Jarak padepokan Ki Permana Jagat dengan Krajan kuwu setempat cukup jauh sebenarnya, karena setelah mendakit jurang curam dan tinggi mereka harus melewati sebuah bukit lalu melintasi sebuah lembah yang cukup luas. Namun karena menggunakan kecepatan lari yang mengandung kekuatan ilmu meringankan tubuh, ketiga calon Pendekar Macan Tutul itu mampu mencapai kalangan pertarungan dalam waktu yang tak lama.
Saat itu sedang berlangsung antara tiga Pendekar Penguji selaku pendekar tertantang dengan lima orang pendekar penantang. Pertarungan itu terlihat sangat seru, walau jika dilihat oleh orang-orang dunia kependekaran, tampak jelas sekali jika pertarungan itu tak seimbang. Lima pendekar memang sekali-sekali berhasil memasukkan pukulan maupun tendangan keras mereka ke tubuh ketiga pendekar penguji. Namun ketiga pendekar penguji berhasil membalas dengan serangan dan mengirimkan pukulan serta tendangan secara bertubi-tubi ke berbagai titik di tubuh kelima lawan mereka.
“Kenapa ketiga pendekar tertantang itu melawan lima pendekar penantang sekaligus?” tanya Panji Jagat tanpa ditujukan kepada siapa pun.
Namun seorang laki-laki yang berdiri di dekatnya mendengar pertanyaan itu dan menjawab, “Oh itu biar seimbang saja. Setelah beberapa pendekar penantang maju, ketiga pendekar penguji itu tak sulit mengalahkannya. Untuk pertarungan yang terakhir ini, ketiga Pendekar Penguji itu menginginkan agar kelima pendekar penantang yang tersisa maju sekaligus.”
“Ooh ... begitu?” sahut Panji Jagat tanpa menoleh ke laki-laki di sampingnya. “Jika ini kelima pendekar penantang itu kalah, berarti pertarungan berakhir?”
“Iya, karena tak ada lagi calon pendekar penantang lainnya. Kelima pendekar itu adalah para pendekar penantang terakhir,” sahut laki-laki di sampingnya tanpa menoleh kepada Panji Jagat.
Seolah-olah laki-laki itu mengingat sesuatu, pelan-pelan ia menoleh ke samping dan menatap wajah ketiga pemuda yang baru tiba itu baik-baik, yaitu Panji Jagat, Kerta, dan Jolong. “Ma-maaf, apakah Anak Muda bertiga mau mengadu untung juga?”
Panji Jagat menoleh dan sidikit mencibir bibirnya dan menjawab, “Ya jika masih diperbolehkan, mengapa tidak?”
Mendapat jawaban itu, sepasang mata laki-laki di samping terlihat sedikit membeliak lalu mengamati perawakan Panji Jagat dan dua saudara seperguruannya, seolah-olah hendak menilai dan mengukur kemampuan mereka.
“Benar Anak Muda bertiga mau ambil bagian?”
“Bukan kami bertiga, tapi hanya saya saja,” jawab Panji Anom enteng.
“Waow ...!” ucap laki-laki itu di antara takjub dan tak percaya. “Tapi ... ketiga Pendekar Penguji itu adalah pendekar yang sudah punya nama besar, Anak Muda. Belum lagi pendekar penguji terakhir, yaitu Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Saat ini dia adalah pendekar yang sedang berkibar namanya di jagat persilatan. Apakah Anak Muda sudah memahami itu?”
“Ooh seperti itu?” sahut Panji Jagat sembari mendogak ke atas panggung pertarungan. Sebari ia menoleh kepada lawan bicaranya itu melanjutkan, “Seorang petarung sejati tidak perlu memahami siapa pun calon lawannya, Kisanak. Hanya satu tujuan saya, ketika saya akan melawan mereka, siapa pun mereka, dan saya harus keluar sebagai pemenangnya!”
