"Cepat, Istriku, kapal sudah hendak berlayar!" seru seorang lelaki berparas tampan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Di pundaknya tergantung sebilah pedang dan di tangannya sebuah kotak kayu berukuran sedang dibawanya sambil berlari.
Di sampingnya, sesosok wanita cantik berambut panjang sepunggung dan kurang lebih baru berusia dua puluh tiga tahun, tampak berlari ketakutan sambil menggendong seorang bayi mungil yang baru beberapa bulan terlahir ke dunia.
Keduanya tampak panik dan berekspresi sama seperti penumpang lain yang berlarian ketika kapal hendak berlayar. Sesekali si suami menoleh ke belakang ketakutan. Tidak ada satupun yang peduli dengan kepanikan keduanya, sebab kepanikan seperti itu adalah sesuatu yang biasa terlihat.
Dalam jarak cukup jauh di belakang, puluhan prajurit bergerak memasuki wilayah pelabuhan yang hari itu cukup ramai. Sorot mata mereka semua tertuju tajam kepada seluruh orang yang ada di pelabuhan.
"Itu mereka berdua! Cepat kejar dan tangkap atau kalian yang akan mendapat hukuman jika gagal!" teriak seorang prajurit kepala yang terlihat berat menggerakkan badannya untuk berlari.
Geladak kayu yang digunakan untuk naik ke badan kapal sudah mulai diangkat pekerja pelabuhan. Melihat itu sang suami pun berteriak sekeras mungkin agar para pekerja itu menunggu mereka berdua naik terlebih dahulu, Tunggu, kami ikut!"
"Cepat, Kisanak, Nisanak, kapal sudah harus berangkat!" seru pekerja yang melihat sepasang suami istri tersebut.
"Nilam, ayo cepat naiklah ke atas!" kata lelaki berwajah tampan itu kepada Istrinya.
Tanpa berpikir panjang wanita berwajah cantik jelita itu meniti geladak diikuti si suami dari belakang. Setelah mereka berdua sudah berada di atas kapal, si suami meletakkan peti yang dibawanya. Dilihatnya prajurit sudah berjarak kurang dari seratus meter.
Pekerja pelabuhan langsung menarik geladak ke atas kapal dan perlahan kapal pun mulai bergerak.
"Berhenti!" teriak para prajurit yang melihat kapal tersebut mulai meninggalkan pelabuhan. Kepanikan turut melanda pikiran mereka yang jika gagal menangkap sepasang suami istri tersebut bakal mendapat hukuman.
"Sialan, jaraknya terlalu dekat!" keluh lelaki tampan itu dalam hati. Lirikan matanya tertuju kepada Istrinya yang duduk bersandar dengan mata terpejam menahan lelah.
"Duh, Gusti Maha Agung, berilah keselamatan kepada kami berdua dari kejaran para prajurit itu." Wanita cantik yang matanya terpejam itu tak berhenti untuk terus berdoa di dalam hati
Sekitar tiga puluh meter kapal meninggalkan pelabuhan, puluhan prajurit tersebut baru tiba di pinggir pantai.
"Sial, kita gagal lagi menangkap mereka berdua! Kalian memang tidak bisa diandalkan!" teriak keras prajurit kepala penuh emosi kepada bawahannya.
"Kita kejar saja mereka, Tuan!" Seorang prajurit memberi usulan.
Mendengar usulan tersebut, Prajurit kepala mendekati prajurit yang baru saja berbicara, tanpa banyak kata prajurit tersebut langsung dipegangnya dan dilemparkan ke laut. "Cepat kejar mereka dengan berenang!"
Para prajurit hanya bisa mengulum senyum geli melihat temannya diceburkan ke laut. Sementara belasan prajurit lainnya bahkan sampai mengeluarkan suara tawa.
"Apa yang kalian tertawakan? Sudah gagal melaksanakan tugas masih saja kalian bisa tertawa!" bentak prajurit kepala penuh emosi. Pandangannya tajam mengintimidasi puluhan bawahannya
Seketika puluhan prajurit itu menutup mulutnya rapat-rapat, mereka tak berani sedikitpun bersuara dan hanya bisa menunduk ketakutan.
Prajurit kepala itu membalikkan badannya dan menatap kapal yang perlahan menjauh mengarungi lautan. Setelah itu dia berjalan mendekati pekerja pelabuhan yang sedang menggulung tali tambang seukuran lengan terbuat dari serat pohon Sisal.
"Kisanak, kemana kapal itu akan berlayar?"
Pekerja pelabuhan itu menghentikan kegiatannya menggulung tali tambang. "Menurut jadwal kapal ini akan menuju daratan Jawadwipa, Tuan Prajurit."
