Hari sudah menjelang siang dan warung makan Baojia sedang ramai-ramainya oleh penikmat masakannya yang terkenal lezat, ketika dua ekor kuda muncul di halaman depan warung yang cukup luas itu.
Meilin yang saat itu sedang sibuk melayani pelanggan, menengok ke luar melalui jendela. “Eh, Kakak Rangga dan Kakak Pabise...!”teriaknya sangat gembira dan langsung menghambur keluar. Baojia dan istrinya Fang Yin pun ikut menengok keluar. Wajah suami-istri itu pun ikut berbinar senang.
“Kak Mudu dan lainnya kenapa tak datang...?” tanya Meilin lagi.
&nb
La Mudu duduk mengawasi di beranda depan istana yang luas. Ia didampingi oleh Putri Mantika di sebelah kanannya, di sebelah kiri La Turangga. La Lewamori, dan La Santara duduk di kursi di sebelah kirinya La mudu. Di wajah sang murid Dato Hongli senantiasa tersenyum, menyiratkan kebahagiaan yang dipancarkan oleh hatinya saat melihat wajah seluruh warga Sangiang itu tampak sumringah. Tak ada kesedihan di wajah mereka. Sementara La Turangga lebih tertarik untuk menoleh kepada gadis cantik di sampingnya, berkali-kali, walau dilakukannya seolah-olah sambil lalu. Rupanya Putri Mantika mengetahui kelakuannya itu, hanya menyembunyikan senyumny
Dewa Na’e, Bumi Osu, dan Bumi Ntau ra Wara datang menghadap. Bumi Ntau ra Wara bertanya kepada La Mudu, “Apa yang selanjutnya saya laksanakan, Ananda jawara?” “Untuk hari ini, Bumi Ntau ra Wara harus selesaikan pembagian kapal-kapal itu lepada seluruh calon pemiliknya. Ditunjuki saja kepada tiap calon pemilikinya.” “Itu sedang dilakukan, Ananda Jawara,” jawab Bumi Ntau ra Wara. “Bagus!” ucap La Mudu, lalu bertanya, “Apakah Bumi Ntau ra Wara dan Dewa Na’e sudah diberitahuka
Sejak matahari sudah berada di atas kepala, di sepanjang pantai timur di sekitar pelabuhan Wadu Mbolo telah dipenuhi oleh orang-orang yang akan menyambut kepulangan La Mudu serta para sahabatnya. Di antara mereka ada Dato Hongli yang ditemani oleh Baojia sekeluarga dan keenam anak angkatnya. Mereka berdiri di pinggir atas pesisir di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Karena Pulau Sangiang tak begitu jauh, keadaan di pantai Wadu Mbolo itu telah dilihat oleh La Mudu dan seisi kapal lainnya. “Apakah semua kapal sudah dimuati...?” bertanya La Mudu kepada kelima sahabatnya dengan setengah berteriak, agar bisa suaranya tidak lenyap oleh suara deburan ombak dan angin laut. “Kapal-kapal kami semuanya sudah dimuatin deng
Setelah itu La Mudu mempersilakan semua yang ada untuk duduk di atas hamparan permadani dalam ruangan kapal yang luas. Lalu kepada Ama Pancala ia bertanya, “Bagaimana Ama Pancala, apakah orang-orang di bawah adalah orang-orang akan membantu membongkar muatan kapal?” “Benar sekali, Tuan Muda. Mereka berasal dari desa-desa sekitar pesisir. Mereka semua sangat kaget dan sekaligus berbahagia jika Desa Tanaru akan dibangun kembali,” jawab Ama Pancala. “Lalu, berapa orang keluarga dari para mendiang penduduk Desa Tanaru yang bersedia tinggal lagi di desa tanaru?” “Ada sekitar dua ratus orang, Tuan Muda.” “Hm, baiklah. Jarak dari
Pekerjaan membongkar seluruh isi kapal serta pemasangan kembali rumah-rumah di bekas Dewa Tanaru selama tiga hari berjalan lancar, siang dan malam. Pekerjaan itu melibatkan ribuan pekerja yang mayoritas para kaum pria. Sementara kaum wanita kebanyakan membantu di dapur umur bersama Baojia dan Fang Yin. Di atas kapal, La Mudu mengawasi kesibukan yang berlangsung di daratan itu bersama Meilin. Dato Hongli mendekati keduanya dari arah belakang. “Kauturunlah untuk melihat-lihat perkembangan pemasangan rumah-rumah di desamu. Ato dengar, pemasangan rumah istana itu hampir selesai. Biar Ato sendiri yang berada di kapal ini.” “Eh, iya, Ato...! Memang sebaiknya saya turun dulu untuk meninjau ke desa,” sahut La Mudu. “
Tak lupa kepada keenam penyamun insyaf La Mudu berkata,“Kakanda Sangga, Parange, Landa, Parada, Sunta, dan Geta...! Para Amancawa ini merupakan para wanita baik-baik. Hanya saja mereka bukan para gadis. Usia mereka berkisar dua puluh tujuh hingga tiga puluh tahun, tak terpaut jauh dengan usia kalian. Mereka wanita yang baik dan cantik-cantik. Jika masing-masing kalian berminat, kalian bisa meminang salah satu dari mereka untuk menjadi istri kalian. Kalian bisa menghadap saya untuk meminangnya. Itu salah satu syarat jika kalian ingin tinggal di desa ini.” Tampaknya La Mudu tak ingin merendahkan derajat dari para wanita simpanan itu. Karena pada dasarnya wanita-wanita itu memang orang baik-baik yang dipaksa untuk ikut ke Pulau Sangiang. Artinya, itu menjadi isyarat bagi yang mengetahui masa lalu mereka, wajib menutupinya rapat-rapat.
“Masuklah, Bumi Osu,” ucap La Mudu sembari bangkit dari tidurnya dan mengenakan kembali jubahnya. “Apakah semua penghuni pulau sudah meninggalkan pulau?” “Pulau sudah kosong dari penghuninya, Ananda Jawara,” sahut Bumi Osu sembari meletakkan pantatnya di atas permadani, berhadapan dengan La Mudu. “Lantas apa saja yang tersisa di pulau saat ini?” “Bangunan yang tersisa hanyajompadan isinya, Ananda Jawara. Saya punya rencana untuk mengajak warga untuk membongkarjompa-jompaitu dan membawanya ke daratan berikut isinya.” (Jompa= lumbung padi).&nbs
Karena Uma na’e (Istana Sandaka) belum rampung pemasangannya, maka rombongan dari utusan keenam kerajaan itu menginap di rumah-rumah di sekitar Uma Na’e yang telah rampung pemasangannya secara darurat. Baru keesokan harinya, setelah matahari sudah siang, rombongan utusan dari keenam kerajaan itu kembali ke kapalnya masing-masing untuk berlayar. Tiap utusan kerajaan masing-masing mendapatkan satu peti sahara besar perhiasan emas dan perak dari La Mudu untuk dipersembahkan kepada raja mereka masing-masing. Dan tak lupa La Mudu memberi buah tangan berupa sekantong perhiasan emas dan perak juga kepada tiap urusan, seperti janjinya kemarin. Setelah keenam kapal utusan dari keenam kerajaan itu telah berlayar, La Mudu tidak kembali ke kapal, namun langsung menuju Uma Na’e (Istana Sandaka) yang diikuti oleh segenap wanita yang tel