“Wah, besar sekali nyalimu, Anak Muda. Saya harus mengagumi semangatmu. Tapi nasihatku, ketika melawan para Pendekar Penguji itu, Anak Muda harus benar-benar berhati-hati. Mereka benar-benar para pendekar yang sangat sakti.”
“Tentu saja, Kisanak. Terima kasih atas nasihatmu.”
Keduanya terdiam. Pandangan mereka di arahkan ke atas panggung pertarungan. Di sana masih berlangsung sebuah pertarungan yang seru. Saling pukul dan tendang berlangsung sangat cepat. Pertarungan itu tidak melibatkan senjata apa pun, hanya menggunakan tangan kosong. Entah peraturan pertarungan atau memang para petarung itu belum merasa perlu untuk mempergunakan senjata andalannya maisng-masing?
Tiba-tiba ...
Buggh ...!! Buggh ...!! Crassh ...!!
Tubuh salah seorang dari ketika Pendekar Penguji mencelat ke pinggir panggung karena mendapat dua kali pukulan berantai dan satu cakaran dari lawan yang dihadapinya.
“Kurang ajar!!” umpatnya geram. Sorot matanya tajam diarahkan kepada lawan yang berhasil membuatnya mencelat. Tetapi saat itu lawannya sedang mengeroyok dua Pendekar Penguji lainnya. Ia segera bangkit dan langsung ikut menyerang.
“Heaaa ....!! Heaaa ...!!”
Secara tiba-tiba ketiha Pendekar Penguji mengubah cara serangannya. Tubuh ketiganya bergerak dengan sangat cepat, mengurung kelima lawan mereka.
Wissh ...!! Wissh ...!! Wissh ...!!
Mendapat serangan yang demikian gencar dan berbahaya itu, dengan cepat kelima pendekar segera mengubah bentuk gempuran mereka dengan cara membuat perisai kuda-kuda saling membelakangi satu sama lainnya. Bentuk pertahanan mereka itu sebentar memang mampu meredam serangan ketiga Pendekar Penguji.
Akan tetapi, pada menit-menit selanjutnya, kelima pendekar penantang dibuat goyah oleh serangan berantai berupakan pukulan dan tendangan yang silih berganti bagai sebuah kitiran raksasa yang bergerak kelihatan tak beraturan tetapi sangat cepat dan membingungkan.
Tau-tau ...
Bughhk ...!! Bughhk ...!! Bughhk ...!!
Deshh ...!! Deshh ...!!
Tendangan dan hantaman keras dari ketiga Pendekar Penguji terjadi secara beruntun dan amat keras, membuat tubuh kelima pendekar penantang langsung terlempar dan mencelat ke luar panggung. Kelimanya jatuh dengan punggung membentur bumi, sehingga saat benturan itu terjadi dari mulut mereka menyembur darah segar. Para penonton dengan suka rela segera membantu kelima pendekar itu membantu menegakkan tubuh kelima pendekar malang itu. Ada juga di antara mereka segera memberinya air minum. Seorang laki-laki yang bertindah sebagai juru acara melompat ke atas panggung dan mengumumkan akan kemenangan dari ketiga Pendekar Penguji. Sambutan dengan tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan langsung membahana di sekeliling panggung pertarungan. “Yak, dengan kekalahan dari kelima pendekar penantang barusan,” lanjut sang juru acara lagi, “adalah akhir dari Sayembara Wibawa untuk tahun ini. Karena itu, Sayembara Wibawa tahun ini masih dimenangkan oleh para Pendekar Peng