Prajurit kepala itu hanya bisa mengangguk kecil seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Selama empat puluh tahun hidup di dunia, tidak sekalipun dia meninggalkan Daratan Swarnadwipa. Kalaupun dia tahu, itu hanya sebatas mendengar saja.
"Terima kasih atas informasinya, Kisanak."
"Sama-sama, Tuan Prajurit," jawab pekerja pelabuhan sebelum melanjutkan aktifitasnya menggulung tali tambang yang biasa digunakan untuk mengikat kapal ketika sedang bersandar.
Prajurit kepala itu bergegas kembali kepada anak buahnya yang masih tetap di posisinya semula.
"Kapal itu menuju Daratan Swarnadwipa. Nanti aku akan meminta ijin kepada paduka raja untuk mengejar mereka. Panji harus ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya!"
Puluhan prajurit itu hanya bisa diam tanpa berkata apa-apa. Terbersit di dalam benak mereka tentang kisah cinta sepasang suami istri yang saat ini sedang dalam pengejaran itu sungguh berliku.
Sementara itu di atas kapal yang sudah menjauh ratusan meter dari pelabuhan, Panji_ suami Nilam_ mendapatkan informasi dari kru kapal bahwa perjalanan melalui laut dari daratan Swarnadwipa menuju Jawadwipa diperkirakan kurang lebih tujuh hari lamanya, itupun jika tidak ada kendala di tengah perjalanan seperti badai yang sering terjadi di musim penghujan. Untuk itu Panji memutuskan menyewa kamar yang disediakan karena tidak mungkin istri dan anaknya tidur di luar selama perjalanan.
Memasuki hari ke empat perjalanan, nahkoda yang sedang mengendalikan laju kapal agar tetap berada pada rutenya menuju daratan Swarnadwipa, dikejutkan dengan laporan dari pekerja yang mengatakan jika melihat dua buah kapal lain yang berada di belakang.
"Kau pegang kemudianya. Tetap arahkan lurus ke depan!" perintah Nahkoda sebelum berjalan cepat menuju bagian belakang kapal.
Sepasang mata juru mudi berusia empat puluh tahunan itu menyipit ketika memastikan bahwa laporan anak buahnya tadi benar adanya. Namun yang membuatnya terguncang dan panik, dia bisa memastikan jika dua kapal yang ukurannya lebih kecil dari kapalnya itu adalah para perompak Hantu Laut yang biasanya melakukan perampokan di tengah laut.
Lebih sialnya lagi, perompak yang sedang mengejar kapalnya saat ini terkenal kejam dan tak segan menghabisi para korbannya.
"Turunkan layar!" teriaknya kepada pekerja yang berada tidak jauh darinya.
Seketika nahkoda itu berlari ke depan dan mengambil alih kemudi. "Cepat beritahu para penumpang jika saat ini kita dalam bahaya! Bilang juga kepada pekerja lainnya untuk mendayung lebih cepat."
Terlihat jelas kepanikan dirasakannya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Perasaannya sudah tidak setenang seperti sebelumnya.
Sementara itu di dalam kamar, Panji dan Nilam tampak berbicara sambil duduk di bibir ranjang. Sesekali mata keduanya tertuju kepada putra mereka yang tidur lelap.
"Perjuangan kita sudah sejauh ini, Nilam. Kalaupun kita harus terpisah, aku harap hanya maut yang akan memisahkan kita," ujar Panji lirih sebelum memeluk istrinya dengan erat.
"Aku juga begitu, Kakang. Kita besarkan Jalu di daratan jawadwipa saja. Tidak perlu kita kita ke tempat asal kita. Aku sudah mengubur semua masa laluku dan ingin membuka lembaran baru di tanah yang baru," balas Nilam seraya menitikkan air mata.
Tiba-tiba suara pintu yang diketuk dari luar mengagetkan keduanya. Panji melepaskan pelukannya dan berjalan menuju pintu lalu membukanya. Seorang laki-laki pekerja kapal tampak berdiri di depan pintu kamar dengan raut wajah tegang.
"Ada apa, Kang?" tanya Panji penasaran setelah melihat raut wajah pekerja kapal yang menunjukkan kekuatiran teramat sangat.
