuah kitiran raksasa yang bergerak kelihatan tak beraturan tetapi sangat cepat dan membingungkan.

       Tau-tau ...

      Bughhk ...!! Bughhk ...!! Bughhk ...!!

      Deshh ...!! Deshh ...!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status