Spontan pula ketiga Pendekar Penguji membalikkan tubuhnya hendak menangkap bagian tubuh Panji Jagat lalu menghajarnya secara berbarengan. Akan tetapi, bukan saja maksud ketiganya tak berhasil, bahkan di luar dugaan mereka Panji Jagat telah mendahului dengan gerakan mencakar yang amat cepat dan mematikan. Dan ... Creesshh ....!! Creesshh ...!! Cressshh ...!! “Aaauuuww ...!!” Bagian dada ketiga Pendekar Penguji langsung koyak dan mengeluarkan darah segar akibat cakaran cepat daroi kedua jari tangan Panji Jagat. Ketiganya pun menjerit tinggi nyaris bersamaan. Bukan saja ketiga Pendekar Penguji itu yang dibuat sangat kaget plus menderita, seluruh penonton pun langsung dibuat terbelalak dan berteriak tertahan. Demikian juga reaksi Ki Lurah Cokro Setiaji dan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Ayah beranak itu sontak berdiri dari kursinya dengan wajah terperangah. Di atas Panggung, Panji Jagat berdiri tegak sembari melemparkan senyum sinis
Panji Jagat menangkap sekantong keping emas yang dilemparkan oleh Ki Luar Cokro dan berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Ki Lurah adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Saya sangat menghormati itu.” “Hm, sama-sama, Anak Muda yang hebat. Sampaikan salamku pada gurumu, Ki Raksa Jagat. Walaupun aku belum bernah melihat wajahnya, tetapi beliau adalah seorang pendekar besar yang sangat aku kagumi.” “Baik, Ki Lurah, salam Ki Lurah akan saya sampaikan kepada guru saya,” sahut Panji Jagat. Lalu berkata kepada Jan Tole, “Hai, Sobat. Kita lupakan masa lalu kita. Anggap itu sebagai cerita kita yang menyenangkan. Berlatihlah lebih keras lagi.” Bagi Jan Tole, kalimat itu tetap terasa sebagai sindiran tajam baginya. Ia mendengus kesal. Romonya, hanya melihatnya sesaat sebelum melangkah meninggalkannya untuk turun dari panggung. Jan Tole rupanya masih sangat penasaran. Ia juga merasa sakit hati karena diremehkan oleh romonya sendiri. Di luar dugaan siapa pu, tubuhnya m
Ki Raksa Jagat memerintahkan sang murid untuk mengambil sikap semedi dalam sebuah sendang kecil yang terletak di sebelah barat candi semedi. Golong dan Kerta hanya menyaksikan dari jarak yang cukup jauh prosesi penurunan ilmu pamungkas itu. Ki Raksa Jagat duduk di tepian sendang dengan sikap seperti sedang bersemedi setelah ia mengerahkan seluruh energi alam dan energi murni dari dalam dirinya lalu menyatukannya di kedua pelah tangannya. Kedua tangannyanya digerakkan ke depan dengan gerakan secara pelan dan indah yang juga diikuti oleh gerakan tubuhnya. Sekilas ia seperti orang yang sedang mengaduk masakan dalam belanga dengan tongkat ke depan. Air sendang yang direndami oleh Panji Jagat pun pelan-pelan ikut berputar, juga bergolak serta mulai mengepulkan asap. Ketika makin lama Ki Raksa Jagat menggerakkan gerakan berputar tangannya, maka makin cepat juga gerak berpusing air sendang berikut tubuh Panji Jagat. Lalu beberapa detik kemudian putaran air sendang yang dise
Tiba-tiba Panji memejamkan matanya. Ada sesuatu hal yang ia rasakan saat itu. “Dan ... Guru, mengapa aku seolah-olah bisa mendengarkan semua bahasa hewan? Oh, dunia tiba-tiba terasa ramai ...!” “Benar, Muridku. Karena dalam tubuhmu, dalam darah dan dagingmu, hingga tarik nafasmu, telah tertanam berbagai ilmu kesaktian. Kau mampu memahami bahasa binatang karena kau memiliki Ilmu Ajian Ginem, tubuhmu akan seperti baja dan tak akan ada yang mampu melukaimu karena dalam tubuhmu juga telah tertanama Ajian Brojomusti, kau akan mampu membelah wujudmu menjadi wujud yang banyak karena kau telah menyimpan Ajian Belah Rogo. Bahkan kau pun mampu berubah penampakan wujudmu dari pandangan orang lain dengan wujud apa pun karena engkau memiliki Ajian Malih Rupa. Namun karena kamu adalah Pendekar Macan Tutul, wujudmu akan terlihat seperti seekor macan tutul, baik oleh hewan maupun oleh musuh-musuhmu. Saat amarahmu menguasai dirimu, maka kau seakan-akan menjelma bagai seekor macan dengan ber