"Tolong jangan panik. Ada perompak Hantu Laut yang sedang mengejar kapal kita.""Baik, Kang. Terima kasih informasinya," jawab Panji. Perasaannya mulai dihinggapi kekuatiran yang teramat besar. Kuatir terhadap keselamatan anak dan istrinya.Lelaki tampan berusia dua puluh tujuh tahun itu menutup kembali pintu kamar selepas kepergian pekerja kapal. Dia berjalan mendekati Nilam yang sedang menatapnya."Ada apa?""Ada perompak yang hendak merampok kapal kita. Kau tidak perlu takut, ada aku yang akan menjaga kalian berdua," jawab Panji sambil menahan ekspresinya agar istrinya tidak ketakutan.Bola mata Nilam berkaca-kaca mendengar berita buruk dari suaminya. Sungguh sulit dipercaya jika pertama kali naik kapal harus menghadapi masalah yang begitu berat. Apakah ucapan suaminya tadi menjadi sebuah kenyataan bahwa maut yang akan memisahkan mereka berdua?Panji berdiri dan meraih pedang yang diletakkannya di samping putranya. Ditatapnya wajah putranya yang begitu polos tanpa dosa."Kakang mau
Dua anggota perompak yang masih berada di salah satu kapal kecil bergegas melepaskan tali tambang dan berusaha mengejar. Tapi baru beberapa meter bergerak, terdengar petir menggelegar di angkasa. Mending tebal bergulung-gulung menghitam begitu cepat dan angin berhembus sangat kencang."Tidak perlu dikejar, cepat kembali!" teriak pemimpin perompak begitu menyadari badai datang secara tiba-tiba.Hujan deras yang disertai badai dan petir tak henti menyambar pun akhirnya melanda. Tubuh Nilam dan peti kayu yang dipeluknya erat terombang-ambing di lautan lepas. Jarak dengan kapal yang sudah dikuasai perompak Hantu Laut semakin jauh dan akhirnya tak terlihat.***Di sebuah pantai berpasir putih, seorang lelaki tua yang tubuhnya tidak terawat dengan pakaian penuh koyakan berjalan sambil terus mengucap sumpah serapah.Ayunan langkahnya seketika terhenti. Bola matanya menyipit menyaksikan sesosok tubuh yang sedang memeluk peti terdampar di bibir pantai. Penasaran dengan apa yang dilihatnya, lel
"Kakek, tumpukan batu di dalam hutan yang tertutupi semak-semak itu apa Kakek yang menatanya?"tanya Jalu setelah duduk bersimpuh di samping Caraka.Lelaki tua itu cukup lama memandang Jalu dengan tatapan nanar. Ada perasaan sedih ketika menerima kenyataan bahwa dia harus kembali hidup sendirian.Ya, Caraka dulu pernah bersumpah jika Jalu sudah menemukan kuburan ibunya, dia akan membuka semua masa lalu pemuda tampan itu. Dia juga akan mengatakan apa tujuannya mengajari pemuda tersebut denga ilmu Kanuragan mumpuni hingga dalam usia delapan belas tahun sudah berada pada tingkatan pendekar tanpa tanding.Meski Jalu tidak memiliki keistimewaan apapun di dalam tubuhnya, tapi Caraka berhasil mendidik pemuda tampan itu untuk menjadi pribadi yang tidak malas untuk berusaha. Tak luput juga dia menanamkan nilai-nilai aliran hitam agar 'cucunya' itu siap ketika terjun di dunia yang ramai. Ilmu membaca dan berhitung pun dia ajarkan juga, sebab dia tidak ingin pemuda itu nantinya menjadi bahan olok
"Tenang saja. Kakek sudah punya caranya agar kau bisa keluar dari pulau ini." Caraka berdiri lalu membawa masuk peti kayu ke dalam pondok. Setelah itu dia kembali berjalan keluar. "Sekarang ikutlah denganku!" ajaknya.Tanpa banyak bertanya Jalu mengikuti langkah kaki Caraka yang bergerak ke arah hutan kecil dan memasukinya.Tak sampai satu jam berjalan keduanya sudah berada di bibir hutan. Kini di depan mereka sudah berdiri tebing yang cukup tinggi, kurang lebih dua puluh meter."Ayo, Jalu!"Caraka melompat tinggi dan diikuti Jalu sesaat berikutnya. Keduanya mendarat dengan ringan di atas tebing."Lihatlah itu!" Caraka menunjuk batu besar yang berbentuk tengkorak kepala, "itulah kenapa pulau terpencil ini dinamakan pulau tengkorak. Entah siapa yang mengukir batu hingga menjadi sebuah tengkorak, tapi sejak aku dihukum di sini tengkorak itu sudah lebih dulu ada."Jalu berjalan mendekati batu besar berbentuk tengkorak tersebut. Sementara Caraka menuju sebuah batu lainnya yang tidak terla