Panji Jagat tak mampu menatap wajah gurunya. Air matanya keluar begitu saja tanpa mampu ia bendung. “Seorang laki-laki sejati tak pantas untuk meneteskan air mata, apa pun pedihnya hal yang tengah kita hadapi, Muridku,” Ki Raksa Jagat mengigatkan. “Jika pun air matamu harus tumpah, maka tumpahkan saja ke dalam, jangan keluar. Air mata seorang laki-laki bisa melemahkan orang-orang di sekitarmu, terlebih kau kelak tentu akan menjadi seseorang sebagai tempat bersandarnya banyak orang.” “Ma-maafkan aku, Guru!” ucap Panji Jagat sembari menghapus air matanya dengan jari-jari tanganya. “Hm. Sekarang kaudengarkan aku. Aku pernah melakukan penyelidikan ke kota raja. Kondisi kehidupan di Kerajaan Gundala saat ini tidak sedang baik-baik saja. Pemerintahan Prabu Natanala seakan-akan berjalan tanpa arah yang jelas. Rakyat sendiri dicekik batang leher mereka dengan pajak yang tinggi. Pungutan haram yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan makin membuat kehidupan rakyat Gundal
Gantian laki-laki desa yang mengulang nama tempat yang disebutkan oleh Panji Jagat. Ada gambaran keheranan yang terlihat di wajah laki-laki paroh baya baya itu. Karena menurut masyarakat di sekitar, Ngarai Kulon adalah sebuah kawasan yang sangat angker dan tak siapa pun berani memasuki kawasan itu. Bukan karena sekedar angker tetapi untuk menuruni jurang agar bisa berpijak di kawasan itu amatlah sulit dan sangat berbahaya. Lalu tempat tinggal pemuda tampan berwajah bangsawan ini di sebelah mananya? “Kenapa, Ki ...?” “Oh, tak apa-apa, Den Bagus,” jawab laki-laki desa dengan cepat. “Jadi Den Bagus ini akan menuju kota raja?” “Iya, Ki. Apakah kota raja masih cukup jauh dari sini?” “Bukan masih jauh lagi, Den Bagus, tapi masih sangat jauh. Dengan naik kuda yang paling cepat karinya pun, Den Bagus baru sampai ke sana mungkin sudah mulai malam. Jika jalan kaki, ya mungkin bisa sampai esok hari, Den Bagus.” “Oh, baiklah. Saya akan menikmati perjalanan k
Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Kedua cuping hidungnya kembang-kempis. Ada aroma yang demikian sedap yang menyerangnya dan membuat perutnya langsung bereaksi dan bersuara. Matahari kala itu sesaat lagi akan tepat di atas kepalanya. Saat ia mengangkat dagunya dan memngarahkan pandangannya ke tengah desa. Ia melihat sebuah kedai berkepul yang terlihat cukup ramai dikunjungi oleh orang-orang. “Hm, kayaknya aroma sedap itu sumbernya dari sana. Baiknya aku memang harus makan dulu, karena perjalanan masih sangat jauh, dan belum tentu ada kedai makan di perkampungan-perkampungan selanjutnya. Kebetulan sejak bangun tidur tadi perutku belum terisi,” desahnya lagi. Kedai atau warung makan yang sebagian dibuat setengah terbuka itu memang cukup luas dan bersih. Aroma masakannya yang begitu sedap makin menggoda perutnya yang memang sedang kosong. Pantas saja ramai pelanggan yang menikmati masakan di warung itu. “Selamat datang di warung makan kami, Aden,” ucap seoran