Jalu hanya bisa tertawa dalam hati ketika semua orang yang melihatnya sudah menganggapnya hilang ingatan atau bahkan gila. Tapi di balik itu, dia merasa akan lebih baik untuknya bila mereka terus berpikir seperti itu terhadapnya."Bagaimana kalau Nyi Sundari tampung dia dulu setelah nanti sampai di daratan Swarnadwipa? Siapa tahu dengan sedikit pengobatan bisa mengembalikan ingatannya. Lagi pula dengan tubuhnya yang kekar itu aku yakin dia bisa membantumu berdagang," ujar seorang lelaki bertubuh tambun yang juga berpenampilan seperti orang kaya."Aku tidak bisa langsung mengiyakan usulmu, Kang Parjo. Saat ini suamiku masih tidur, nanti saja setelah dia bangun baru kubicarakan tentang pemuda tampan ini dengannya," jawab wanita yang memiliki nama Nyi Sundari itu.Jalu sebenarnya sulit jika harus terus-terusan berpura-pura lupa ingatan. Tapi bagaimanapun juga dia tetap harus melakukannya, sebab dia sendiri perlu bantuan orang lain untuk mengenal dunia luar."Maaf, kalau boleh tahu aku se
"Apa mungkin?" Dugaan liar pun berkembang di dalam pikiran Jalu. Asumsi terkuatnya mengatakan jika Perompak Hantu Laut menjadi penyebab ibunya sampai menceburkan diri ke laut untuk menyelamatkannya."Biar aku yang menghadapi mereka, Paman dan bibi di kamar saja!" Jalu bangkit berdiri. Diambilnya pedang Halilintar yang tergantung di dinding lalu berjalan menuju pintu. Aji dan Nyi Sundari terpaku untuk beberapa saat sampai akhirnya kebekuan mereka berdua buyar setelah Jalu membuka pintu."Jalu, jangan melawan mereka, lebih baik kami serahkan saja harta yang dibawa dari pada nyawamu dalam bahaya. Mereka terkenal sangat kejam." Nyi Sundari berusaha mencegah Jalu yang sudah hendak keluar dari kamar."Tenang saja, Bi, aku akan baik-baik saja! Kalian berdua tetap di dalam kamar dan jangan keluar sampai aku kembali," balas Jalu tanpa merasa ragu sedikitpun, meski pertarungan dan juga mungkin pembunuhan pertama akan segera dijalaninya.Pemuda berwajah tampan itu melangkah keluar dan menutup
"Di mana para perompak itu?" tanya Aji penasaran."Tidak perlu memikirkan tentang mereka. Entah kenapa para perompak itu tiba-tiba saja memutuskan untuk berbalik arah dan tidak jadi menyerang kapal kita," jawab Jalu beralasan. Tidak mungkin juga dia mengatakan kepada sepasang saudagar kaya itu bahwa para perompak Hantu Laut telah dia kirim nyawanya menemui Dewa kematian.Dahi Aji berkerut tebal. Dia sulit untuk percaya dengan ucapan Jalu, sebab dirinya tahu betul bagaimana reputasi perompak Hantu Laut yang tidak akan melepaskan sasarannya begitu saja.Bergegas suami Nyi Sundari itu keluar dari kamar dan melihat ke bagian belakang kapal. Ditatapnya lautan yang membentang luas mencari keberadaan perompak Hantu Laut yang sudah tidak terlihat. Selepas itu dia kembali Jalu dan istrinya.Empat hari berselang, kapal besar itu akhirnya bersandar juga di pelabuhan. Jalu, Aji dan Nyi Sundari bergegas turun dari kapal. Barang dagangan yang baru saja diambil sepasang saudagar kaya dari daratan Ja
Dan hasilnya sama saja, putrinya itu tidak berminat sama sekali meski berbagai tawaran harta benda yang tidak sedikit turut diajukan sebagai mahar pernikahan."Putriku, duduklah di samping Jalu," ucap Nyi Sundari kepada putrinya seusai gadis cantik itu meletakkan makanan di atas meja.Gadis cantik yang seusia dengan Jalu itu menatap ibunya penuh pertanyaan, tapi kode mata dari Nyi Sundari membuatnya meletakkan pantat di bantalan kursi samping Jalu. Ekor matanya melirik ke arah pemuda tampan yang sedari tadi menundukkan wajahnya."Jalu, kenalkan ini putriku, namanya Ayu Wulandari. Kau bisa memanggilnya Ayu," kata Nyi Sundari.Lagi-lagi Jalu hanya memberi anggukan kecil tanpa ekspresi apapun di wajahnya, dan apa yang dilakukannya itu sukses membuat penilaian pertama Ayu Wulandari untuknya tidak bagus."Sombong sekali, dia. Bahkan untuk melirikku pun tidak mau!" ucapnya kesal dalam hati."Jalu, tugasmu nanti adalah mengawal putriku kemanapun dia keluar rumah. Apa kau bisa melakukannya?"